Nora terdiam, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Hatinya terasa hancur mendengar bahwa ibunya telah melupakannya. Dia terduduk di sofa, mencoba mencerna semua informasi itu.
Sementara Nora masih tercengang, Steve meninggalkan dirinya dan masuk ke dalam kamarnya tanpa berkata lagi. Hatinya terasa kosong dan hampa saat dia dibiarkan sendiri dalam keheningan ruangan.
“Da—dari mana dia tahu kalau ibuku tidak tinggal di rumahnya lagi?” gumam Nora, mencoba memahami bagaimana Steve bisa mengetahui hal itu.
Namun sebelum dia bisa bertanya, Steve sudah lebih dulu memasuki kamarnya, meninggalkan Nora dengan pertanyaan yang menggantung di udara. Dia merasa tersesat dan kehilangan dalam keadaan yang tidak pasti.
Nora berada di tengah ruang tamu, duduk sendiri dengan pikirannya yang kacau. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan ekspresi frustrasi ketika teringat akan sikap misterius Steve, mantan suaminya yang juga calon suaminya.
"Hh! Menyebalkan. Steve masih sama seperti dulu ternyata. Dia tak pernah mau menjelaskan secara jelas, apalagi panjang lebar. Steve masih sama misteriusnya saat tiba-tiba mengajakku menikah," gumam Nora sendiri, merenungkan sikap Steve yang selalu menyimpan segala sesuatu di dalam dirinya.
Dalam hati, dia bertanya-tanya bagaimana dia bisa menjalani pernikahan kedua dengan mantan suaminya sendiri. Dunia terasa sangat ironis bagi Nora, mempertemukan kembali dirinya dengan Steve setelah segala yang telah terjadi di masa lalu.
“Tak pernah menyangka, ternyata jodohku mantan suamiku sendiri.” Nora geleng-geleng kepala dibuatnya.
Nora menghela napas panjang, mencoba mengatur pikirannya yang kacau. "Apakah Tuhan masih memberiku kesempatan untuk menjelaskan semuanya? Kesalahpahaman yang terjadi di dua minggu yang lalu?" bisiknya, berharap untuk bisa membersihkan kekacauan yang terjadi di antara mereka.
Saat Steve keluar dari kamarnya, Nora menaikkan kepalanya, memandang langsung ke arah lelaki itu. Matanya terarah ke arah Steve dengan ekspresi yang mencari pemahaman.
"Apa yang sedang kau lakukan, Nora?" tanya Steve dengan suara datarnya, ekspresinya tetap dingin.
Nora menggeleng pelan, mencoba menyingkirkan kebingungannya. "Aku hanya sedang memikirkan satu hal, Steve," jawabnya dengan suara yang agak gemetar.
"Apa?" tanya Steve, memberikan Nora kesempatan untuk menjelaskan.
Nora menghela napasnya dalam-dalam sebelum menatap lurus ke mata Steve. "Apakah kau ingin mendengarkan penjelasan dariku, mengenai kesalahpahaman yang terjadi di antara kita dua minggu yang lalu?" tanyanya dengan nada yang penuh harapan, berharap agar Steve mau membuka hatinya untuk mendengarkan penjelasannya.
Nora dan Steve berdiri di tengah ruang tamu, wajah mereka terpenuhi dengan ketegangan dan kebingungan. Steve menatap Nora dengan tajam, mencoba memahami apakah penjelasan Nora akan membawa perubahan yang positif pada hubungan mereka.
“Apakah dengan kamu menjelaskan tentang kesalahpahaman itu akan berdampak baik, pada hubungan kita?” tanya Steve dengan suara yang tenang namun penuh tekanan, matanya menatap langsung ke wajah Nora, mencari kepastian.
Nora mengangguk perlahan, merasa sedikit lega bahwa Steve setidaknya membuka diri untuk mendengarkan penjelasannya. “Ya, minimal kau tidak menilai buruk diriku karena aku telah kau beli,” ucap Nora dengan nada yang menyinggung, menunjukkan ketidaknyamanannya atas tindakan Steve yang membelinya.
Steve menghela napas kasar, ekspresinya terlihat kesal. “Aku tidak ingin mendengarnya, Nora. Aku harus menemui klien sekarang juga, dan kau … tetap di sini sampai aku pulang! Jangan ke mana-mana!” tegurnya dengan suara yang tegas, sebelum melangkah keluar dari apartemen menuju pertemuan pentingnya di sebuah hotel.
Nora kembali sendirian, merasa terbuang dan tidak dihargai. Dia tidak ingin menghubungi Sophia, karena ia masih sangat kecewa pada ibunya itu.
“Aku benar-benar tidak ada harganya di mata ibuku. Hanya uang, uang, dan uang yang dia pikirkan. Dulu, aku terpaksa dijodohkan oleh Steve karena Ibu, dan sekarang, aku dibeli oleh Steve, karena Ibu juga,” keluh Nora, merasakan beban yang berat di pundaknya.
Nora memutar bola matanya dalam kesedihan yang mendalam, kemudian menghela napasnya dengan panjang. “Mengapa hidupku menderita begini. Tidak ada kebebasan yang bisa aku rasakan selama aku hidup dalam tiga puluh tahun ini,” ucapnya dengan suara yang penuh dengan kesedihan dan keputusasaan. Dia merasa terjebak dalam lingkaran takdir yang tidak pernah berpihak padanya.
**
Suasana ruangan rapat terasa tegang ketika Steve memasuki ruangan. Salah satu anggota tim menyambutnya dengan ramah, "Selamat datang, Tuan Steve. Kami telah menunggu Anda," ucapnya dengan senyuman.
Namun, senyum dingin terukir di wajah Steve. Dia tidak ingin terlihat terlalu ramah di depan para pemohon yang ingin bekerja sama dengannya di perusahaannya yang kini tengah berkembang pesat.
Dia memperhatikan dengan tajam wajah-wajah di sekitarnya, mencoba mengenali siapa yang mungkin menjadi lawan bicara terdekat.
Mata Steve mengerut saat dia melihat seorang pria yang terlihat dikenalinya dari bar kemarin. 'Ini kan, lelaki yang menawar Nora dengan harga tinggi, sebelum aku menawar dengan tujuh puluh juta dollar?' batinnya sambil mengingat kembali pertemuan semalam.
Steve menghela napas kasar. Rupanya, orang yang membeli Nora kemarin malam bukanlah sembarang orang. Mereka adalah para pengusaha kaya yang hidupnya dipenuhi dengan ambisi dan keinginan yang tidak terbatas.
“Tuan Steve. Kami telah memutuskan untuk memperpanjang kontrak kerja sama kita selama dua tahun ke depan. Kami dengar, Anda tengah mempersiapkan produk terbaru yang akan launching dalam beberapa minggu ini,” jelas salah satu anggota tim, mengalihkan perhatian Steve dari pikirannya yang kacau.
Steve mengangguk, menyimak dengan serius. "Ya, untuk masalah perpanjang kontrak, aku tidak bisa memutuskan dalam waktu dekat, karena harus aku cek satu persatu terlebih dahulu," jawabnya dengan hati-hati, tidak ingin terburu-buru dalam mengambil keputusan.
“Oh, baiklah, Tuan Steve. Kami mengerti,” jawab anggota tim tersebut dengan hormat, meskipun terlihat sedikit kecewa.
Steve kemudian mengambil resume yang diberikan oleh Brandon, memutuskan untuk meneliti lebih lanjut tentang latar belakang calon mitra bisnis mereka.
Dia tahu bahwa keputusan yang diambilnya akan memengaruhi masa depan perusahaannya, dan dia tidak ingin membuat kesalahan.
"Tuan Steve. Apakah benar, kabar tentang yang kami dengar, bahwa Anda akan segera menikah?"
Sinar matahari Yunani yang lembut menyelinap melalui tirai kamar mereka, membangunkan Nora dan Steve dari tidur yang tenang.Mereka berdua bangun dengan senyum di wajah, merasakan kehangatan pagi dan kebahagiaan yang memenuhi hati mereka.Steve, dengan tatapan penuh cinta, menatap Nora yang masih berbaring di tempat tidur. "Selamat pagi, sayang. Bagaimana tidurmu?" tanyanya dengan suara lembut.Nora tersenyum, mengulurkan tangan untuk menyentuh wajah Steve. "Tidurku nyenyak, suamiku. Bangun di tempat yang indah ini bersamamu adalah kebahagiaan tersendiri."Steve mengangkat Nora dari tempat tidur dengan lembut, lalu memimpin menuju kamar mandi. "Bagaimana kalau kita memulai hari ini dengan mandi bersama?" katanya sambil tersenyum nakal.Nora tersipu, tapi tak bisa menolak pesona Steve. Dia mengikuti suaminya, merasa antusias untuk mengawali hari dengan cara yang intim dan penuh cinta.Di bawah pancuran air hangat, mereka berbagi momen keintiman yang penuh kasih. Air mengalir melewati t
Di bawah langit Yunani yang biru cerah, di mana langit bertemu laut dalam nuansa biru yang tak terlukiskan, Nora berdiri di tepi pantai dengan mata berbinar, menikmati setiap detik momen yang berharga ini.Angin laut berbisik lembut, mengibaskan rambutnya yang panjang dan halus. Steve, yang berdiri di sampingnya, memandangnya dengan senyum penuh kasih sayang."Nora," katanya lembut, suaranya membawa nada penuh kehangatan yang hanya bisa muncul dari cinta yang mendalam. "Selamat ulang tahun. Aku ingin kamu tahu betapa berartinya kamu bagiku."Nora menoleh, matanya bertemu dengan tatapan penuh cinta Steve. Dia terdiam sejenak, merasakan kebahagiaan yang menggelora dalam hatinya, seperti ombak yang memecah di pantai."Steve, ini terlalu indah. Aku tak pernah membayangkan bisa berada di sini, di Yunani. Ini seperti mimpi."Steve tersenyum, menarik Nora lebih dekat dalam pelukannya. "Aku ingin memberikanmu segalanya, Nora. Semua yang bisa membuatmu bahagia. Karena itu adalah yang paling pe
“Woah!”Di bawah langit yang memerah saat matahari mulai tenggelam, Nora dan Steve akhirnya tiba di The Wharf Skyline Views.Tempat itu memancarkan keindahan yang memukau, seolah-olah alam dan kemewahan berpadu dalam harmoni yang sempurna.Pemandangan laut yang luas terbentang, dengan perahu-perahu yang tampak kecil dari kejauhan, membingkai pemandangan kota yang gemerlap di malam hari.“Steve … tempat ini indah sekali.”Dekorasi di dalam ruangan privat yang mereka tempati tidak kalah memukau. Lilin-lilin yang berkerlap-kerlip menghiasi setiap sudut, dan bunga-bunga segar yang tertata rapi menambah kehangatan suasana.Aroma bunga yang lembut bercampur dengan udara laut yang segar, menciptakan suasana yang begitu menenangkan.Nora mengagumi keindahan dekorasi tersebut, menyadari bahwa semua ini telah diatur dengan sangat hati-hati.“Kau menyukainya, hm?” tanya Steve dengan tangan melingkar di pinggang Nora.Wanita itu mengangguk antusias. “Ya. Aku sangat menyukainya, Steve!”Brandon, s
Dua hari kemudian, suasana di ruang rapat pimpinan di kantor Steve terasa tegang namun penuh harapan.Para eksekutif dan pemegang saham utama telah berkumpul untuk membahas masa depan EIF Group, perusahaan yang sahamnya terguncang setelah skandal yang melibatkan Jemmy, mantan pemegang saham mayoritas.Steve, duduk di ujung meja dengan Brandon di sisinya, memulai pertemuan dengan nada serius."Kita semua tahu kondisi saham EIF Group saat ini sangat tidak stabil," ujarnya, memandang para pemegang saham yang hadir. "Jemmy telah meninggalkan perusahaan dalam situasi yang sulit, dan para investor menantikan solusi dari kita."Mike, kepala bagian keuangan, mengangguk setuju. "Benar, saham perusahaan terus menurun karena tidak ada yang memegang kendali. Para investor berharap penuh pada Anda, Tuan Steve, untuk mengambil alih dan membawa perusahaan kembali stabil."Steve mengangguk, wajahnya menunjukkan ketegasan. "Saya siap mengambil alih saham tersebut, tapi dengan syarat saya mendapatkan 7
Di sebuah restoran yang penuh dengan nuansa keanggunan dan keindahan, Steve memandang istrinya, Nora, yang sedang melamun sejak tadi.Matanya terfokus pada sesuatu yang jauh, seolah pikirannya berkelana ke tempat yang tak dapat dijangkau oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri.Steve, yang selalu peka terhadap perasaan Nora, memanggilnya dengan lembut, "Sayang, ada yang mengusik pikiranmu?"Nora tersadar dari lamunannya, menggeleng pelan dan tersenyum. "Tidak ada, Steve. Aku hanya menikmati suasana restoran ini. Tempat ini benar-benar indah dan nyaman," jawabnya dengan suara lembut, mencoba mengalihkan perhatian Steve.Meskipun tersenyum, hati Nora sedikit terganggu. Ada sesuatu yang ia harapkan dari Steve, sesuatu yang seharusnya datang sebentar lagi."Apakah kau sedang memberiku kejutan di sini?" tanyanya dengan nada penuh harap, matanya bersinar dengan ekspektasi.Steve terkekeh pelan, menyadari harapan di mata istrinya. "Kejutan, huh? Tidak ada, Sayang. Aku hanya ingin membawamu ma
"Biarkan kuasa hukumku yang menjelaskan. Kau tinggal tanda tangan saja surat cerai itu untuk diproses di pengadilan,” kata Luna dengan nada tegas.Justin menoleh ke arah Federick yang sudah siap menjelaskan alasan Luna ingin menggugat cerai Justin. Pria itu tersenyum miring, lantas membuka kacamata dan menaruhnya di atas meja berlapis kaca."Jadi, kau ingin berpisah denganku karena Steve sudah tahu semuanya tentang masa lalu kita? Bukankah kau sendiri yang memutuskan untuk selingkuh denganku? Kau sendiri yang bilang jika Frank terlalu sibuk sampai melupakanmu?" tanya Justin, suaranya terdengar penuh ejekan.Luna menghela napas panjang. “Saat itu aku memang bodoh dan egois. Dan mencintaimu adalah hal yang paling aku sesali seumur hidupku. Kau pikir aku bahagia menikah denganmu?“Tentu saja tidak, Justin! Kau hanya ingin mencari keuntungan dariku. Seharusnya aku mendengarkan permintaan anakku untuk tidak menikah lagi. Tapi, karena aku terlena oleh bujuk rayumu, aku mengabaikan anakku se