Aruna berdiri di depan pintu rumah dengan pikiran kosong. Rumah tersebut adalah rumah peninggalan orang tuanya. Aruna berhak atas rumah tersebut karena dia adalah anak tunggal. Sayang, dia tak bisa menyingkirkan seseorang yang menguasai rumah tersebut. Siapa lagi kalau bukan ayah tirinya.
Ibunya meninggal beberapa bulan yang lalu dan meninggalkan utang yang sangat banyak. Ayah tirinya bilang kalau ibunya berutang kesana-kemari untuk biaya kuliahnya yang tidak murah. Dan Aruna tahu itu tidak benar. Ayahnya meninggal dunia dan meninggalkan tabungan pendidikan untuk Aruna. Memang dasarnya ayah tiri Aruna menikahi ibu Aruna hanya untuk numpang hidup. Aruna bahkan tak mengerti kenapa ibunya rela berutang banyak demi suami barunya yang tak berguna sama sekali.
Sampai sekarang, ayah tiri Aruna masih tinggal di rumah peninggalan orang tua Aruna. Pria itu merasa berhak atas rumah itu dengan embel-embel pernah menjadi suami ibunya Aruna. Padahal jelas dia hanya orang asing yang tak berhak atas rumah tersebut. Lalu bagaimana Aruna selama ini? Ya Aruna tinggal di rumah tersebut. Serumah dengan ayah tirinya yang seorang pengangguran.
Kegiatan ayah tirinya sehari-hari hanya tidur dan main ponsel. Tidak bekerja sama sekali. Untuk kebutuhan hidup, pria tak tahu diri itu menjual satu persatu perabotan rumah hingga rumah itu sekarang hanya memiliki sedikit perabot dan hampir seperti rumah kosong.
Aruna sebenarnya ingin pergi dari rumah itu. Namun jika dia melakukan itu, ayah tirinya akan merasa semakin berkuasa atas rumah tersebut. Lagi pula, Aruna juga bingung harus tinggal di mana jika keluar dari rumah tersebut. Dia tak memiliki teman, tak memiliki keluarga juga.
Aruna menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Tangannya meraih gagang pintu dan segera membukanya. Pemandangan pertama yang Aruna lihat saat masuk ke dalam rumah adalah sosok ayah tirinya yang sedang duduk di sofa ruang tamu dengan keadaan yang jauh dari kata baik. Aruna lihat, wajah ayah tirinya tersebut terlihat babak belur.
"Apa kau lihat-lihat?!" Ayah tiri Aruna membentak Aruna yang baru saja pulang ke rumah. Aruna tak menjawab dan hendak langsung masuk ke dalam kamar.
"Aruna! Mau kemana kau?!"
Aruna menghela nafas pelan dan berbalik menatap ayah tirinya yang sudah berdiri dan menatapnya marah.
"Kau lihat?! Habis aku dipukuli rentenir gara-gara hutang ibumu!" Dia membentak Aruna seraya menunjuk wajahnya yang babak belur.
"Aku harus bagaimana, Yah? Aku juga gak punya uang," ucap Aruna.
"Makanya cari! Kau dan ibumu sama-sama tak ada gunanya hidup!" Dia membentak lagi. Aruna sudah kebal, sudah terbiasa juga mendengar suara tinggi ayah tirinya.
"Aku sudah bilang kan. Jual saja rumah ini untuk membayar semua utang ibuku," ucap Aruna.
PRAAANGGG
Aruna terperanjat kaget saat ayah tirinya melemparkan gelas ke lantai hingga pecah berhamburan.
"Aku berhak atas rumah ini dan kau tak bisa seenaknya menjual rumah ini anak bodoh! Kerja!"
Aruna mundur satu langkah karena merasa takut. Tubuh Aruna mulai bergetar ketakutan saat ayah tirinya mengangkat gelas tinggi-tinggi dan terlihat akan melemparkan gelas itu padanya. Tanpa ragu, Aruna langsung berlari masuk ke dalam kamarnya. Dia buru-buru mengunci pintu, dan Aruna bisa mendengar teriakan marah ayah tirinya di ruang tamu.
Selain teriakan ayah tirinya, Aruna juga mendengar suara barang yang dibanting. Aruna merasa ketakutan sekarang. Ini belum pernah terjadi sebenarnya. Biasanya mereka hanya selesai sampai debat saja. Dan Aruna yakin, ayah tirinya sangat marah karena dipukuli oleh rentenir yang diutangi ibunya.
"Keluar kau anak bodoh!"
BRAK
Aruna semakin takut saat merasakan ayah tirinya menendang kuat pintu kamarnya. Dia berusaha menahan pintu agar jangan sampai terbuka.
Di saat panik seperti itu, Aruna langsung ingat pada Adnan. Aruna langsung mencari ponselnya dan menghubungi nomor Adnan yang memang sengaja diberikan oleh Adnan padanya tadi sebelum mereka berpisah. Tangan Aruna bergetar saat memegang ponsel saking takutnya dengan ayah tirinya yang sedang mengamuk sekarang.
"Halo, Aruna. Ada-"
"Adnan! Aku terima semua persyaratan yang kamu bicarakan tadi. Pokoknya aku terima semuanya dan aku akan melakukan imbalan seperti yang di tuliskan. Tapi tolong aku. Ayah tiriku mengamuk sekarang. Aku takut," ucap Aruna dengan nada panik. Dia berteriak kaget saat ayah tirinya kembali menendang pintu dengan kencang.
"Aruna! Share lokasi kamu sekarang juga!" Adnan berteriak panik di seberang telepon. Adnan bisa mendengar teriakan marah ayah tiri Aruna, hingga dia bisa membayangkan setakut apa Aruna sekarang.
Dengan tangan bergetar, Aruna berusaha mengirimkan lokasi dirinya sekarang pada Adnan. Setelah berhasil, Aruna mencari-cari benda yang mungkin bisa dia jadikan senjata jika saja ayah tirinya berhasil mendobrak pintu kamarnya.
BRAK
Aruna berteriak kaget saat pintu kamarnya rusak dan terbuka. Aruna semakin ketakutan melihat ayah tirinya sekarang yang terlihat ingin memakannya hidup-hidup.
"Jangan mendekat!" sentak Aruna. Dia memegang gagang sapu dengan erat, berharap kayu kecil tersebut bisa melindunginya.
"Harusnya kau mati saja! Susul orang tuamu sana!"
Aruna tak membalas dan memegang gagang sapu. Matanya sudah berkaca-kaca, sangat takut dengan keadaan dirinya sekarang yang terpojok dan tak bisa melawan lebih.
Saat Aruna hampir merasa putus asa, terdengar suara pintu depan yang dibuka dengan keras. Ayah tiri Aruna berdecak kesal dan berjalan keluar dari kamar Aruna. Tak lama terdengar keramaian di ruang tamu, dan Aruna bisa mendengar suara ayah dirinya yang memberontak. Tubuh Aruna yang lemas langsung terjatuh ke lantai.
"Aruna?" Adnan masuk ke kamar dan menghampiri Aruna yang gemetar ketakutan di atas lantai.
"Tenang. Kamu tak akan bertemu dengannya lagi," ucap Adnan berusaha menenangkan. Dia menyentuh punggung Aruna dan mengusapnya dengan lembut. Berharap bisa menenangkan gadis tersebut.
"Terima kasih, Adnan. Aku sangat bersyukur mengenalmu siang tadi hingga bisa meminta tolong," ucap Aruna dengan mata yang berkaca-kaca. Entah akan bagaimana nasibnya jika saja dia tak memiliki nomor Adnan. Dia tak memiliki teman lagi yang bisa dimintai tolong.
"Sama-sama. Ayo berdiri, ayah tirimu sudah diamankan," ucap Adnan. Dia berusaha membantu Aruna berdiri dan menggandengnya keluar dari kamar. Aruna bisa melihat keramaian di halaman rumah, dan dia juga bisa melihat ada mobil polisi di sana.
Perhatian Aruna langsung teralihkan saat seorang pria dewasa masuk ke dalam rumah dan mendekat ke arah dia dan Adnan. Aruna tak tahu siapa dia, namun tubuh Aruna langsung terasa kaku saat Adnan bicara pada pria itu.
"Bagaimana, Kak?" Adnan bertanya.
"Dia akan ditahan untuk sementara waktu. Selain itu, dia juga sudah menjadi buronan sejak dua bulan yang lalu karena kasus pencurian dan penjambretan." Pria dewasa itu menjawab dengan suara rendahnya. Matanya lalu menatap ke arah Aruna yang terlihat pucat dan cukup kacau.
"Dia?" Pria dewasa yang tak lain dan tak bukan adalah Arkan tersebut bertanya pada Adnan dengan sebelah alis terangkat.
"Oh iya. Ini Aruna." Adnan berucap. Kening Arkan berkerut dengan mata menatap Aruna dari atas ke bawah selama beberapa kali.
"Hm. Lumayan." Arkan berkata. Setelah itu dia berbalik dan keluar dari rumah Aruna.
Jam menunjukkan pukul delapan malam dan Aruna kini berada di ruang tamu rumahnya. Tidak sendirian, karena di sana dia bersama dengan Adnan dan kakak Adnan yang belum Aruna ketahui siapa namanya. Mereka juga tidak hanya bertiga, karena di depan mereka ada seseorang dengan dua pengawalnya yang tak lain dan tak bukan adalah rentenir yang meminjamkan uang pada ibu Aruna. "Kalau bayarnya dengan rumah ini bagaimana?" Aruna bertanya dengan suara pelan. Pria baya dengan perawakan sangar itu menatap sekeliling, pada rumah yang menjadi satu-satunya harta peninggalan orang tua Aruna. "Berikan catatannya pada mereka." Pria rentenir itu berucap. Lalu salah satu dari pengawalnya menyerahkan sebuah kertas yang berisi catatan hutang ibu Aruna. Aruna menerimanya dengan jantung berdebar, dan dia hampir saja berteriak saking kagetnya melihat nominal hutang yang tertera di atas kertas tersebut. "I-ini sungguhan segini?" Aruna bertanya, merasa tak percaya. Posisi Aruna sekarang duduk diapit oleh Arkan
Beberapa menit di perjalanan, akhirnya Arkan dan Adnan pun sampai di rumah. Adnan tersenyum lebar, karena yakin sekali rencana dia akan berhasil. Arkan sudah melunasi utang yang ditanggung Aruna, jadi sudah jelas Arkan menerima rencana Adnan untuk menikah dengan Aruna. "Dia memiliki teman?" Arkan bertanya pada Adnan saat mereka sudah masuk ke dalam rumah. "Punya, empat orang. Tapi Aruna sudah tak berteman lagi dengan mereka. Mereka juga yang menyebarkan masalah pribadi Aruna kepada mahasiswa di kampus," jawab Adnan. "Bagus." Arkan berkomentar. Nasib Arkan dan Adnan sekarang memang sama. Mereka sama-sama tak memiliki teman. Adnan dan Delia tak memiliki teman karena prinsip mereka yang dianggap aneh. Sedangkan Arkan kehilangan teman-temannya sejak dua tahun yang lalu. Sejak dia memergoki sahabat baiknya berselingkuh dengan tunangannya, dan semua temannya menyembunyikan perselingkuhan mereka. Sejak saat itulah Arkan tak memiliki teman. Dan Arkan juga memiliki prinsip agar suatu hari n
Jam menunjukkan pukul setengah tujuh malam dan Aruna kini sedang duduk di ruang tamu rumahnya dengan perasaan gelisah dan gugup. Malam ini Adnan bilang Arkan akan menjemputnya dan mengajaknya bertemu dengan orang tua pria tersebut.Aruna masih merasa tak percaya, namun dua jam yang lalu dia mendapatkan sebuah pesan dari nomor tak di kenal. Dan dari isi pesannya, Aruna yakin kalau itu adalah nomor Arkan, kakaknya Adnan.Bersiaplah. Jam tujuh malam aku jemput.Begitulah isi pesannya. Singkat, padat, dan jelas. Arkan seolah tahu kalau Aruna akan paham kalau dia yang mengirim pesan walau Arkan tak memperkenalkan diri lebih dulu.Masih setengah jam menuju jam yang disebutkan Arkan, namun Aruna sudah siap sejak setengah jam yang lalu. Dia grogi dan gugup hingga bersiap-siap lebih awal. Takutnya Arkan datang lebih awal dari jam yang disebutkan saat dirinya belum siap.Aruna malam ini memakai sebuah dress sepanjang lutut berwarna abu-abu. Dress tersebut terlihat sopan dan cocok untuk dipakai
Acara makan malam yang Aruna lewati bersama Arkan dan orang tua Arkan berjalan dengan lancar tanpa masalah. Aruna bangga sekali bisa menguasai keadaan dan tidak melakukan kesalahan yang memalukan. Di tambah lagi dengan ibu Arkan yang ramah hingga suasana tidak terlalu canggung dan mencekam.Setelah selesai makan malam, Aruna di ajak ke ruang keluarga untuk mengobrol. Aruna yakin sekali sih yang akan di bahas adalah perjanjian yang pernah Adnan jelaskan padanya. Aruna hanya heran saja karena ternyata orang tua Arkan setuju tentang pernikahan kontrak yang akan dia dan Arkan lakukan. Demi seorang cucu sih kalau kata Adnan."Kamu teman kuliah Adnan?" Tio bertanya pada Aruna yang duduk di hadapannya. Matanya sesekali menatap ke arah sang anak yang terlihat acuh tak acuh."Iya, Pak. Kami satu kelas dalam beberapa mata kuliah," jawab Aruna dengan sopan."Wisuda nanti kamu lulus S1?" Tio bertanya lagi dengan kening berkerut."Iya. Saya lulus S1 nanti.""Baguslah. Pendidikan itu penting bukan
Urusan Aruna di kampus sudah selesai, tinggal menunggu hari wisuda saja. Teman-temannya yang lain mulai sibuk cari lowongan pekerjaan dan membuat lamaran pekerjaan. Sedangkan Aruna, malah sibuk di bawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan kesuburan. Tentu saja dia tidak ke sana sendirian. Bahkan Aruna sengaja di jemput ke kampus oleh Arkan. Dan sepertinya Adnan maupun Delia belum tahu tentang hal ini.Setelah serangkaian pemeriksaan, kini Aruna duduk berdampingan dengan Arkan di sebuah ruangan dokter yang memeriksa mereka. Mereka akan mendengarkan hasil, dan Aruna tak bisa menghentikan degup jantung yang menggila. Bagaimana kalau ada sesuatu yang tak terduga?"Hasilnya bagus, tak ada masalah apapun. Kesuburan kalian tak ada yang bermasalah." Dokter berkata seraya menyerahkan kertas hasil pemeriksaan."Kalian ingin melakukan program hamil?" Dokter tersebut bertanya. Aruna hanya diam, membiarkan Arkan saja yang menjawab."Kami belum menikah." Arkan menjawab dengan singkat. Terasa kurang nya
Aruna sampai di rumahnya pada pukul empat sore. Dia merasa lelah, walau sebenarnya dia tak beraktivitas berat.Hari ini dia pergi ke kampus sebentar, lalu dijemput oleh Arkan untuk pemeriksaan ke rumah sakit. Setelah selesai urusan di rumah sakit, Aruna dibawa oleh Arkan ke butik untuk memilih kebaya wisuda juga kebaya untuk akad nikah. Tak tanggung-tanggung, Arkan sekalian menyuruh Aruna memilih gaun pengantin juga.Selesai di butik, Arkan membawa Aruna untuk membeli sepatu. Arkan menyuruh Aruna memilih dua sepatu untuk hari wisuda dan pernikahan juga. Beruntungnya, Aruna dibebaskan memilih oleh Arkan, dan setiap yang Aruna pilih tidak di protes oleh Arkan.Selesai memilih sepatu, Arkan lalu membawanya ke toko perhiasan untuk membeli cincin pernikahan. Bonus, Arkan membelikan sebuah kalung juga untuk Aruna.Saat sampai di rumah, Aruna merenung seraya menatap barang-barang pemberian Arkan. Kebaya untuk wisuda, high heels, juga sebuah kalung yang harganya mahal. Tidak, bukan hanya kalu
Jam menunjukkan pukul delapan malam dan sekarang Aruna sedang berada di rumah Arkan. Dia berada di sana karena dijemput secara mendadak oleh Arkan. Katanya sih, untuk membahas tentang pernikahan mereka. Dan ternyata, di sana juga ada Delia beserta orang tuanya.Orang tua Delia sudah setuju dengan rencana pernikahan Arkan dan Adnan yang akan diselenggarakan secara bersamaan. Mereka awalnya merasa keberatan, namun Delia memaksa mereka untuk setuju. Lagi pula pernikahan mereka akan dilakukan secara privat, tak akan mengundang banyak orang. Aruna yang hadir di sana seorang diri hanya bisa diam saja. Ada rasa iri dalam hatinya saat melihat Delia di sana ditemani dengan kedua orang tua. Sementara dia tak ditemani siapa-siapa."Jadi kamu calon istri Arkan?" Seorang wanita yang usianya tak jauh dengan Hana bertanya pada Aruna yang sejak tadi diam saja. Dia adalah ibunya Delia."Iya, Tante." Aruna menjawab disertai dengan senyuman sopan."Kamu seumuran dengan Delia dan Adnan?" Ibu Delia berta
Aruna yang semula memiliki empat teman tiba-tiba menjauh dari mereka setelah masalah pribadinya disebarkan disertai dengan fitnah juga. Namun setelah menjauh dari mereka, Aruna mendapatkan teman baru. Yaitu Adnan dan Delia. Mereka bertiga menjadi sangat dekat dan sering bersama saat di kampus. Sampai-sampai orang-orang merasa heran kenapa Aruna bisa tiba-tiba dekat dengan mereka.Seperti hari ini, Aruna memasuki aula tempat wisuda berbarengan dengan Adnan. Delia tidak bersama mereka karena harus ke kamar mandi dulu. Jadinya Adnan dan Aruna masuk lebih dulu ke aula.Delia sendirian ke kamar mandi, namun itu bukan masalah baginya. Dia terbiasa kemana-mana sendirian, atau gak ya bersama Adnan. Dia tak memiliki teman yang benar-benar dekat dengannya. Kecuali Aruna mungkin sekarang. Itu juga terjadi karena Aruna tak lama lagi akan berstatus menjadi kakak ipar bagi Delia.Urusan Delia di kamar mandi tidak terlalu lama. Dia pun keluar dari sana dan berniat untuk segera pergi ke aula. Namun d