Masuk
"Om, ayo bilang sama keluarga kita kalau kita gak akan menikah!"
Davin tersedak karena kopi panas yang tengah dia nikmati itu, karena hal itu juga lidahnya merasa terbakar, kopi panas itu pun hampir tumpah ke atas kedua pahanya kalau saja Davin tidak langsung buru-buru menyimpan kopi panasnya itu. Rara yang melihat itu mendelik tak suka. Di hadapan pria berumur 28 tahun yang berprofesi sebagai Dokter di salah satu rumah sakit di kota Jakarta ini, dia bertingkah sangat angkuh. "Apa kamu bilang? Om? Saya, Om?" Davin menunjuk dirinya sendiri dengan raut wajahnya yang terlihat tak percaya. Dia sangat tersedak karena terkejut mendengar perkataan gadis cantik yang tengah berdiri bersedekap dada angkuh padanya. Rara menganggukan kepalanya, "Iya Om. Om kan udah tua!" "Jangan sembarangan kalau ngomong! Saya belum setua itu sampai kamu bisa memanggil saya Om! Saya masih berumur 28 tahun, belum sampai kepala tiga," omelnya tak terima. Rara terkejut sekali mendengarnya, dia langsung membalikan tubuhnya tak ingin menatap pria dewasa di belakangnya itu. Dia kesal sekali, baru saja pulang dari London tiba-tiba saja ibunya menjodohkan dia dengan pria dewasa yang sama sekali tidak dia sukai! Hanya dengan alasan supaya Rara tidak banyak bermain, dan dengan alasan hanya karena cuma dia yang belum menikah dibanding dua sodaranya yang lain! Tapi, bukan berarti Rara harus di jodohkan! Rara masih berumur 23 tahun, dia masih menganggap kalau dirinya masih kecil dan belum waktunya untuk membina rumah tangga. Namun orang tuanya memaksanya. Dan hari ini, saat kedua belah pihak keluarga Rara dan Davin tengah merencanakan tanggal pernikahan, Rara dan Davin diberi waktu untuk mengobrol berdua di ruangan yang berbeda dengan kedua keluarga mereka. Dan sekarang, Rara tengah mencoba membujuk Davin supaya membatalkan pernikahan ini! Rara belum mau menikah karena dia masih ingin bermain, dan pergi ke berbagai negara seperti apa yang dia inginkan. "Saya tidak bisa menolak, karena orang tua saya pun memaksa saya untuk menikah," ujar Davin dengan santainya. "Loh kok gitu Om! Gak bisa gitu dong! Kalau memang memaksa om buat nikah, ya udah cari perempuan lain saja. Atau kalau enggak, bilang ke mereka kalau om udah punya pacar," seru Rara yang kembali berbalik menatap Davin dengan penuh protesnya. "Masalahnya, saya tidak akan di jodohkan kalau saya punya pacar," sahut Davin dengan santainya, "Saat itu saya sibuk menyelesaikan pendidikan saya, saya juga sibuk sekali bekerja sebagai Dokter. Pagi ke pagi saya sangat sibuk sehingga saya tak punya waktu untuk mencari pacar. Hingga akhirnya orang tua saya muak melihat saya menjomblo terus, dan akhirnya saya di jodohkan dengan kamu," jelasnya. Rara menghembuskan nafasnya dengan kasar, "Iya saya tahu! Tapi masalahnya saya tidak mau!" "Kenapa tidak mau?" "Karena om sudah tua!" "Saya masih muda! Umur 28 tahun itu terbilang masih muda!" Davin membantahnya dengan tegas. Entah apa yang dilihat gadis itu pada wajahnya, apa wajahnya terlihat sudah tua, tidak, wajahnya terlihat masih muda. Apa mungkin mata gadis itu saja yang rusak karena menganggapnya sudah tua. Gadis itu cukup menyebalkan. "Kamu gak punya waktu buat menolak! Toh tanggal pernikahan sudah ditentukan, sekitar 1 bulan lagi kita akan menikah, dan kamu tidak akan bisa menolaknya. Sudahlah, pasrah saja seperti saya," ujar Davin dengan menghela nafasnya panjang. Tampaknya dia sudah tidak punya tenaga untuk membuat drama penolakan. "Tapi Om--" "Maaf Rara, saya benar-benar tidak bisa menolak perjodohan ini! Saya harap, kamu tidak membuat ulah hanya untuk menolak pernikahan ini!" ****** Rara pikir Davin akan setuju untuk menolak perjodohan ini! Namun ternyata, Davin tidak menyetujuinya, pria dewasa itu sudah siap untuk menikah dengannya. Rara sakit hati sekali, dia sudah berusaha keras untuk membujuk pria dewasa itu, tapi tetap saja Davin menolaknya dengan keras dan akan terus maju untuk pernikahan yang akan segera dilangsungkan 1 bulan lagi. Sekarang Rara tidak bisa melakukan apa pun, setelah pertemuan antara keluarga tadi, Rara langsung mengurung dirinya di kamar dengan kedua matanya yang terlihat bengkak karena tak berhenti menangis. "Rara, kamu masih marah sama mamah?" Rani datang memasuki kamar putrinya. "Ra, mamah menjodohkan kamu karena ini demi kebaikan kamu juga. Mamah gak mau kamu terjerumus ke dalam pergaulan bebas yang tidak mau mamah inginkan. Mamah sama papah itu sayang sama kamu, kami gak mau kamu kenapa-kenapa karena lingkungan yang semakin gak baik!" Ujar Rani yang mencoba untuk memberikan pengertiannya pada sang anak, kalau apa yang dia lakukan untuk putrinya itu demi kebaikannya sendiri. "Aku bisa jaga diri aku sendiri, Mah!" Seru Rara mengelak. Rani menghela nafasnya dengan panjang, perlahan dia duduk diatas tempat tidur yang dimana putrinya tengah tengkurap dengan air matanya yang membasahi bantal yang dia kenakan. "Apanya yang bisa menjaga diri? Kalau saja malam itu abang kamu gak ngawasin kamu, mungkin kamu sudah kehilangan keperawanan kamu saat kamu lagi mabuk di club malam, Rara!" Ujar Rani dengan penuh penekanan. "Apa kamu pikir mamah sama papah gak kecewa sama kamu karena kamu main ke tempat kek gitu dan mabuk mabukan kek gitu? Kami kecewa! Itu sebabnya kami memutuskan untuk menikahkan kamu sama pria pilihan kita! Pria yang akan membimbing kamu, dan mendidik kamu! Setidaknya, kalau kamu mau keluar kamu bisa bersama suami kamu yang dimana dia adalah mahram kamu, dan kami tidak akan cemas! Kami sengaja menjodohkan kamu karena pria yang kami pilih adalah pria yang lebih baik dibanding pria-pria yang ada di sekitar kamu! Davin itu pilihan terbaik untuk kamu, Rara! Tolong mengertilah!" "Mah!" Rara semakin menangis mendengarnya, "Kalau memang seperti itu, aku berjanji kalau aku tidak akan pergi ke club malam lagi, dan aku tidak akan bermain dengan teman-teman aku lagi." "Kamu sudah banyak melontarkan janji pada mamah dan papah kamu, tapi nyatanya kamu mengingkari janji kamu sendiri! Maka dari itu, sekarang kami akan bersikap tegas sama kamu!" Ujar Rani dengan sangat tegas. "Mah, beri aku kesempatan. Aku benar benar gak mau nikah sama Om Davin," seru Rara menolak. "Sudahlah, tanggal pernikahan sudah ditentukan! Pernikahan kamu akan dilangsungkan lebih cepat karena itu yang terbaik! Kamu tidak boleh menolak lagi karena ini sudah keputusan akhir dari kami," ujarnya dengan sangat tegas. "Mah!" "Jangan buat papah sama mamah marah! Kalau kamu sudah menjadi orang tua nanti, kamu akan paham apa yang dimaksud mamah sama papah kamu! Kamu akan paham kalau apa yang kami lakukan ini memang untuk yang terbaik untuk kamu! Sekarang jangan menangisi hal itu, persiapkan saja untuk pernikahan 1 bulan nanti!"1 minggu telah berlalu...Hari ini adalah hari libur, rencananya hari ini Rara akan membeli kebutuhan selama sebulan di rumahnya bersama suaminya yang tidak bekerja di hari libur ini. Tadinya mereka berniat untuk bermain keluar, tapi Rara menolak dengan mengatakan kalau hari libur ini dia ingin menghabiskan waktunya di rumah saja.Sebelum itu, Rara harus membeli kebutuhan keduanya selama sebulan nanti. Dan dengan senang hati suaminya akan mengantarnya. Semakin hari Davin semakin posesif padanya, Rara tidak dibiarkan untuk pergi sendiri, Davin harus selalu ikut kemana pun istrinya itu pergi.Sebelumnya Rara akan merasa risih karena terus menerus di ikuti oleh Davin. Tapi sekarang semuanya telah berubah, justru Rara pun merasa tak bisa jauh jauh dari suami tampannya. Dia merasa nyaman dan damai jika ada suaminya disampingnya.Sebisa mungkin Rara hanya ingin bersama Davin. Setiap Davin pergi bekerja, Rara akan merasa sedih, dia akan merasa kalau dia kesepian jika tidak ada Davin disampin
"Raisa, buka pintunya, kenapa kamu diam terus di kamarmu. Buka pintunya, nak. Kamu belum makan dari sejak kita pulang dari rumah sakit. Ini sudah malam, jangan sampai kamu telat makan, mamah takut kamu kenapa kenapa lagi, nak. Mamah mohon."Entah sudah keberapa kalinya Gina datang ke kamar putrinya sembari membawa nampan berisi makanan untuknya. Pasalnya sedari mereka pulang dari rumah sakit, Raisa tiba tiba mengurung dirinya di kamarnya dan tak keluar sama sekali, dia juga menguncinya sehingga membuat Gina sulit untuk masuk ke dalam kamarnya.Gina sangat cemas, baru saja dokter mengatakan kalau Raisa semakin pulih, tapi tiba tiba saja Raisa mogok makan. Bagaimana kalau seandainya kondisi Raisa kembali memburuk?"Nak, mamah mohon," pinta Gina sangat memohon.Namun tak ada jawaban sama sekali. Karena di dalam sana Raisa tampak tengah merenung di bawah lantai dingin dengan bersandar pada ranjangnya. Tatapan matanya yang kosong melirik ke luar jendela sana yang menampilkan rembulan malam
"Aku sudah menikah."Apa katanya? Sudah menikah? Sungguh, Raisa amat sangat terkejut mendengarnya. Tubuhnya sempat membeku dan debaran jantungnya terasa seperti berhenti kala merasa sangat terkejut dengan perkataan yang baru saja terlontar oleh mulut mantan kekasihnya yang dia rindukan itu."S-sudah menikah?" Raisa mencoba memastikan semuanya.Davin menganggukan kepalanya. Meski rasanya dia ragu mengungkapkan pernikahannya, tapi secara spontan dia mengungkapkan semuanya, dan kini dia pun tak sadar telah menunjukan cincin pernikahan yang terpasang di jari manisnya.Raisa menatap tak percaya pada cincin yang terpasang di jari manis milik Davin, ini benar benar mengejutkan. Rasanya ini seperti mimpi yang tidak pernah dia duga. Dia hanya tak menyangka kalau ternyata Davin menikah, dia pikir Davin tidak akan sampai menikahi perempuan lain.Apa yang Raisa harapkan? Apa dia berpikir kalau Davin akan menunggunya? Dan dia pikir apa Davin akan menikahinya? Raisa lupa, kalau hidup ini harus teru
Siang ini Raisa dan ibunya akan pergi ke rumah sakit untuk kontrol, meski Raisa sudah berhasil selamat dari penyakit yang hampir saja merenggut nyawanya itu, tetap saja Raisa harus melakukan kontrol rutin untuk menjaga kesehatannya tetap baik.Dan siang ini, Raisa dan ibunya baru saja sampai di rumah sakit tempat dimana dia akan kontrol. Keduanya telah memiliki janji, setelah mengantri hampir 30 menit, akhirnya namanya dipanggil dan detik itu juga dia dituntun untuk masuk ke ruangan yang dimana Dokter telah menunggu kehadirannya.Selama kontrol berlangsung Raisa tampak terlihat tenang, dia sama sekali tidak menunjukkan tanda tanda cemas atau pun takut. Namun dibalik itu sang ibu tampak sangat cemas, dia tak berhenti menggenggam erat tangannya sampai berkeringat. Raisa paham perasaan ibunya, karena penyakit yang dia derita membuat ibunya sudah tidak pernah menemukan ketenangannya lagi.Banyak sekali yang dibahas selama disana dan banyak sekali hal hal yang di periksa kembali, hingga ak
Dengan langkah yang tergesa-gesa Syera melangkah memasuki rumah sakit dengan heelsnya. Raut wajahnya terlihat sangat tak baik-baik saja, tampaknya ada sesuatu yang membuatnya merasa ada yang berbeda hari ini.Namunnya, bukannya pergi menuju ruangannya. Justru Syera malah melangkahkan kakinya menuju salah satu ruangan yang ada di lorong sana. Dengan mengetuk pintu beberapa kali, dia meminta izin pada pemilik ruangan itu untuk masuk, hingga akhirnya terdengar suara pemilik ruangan itu yang mengizinkannya untuk masuk."Davin," panggilnya.Davin yang baru saja memakai jas kedokterannya itu pun langsung berbalik dan menoleh ke belakang. Keningnya mengerut bingung kala melihat kedatangan Syera yang menurutnya terlalu pagi untuk menghampirinya."Kenapa?" Tanya Davin dengan kebingungan.Entah harus mulai dari mana dulu Syera bertanya, dia tampaknya masih sangat syok dan saat ini tengah mencoba untuk menenangkan dirinya."Kenapa Syer?" Tanya Davin sekali lagi."Aku masih syok Davin. Tapi apa k
"Raisa, tengah apa kamu malam malam di balkon sendirian? Masuk sayang." Gina menatap putrinya dengan raut wajahnya yang terlihat cemas kala melihat anak perempuannya duduk sendirian di ayunan balkon kamarnya dengan udara malam yang sangat dingin.Raisa menoleh sekilas pada ibunya sebelum akhirnya dia tersenyum, "Tidak Ma, aku tengah mencari udara segar. Sudah lama rasanya aku tidak menikmati udara segar seperti ini," balasnya.Gina menghela nafasnya panjang, "Kamu sangat merindukan suasana malam ternyata."Raisa menganggukan kepalanya, "Benar, aku sangat merindukan suasana malam dan suasana di luar sana. Semuanya terasa sangat berbeda, ada banyak hal yang berubah. Tapi aku merasa sangat senang, setidaknya aku masih diberi kesempatan untuk tetap melihat dunia luar. Setelah sekian lama aku berpikir kalau aku mungkin tidak akan melihat dunia luar lagi."Mendengar itu Gina merasa sangat sedih, dengan lembut dia mengusap tangan putrinya yang terasa dingin karena udara, "Mama juga sangat se







