LOGIN"Jangan nyusahin suamimu! Kamu harus patuh pada setiap perintah suamimu kalau itu memang yang terbaik untuk kamu!" Entah sudah keberapa kalinya Rani mengingatkan putrinya itu, mungkin sudah hampir 10 kali, dan Rara sangat bosan sekali mendengarnya.
"Kamu gak perlu cemas, Putrinya Papah, pintu rumah papah akan selalu terbuka untuk kamu, kapan pun kamu mau kesini papah akan menerima kamu. Dan kalau terjadi sesuatu sama kamu, pulang ke rumah, oke," ujar Dito dengan sangat lembut. Dibanding ibunya yang terdengar keras sekali dalam mendidik anak perempuannya, ayahnya justru sangat bersikap baik padanya dan begitu menyayanginya. Rara menganggukan kepalanya. Meski masih di kota yang sama, namun tetap saja Rara merasa sangat sedih karena dia tidak akan bisa tinggal di rumah orang tuanya lagi, dia juga sedih karena harus berpisah dengan ayah ibunya. "Kami pamit," ujar Davin yang baru saja selesai memasukan dua koper besar milik istrinya ke dalam rumahnya. "Hati-hati di jalan, kabari kami kalau kalian sudah sampai di rumah," ujar Rani dengan senyuman hangatnya. Sebagai tanda perpisahan dan melepas putrinya, Rani memeluknya sebentar. Rara juga memeluk ayahnya, kedua kakak laki-lakinya, kedua iparnya dan berpamitan kepada kedua keponakannya yang masih kecil itu. Lalu dia pun masuk ke dalam mobil milik suaminya, rasanya dia masih belum rela kalau akhirnya dia akan pergi meninggalkan semuanya. Dengan lemas dia melambaikan tangannya pada satu keluarganya, kedua matanya berkaca-kaca, karena bohong rasanya kalau Rara tidak sedih karena perpisahan ini. Davin sangat memahami apa yang dirasakan oleh Rara, dia mencoba menenangkan Rara tapi saat dia hendak memegang tangan istrinya itu, istrinya langsung mengambil tangannya dan menatapnya tajam seakan-akan ada larangan baginya untuk tidak boleh menyentuh Rara sembarangan. Akhirnya Davin hanya bisa menghembuskan nafasnya dengan kasar, dia mencoba memahami apa yang dirasakan oleh Rara. Akhirnya dia pun melajukan mobilnya meninggalkan rumah keluarga istrinya. Davin akan membawa Rara ke rumah pribadi miliknya, Davin mendapat kabar kalau di sana keluarganya sudah menunggunya untuk menyambut kedatangannya. ******* Rara dan Davin baru saja sampai di rumah pribadi milik Davin, saat mereka sampai Rara mengakui kalau rumah milik suaminya itu cukup baik dan cukup luas, meski belum seluas milik orang tuanya. Tapi gaya rumahnya yang begitu sederhana dan elegan terlihat tampak sangat nyaman, apalagi rumah itu akan ditempati oleh dua orang. Rara menyukai gaya dari rumah yang sederhana tapi elegan itu, apalagi ada pohon di depan rumahnya dan rerumputan yang terlihat akan sangat nyaman jika di injak. Saat mereka turun dari mobil, muncul keluarga kecil Davin yang baru saja keluar dari rumah tersebut. Sontak Rara langsung tersenyum canggung saat melihat keluarga suaminya sudah lebih dulu tiba dibanding dirinya dan suaminya. "Akhirnya kalian datang juga, dari tadi kamu sudah menunggu kehadiran kalian," ujar Sora dengan senyuman lebarnya. "Bagaimana perjalanan kalian? Apa semuanya baik-baik saja?" Tanya Tama pada putranya yang terlihat tengah sibuk mengeluarkan koper milik istrinya. Davin menganggukan kepalanya, "Baik-baik saja." "Kalau begitu, ayo kita masuk. Kamu pasti penasaran kan bagaimana keadaan rumah kamu dan suamimu ini? Rumah kamu dan suamimu ini baru saja di renovasi," ajak Sora dengan begitu hangat menyambut menantunya dan berbicara lembut pada menantunya itu. Rara menganggukan kepalanya, dengan dirangkul oleh ibu mertuanya. Rara berjalan memasuki rumah tersebut. Saat dia memasuki rumah tersebut, Rara akui kalau keadaan di dalam rumah itu amat sangat nyaman dan begitu hangat sekali. Rara benar benar merasa nyaman. Namun dia gengsi mengatakannya karena takut suaminya besar kepala karena di puji oleh istrinya. "Semoga kamu betah ya disini, meski pun nanti Davin akan sangat sibuk kerja, tapi dia tidak akan lupa untuk pulang kesini. Dan Mamah harap kamu sama Davin aku dan harmonis," ujar Sora dengan penuh harapan. Rara hanya tersenyum kecil mendengarnya, dia tidak yakin soal hubungannya dan suaminya. Apa bisa dia dan suaminya itu akur? Apalagi harmonis? Entah, Rara sama sekali tidak yakin. "Dan ini kamar kamu dan suami kamu," ujar Sora sembari membuka pintu kamar utama yang akan ditempati oleh Rara dan Davin. Rara tidak menduga kalau kamar utama ini sangatlah cantik, Rara terlihat sangat menyukainya. "Kamu tahu, 1 bulan menuju pernikahan Davin secara mendadak mengubah kamar ini karena katanya supaya kamu betah. Sengaja juga kamar ini diubah seperti kamar anak gadis dengan nuansa yang cerah supaya kamu merasa nyaman." Tak disangka kalau Davin telah menyiapkan semuanya, Davin sangat teliti soal apa yang akan disukai oleh Rara dan apa yang tidak akan dia sukai. Dia secara mendadak merenovasi rumahnya hanya supaya istrinya merasa nyaman di rumahnya ini. Karena Davin tahu kalau setelah nikah di rumah ini dia tidak akan sendiri lagi, dia akan bersama istrinya. Dan tugasnya adalah membuat istrinya itu betah dan nyaman di rumah barunya itu. "Kamu beresin aja dulu pakaianmu oke, nanti kita ngobrol lagi," ujar Sora, "Mamah mau ke depan dulu lihat suamimu sama ayah mertuamu. Kayaknya mereka lagi ngobrol di depan sana." Rara menganggukan kepalanya, saat ibu mertuanya telah pergi meninggalkan dia di kamarnya. Rara langsung menutup pintu kamarnya dan saat itu pula dia langsung menguncinya. Dia duduk dengan langkah yang tergesa gesa sembari mengeluarkan ponselnya. "Kemana Rio? Kenapa dia belum menjawab pesan gue. Apa dia benar-benar marah sama gue? Dia kecewa kah karena gue gak bisa nolak pernikahan ini?" Rara terlihat sangat frustasi saat melihat ponselnya yang sama sekali tidak memberikan dia tanda kalau kekasihnya itu membalas pesan dan menghubunginya lagi setelah hampir beberapa kali dia menghubunginya. "Gue harus ketemu sama Rio, gue harus jelasin sama dia kalau gue cuma cinta sama dia, gue gak akan menerima pernikahan ini sampai kapan pun! Gue cuma mau Rio, bukan Om Davin itu! Tapi gimana caranya, meski pun gue udah gak tinggal bareng sama mamah papah, bukan berarti gue bebas gitu aja, gue yakin kalau om Davin bakal terus ngawasin gue!" Ujarnya, dia menjambak rambutnya sendiri saking merasa depresi karena tekanan untuk menikah dengan pria yang tidak pernah dia inginkan. "Ah iya, gue baru inget kalau Om Davin ini bekerja sebagai Dokter. Bukannya Dokter itu sibuk banget ya? Saking sibuknya dia bisa pulang sampai malam. Jadi, gimana kalau seandainya gue pergi samperin Rio nanti buat ngasih penjelasan sama dia secara diam diam. Ya, benar juga! Gue harus samperin Rio, dan jangan sampai Om Davin tahu soal itu karena kalau sampai dia tahu, dia pasti bakal ngadu sama mamah papah!" Ujarnya sembari tersenyum lebar.1 minggu telah berlalu...Hari ini adalah hari libur, rencananya hari ini Rara akan membeli kebutuhan selama sebulan di rumahnya bersama suaminya yang tidak bekerja di hari libur ini. Tadinya mereka berniat untuk bermain keluar, tapi Rara menolak dengan mengatakan kalau hari libur ini dia ingin menghabiskan waktunya di rumah saja.Sebelum itu, Rara harus membeli kebutuhan keduanya selama sebulan nanti. Dan dengan senang hati suaminya akan mengantarnya. Semakin hari Davin semakin posesif padanya, Rara tidak dibiarkan untuk pergi sendiri, Davin harus selalu ikut kemana pun istrinya itu pergi.Sebelumnya Rara akan merasa risih karena terus menerus di ikuti oleh Davin. Tapi sekarang semuanya telah berubah, justru Rara pun merasa tak bisa jauh jauh dari suami tampannya. Dia merasa nyaman dan damai jika ada suaminya disampingnya.Sebisa mungkin Rara hanya ingin bersama Davin. Setiap Davin pergi bekerja, Rara akan merasa sedih, dia akan merasa kalau dia kesepian jika tidak ada Davin disampin
"Raisa, buka pintunya, kenapa kamu diam terus di kamarmu. Buka pintunya, nak. Kamu belum makan dari sejak kita pulang dari rumah sakit. Ini sudah malam, jangan sampai kamu telat makan, mamah takut kamu kenapa kenapa lagi, nak. Mamah mohon."Entah sudah keberapa kalinya Gina datang ke kamar putrinya sembari membawa nampan berisi makanan untuknya. Pasalnya sedari mereka pulang dari rumah sakit, Raisa tiba tiba mengurung dirinya di kamarnya dan tak keluar sama sekali, dia juga menguncinya sehingga membuat Gina sulit untuk masuk ke dalam kamarnya.Gina sangat cemas, baru saja dokter mengatakan kalau Raisa semakin pulih, tapi tiba tiba saja Raisa mogok makan. Bagaimana kalau seandainya kondisi Raisa kembali memburuk?"Nak, mamah mohon," pinta Gina sangat memohon.Namun tak ada jawaban sama sekali. Karena di dalam sana Raisa tampak tengah merenung di bawah lantai dingin dengan bersandar pada ranjangnya. Tatapan matanya yang kosong melirik ke luar jendela sana yang menampilkan rembulan malam
"Aku sudah menikah."Apa katanya? Sudah menikah? Sungguh, Raisa amat sangat terkejut mendengarnya. Tubuhnya sempat membeku dan debaran jantungnya terasa seperti berhenti kala merasa sangat terkejut dengan perkataan yang baru saja terlontar oleh mulut mantan kekasihnya yang dia rindukan itu."S-sudah menikah?" Raisa mencoba memastikan semuanya.Davin menganggukan kepalanya. Meski rasanya dia ragu mengungkapkan pernikahannya, tapi secara spontan dia mengungkapkan semuanya, dan kini dia pun tak sadar telah menunjukan cincin pernikahan yang terpasang di jari manisnya.Raisa menatap tak percaya pada cincin yang terpasang di jari manis milik Davin, ini benar benar mengejutkan. Rasanya ini seperti mimpi yang tidak pernah dia duga. Dia hanya tak menyangka kalau ternyata Davin menikah, dia pikir Davin tidak akan sampai menikahi perempuan lain.Apa yang Raisa harapkan? Apa dia berpikir kalau Davin akan menunggunya? Dan dia pikir apa Davin akan menikahinya? Raisa lupa, kalau hidup ini harus teru
Siang ini Raisa dan ibunya akan pergi ke rumah sakit untuk kontrol, meski Raisa sudah berhasil selamat dari penyakit yang hampir saja merenggut nyawanya itu, tetap saja Raisa harus melakukan kontrol rutin untuk menjaga kesehatannya tetap baik.Dan siang ini, Raisa dan ibunya baru saja sampai di rumah sakit tempat dimana dia akan kontrol. Keduanya telah memiliki janji, setelah mengantri hampir 30 menit, akhirnya namanya dipanggil dan detik itu juga dia dituntun untuk masuk ke ruangan yang dimana Dokter telah menunggu kehadirannya.Selama kontrol berlangsung Raisa tampak terlihat tenang, dia sama sekali tidak menunjukkan tanda tanda cemas atau pun takut. Namun dibalik itu sang ibu tampak sangat cemas, dia tak berhenti menggenggam erat tangannya sampai berkeringat. Raisa paham perasaan ibunya, karena penyakit yang dia derita membuat ibunya sudah tidak pernah menemukan ketenangannya lagi.Banyak sekali yang dibahas selama disana dan banyak sekali hal hal yang di periksa kembali, hingga ak
Dengan langkah yang tergesa-gesa Syera melangkah memasuki rumah sakit dengan heelsnya. Raut wajahnya terlihat sangat tak baik-baik saja, tampaknya ada sesuatu yang membuatnya merasa ada yang berbeda hari ini.Namunnya, bukannya pergi menuju ruangannya. Justru Syera malah melangkahkan kakinya menuju salah satu ruangan yang ada di lorong sana. Dengan mengetuk pintu beberapa kali, dia meminta izin pada pemilik ruangan itu untuk masuk, hingga akhirnya terdengar suara pemilik ruangan itu yang mengizinkannya untuk masuk."Davin," panggilnya.Davin yang baru saja memakai jas kedokterannya itu pun langsung berbalik dan menoleh ke belakang. Keningnya mengerut bingung kala melihat kedatangan Syera yang menurutnya terlalu pagi untuk menghampirinya."Kenapa?" Tanya Davin dengan kebingungan.Entah harus mulai dari mana dulu Syera bertanya, dia tampaknya masih sangat syok dan saat ini tengah mencoba untuk menenangkan dirinya."Kenapa Syer?" Tanya Davin sekali lagi."Aku masih syok Davin. Tapi apa k
"Raisa, tengah apa kamu malam malam di balkon sendirian? Masuk sayang." Gina menatap putrinya dengan raut wajahnya yang terlihat cemas kala melihat anak perempuannya duduk sendirian di ayunan balkon kamarnya dengan udara malam yang sangat dingin.Raisa menoleh sekilas pada ibunya sebelum akhirnya dia tersenyum, "Tidak Ma, aku tengah mencari udara segar. Sudah lama rasanya aku tidak menikmati udara segar seperti ini," balasnya.Gina menghela nafasnya panjang, "Kamu sangat merindukan suasana malam ternyata."Raisa menganggukan kepalanya, "Benar, aku sangat merindukan suasana malam dan suasana di luar sana. Semuanya terasa sangat berbeda, ada banyak hal yang berubah. Tapi aku merasa sangat senang, setidaknya aku masih diberi kesempatan untuk tetap melihat dunia luar. Setelah sekian lama aku berpikir kalau aku mungkin tidak akan melihat dunia luar lagi."Mendengar itu Gina merasa sangat sedih, dengan lembut dia mengusap tangan putrinya yang terasa dingin karena udara, "Mama juga sangat se







