Pov Alfa
"Kenapa muka kusut gitu?" tanya Andi padaku yang kembali ke kontrakan dengan tak semangat.
"Aku bingung dengan jawaban Riyanti. Sudah kujelaskan kalau Lily sepupuku, tapi responnya biasa aja."
"Memang respon apa yang kamu harapkan, Al?"
"Ya, aku pikir dia cemburu gitulah ternyata enggak. Dia masih nampak marah bukan karena cemburu."
"Kamunya aja kepedean. Btw, dia tahu nggak mobil sport itu milikmu, haah."
"Enggaklah, aku bilang pinjam tiap aku pakai mobil."
"Nah itu...Al, pasti dia marah karena merasa kamu bohongi."
"Apa... Darimana dia tahu, mobil itu punyaku, Ndi?"
"Pikir aja sendiri, katanya pinter."
Andi memukul bahuku sambil berlalu ke kamarnya. Dasar Lily bikin onar aja nih, baru juga mau dekat eh masalah datang.
Riyanti pasti marah kalau tahu aku membohonginya.
'Hufh, gimana caranya menjelaskan padanya.'
Seminggu berlalu, tak ada perubahan sikap Riy
Pov Alfa "Al, sepertinya gadis yang tadi Riyanti." "Mana mungkin, dia libur nggak ngeles kok. Lagian Riyanti kan pakai sepeda, gadis yang tadi pakai motor." "Sepertinya motornya mogok, kalau benar Riyanti gimana?" "Kenapa jadi kamu yang berhalusinasi,Ndi?" "Bukan gitu, Al. Menolong orang kan tidak boleh pilih kasih? Ayolah kita putar balik, Riyanti atau bukan kita tetap harus menolongnya. Tu, bener kan Al. Ada orang yang nggangguin kasihan. Cepat Al" Andi sudah cerewet dari tadi membuat telingaku pedas. Aku ragu kalau gadis tadi Riyanti karena dia tidak mungkin berada dijalan jam segini. Dia sudah ambil cuti part time dan fokus belajar persiapan olimpiade. "Tolong...,tolong" teriak gadis itu beberapa kali. Aku semakin memacu mobil sportku untuk putar balik. Sempat kulihat gadis itu berebut tas dengan seorang laki-laki mungkin penjambret. Segera kuparkir mobil di pinggir jalan dekat p
Pov Riyanti Satu bulan persiapan bimbingan olimpiade berjalan lancar. Hari itu tiba juga, tim olimpiade mewakili universitas sebanyak 15 orang terdiri 10 mahasiswa dan 5 dosen pendamping untuk 5 bidang akan terbang ke Jerman. Negara dengan teknologi maju, tempat presiden BJ Habibie menimba ilmu. Aku dan Galang menjadi wakil untuk bidang Matematika. Aku merasa bersyukur menjadi bagian dari tim, aku bisa menginjakkan kaki di kampus ternama tempat Pak Habibie belajar. Aku tetap harus fokus dengan kompetisi ini meski tak bisa dipungkiri aku masih terngiang ucapan Mas Alfa saat menolongku malam itu. Aku tidak bisa berpikir panjang dengan pernyataannya, yang terlintas dalam otakku hanya keinginan membahagiakan bapak ibuku. Aku berusaha keras gimana caranya bisa meraih impianku hingga tak terpikir olehku memikirkan cinta. "Kenapa dari tadi melamun sih, Ti? Mikirin apaan sih?" "Hmm, mikirin perjuangan kita." "Kita, kamu kali. Aku sudah
Pov RiyantiAkhirnya kami mendarat di Düsseldorf yang sudah terpisah 16 jam jarak perjalanan udara Jakarta-Aachen. Dari bandara kami menuju Stasiun kereta api Aachen Hauptbahnhof untuk naik kereta menuju kota Aachen. Alhamdulillah, setelah perjalanan panjang kami bisa menginjakkan kaki di Jerman. Kami sampai di kota pelajarnya Jerman tepatnya di sebuah kampus ternama RWTH Aachen. Kompetisi yang kami ikuti kali ini bertempat di kampus ternama dimana (Pak Habibie Presiden RI ke 3) pernah menimba ilmu.Jerman mendapat julukan Das Land der Dichter und Denker yang berarti ‘negara penyair dan pemikir‘. Banyak tokoh pemikir dan seniman sastra yang berasal dari Jerman, seperti Albert Einstein dan Goethe.Jerman punya segala macam roti dan sosis yang jenisnya bisa mencapai puluhan. Untuk Makanan Halal, di Jerman juga banyak makanan yang telah berasimilasi dengan kuliner khas Turki yang dibawa oleh pen
POV Riyanti Aku bernafas lega menginjakkan kaki di kota Yogya dengan selamat setelah 16 jam perjalanan. Pun juga bahagia terasa di kalbu ini karena sebuah amplop coklat. Ya, amplop berisi berlembar-lebar yang bisa ditukar dengan barang. Ini merupakan sebuah hadiah besar yang baru pertama kali kudapat. Aku sudah tak sabar ingin memghadirkannya dihadapan bapak, ibu, mbak Ratih juga dik Amar. Namun niat ini hanya sebatas angan-angan dulu karena maaih jet lag. Badan ini lelah dan merindukan bantal guling di kamar kos. Sampai kos, aku teringat coklat oleh-leh dari Aachen. Segera aku minta Amel membuka tas berisi oleh-oleh dan kuminta dia membagikan ke beberapa teman kos. Tak lupa kusisihkan untuk Putri dan teman-teman kuliah. Sementara Amel membereskan coklat, aku memilih merebahkan diri di kasur yang kurindukan. "Maaf ya, Mel merepotkanmu." "Tenang aja, Ti. Kamu itu kayak sama siapa aja. Btw, ini coklat banyak banget
POV RiyantiHari-hari berlalu semakin mengobarkan semangatku untuk segera lulus dan mencari kerja.Pak Alfa masih bersikap baik, namun sudah tidak begitu gencar mendekatiku. Dia hanya memantau dari jauh seperti ucapannya yang akan menungguku.Sebenarnya tak enak hati juga, tapi menurutku ini lebih baik.Aku menyelesaikan skripsi dengan baik dan tinggal sidang saja. Aku selalu berdoa pada Allah semoga datang rejeki pekerjaan yang pantas untukku atau sebuah beasiswa untuk lanjut ke luar negeri. Terlalu tinggi memang, tapi selama bermimpi itu gratis tidak apa-apa bukan. Selalu berprasangka baik sama Allah merupakan hal yang membahagiakan.Selama seminggu ini aku mengurus administrasi untuk sidang skripsi. Di ruang bagian akademik aku melihat ada sosok pegawai baru yang cantik mempesona.Beberapa mahasiswa berbisik-bisik sepertinya sedang membicarakannya."Riyanti.""Eh iya Mbak. Hmm maaf Bu." Aku jadi ngomong belepot
POV AlfaSejak mendengar ucapan Riyanti yang ikut-ikutan menjodohkanku dengan Nana dosen fisika baru, aku mendiamkannya.Marah pastinya, dia tahu aku sedang berusaha mendapatkan hatinya. Kenapa malah menyuruhku menjalin hubungan dengan Nana.Saking marahnya, aku terpaksa mengeluarkan kata-kata yang mungkin menyakitinya. Aku memancing Riyanti apakah sungguh rela jika Nana dan aku jadian. Benar sekali dia memang berkata iya tapi yang kulihat dari sorot matanya menampakkan kesedihan.Aku biarkan saja waktu berjalan semestinya. Biarlah Riyanti tahunya aku benar-benar serius dengan Nana.Aku memang sering bertemu dan ngobrol dengan Nana saat di kampus untuk membuat Riyanti cemburu.Tapi sepertinya itu tidak begitu berpengaruh. Riyanti sibuk mengurusi sidangnya. Aku tidak akan mengganggunya sampai dia lulus.Hari ini sidang Riyanti dan pastinya dia lulus mengingat prestasinya yang tidak diragukan lagi. Niatku memberi ucapan se
POV Riyanti"Hai, Mas Andi apa kabar?""Eh Riyanti, lama ga ketemu ya.""Iya nih, Mas. Aku cuma hari ini aja ngajar di sini karena Niko sekalian ke toko buku sepulang sekolah.""Oh ya, santai saja mumpung bosnya lagi sibuk pulkam.""Maksudnya?" Aku pura-pura mengernyitkan dahi untuk menggali informasi tentang Pak Alfa."Alfa lagi sibuk ngurusin lamaran dan nikahan. Kamu nggak dikasih tau ya?"Aku sontak kaget mendengar berita ini. Ada nyeri di dada mengetahui kenyataan Mas Alfa akan menikah. Pupus sudah harapan yang jauh kupendam. Aku hanya seseorang yang tidak punya keberanian. Beginilah akhirnya, kecewa yang kurasakan."Ti, kenapa murung? Nggak usah sedih, justru kami harusnya senang nggak diganggu sama Alfa bukan?" ucapan Mas Andi menambah kesedihanku. Apa benar aku kelihatan menganggap Mas Alfa sebagai pengganggu.Aku berusaha untuk tidak sedih. Sepucuk kertas putih dalam amplop bunga-bunga sudah kusiap
Pov RiyantiTidak seperti biasanya, keberangkatanku ke Leiden membuat bapak, ibu, mbak Ratih dan Amar yang datang ke Yogya. Mereka mengantarkanku sampai ke bandara.Keluargaku menginap di kos dua malam untuk membantu menyiapkan perlengkaapn yang harus dibawa. Amel dan Putri pun turut membantuku. Sementara Galang suda melesat duluan mengejar impiannya kembali ke kota Aachen. Galang lebih dulu diterima di RWTH dengan beasiswa full dari pemerintah Jerman. Suatu saat aku pasti akan mengunjunginya atau justru Galang duluan yang akan mengunjungi Leiden seperti pesannya kemarin.Di bandara, aku tak bisa menahan air mata yang dengan mudahnya lolos dari netra ini. Hanya dengan melihat wajah-wajah sendu bapak ibu, mbak Ratih dan Amar rasanya diri ini tak ingin jauh dari mereka.Namun Bapak Ibu selalu berpesan menguatkanku,"Dimanapun kamu berada, ingatlah Allah dalam setiap langkahmu."Aku mengangguk patuh dan memberi salam takzim pada m