Share

Bab 4 Cinta Bisa Membuat Gila

"Pada ributin apa sih?" tanya Ziya memutar topinya ke belakang. Gadis itu mengenakan inner kaos pendek berlapis hem panjang kedodoran dengan celana jeans sobek-sobek.

"Kamu!" seru mereka semua bersamaan.

Ziya mengerjap-ngerjapkan matanya. Dua telunjuknya mengarah pada wajahnya. "Aku kenapa?" gumamnya.

Pertemanan yang terjalin sejak mereka duduk di bangku SMP, hingga lulus SMA, sampai kini kompak bekerja sebagai pengemudi ojol, membuat mereka semua begitu akrab. Berkumpul dengan para lelaki sama sekali tidak membuat Ziya khawatir.

Mereka tulus dan baik. Jika ada yang mendekati Ziya atau ada yang mengerjai gadis itu, para sahabatnya akan menjadi garda terdepan untuk melindunginya. Namun karenanya, Ziya tidak pernah bisa berpenampilan feminim.

"Nggak apa, lupain aja. Ntar malem nongki-nongki yuk. Ada kafe baru buka loh di persimpangan jalan sana," sanggah Farid yang tak mau semakin tersudutkan.

"Hemm ... kakakku biasanya nggak kasih izin. Ibu juga," desah Ziya mengerucutkan bibir.

"Kan ada kita Zii? Kita yang bakal minta izin. Ayolah," rayu Farid lagi.

"Kita? Lo aja kali, gue enggak! Tau sendiri Abang Reza galaknya minta ampun." Wahyu bergidik mengingat kemarahan Reza, kakak Ziya. Sewaktu mengantar pulang gadis itu larut malam saat acara kelulusan.

Ziya menyunggingkan tawa kecil. "Cemen! Kak Reza tu baik tauk," belanya.

"Baek apanya, gue pernah kena bogem karena kemaleman nganter lo." Sofyan menimpali.

"Yee ... itumah karena si abang sayang sama adeknya. Tenang aja, sekarang udah jinak dia. Kayaknya sih karena mau nikah," cetus Ziya memainkan ponselnya.

"Eitt! Cabut dulu ya. Ada penumpang nih," pamit Ziya mengangkat tangannya lalu melambai.

Segera Ziya mengenakan jaket dan helmnya menjemput penumpangnya.

*****

Dika terbengong melihat Arjuna melompat kegirangan. Seperti anak kecil yang diiming-imingi es krim. Ia turut beranjak dari duduknya.

"Jun, mandi dulu wei! Gila mau keluar dengan wajah kusut awut-awutan gitu," cibir Dika.

Arjuna melihat penampilannya yang memang compang-camping, rambut kering berantakan.

"Wait, 5 menit." Arjuna segera menyimpan kotak cincinnya di laci nakas. Lalu bergegas mandi.

"Cih! 5 menit? Mandi apa cuci muka?" gumam Dika mendaratkan tubuhnya di sofa.

Benar saja 5 menit kemudian, Arjuna sudah rapi dan terlihat lebih segar. Dika mengangkat sebelah alisnya.

"Lu mandi, Jun?" Dika memastikan.

"Iyalah," sahutnya sembari merapikan rambutnya lalu menyemprotkan parfum kesukaan Meysa.

"Serah lu lah. Ayo," ajak Dika melenggang pergi dari kamar sahabatnya itu.

Mereka lalu melaju dengan mobil Dika. "Dik, nanti kalau aku dapetin alamatnya dan benar di Yogya, aku mau cuti sebulan," ucap Arjuna.

"Cuti sebulan Palamu! Lu pikir rumah sakit milik Mbahmu apa?" geram Dika dengan sejuta kekesalannya menempeleng kepala Arjuna. Sedang satu tangannya masih fokus menyetir.

'Cinta emang bikin orang gila dan nggak bisa berpikir logis,' gerutu Dika dalam hati.

"Yaelah, aku kan mau nyari Meysa, terus berdua-duaan dulu melepas rindu. Makanya jangan jadi perjaka tua. Biar tahu rasanya jatuh cinta," ucap Arjuna melemparkan tatapan remeh.

"Berisik! Gue nggak mau jatuh cinta. Cinta cuma bisa bikin orang jadi gila. Kayak lu gini," elak Dika.

"Awas aja, nelen ludah yang udah dikeluarin," seringai Arjuna.

Beberapa menit kemudian, mobil telah sampai di pelataran rumah sakit tempat mereka mengabdi. Arjuna segera keluar dari mobil dan berlari menuju HRD.

Dika menggelengkan kepalanya, "Cih! Emang gila!" cibirnya lalu keluar mengikuti Arjuna.

Setelah sampai, Arjuna segera meminta data-data Meysa termasuk surat resign wanita itu. Telunjuknya terus bergeser membantu matanya untuk membaca lebih cepat. Hingga jarinya terhenti, kedua matanya membelalak.

Hampir-hampir Arjuna meremas kertas-kertas di hadapannya. Kalau saja Dika tidak mencegahnya. Bagaimana tidak? Tertulis di surat resign bahwa alasan Meysa adalah hendak menikah di kampung halaman neneknya.

Jantung Arjuna serasa ditusuk ribuan jarum. Rasa sesak pun menggumpal di dadanya. Darahnya berdesir hebat. Kakinya gatal hendak menendang meja apa saja yang ada di hadapannya.

"Tenangin diri lo. Nggak inget apa rengekan kita dapetin ini semua?" bisik Dika mengingatkan sembari menggenggam erat lengan Arjuna yang mengeras karena mengepal.

Ya, itu adalah privasi. Pihak HRD tidak bisa memberikannya sembarangan. Namun karena banyak alasan, dan segala bujuk rayu Arjuna juga Dika akhirnya bisa mendapatkan dokumen-dokumen milik Meysa.

Geraham Arjuna mengetat, tatapannya nyalang penuh amarah. Dika turut mengamati berkas-berkas itu. Lalu mengambil ponselnya, membidik kamera di salah satu lembaran kertas itu.

Takut Arjuna tidak bisa menahan amarah lebih lama lagi, Dika pun segera membereskan satu bandel berkas milik Meysa. Lalu mengembalikannya pada HRD.

"Terima kasih banyak atas bantuannya," ucap Dika meletakkan di atas meja.

"Saya harap ini pertama dan yang terakhir kalinya," balas salah satu HRD itu.

Dika mengangguk lalu melenggang pergi. Ia kembali menghampiri Arjuna yang masih memanas.

"Ayo," ajak DiÄ·a menarik lengan Arjuna.

Pria itu masih bergeming, tak mau beranjak dari duduknya. "Gue udah dapet alamatnya," terang Dika.

Mendengarnya, Arjuna berdiri seketika. Pikirannya kalut tak dapat berpikir jernih. Hanya emosi yang menguasai dirinya saat ini.

Sesampainya di mobil, Dika mengirimkan hasil jepretannya ke nomor Arjuna. "Udah gue kirim alamatnya. Gue mau pulang, nanti masuk jam 2," gumam Dika kesal menyalakan mesin mobilnya.

Arjuna masih bungkam, perjalanan pun berbanding terbalik saat berangkat tadi. Akhirnya Dika memilih untuk memutar musik di mobilnya.

****************

Langit kini menggelap. Matahari kembali terbenam di peraduannya. Ziya diperbolehkan bekerja namun tak boleh melebihi waktu maghrib. Jika melanggar, ibunya akan berceramah sehari semalam penuh.

"Balik dulu ya semua, nanti emak marah," pamit Ziya pada semua teman-temannya.

"Yoi hati-hati," seru teman-temannya bersamaan.

"Zii, tunggu!" Teriakan Farid membuatnya menghentikan langkah.

Ziya menaikkan kedua alisnya. Seolah bertanya, "Ada apa?"

Farid pun setengah berlari menghampirinya. "Nanti malam gimana?" tanyanya. Ia belum mendapatkan jawaban yang memuaskan tadi.

"Yang lain? Aku ngikut aja. Asal nanti ada yang jemput. Dah ya, nanti kabarin aja. Aku balik dulu. Assalamualaikum!" seru Ziya melenggang cepat.

"Waalaikumsalam," sahut Farid pelan.

Ziya mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Sampai di pelataran rumah, Ziya memarkirkan motornya dan melenggang masuk.

Di ruang tengah, ia menemukan keluarganya sudah memulai makan malam tanpa dirinya. Pandangannya mengarah pada jam di dinding. Masih menunjukkan pukul 18.30.

"Kok tumben mereka makan malam tanpa aku? Eh eh siapa tuh?" gumam Ziya pelan.

Karena penasaran, ia pun bergegas masuk. Menyambar ayam goreng dan melahapnya sambil berdiri.

"Ziya! Nggak ada salam nggak ada suara main nyelonong aja!" seru Ibu marah.

"Hehe ... maafkan anakmu yang cantik ini, Bu. Assalamualaikum," ucap Ziya pelan menarik tangan kanan ibunya.

"Waalaikumsalam," sahut mereka bersamaan. Kecuali wanita yang duduk di samping Rio. Hanya mengulum senyum dan mengangguk ketika melihat Ziya.

"Zi! Jorok banget. Mandi dulu sana! Salat terus baru makan. Banyak kuman tuh tanganmu!" gerutu Rio.

Ziya hanya menyengir. Bukannya menuruti ucapan si abang, malah mendaratkan tubuh di samping ibunya. Berhadapan dengan wanita asing yang baru dilihatnya.

"Kakak pacarnya Kak Rio, ya?" tembak Ziya menaik turunkan alisnya menatap perempuan itu dengan seulas senyum.

Bersambung~

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status