"Apa yang Mama lakukan di sini?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Dayana karena dia merasa begitu terkejut melihat Ruth datang ke kantor. "Apa Mama ingin bertemu dengan Sakha—" Dayana cepat-cepat meralat ucapannya karena dia sekarang sedang berada di kantor. "Maaf, maksud saya pak Sakhala," ucap gadis itu malu-malu. "Tidak, mama ke sini ingin mengajakmu makan siang bersama. Apa kamu sedang sibuk, Day?" Dayana menggeleng pelan. "Tidak, Ma. Kebetulan sekali Dayana juga ingin makan siang. Ayo, Ma, kita makan di sini. Makanan di kantin ini enak-enak, loh." "Padahal mama ingin mengajakmu pergi ke restoran steak langganan mama. Tapi kalau kamu ingin makan di sini nggak papa, deh." Dayana tersenyum. "Baiklah kalau begitu. Mama mau makan apa? Biar Dayana yang pesan." "Samakan saja denganmu, Day. Mama nggak pilih-pilih makanan, kok." "Baiklah, Dayana akan memesan makanan sekarang. Tolong tunggu di meja nomor lima ya, Ma?" Dayana melihat-lihat makanan yang berada di dalam s
Semua orang yang ada di ruangan tersebut menundukkan kepala ketika pemimpin perusahaan memasuki ruangan. Sakhala terlihat sangat tegas dan berwibawa, tatapan kedua matanya pun sangat tajam membuat siapa pun pasti segan ketika melihatnya. "Apa Anda perlu sesuatu, Pak?" tanya Kevin, kepala devisi tempat Dayana bekerja. "Tidak ada, kalian bisa langsung pulang kalau pekerjaan kalian sudah selesai," jawabnya sambil menatap Dayana yang sedang sibuk merapikan mejanya. Gadis itu terlihat terburu-buru seolah-olah sedang menunggu sesuatu. "Astaga!" pekik Dayana sambil mengusap dada karena terkejut melihat Sakhala tiba-tiba muncul di belakangnya. "Anda membuat saya terkejut, Pak." Sakhala tanpa sadar tersenyum melihat ekspresi Dayana saat terkejut. Lucu, pikirnya. Sedetik kemudian dia mengubah raut wajahnya kembali tenang seperti biasa karena banyak karyawan yang melihatnya. "Bapak ada perlu apa? Apa desain meja belajar yang saya buat kemarin masih ada yang kurang?" "Tidak, aku puas sekal
Dayana pun menoleh. Kedua matanya sontak membulat melihat anak perempuan yang berlari kecil menghampirinya. "Ariana?!" Ariana memeluk kedua kaki Dayana dengan erat. "Halo, Kak Day." "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Dayana heran. Dia benar-benar tidak menyangka bisa bertemu dengan adik Sakhala di mall. "Ariana lagi jalan-jalan sama mama. Apa Kak Day juga sedang jalan-jalan?" "Em, tidak." Dayana menggeleng pelan. "Kak Dayana sedang ada pekerjaan di sini," jawabnya terdengar gugup. Dayana terpaksa berbohong agar Ariana tidak mengatakan hal aneh pada Sakhala karena dia sedang pergi bersama Chris. Ariana menatap Chris yang berdiri tepat di samping Dayana dengan lekat karena wajah lelaki itu terlihat asing di matanya. "Om siapa? Apa Om teman Kak Dayana?" "Apa, om?" Chris terenyak mendengar pertanyaan Ariana barusan. Apa wajahnya terlihat seperti om-om? Dayana tidak bisa menahan tawa karena Ariana menganggap Chris om-om. "Bukan Ariana, dia Kak Chris. Teman kak Dayana. Ariana
"Akhirnya pekerjaanku selesai juga." Dayana merenggangkan otot tubuhnya yang terasa kaku lantas melihat jam yang ada di layar ponselnya. Pantas saja perutnya terasa lapar karena sekarang ternyata sudah waktunya makan siang. Dayana pun mematikan layar komputernya lantas beranjak dari tempat duduknya karena dia ingin makan siang di kantin. Dia terpaksa makan siang sendiri lagi karena Salsa tadi izin untuk istirahat lebih awal. Dayana berjalan menuju vending machine yang berada di pojok kanan kantin karena ingin membeli minuman bersoda. Tubuh gadis itu berjingkat karena kaget mendengar suara deham seorang pria. "Ehem!" "Bapak?!" pekiknya karena melihat Sakhala bersandar pada mesin minuman berwarna biru tosca itu. Sakhala melipat kedua tangannya di depan dada. Sepasang mata abu-abu miliknya menatap Dayana dengan lekat. "Bagaimana kencanmu semalam? Apa menyenangkan?" Kening Dayana berkerut dalam. "Maksud, Bapak?" tanya gadis itu tidak mengerti. "Jangan berlagak bodoh, Dayana. Kemari
Tidak ada yang membuka suara selama di mobil. Dayana memilih memperhatikan jalanan lewat kaca mobil yang ada di sampingnya sambil memikirkan Sakhala memberi tahu Chris kalau dia adalah calon istrinya dengan mudah. Apa lelaki itu sudah kehilangan akal? Bagaimana kalau Chris memberi tahu orang lain? Dia pasti akan menjadi bahan gunjingan karyawan lain di kantor. "Kenapa kamu cemberut seperti itu, Dayana?" tanya Sakhala heran karena melihat Dayana berulang kali menghela napas. "Apa kamu sedang memikirkan masalah tadi?" Sakhala kembali bertanya padahal Dayana belum sempat menjawab. Dayana memilih diam karena dia yakin sekali kalau Sakhala pasti sudah tahu jawabannya. "Kamu kan, memang calon istriku dan tidak lama lagi kita akan segera menikah. Apa aku salah kalau memberi tahu, Chris?" tanya Sakhala tanpa merasa bersalah sedikit pun. "Kita memang akan menikah sebentar lagi, Sakha. Tapi kamu seharusnya tidak memberi tahu Chris tentang hubungan kita." Dayana kembali menghela napas panja
"Dayana?!" ucap Dona saat melihat anak kandungnya datang. Raut wanita paruh baya itu seketika berubah masam. Dia tidak suka melihat Dayana. "Ada perlu apa kau datang ke sini?" "Sudah lama kita tidak bertemu, Ma. Bagaimana kabar, Mama?" Napas Dayana tercekat. Suaranya seolah-olah tertahan di tenggorokan. Rasanya Dayana ingin sekali memeluk Dona yang berdiri tepat di depannya sekarang untuk menebus rindu karena dia sudah lama sekali tidak bertemu dengan wanita yang sudah melahirkannya itu. Namun, Dayana terlalu takut untuk melakukannya karena Dona masih kecewa dan tidak menyukai kedatangannya. "Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja. Ada perlu apa kamu datang ke sini? Aku tidak punya banyak waktu untuk meladenimu," ucap Dona tanpa perasaan sambil menatap lelaki yang berdiri tepat di sebelah Dayana dari ujung kaki sampai ujung kepala. Wajah lelaki yang memakai kemeja biru muda itu terlihat asing di matanya. "Ada hal penting yang Dayana katakan sama, Ma. Sepertinya tidak enak kal
Tidak ada yang membuka suara selama di mobil. Sakhala terlihat fokus mengemudikan mobilnya sambil memperhatikan jalanan yang ada di hadapannya. Sementara Dayana hanya diam sambil menatap jalanan yang ada di sampingnya dengan pandangan kosong. Helaan napas panjang pun berulang kali lolos dari bibirnya. Masih tergambar jelas di ingatan Dayana bagaimana reaksi mama dan papanya ketika Sakhala mengutarakan niat untuk menikahinya. Bram dan Dona langsung menolak karena takut pernikahannya kembali gagal padahal Sakhala benar-benar serius ingin mempersunting dirinya. "Sepertinya aku tidak bisa membantumu, Sakha. Maaf ...." "Maksud kamu?" Sakhala mengalihkan pandang dari jalanan yang ada di hadapannya seklias agar bisa menatap Dayana. Dayana menarik napas panjang sebelum bicara. "Sepertinya aku tidak bisa menjadi istrimu karena mama dan papa takut pernikahanku kembali gagal. Sebaiknya kamu cari gadis lain saja yang mau kau jadikan istri, Sakha." "Apa kamu meragukanku, Dayana?" Dayana sonta
Dayana mengempaskan bokong sintalnya di bantal duduk berwarna peach kesukaannya begitu tiba di apartemen. Wajah gadis itu tampak lesu karena memikirkan ucapan Sakhala ketika di dalam mobil tadi. Dayana tidak yakin Sakhala mampu meluluhkan hati kedua orang tuanya. Rasanya dia ingin sekali menyerah dan membatalkan pernikahannya dan Sakhala. "Aku benar-benar pusing! Argh!" Dayana mengacak-acak rambutnya hingga berantakan. Setelah itu dia mengambil satu kaleng minuman berakohol dari dalam lemari es untuk menenangkan sedikit pikirannya. *** Sakhala berjalan menuruni tangga sambil memasang kancing lengan kemejanya. Lelaki berusia dua puluh tujuh tahun itu terlihat tampan dalam balutan kemeja berwarna biru naviy yang dipadu dengan celana bahan berwarna senada. "Selamat pagi, Ma." "Selamat pagi, Bang," balas Ruth sambil meletakkan secangkir kopi di depan Sakhala. Dia hanya membuat satu cangkir kopi karena ayah Sakhala sedang tidak ada di rumah. "Terima kasih, Ma." Ruth mengangguk. Sakh