"Bangsat!" pekik Raditya mendapati mobil kesayangan bercat putih sudah tidak suci lagi.
Coretan tak beraturan kehitaman menghiasi setiap sudut mobil yang sudah menemaninya sejak masa koas hingga sekarang. Rasanya tekanan darah residen tampan itu mendadak naik, apalagi saat menyentuh body mobil berharap noda hitam bisa hilang tapi nyatanya tidak. Semprotan bagai tinta cumi-cumi masih di sana, seolah mengolok Raditya bahwa mereka tak akan pergi apa pun yang terjadi.
Saat ini, mana mungkin dia pulang dengan keadaan si putih seperti itu? Yang ada, mereka akan menjadi atensi selama di jalan walau sang pemilik bisa saja bersikap tak acuh karena bersembunyi di balik kaca mobil. Sayangnya, jiwa perfeksionis Raditya meronta-ronta, gemas ingin mencuil satu persatu cat dengan kuku jari. Alhasil, dia menelepon Julia berharap kalau kekasihnya tak jauh dari lokasi rumah sakit.
Selagi menunggu suara lembut menyambutnya, Raditya berpikir keras siapa pelaku yang sudah mencoreng-coreng seenak dengkul pada tubuh si putih. Kepalanya sudah meletup-letup ingin meledak, memikirkan kemungkinan-kemungkinan besar orang-orang yang berani padanya. Selama di sini, dia merasa tidak memiliki musuh bebuyutan baik itu senior atau pun junior. Alih-alih menjadi residen yang patut dihujat, justru Raditya disanjung sebagai residen cakap dan tanggap selain penampilan good looking yang membuat kaum hawa terlena.
Otaknya yang sibuk menyusun barisan nama mendadak terhenti membuat tubuh tinggi tegap yang mondar-mandir itu terkesiap.
"Hei, Sayang, ada apa?" Suara Julia terdengar semerdu suara Mahalini--penyanyi cantik yang menjalin asmara dengan anak komedian terkenal.
Namun, semerdu apa pun jenis suara yang menyapa telinga Raditya, tak akan mampu mendinginkan emosi yang sudah menguasai diri lelaki jangkung itu.
Wajah tampan sang residen memerah bukan main seperti lobster rebus, pandangannya berkilat lantas berkata,"Di mana?"
"Aku di lampu merah jalan Margorejo nih! Kenapa?"
Ah, masih belum jauh, pikir Raditya.
"Boleh minta tolong kamu puter balik? Aku masih di parkiran, mobilku rusak."
"Ya ampun, oke deh. Untung aku belum jauh, tungguin aku ya, Sayang."
Sambungan telepon terputus, gantian jempolnya mencari-cari nomor kontak gadis malapetaka yang sudah menuangkan bensin ke dalam api hingga mampu membakar emosi jiwa. Entah apa yang dilakukannya sampai Valentina tidak punya hati berbuat hal gila ini. Selain itu, panggilan yang ditujukan kepada sang istri laknat tak kunjung dijawab, Raditya yakin saat ini pasti Valentina sedang menghindarinya.
"Awas aja curut," geram Raditya.
###
"Ah ... lega ..." teriak Valentina saat berada di kantin kampus, meneguk segelas es cincau yang bisa menaikkan mood setelah semalam dan pagi ini mentalnya dihajar habis-habisan.
Dia dan Okin baru selesai menghadap dosen pembimbing untuk revisi tugas kelompok dalam seminar besar beberapa hari lalu. Mereka sempat diomeli sang pembimbing akibat Okin lupa tidak merevisi pathway penyakit Infark Miokard Akut sesuai yang diinginkan dosen. Alhasil, keempat telinga ners tersebut terpaksa menerima ocehan pagi hari.
“Besok masuk siang, bisa bangkong sambil peluk ayang
Cha Eun Woo,” lanjut Valentina bahagia.(Bangkong = bangun telat)
"Hilih, Korea terus pikiranmu, Tin, Tin ..." ledek Okin sewot seraya menyendok nasi campur. "Lanang kok gawe gincu, putih-putih koyok direndem Bayclin mirip bencong!"
(Laki-laki kok pakai lipstik, putih-putih kayak direndam Bayclin mirip bencong!)
"Lambemu!" sungut Valentina tak terima. "Awakmu dewe seneng JKT48 ae!"
(Mulutmu!)
(Kamu sendiri suka JKT48 aja!)
Lelaki tambun itu hanya meringis hendak menyuapi temannya dengan nasi campur agar tidak marah. Valentina melirik sinis lalu melihat notifikasi pesan masuk ke dalam ponsel yang diletakkan di depanya. Bibir Valentina naik sebelah sambil menggumam lelaki yang sudah membuat hatinya panas. Kalau saja dia tidak berlagak sombong seolah tak membutuhkan perawat, mungkin tangan Valentina tak perlu capek-capek menari-nari meninggalkan mahakarya di mobil kesayangan Raditya.
"Hei!" suara sedikit melengking membuat dua kepala mahasiswa itu berputar ke belakang.
Okin melambaikan tangan kanan sementara Valentina buru-buru mematikan ponselnya karena Raditya mendadak menelepon lagi. Lantas, menyunggingkan senyum semanis madu kepada kekasih baik hati bak dewa cinta kepada Brian. Lelaki itu menaruh sebentar tas dan dua buku tebal bertuliskan 'Diagnosa keperawatan' dan 'Buku Medikal Bedah' lalu berpamitan untuk beli minum.
"Minggu depan, kita oper ke ICU Anestesi kan?" tanya Okin memastikan.
"Iya, di sana lebih enak daripada UGD. CI-nya juga sabar, apalagi denger-denger ujiannya cuma ngitung JVP sama CVP doang."
"Lebih enak stase Jiwa tahu, ada hiburan--"
Belum sempat si teman laknat menyelesaikan kalimat, Valentina memberikan cubitan maut di lengan kiri Okin. "Mereka itu sakit jangan dijadikan hiburan. Empati dikit kek jadi orang."
"Nye nye nye ... gayamu!"
"Lambemu!"
Perseteruan dua anak itu terhenti kala Brian datang dengan membawa segelas es teh dan semangkuk bakso yang masih mengepul panas. Kemudian, dia duduk berhadapan dengan si gadis manis dan berkata, "Gimana shift kemaren? Kamu enggak makan?"
"Nanti aja deh," jawab Valentina. "Stase ini paling kubenci lah!" Dia bersedekap sambil menggelengkan kepala tiap wajah Raditya terlintas di benaknya. Hanya seberkas wajah itu saja, setiap pembuluh darahnya mendidih ingin menjambak rambut tebal sang suami jahanam sampai rontok, tak peduli kalau lelaki berusia 30-an itu botak dini. "Kamu sendiri?"
"Lancar. Besok aku mau seminar besar, tadi penyuluhan ke keluarga pasien mungkin minggu depan mau ujian stase."
"Enak kali jadi kelompokmu, Brian," sahut Okin. "Aku sama Valentina apes terus."
"Eh, masih mending sama aku daripada kamu sama yang lain. Kelompokku masih mengizinkan kamu jadi tukang fotokopi
dan tukang print, yang lain? Jangan harap, mereka bakal ngadu ke dosen sama CI."Okin mengedipkan mata cepat lalu menopang dagunya dengan tangan kanan dan merangkul pundak rekannya. "Awakmu kok ngerti aku banget sih, Tin. Jadi sayang deh."
"Heh!" Brian melotot yang disusul tawa Okin yang membahana.
###
Mesin motor Brian terhenti di depan pagar rumah yang disebut sebagai rumah sepupu Valentina. Kekasihnya turun seraya melepas helm dan mendapati sebuah mobil Jazz merah menyala tengah terparkir di sana. Valentina mengernyit, bertanya-tanya dalam hati siapa pemilik mobil itu. Mendadak, perasaannya tak enak, sisi lain dirinya mencegah kaki Valentina untuk tidak masuk ke dalam rumah.
"Aku pulang ya," pamit Brian membuyarkan lamunan Valentina. "Nanti aku telepon." Lelaki manis itu merapikan rambut berantakan Valentina.
Hanya anggukan yang bisa dilempar oleh gadis berambut sebahu itu, memandang kepergian Brian sampai benar-benar hilang. Selanjutnya, dia bergegas masuk sambil mengelus dadanya yang makin lama makin berdegung kencang seolah akan ada hal yang buruk terjadi.
Dia sibuk menyapu pikiran-pikiran negatif yang mampir ke dalam kepala tentang si pemilik mobil merah. Valentina melihat sepasang sepatu kets hitam di rak dekat pintu. Dia menelengkan kepala, mengangkat tinggi sepatu berukuran empat puluh yang jelas-jelas bukan sepatu milik Raditya. Walau dirinya benci setengah mampus kepada dokter iblis itu, Valentina hafal barang-barang yang ada di kediaman ini. Jadi, mana mungkin kalau suami jahanamnya memakai sepatu perempuan?
Tuk menepis rasa penasaran dan mengabaikan jeritan hati, Valentina nekat masuk ke dalam rumah dan dia terpaku seketika itu juga kala menangkap sosok imitasi Donita tengah duduk bersandar di dada Raditya sambil membaca buku kegawatdaruratan. Bak pasutri yang menikmati indahnya pernikahan, mereka tidak menyadari kalau sang istri sah telah datang. Buru-buru Valentina menutup sebagian wajahnya dengan jaket sambil melepas sebelah sepatu dan melempar ke arah pasangan kekasih tak tahu tempat itu.
"Aduh!" Julia mengaduh saat sepatu pantofel hitam Valentina mengenai wajahnya. "Hei!"
Seperti kesetanan, Valentina langsung lari terbirit-birit meninggalkan dua sejoli yang mengumpatinya. Dia tidak peduli mendengar Raditya berteriak memanggilnya 'Tina gila' dan menyuruhnya balik. Beruntung dengan segelas es cincau yang super manis tadi, tenaganya cukup kuat untuk kabur agak jauh dari rumah. Entah apa yang merasuki Raditya membawa Julia ke rumah seakan tak gentar kalau mertua atau ibunya datang ke rumah.
Valentina berhenti di depan masjid dengan napas terengah-engah di bawah terik matahari kota Pahlawan yang panasnya luar biasa. Hanya berlarian sebentar saja, biji-biji keringat muncul membasahi kening. Dia mendudukkan diri di teras masjid yang lantainya dingin seraya meluruskan kaki dan membuka tas ransel untuk mencari botol minum.
Tak berapa lama ponselnya berdering. Seperti yang sudah diduga, nama si Mata Empat muncul di layar persegi panjang itu. Valentina menggeser ikon hijau dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya sibuk memegang botol minum.
"Pulang!"
"Idih ... malu ya habis ketahuan berduaan?"
"Aku tahu kamu yang mencoret mobilku, Tina!"
"Nye nye nye ... iki tihi kimi mincirit mibilki, Tini, pret!"
Valentina memutus sepihak sambungan telepon itu sambil tertawa terbahak-bahak sampai terbatuk. Puas sekali rasanya sudah memberi pelajaran setimpal meski kadang dia berpikir kalau Valentina cukup kelewatan. Beberapa menit setelah merasa bahagia, alam bawah sadarnya memaki kalau mencoret mobil Raditya memang tindakan bodoh apalagi dalam masa mahasiswa di lingkungan kampus yang berdekatan dengan rumah sakit.
Seperti ditampar kenyataan, dia terdiam seketika kala bayang-bayang hukuman dosen dan juga si penyihir kini menari-nari di benaknya. Raditya--sang residen dambaan semua orang bisa saja kan mengadu bak anak kecil yang baru saja kehilangan permennya? Bisa saja dia juga menambah bumbu-bumbu atas apa yang sudah dilakukan Valentina terlebih gadis itu menimpuk Julia dengan sepatu. Bahu Valentina serasa merosot, memutar otak untuk mencari cara agar Raditya tidak berulah.
Mampus!
***
JVP : Jugularis Vena Pressure / tekanan vena jugularis. Vena ini berada di leher.
CVP :Central Vena Pressure / tekanan vena pusat. Vena ini berada di vena cava jantung.
Aroma telur bercampur daun bawang masih melambai-lambai di depan hidung setengah mancung milik Valentina. Dia menjunjung tinggi bungkusan berisi martabak spesial daging sapi berharap suami jahanamnya mau mengampuni kelakuan Valentina. Dia melongok sebentar ke arah pintu rumah bercat hitam sebelum menggeser pagar. Beruntung mobil milik perempuan imitasi Donita itu sudah tidak ada, berganti dengan motor matic Valentina yang masih teronggok tak berdaya dengan ban sepeda yang bocor.Derit pagar berbunyi, Valentina berjalan sambil berjinjit akibat sepatu kanannya tadi siang dilempar ke arah kekasih Raditya, menyisakan kaus kaki putih yang sudah tidak suci lagi. Setelah melepas sebelah pantofel dan kaus kaki, dia membuka pintu dan mendapati Raditya tengah duduk di ruang tamu seraya melipat tangan di dada seakan tahu kalau gadis itu akan pulang selepas maghrib.&nb
Harap-harap cemas, Valentina sembunyi-sembunyi membuka ponsel untuk mengintip apakah ada notifikasi dari si mata empat. Sayangnya, sampai matahari merangkak ke ubun-ubun pun tidak ada tanda-tanda Raditya mengomentari masakannya atau catatan kecil yang ditinggalkan di atas meja.Di sisi lain, dia sudah mengeluarkan semua tenaga, pikiran, dan hati untuk menulis sebuah surat yang bahkan belum tentu dikirim ke pacarnya sendiri, Brian. Valentina terpaksa memberi diskon besar-besaran atas harga dirinya kepada Raditya supaya lelaki itu memaafkan insiden coretan mobil."Dek mahasiswa!" teriak seseorang. "Mana siswa nersnya!"Tergopoh-gopoh, Valentina keluar dari kamar mandi dekat dengan salah satu bed pasien. Dia langsung mendekati seora
"Oke, jadi, itu pasien yang pojok dekat kamar mandi atas nama Pak siapa ya ..." Valentina membuka buku catatannya saat berdiri di depan ruang P2 untuk operan jaga. "Pak Herman dengan diagnosaclosefracturcosta3-5sinistrasamaclosefractur1/3humerussinistra. Tinggal tunggu kamar operasi, tadi dokter Raditya sudah konsul ke bagian Orthopedi.""Wajahmu kenapa, Tin?" tanya Okin yang menangkap gelagat ekspresi wajah temannya. "Dimarahikah sama si penyihir? atau diomeli sama kepala UGD?"Valentina menggeleng pelan tak berani membalas tatapan selidik Okin. "Enggak apa-apa. Oh iya, pasien yang dekat pintu ini, Ibu Sulastri kan diare, tadi sempat en
Antara ragu, malu, bercampur baper. Valentina merangkul erat pinggang ramping Raditya untuk pertama kali. Tubuhnya mengikuti motor matic yang dikendarai Raditya cukup cepat, meliuk-liuk melewati kendaraan yang memadati jalanan. Tapi, semua itu tak berarti kala jemarinya yang gemetaran merasakan pahatan perut suaminya sendiri. Jujur saja, pikiran kotor memenuhi otak gadis berusia 23 tahun tersebut. Entah malaikat akan mencatatnya sebagai pahala atau dosa, kala Valentina membayangkan bisa menjelajahi tubuh berotot Raditya.Sejak menikah, Raditya memang tidak seperti lelaki lain yang mengumbar perut sixpack di rumah. Bahkan saat keluar kamar mandi pun, suaminya langsung memakai kaus tipis. Hal ini mengingatkan kejadian viral di akun Tik tok kalau ada perempuan yang menikahi lelaki abal-abal.
"Sayang... " teriak Julia melihat ganggang pel tergeletak di lantai beserta semprotan air pel yang terlihat mulai mengering. "Radit! Ini siapa sih yang ngepel?" Dia berjinjit, bertumpu pada jempol kaki bercat merah menyala nan berkilau menghindari sesuatu yang bisa membuatnya terjatuh.Lantas, gadis berambut panjang yang dicat cokelat agar tampak mirip model papan atas itu duduk di atas sofa. Tak berapa lama, Raditya keluar dari kamar memakai kaus putih dan celana joging hitam seraya mengacak rambut setengah kering, tercengang dengan kedatangan Julia yang terkesan mendadak terutama ganggang pel yang teronggok di sana. Masalahnya, apakah dia bertemu Valentina? Lalu ke mana gadis pendek itu pergi?Mau tak mau, Raditya memungut ganggang pel dan membersihkan lantai sampai kaki Julia terangkat b
"Makasih, Pak," ucap Valentina setelah turun dari jok motor ojek online.Kaki yang terbungkus sepatu pantofel hitam itu menuju ICU Anestesi sambil memegangi pinggang seperti orang jompo. Valentina menjadi atensi di sepanjang lorong rumah sakit melewati orang-orang yang lalu lalang termasuk petugas medis yang mendorong kursi roda. Dari wajah mereka tersirat sebuah tanda tanya besar apalagi wajah penuh rintihan itu tampak jelas.Dia menggerutu kesal akibat insiden nahas kemarin ditambah Raditya menambah deret penderitaan. Selain tidak mau mengantar, motor kesayangannya kini dipakai Raditya karena mobil lelaki itu belum selesai di cat. Suaminya mengatakan kalau butuh sekitar seminggu sampai sepuluh hari untuk membuat si putih benar-benar putih seperti sedia kala. Ingin rasanya Valentina menaiki mobil yang
"Untuk kasus keempat, pasien atas nama Nona A usia 22 tahun dengan cedera kepala sedang,close fraktur femur dextra, danmultiple close fraktur costaesertahematotorakstelah dilakukan pemasangan WSD," terang Raditya menjelaskan kasus yang didapat selama jaga malam.Seakan mendapat serangan fajar, sejak naik jaga sampai pukul tujuh tadi pagi, dia tidak punya waktu walau sekadar menaruh pantat di kursi. Ditambah ada pasien kejang yang dicurigai sakit meningitis namun terlambat dibawa ke fasilitas kesehatan sampai mengalami penurunan kesadaran. Selain itu, ada pasien kecelakaan motor yang justru kendaraan roda dua miliknya dibawa kabur oleh si penolong. Sungguh semalam adalah faseroller coasteryang pastinya akan selalu terjadi di UGD rumah sakit mana pun."Mbak, tadi keluarganya mana? Saya mau jelasin masalah hasil foto dan pemeriksaan," tanya Raditya.
"Hei, akhirnya ketemu juga," sapa Brian yang kebetulan mengantar pasien ke ruang ICU Anestesi karena butuh penanganan khusus."Hei," sapa Valentina balik dengan canggung.Kenapa aku bisa lupa kalau punya pacar?"Apa kabar? Kamu sibuk banget ya sampai WA-ku enggak dibalas?" sindir Brian dengan senyum nanar."Ng ... sebenarnya aku ...""Ada apa sih sama kamu, Tin?" sembur Brian seakan tak sabar dengan perubahan sikap kekasihnya yang dinilai sudah terlalu menjauh. "Aku merasa status kita cuma tinggal nama doang deh.""Kamu baper banget sih, Brian," ketus Valentina mulai terpancing e