Share

Bab 5

Jarum jam rasanya bergerak begitu lamat saat pasien di UGD terus berdatangan tanpa henti. Ibarat sarang madu mengundang banyak lebah tuk menikmati manisnya, sementara di ruang gawat darurat mereka mencari pertolongan untuk mempertahankan nyawa melalui tangan-tangan yang dipercaya oleh Sang Pencipta. Termasuk Valentina yang tak sempat duduk barang sedetik saja untuk meluruskan otot betis yang mulai kaku. Walau mesin pendingin menyejukkan ruang P2 sebagai tempat tugasnya, bulir keringat sebesar biji jagung enggan pergi dari kening gadis itu. 

Rekannya,  Okin juga tidak bisa diam. Justru perawat magang laki-laki sepertinya lebih banyak disuruh oleh senior perawat ketimbang perempuan.  Bolak-balik,  Okin mendorong brankar-brankar berisi pasien untuk dilakukan pemeriksaan di radiologi. Sekarang lihat saja,  lelaki bertubuh jumbo itu tengah memindahkan pasien laki-laki lanjut usia yang tidak sadarkan diri ke salah satu bed

Buru-buru Valentina menghampiri Okin usai menyerahkan selembar kertas panjang bertuliskan sandi rumput dari mesin elektro kardiogram--mesin rekam jantung--ke dokter yang menangani pasien perempuan.  Berbarengan Raditya muncul dan langsung memeriksa pasien itu secara cermat, di depannya ada dua perawat.  Satu memeriksa tekanan darah, satunya sibuk menyiapkan selang oksigen yang kemudian disambungkan ke lubang hidung pasien.

"Sebelumnya pasien mengeluh apa?" tanya Raditya memeriksa pupil pasien dengan pen light. "Obat apa yang dia kosumsi sebelum pingsan?"

Pupil pasien masih bereaksi normal, dilanjut memeriksa area leher.  Tidak ada bendungan pembuluh vena jugularis mau pun kelenjar getah bening.  Raditya menepis anggapan adanya hipertensi paru, gagal jantung kanan, sampai tamponade jantung. Tapi, tidak menutup kemungkinan ada sesuatu yang terjadi di jantung atau sistem saraf.  Dia kembali memeriksa area dada tuk mendengarkan suara napas maupun detak jantung dengan stetoskop, tidak ada kelainan apa pun juga begitu pula perut sampai kaki.  Semua tampak normal.

"Pasien mengeluh lemas dan jantung berdebar sekitar dua jam sebelum pingsan," jawab perawat berambut pendek. "Tekanan daerah 120/80, nadi sedikit meningkat 110 kali per menit.  Apa mengarah ke aritmia,  Dok? Tapi,  tensinya normal."

"Cek EKG!" perintah Raditya.

Tanpa berpikir panjang,  Valentina dibantu Okin menyiapkan EKG.  Sementara perawat lain mengambil sampel darah.  Beberapa kali Valentina mencuri-curi pandang ke arah Raditya yang begitu serius,  baru kali ini dia berhadapan langsung dengan sang residen saat menangani pasien. Sungguh aura lelaki itu berbanding terbalik dan beberapa menit,  Valentina dibuat kagum. 

"Tin!" seru Okin membuyarkan lamunan si perawat magang.  "Gel!"

"Oh,  i-iya." Valentina gelagapan dan memberikan gel biru, Okin menempelkan elektroda ke area dada kiri. Valentina menempelkan elektroda lain ke kaki dan tangan dalam diam.

Raditya melirik sekilas dengan sinis namun pandangan matanya seketika melembut saat seorang perempuan memanggilnya. 

"Kenapa?" tanya perempuan tinggi dengan tahi lalat tipis di bawah hidung.  Dia sempat mengira kalau perempuan kurus itu Donita. 

"Sinkop dua jam lalu,  enggak ada kelainan apa pun, tapi perawat curiga aritmia--"

"Tensi?" sela Julia.

"Normal."

"Bukan aritmia dong kalau begitu," tandas Julia. "Dek,  hasil EKG-nya gimana?"

Valentina baru selesai mencetak rekam jantung. Dia hendak membaca sedikit walau otaknya membutuhkan waktu lebih lama untuk mempresentasikan hasilnya. Garis-garis yang tercetak di atas kertas berwarna merah dengab kotak-kotak kecil itu tampak naik turun tak karuan. Valentina mengernyitkan kening cukup lama mengamati garis-garis yang makin membuat kepalanya pening.

"Bisa baca enggak?" sindir Julia tak sabaran,  merebut kertas yang dipegang Valentina.  "Baca gini aja enggak bisa."

Jika ini bukan di rumah sakit, alih-alih ada Bu Fero yang bisa memperkeruh keadaan, Valentina bisa saja melempar sumpah serapah mengolok dokter sok-sokan itu.  Toh tanpa perawat,  mereka bisa apa? Bibirnya ingin julid,  jauh sebelum menjadi residen, mereka hanyalah sekelompok mahasiswa yang tidak bisa memasang infus, mengambil darah,  bahkan memasang selang urin. Mereka hanyalah mahasiswa yang tidak tahu apa-apa dan mengekori mahasiswa perawat layaknya anak bebek. Lantas kenapa mereka sok tidak butuh perawat?

Fyuh!

"Sabar." Okin membisiki Valentina yang dibalas tatapan nyalang. 

"Ada ST elevasi coved di perikardial kanan," kata Julia. "Padahal jelas loh,  masa enggak bisa baca." Dia kembali menyindir Valentina secara terang-terangan. 

Raditya menahan tawa, lantas ikut membaca hasil rekam jantung pasien. "Sebelumnya pasien ada riwayat jantung?"

Tidak ada jawaban,  Okin dan Valentina saling sikut.  Gadis itu menggeleng tak tahu sambil menyiratkan kalau dia hanya sekadar datang membantu.  Raditya menangkap gelagat dua ners di depannya yang berbisik-bisik mencari jawaban atas pertanyaan yang dilontarkannya.

"Heh! Kalian anamnesa keluarga apa enggak sih!" gertak Raditya murka.  "Ditanya itu dijawab! Kalian ke sini buat main-main apa cari ilmu!"

Julia melempar senyum mengejek, membuat hati Valentina makin panas. 

"Kalian cuma tindakan ini-itu buat ngisi buku harian tapi enggak tahu maksudnya, lebih baik pulang!" geram Raditya lagi. "Eh,  kamu!" tunjuknya pada Valentina. "Cepat anamnesa keluarganya! Jangan bengong kayak kebo!"

Bangsat! Rutuk Valentina ingin menampar wajah suaminya. 

"Kamu!" tunjuknya kepada Okin. "Saya lihat kamu yang nerima pasien dari P3, kerjaanmu apa kalau enggak anamnesa keluarga? Nulis doang tapi enggak masuk kepala! Mau jadi perawat macam apa kamu!"

"Ba-baik, Dok, ta-tadi... " Oki gemetaran menanggapi kalimat Raditya,  sementara Valentina mengepalkan tangan menahan sabar.

Dilirik jam dinding di atas meja panjang tempat di mana dokter-dokter itu konsul ke DPJP--dokter penanggung jawab pasien.  Waktu masih menunjukkan pukul satu pagi, kurang tujuh jam lagi sebelum waktu praktik mereka selesai.  Valentina benar-benar ingin segera mengakhiri stase gawat darurat. Lebih baik dia bergelut dengan stase jiwa bertemu dengan orang ODGJ tapi tak menyakitkan hatinya. 

"Pasien tidak memiliki riwayat jantung,  tidak merokok,  atau minum alkohol. Pasien merupakan pensiunan TNI yang aktif berolahraga sampai sekarang.  Tapi,  keluarga mengatakan kalau ayah pasien dulu meninggal secara mendadak," jelas Okin. 

"Bagus." Raditya berpaling ke arah Valentina. "Dilihat dari hasil rekam jantung, aku mengira ini Sindrom Brugada, Jul."

"Kok bisa?" tanya Julia mengabaikan dua ners yang masih melongo dan tak berani pergi. "Ah,  ada hipertofi ventrikel kiri, juga ya."

"Ya, gelombang QRS juga menunjukan ventrikel ekstra sistole.  Untuk lebih jelasnya kita perlu echocardiography tapi dari EKG saja sudah kelihatan itu Sindrom Brugada." Raditya berpaling lalu mendekati perawat senior dan berkata, "pasang infus beri cairan salin tetes lambat. Kasih bisoprolol 2,5 mg sehari sekali.  Aku konsulkan dulu ke dokter spesialis jantung buat nyaranin pasang ICD."

"Baik, Dok."

"Hasil laborat suruh salah satu anak magang itu ambil daripada bengong," kata Raditya seraya duduk dan menulis lembar rekam medis dan menelepon dokter spesialis jantung lalu melirik Valentina yang dipanggil oleh perawat. 

###

"Wah! Wah! Setan... " keluh Okin memijat tengkuknya setelah malam panjang menyiksa mereka.  "Aku rasane kudu mati, Tin."

(Aku rasanya ingin mati.)

Mendengar omongan tak bermoral, Valentin melempar bolpoin yang tengah dipegangnya. Okin tak sempat menghindar karena terlalu lelah ditambah harus menulis resume pasien di lembar tugas mereka. Dia duduk di sebelah gadis yang sejak semalam sudah tak mood praktik,  temaram lampu ruang kosong berisi brankar-brankar menambah kesan betapa suramnya kehidupan ners mereka. 

Tak seperti mahasiswa kedokteran yang diberi ruang khusus untuk mengerjakan tugas,  para mahasiswa perawat baik yang junior sampai yang sudah mau khatam seperti Valentina ini selalu mendapat tempat tak layak.  Apalagi di ruangan ini desas-desus hantu buntelan permen yang suka menjahili mahasiswa yang tidur terdengar sampai di telinga. Beruntung selama mengistirahatkan diri di sini,  Valentina tidak mendapat gangguan aneh selain gigit nyamuk. 

"Atiku mangkel karo dokter Radit, sijine dokter Julia," omel Okin menulis hasil ingatan pasien yang dirawatnya semalam. "Mereka itu sombong banget jadi dokter. Belum jadi spesialis aja udah sok-sokan enggak butuh kita."

(Hatiku jengkel sama dokter Radit, satunya dokter Julia)

"Udahlah, enggak usah masukin hati," balas Valentina walau sejujurnya dia jug merasakan hal sama. Hanya saja tenaganya sudah terkuras habis dan mereka hanya mendapatkan satu hari libur yang bukan 'libur'. Rencananya besok dia harus ke kampus untuk konsul terkait laporan kasus ke dosen.

"Eh, tapi mereka berdua pinter sih, kamu paham apa yang mereka omongin?"

"Kamu ngomong lagi, bakal aku pasang OGT itu mulut!" ketus Valentina. "Udahlah,  mumpung dikasih istirahat kamu tidur kek atau nulis laporan kek!"

"Siap Nyonya... "

Beberapa menit setelah mereka berdua saling tenggelam dalam pikiran masing-masing,  Valentina berpaling ke arah temannya yang menulis resume seraya terkantuk-kantuk.  Dia menyikut lengan sebesar paha kambing itu sambil Okin tergagap. 

"A-apa!"

"Aku punya ide buat ngerjain dokter Radit!"

***

Aritmia : gangguan irama jantung di mana detak jantung tidak normal (di atas 100kali per menit)

Hipertensi paru : tekanan darah tinggi yang memengaruhi tekanan arteri di paru-paru dan jantung. 

Tamponade jantung : kondisi terganggunya fungsi jantung akibat adanya tekanan kuat.  Biasanya disebabkan penumpukan cairan dalam kantung yang mengelilingi jantung. 

Hipertrofi ventrikel kiri : pembesaran bilik jantung kiri.

Sindrom Brugada : kelainan genetik ditandai dengan gangguan irama jantung.  Kadang tidak menunjukkan gejala tapi jantung berhenti mendadak. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status