Share

Jodoh untuk Aira
Jodoh untuk Aira
Author: Vie Zebex

Chapter. 1

Author: Vie Zebex
last update Last Updated: 2021-05-12 10:26:19

Aku berharap bisa menikah di penghujung tahun ini. Sayangnya, Ayah sudah merencanakan perjodahanku sekarang juga. Bahkan rencana ini sudah diatur jauh sebelum-sebelumnya entah kapan aku tak tahu persis. Alasannya sederhana, orangtuaku bilang, menikah itu lebih baik disegerakan, tidak baik jika ditunda-tunda. Sialnya, aku sama sekali tidak kenal dengan laki-laki pilihan Ayah, katakanlah menantu idamannya yang selama ini ia inginkan. Seandainya yang dijodohkan itu pacarku sendiri, jangankan besok atau lusa, hari ini pun aku bersedia dikawinkan dengannya.

Pacarku, Hyun Joon, seorang seniman jalanan yang kukenal tiga tahun lalu. Perkenalan yang cukup singkat memang, tapi karena merasa banyak kesamaan dan sudah saling nyaman satu sama lain, akhirnya kami menjalin hubungan lebih serius. Aku berharap, Ayah mau menerima kekasihku itu bila ia datang melamar sebelum acara perjodohan sialan itu terjadi.

Pagi ini aku nekat menemui Hyun Joon, di lokasi tempat biasa ia melukis bersama para seniman lainnya. Biasanya mereka menggelar lapak di teras gedung perbelanjaan di pusat kota dengan beberapa lukisan terpajang, menunggu lukisan dipinang oleh calon sang tuan.

"Dijodohkan?" Hyun Joon bertanya setengah tak percaya. Setelah kujelaskan perihal rencana konyol Ayah tempo hari. Ia berhenti sejenak membuat gradasi warna pada lukisannya untuk fokus mendengarkanku.

Jujur, aku bukan tipe perempuan cengeng yang sering mengumbar air mata untuk menarik belas kasihan seorang pria, tapi entah, kali ini aku merasa sangat takut kehilangan Hyun Joon. Dia bukan laki-laki kebanyakan yang pernah kukenal, ia berbeda.

"Iya, di-jo-doh-kan," jelasku dengan menekankan kata 'dijodohkan' dengan nada kesal.

"Lalu?"

"Aku ingin kita segera menikah."

Hyun Joon terdiam sesaat, tak ada ekspresi senang ataupun sedih di raut wajahnya. Dan sikapnya itu membuatku mati penasaran. Namun akhirnya, ia buka suara setelah terlihat berpikir panjang. "Apa yang bisa kukatakan agar bisa membuat ayahmu terkesan?" Terlihat ia menarik napas dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan.

Aku tak tahan untuk tidak tertawa, terkadang, meski berucap serius, namun bisa saja terdengar lucu.

"Hyun, berhentilah berpikir konyol," tukasku dengan senyum mengembang, "kapan datang melamar?" Aku setengah berbisik agar teman-temannya tidak terlalu jelas mendengar. Tetapi tetap saja mereka bisa mendengar dengan jelas perbincangan kami. Sampai-sampai Om Johan, si pelukis senior yang sering memakai topi plat berwarna abu-abu itu mulai menggoda.

"Asik, Tuh. Bisa kaleee datang melamar."

"Pepet teros jangan kasih kendoorrr!" timpal pelukis yang lain.

Hendro tak mau kalah, sepertinya dia sangat menikmati suasana. "Makin hot dah, musim hujan kawin, hahaaa."

Aku dan Hyun Joon tersenyum simpul mendengar godaan dari Om Johan dan teman-temannya. Tapi gurauan seperti ini sudah biasa, beberapa kali aku menemani Hyun Joon melukis di sini, membuatku jadi akrab dengan seniman-seniman yang lain.

Hyun Joon meraih kuas kecil yang sejak tadi terabaikan setelah aku datang, lalu mulai memainkan warna dan mengaplikasikannya di atas kanvas. Pandangannya terus fokus pada gambar, hanya sesekali melihat ke arahku.

Aku mengerti kekasihku cukup gugup dengan keinginanku untuk minta secepat ini dilamar. Ayah bukan laki-laki yang mudah percaya begitu saja dengan orang lain, terlebih orang itu belum ia kenal. Lebih rumit lagi, Ayah pernah mengatakan soal calon pasangan hidupku, orang yang nanti akan jadi suami putrinya ini, haruslah sesuai dan sepadan.

Seketika dadaku sesak, bagaimana kalau Ayah menolak lamaran Hyun Joon? Tidak, tidak, aku harus memikirkan sesuatu. Jika tidak, Ayah tak akan pernah tahu istimewanya seorang pelukis itu seperti apa. Sebagai pengagum karya seni lukis, Hyun Joon seperti paket komplit buatku. Tampan, baik, berdarah blasteran, dan menyukai seni sama sepertiku.

"Ehem ... Om Johan, apa yang menarik dari seorang pelukis," tanyaku pada Om Johan yang berjarak satu orang dari tempat duduk Hyun Joon. Aku ingin mendengar pendapat dari seorang pelukis secara langsung.

Hyun Joon mendelik padaku seakan ia berkata 'bukankah sering kujelaskan?', sementara aku mengabaikannya.

Para pengunjung masih sibuk melihat-lihat lukisan yang berjejer seperti tengah melihat pameran, banyak bentuk rupa gambar dari berbagai seni dan karakter, memanjakan mata siapapun yang melihatnya.

Om Johan terus memoles lukisannya sambil menjawab pertanyaanku dengan nada serius, "Seorang seniman, identik dengan kata kebebasan. Jiwanya tidak bisa dikekang dengan segala peraturan yang bisa membuatnya terikat. Ia butuh keleluasaan tanpa paksaan untuk mencurahkan seni yang ada dalam dirinya. Itu yang paling menarik." Om Johan menarik napas dalam, "dan ... kebebasan itu pun berlaku pada penikmat seni itu sendiri."

"Misalnya?" Aku tak mengerti.

"Misalnya kamu, bebas memilih seni apa dan pada siapa yang ingin kamu miliki atau ... sesuatu yang menurutmu pantas," jelas Om Johan, tangannya lincah menuangkan berbagai macam warna di atas kanvas di hadapannya. Merah dan putih ia campur menjadi satu, mengubahnya menjadi warna merah muda yang cantik.

Aku memanggut-manggut paham, sekarang aku mengerti, mengapa Hyun Joon dulu sering menolak saat kutawari menjadi karyawan di perusahaan Ayah. Alasanku cukup kuat, agar Hyun Joon bisa dekat dengan Ayah dan suatu hari mendapatkan posisi yang tinggi.

Laki-laki bermata cokelat sedikit kebiruan itu tidak hanya memiliki postur tubuh yang ideal, tapi terlihat gagah dan sehat. Sangat jauh bila kubandingkan dengan seniman jalanan biasa yang sering berpenampilan urakan dan semaunya sendiri. Hyun Joon tampak berkharisma seandainya saja ia berseragam kantoran dengan jas dan dasinya yang panjang. Bergaya seperti laki-laki yang Ayah inginkan, seorang eksekutif muda yang sukses. Tetapi jujur saja, aku lebih menyukai Hyun Joon yang seperti ini.

"Tapi kebebasan itu tidak berlaku untuk cinta," ucap Hyun Joon cepat. Ia melepaskan kuas di tangannya dan meraih tanganku dengan lembut. "Bagiku, seniman itu santai, romantis dan setia." Ia mengucapkannya dengan sungguh-sungguh, tatapan mata indah itu mampu membuat gemuruh bersorak riuh dalam dada.

"Aku setuju, baru kali ini Hyun Joon gandeng cewek, hampir tujuh tahun kenal dia ngejomblo terus. Hahaa." Kali ini Hendro berkomentar dengan gelak tawanya yang membaha, sekaligus dapat jitakan dari Om Johan. Hendro pelukis paling berisik yang kukenal di sini.

"Aku percaya," ucapku lembut, memandang wajah Hyun Joon yang tampannya sempurna. Entah, laki-laki ini terus mengusik pikiranku setiap waktu. Sama halnya dengan Hyun Joon sendiri, aku pun sama bekunya terhadap laki-laki. Terlalu banyak lelaki yang ingin menarik perhatian demi mendapatkan cintaku, oh, tidak, lebih tepatnya untuk mendapatkan perhatian Ayah.. Apalagi? Mereka membuatku muak karena haus jabatan. Bukan cinta yang sebenarnya.

"Baiklah, aku akan datang. Mungkin setelah lukisanmu selesai?" Hyun Joon membelai rambut panjangku yang bergelombang sedikit kemerahan.

"Lukisanku?"

"Iya, memang sudah kupersiapkan sejak lama, aku akan memberikan mahar sebuah lukisan, tentu bukan lukisan biasa. Sesuai keinginanmu, Gadisku."

Aku hampir tak mempercayainya, seniman ini benar-benar romantis. Seketika aku mengingat masa awal kami menjalin hubungan.

"Boleh aku request sebuah lukisan?" Aku menggelayut manja saat itu.

Hyun Joon mengangguk, "Katakan saja."

"Persiapkan lukisan wajahku, Hyun. Aku ingin mahar dari hasil karya tanganmu sendiri. Tidak ingin yang lain." Aku mengatakannya dengan binar mata bahagia, aku yakin, Hyun Joon akan melakukannya untukku. Yang paling membuatku begitu sangat dicintai, Hyun Joon memelukku erat, "Aku janji, Aira. Aku janji akan membuatnya untukmu."

Ah, mataku basah karenanya. Terharu. Mengapa aku bisa lupa? Dan Hyun Joon masih mengingat semuanya.

"Datanglah, buat ayahku percaya padamu."

Hyun Joon mengangguk mantap, "Tunggu aku."

"Ah, bikin baper aja, nih orang bedua!" Hendro kembali mengundang gelak tawa orang-orang yang mendengarnya.

Wajahku memerah menahan malu, tapi Hyun Joon terlihat santai seperti biasa. Setelah ini aku akan segera pulang, mungkin Ayah sudah menunggu.

Baru saja aku mau pamit, ponselku berdering. Ternyata Ayah yang menelepon.

"Lagi di mana?" Suara berat Ayah terdengar menahan emosi. Tidak ada sapaan ataupun salam seperti biasa. Aku melirik ke arah Hyun Joon sebentar, kemudian mengisyaratkan padanya aku ingin sedikit menjauh. Laki-laki itu mengangguk.

"Lagi ... sama teman. Ada apa, Yah?" tanyaku pelan, setelah menjauh dari Hyun Joon dan teman-temannya.

Aku bisa mendengar Ayah menghela napas panjang. "Calon suamimu sudah lama menunggu, 'kan sudah Ayah bilang, jangan pergi kemana-mana. Dasar bandel kamu!"

"Siapa?" Aku tak menghiraukan nada emosi Ayah di seberang sana. Pikiranku terus menerka siapa laki-laki sialan itu.

"Dewa, anaknya Pak Nugroho sahabat lama Ayah," jelas Ayah, dan memerintah dengan suara yang tertahan, "cepat pulang!"

Belum sempat aku kembali berucap Ayah sudah memutuskan telepon.

Ugh!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 22

    Pagi-pagi sekali aku dan Dewa bermaksud untuk mencari kontrakan lagi. Aku pikir, menyewa rumah itu mudah, ternyata cukup sulit. Tak semudah yang dibayangkan. Aku jadk tahu bagaimana perasaan mereka yang masih belum memiliki hunian, dan harus terus berpindah-pindah tempat tinggal.Kami memasuki sebuah perkampungan yang tak jauh dari pasar tradisional. Aku berpikir, betapa menyenangkannya bila aku berbelanja di pasar itu, mengubah pola hidup yang tadinya senang belanja ke supermarket, berpindah ke pasar tradisional.“Semoga kali ini kita berhasil,” kataku pada Dewa, Dewa hanya bergumam sebagai respon.Motor kami memasuki gang-gang perkampungan. Mataku terus melihat kanan-kiri melihat barangkali ada rumah kosong yang bertuliskan 'dikontrakkan'.“Coba ke sini.” Aku menunjukk ke sebuah gang yang cukup lebar. Dewa tak banyak bicara seperti biasa. Dan aku senang dengan sikapnya kali ini.Dewa membelokkan

  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 21

    “Tak masalah. Pastikan ia baik-baik saja. Aku pikir ia memang sengaja menjebakmu untuk kenikmatan dirinya sendiri.”“Mungkin lo bener, Ra. Tapi gua nggak berpikir begitu. Tiara adalah anak orang nggak mampu. Sejak kecil ia tinggal di panti asuhan. Seandainya ia norak, matre, ya memang karena hidupnya begitu, serba kekurangan. Beda kayak lo yang memang terlahir dari keluarga berada. Bedanya, lo belum ngerasain yang namanya hidup melarat. Gua sendiri, pernah diposisi Tiara di masa kecil gua. Hidup serba kekurangan.” Dewa memasukkan kedua tangannya ke saku celana.Aku merasa tertohok. Kata-kata Dewa benar adanya. Mungkin aku tidak pernah merasakan kekurangan seperti itu. Tapi bukan itu maksudku, aku hanya tak ingin Dewa dimanfaatkan oleh Tiara.Aku tak menimpalinya lagi, tanganku mulai memerik beberapa tangkai mawar merah. Kucium wangi bunga itu, sambil memejamkan mata. Aku teringat banyak kata mutiara yang sering kudengar, bahwa seorang wan

  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 20

    Aku mengerutkan dahi. Duduk di samping Ayah. Pikiranku mulai ke mana-mana, apa mungkin Dewa menceritakan keributan kecil beberapa jam lalu? Tapi rasanya tak mungkin.“Aira, apa benar kamu mau tinggal di rumah kontrakan di perkampungan?” tanya Ayah dengan suara beratnya.Syukurlah, bukan soal Dewa yang ia bicarakan.“Benar, Yah. Aku ingin hidup mandiri. Lagipula, tak ada salahnya kan tinggal di rumah sewaan?”Ayah terkekeh. “Ya, jelas tidak salah. Tapi lucu. Nak Dewa itu kan sudah punya rumah sendiri. Besar, mewah, kok kamu malah milih rumah di perkampungan? Memangnya tidak senang diboyong ke sana?” Ayah mencari manik mataku, ia seperti mencari jawaban di sana. Aku menggigit bibir.“Aku ... aku hanya ingin suasana baru saja, Yah. Berbaur dengan masyarakat. Sepertinya akan lebih menyenangkan dibanding harus tinggal di kompleks, di balik tembok tinggi di dalam rumah mewah yang serba ada.”

  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 19

    Sudah pukul sepuluh lewat sepuluh menit, Dewa belum juga pulang. Sedangkan ia sudah berjanji hanya menemani Tiara sebentar. Huh!Aku sudah mulai bosan menunggu. Dua jam lalu aku sudah mandi dan sarapan. Menonton acara Televisi sendirian membuatku kembali menguap. Tidak ada pilihan lain selain tidur. Melanjutkan perjalanan ke alam mimpi. Kurebahkan tubuh di atas sofa dan memejamkan mata. Berharap saat terjaga nanti Dewa sudah di rumah.Sialnya, aku sama sekali tidak bisa tidur!Aku mengecek ponsel, tidak ada pesan apa pun dari Dewa. Seketika aku 'iseng' melihat nomor kontak Hyun, rindu untuk mengiriminya pesan. Tapi aku takut Dewa berpikir buruk jika mengetahui aku mencoba kembali menjalin komunikasi. Memangnya apa salah kalau aku hanya bertanya kabar?“Hai, apa kabar?” tanyaku melaui pesan singkat. Terkirim. Dadaku berdebar menunggu jawaban.Tidak ada balasan dalam beberapa menit, hingga lebih dari lima belas menit aku menunggu ponselku

  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 18

    Dewa meninggalkanku untuk menemui Tiara. Aku memandang Televisi yang menampilkan acara lawak. Tapi kali ini aku sama sekali tidak merasa terhibur. Pandanganku lekat pada layar Televisi, namun pikiranku terus tertuju pada pertemuan Dewa dan Tiara.Rupanya cukup lama Dewa menemui wanita hamil itu, aku sudah menunggu selama tiga puluh menit. Dudukku sudah mulai gelisah, apa yang mereka bicarakan?“Ra, kita nginep di sini dulu ya, malam ini.” Tiba-tiba Dewa muncul dan mengatakan itu.Aku bergeming. Menginap? Bisa-bisa aku tak bisa tidur dengan nyenyak kalau menginap di sini.“Gimana? Besok sore sepulang dari cari kontrakan pulang deh ke rumahmu.”“Rumah orangtuaku, oke?” ralatku cepat, dan Dewa terkikik mendengarnya.Dewa menghempaskan badan di sofa, sangat dekat denganku. Ia melihat ke arahku dengan tatapan ... entah, aku malas beradu pandang dengannya.“Ra, b

  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 17

    Aku pikir, kami akan pulang ke rumah, tapi ternyata ia mengajakku ke rumahnya di kompleks Tubagus.Satpam rumahnya cekatan membuka gerbang mempersilakan motor kami masuk, kemudia gerbang tertutup kembali. Aku segera turun, melepas helm dengan kasar.“Jangan harap aku mau bonceng kamu lagi, kalau kamu ngebut.” Aku membenahi rambutku yang sudah awut-awutan. Dewa sudah mirip ketua geng motor saat di jalanan. Bukannya sadar diri Dewa malah tersenyum geli.“Cewek segalak lo takut ngebut? Baru tau gua,” ledek Dewa menyebalkan. Ia memasukkan kunci motor di saku jaket. Lalu melenggang masuk ke rumahnya meninggalkanku.“Kenapa harus ke sini?” Aku menggumam sendiri, melangkah cepat menyusul Dewa.Untuk pertama kalinya aku ke sini. Menginjakkan kaki di rumah suamiku. Suami? Ah, rasanya masih terasa aneh menyebutnya sebagai suami dan aku istrinya. Pernikahan ini seperti lelucon atau drama yang dibuat-buat.Rumah mewah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status