Share

Part (4)

KACAMATA BERDARAH

Written by David Khanz

Part 4

———————————————————

Arga menepuk lengan Rehan. "Han, elu gak apa-apa, 'kan?" tanyanya sambil memperhatikan raut wajah lelaki tersebut.

Rehan mengangguk, ragu. Hari ini terasa aneh baginya. Bertubi-tubi malah. Tidak juga sekarang, tapi sedari malam tadi.

"Gua gak apa-apa, Ga," jawab Rehan usai meyakinkan diri bahwa sosok Arga yang ada di depannya itu nyata. Bukan bentuk halusinasi seperti sebelumnya. "Gua sehat."

Arga tersenyum kecut.

"Elu yakin?" tanya Arga kembali. Ragu. "Ada masalah lagi sama bini elu? Kalo—"

"Shanti baik-baik saja, kok," tukas Rehan. "Kami berdua gak ada masalah apapun."

"Syukurlah," timpal Arga lega, tapi masih tetap menyimpan rasa penasaran melihat kondisi temannya tersebut. "Mungkin ada hal lain yang mau elu ungkapin sama gua, Han?"

"Tentang apa?" Rehan balik bertanya.

Jawab Arga disertai bahu terangkat, "Yaaa … apa saja. Sesuatu yang bikin elu kayak gini sekarang, misalkan."

"Kayak gini? Maksud elu?"

Arga mendengkus. Lantas memegangi lengan rekan kerjanya tersebut.

"Han," ucap Arga kemudian, "apa elu gak nyadar? Bagi gua, pagi ini elu kelihatan aneh."

"Aneh?"

"Iya. Aneh," jawab Arga cepat. "Kayak ada sesuatu yang lagi elu pikirin, dan itu sangat mengganggu elu."

Dalam hati, Rehan mengiakan. Memang benar apa yang Arga ucapkan tadi. Namun dia masih ragu untuk menceritakannya. Terutama perihal kejadian semalam itu.

"Ooh, begitu, ya? He-he," ujar Rehan mencoba bersikap tenang. "Mungkin gua cuma butuh istirahat saja, Han." Dia memutar otak untuk mencari-cari alasan. "Yaaa … elu tahu sendiri, 'kan, kerjaan gua akhir-akhir ini banyak banget. Lembur juga."

"Bukan cuma elu, Han. Gua juga," timpal Arga. "Kita 'kan satu tim."

"O, iya. Maksud gua, elu juga. Kita semua. Sorry," imbuh Rehan meralat.

"Terus?"

Rehan mengangkat alis. "Apanya?"

Arga berdecak. "Elu butuh cuti?" tanyanya kemudian.

Lelaki itu berpikir beberapa saat. Berbarengan dengan datangnya seorang office boy mengantarkan dua minuman yang mereka pesan sebelumnya. Kemudian Rehan menjawab usai sosok tadi pergi, "Gua belum berencana buat ngambil cuti, Ga. Apalagi Pak Danu minta urusan kerjaan kita ini cepet beres. Gak tahu kalo sehabis itu."

"Hhmmm," gumam Arga. "Tapi ngelihat kondisi elu sekarang, gua jadi khawatir." Sejenak dia menatap tajam mata rekannya tersebut. " … atau ada hal lain di luar dari kerjaan kita, Han?"

Rehan balik menatap Arga. Cuma sesaat, lantas mengalihkan pandangan pada dua gelas minuman di depannya, seraya menggeleng-geleng pelan.

"Enggak, Ga. Gak ada," jawab lelaki tersebut berbohong.

Dia berpikir, untuk saat ini tidak boleh ada yang mengetahui peristiwa semalam itu. Bisa jadi Arga tidak akan percaya atau malah menganggapnya gila. Tidak. Rehan berharap semua ini hanyalah sekadar mimpi. Seperti kejadian tadi, yang dia anggap cuma sebatas halusinasi belaka.

Rehan bingung harus memercayai semua ini atau terus melanjutkan rangkaian kejadian-kejadian aneh tersebut. Jangan-jangan sekarang pun sedang berada dalam lamunannya sendiri, pikir lelaki itu menduga-duga. Bahkan hingga kembali ke ruangan kerja pun, dia masih belum mampu berkonsentrasi. Benaknya dipenuhi berbagai pertanyaan yang tidak kunjung terjawab.

"Pak Rehan," panggil seseorang di ambang pintu ruangan. Itu adalah Panji. Lelaki muda yang baru Rehan kenal semalam.

"Oh, Mas Panji," seru Rehan begitu menoleh dari pandangannya pada meja kerja milik Vikram. "Masuklah, Mas."

Panji melangkah memasuki ruang kerja Rehan.

"Saya tadi nunggu-nunggu Pak Rehan di parkiran, tapi gak muncul-muncul, Pak," kata Panji begitu mendekat. "Kata salah seorang teman Bapak tadi, Pak Rehan masih ada di ruangan Bapak."

"Siapa? Arga?" 

Panji menggeleng.

"Saya gak tahu namanya, tapi …."

"Dia orang terakhir yang keluar dari ruangan ini tadi."

Timpal Panji, "Oh, bisa jadi begitu, Pak. Mungkin benar, Pak Arga orangnya."

Rehan tersenyum-senyum. "Mas Panji mau pulang sekarang?" tanyanya sambil merapikan berkas-berkas di atas meja kerja. Jawab Panji cepat, "Iya. Pak Rehan sendiri?"

"Kebetulan Pak Danu mengizinkan kami buat enggak lembur dulu hari ini. Jadi saya bisa pulang sesuai waktu," ujar Rehan bersiap-siap meninggalkan ruangan kerjanya. "Mas Panji sendiri sengaja nungguin saya atau …."

"Motor Bapak 'kan ada di rumah saya, Pak," tukas Panji diiringi senyumnya yang ramah. "Jadi, bisa diambil nanti sekalian pulang bareng. He-he."

Hampir saja Rehan tergelak. Dia baru sadar, pagi tadi mereka berdua berangkat kerja berboncengan. "Iya juga, ya? He-he. Hampir saja saya lupa," ujar lelaki tersebut sembari mengajak Panji meninggalkan ruangan kerjanya yang sudah kosong. "Terima kasih ya, Mas, atas bantuannya. Saya jadi banyak berutang budi nih sama Mas Panji."

Laki-laki muda itu tersenyum simpul. 

"Gak apa-apa, Pak. Lagian arah pulang kita 'kan sejalan. Jadi, sekalian bisa pulang bareng-bareng," timpal Panji seraya mengikuti langkah Rehan di sebelah samping.

"O, iya … mengenai kerusakan motor Mas Panji itu, berapa kira-kira biayanya ya, Mas?" tanya Rehan tiba-tiba teringat kondisi kendaraan Panji bekas terjatuh semalam. " … atau sekarang saja kita mampir dulu ke bengkel sebelum pulang?"

"Gak usah, Pak," jawab Panji. "Nanti saya bawa ke bengkel di dekat rumah saya itu. Paling hanya ganti spion dan penutup bodi saja. Lain-lainnya gak ada masalah, kok."

"Beneran cuma itu?"

"Iya, Pak."

"Ya, sudah. Soal biaya, saya yang bayar, ya?"

"He-he … terima kasih, Pak," balas Panji tampak semringah.

Kemudian mereka berdua menuju area parkir kantor. Selanjutnya segera meninggalkan tempat tersebut berboncengan. Melaju santai di atas jalanan di waktu menjelang petang.

Alam sudah mulai meredup, beratapkan langit menghitam, serta gumpalan awan kelabu menyelimuti angkasa. Seperti tengah memberi pertanda bahwa hujan sebentar lagi akan turun.

Lebih dari satu jam perjalanan, akhirnya Rehan dan Panji tiba di tempat tujuan. Sebelum lanjut pulang ke rumah, tidak lupa suami dari perempuan bernama Shanti itu mengambil motornya yang dia titipkan. Sudah dalam kondisi siap digunakan. Kemudian bergegas memacu mesin kendaraan usai berterima kasih dan pamit pada tuan rumah.

Rehan harus segera tiba di rumah sebelum petang ini pudar berganti gulita. Satu hal yang patut dia waspadai, tentu saja tempat dimana sosok orang tua pemberi kacamata itu terbakar semalam. Namun anehnya, tidak ada tanda-tanda atau bekas apapun di sana.

'Heran ….' membatin Rehan sejenak di tempatnya tadi malam terjatuh. 'Di sini ada beberapa rumah warga perkampungan yang tidak begitu jauh dari pinggir jalan. Gak adakah satu pun dari mereka yang tahu kejadian semalam? Atau sempat mendengar jeritan keras orang tua itu?'

"Suara jeritan? Saya gak denger apa-apa, Pak," jawab salah seorang warga yang sempat Rehan tanyai sebelum melanjutkan perjalanan pulang. "Warga kampung sini pun, gak saya denger membicarakan apapun sampe saat ini. Mungkin Bapak salah denger, Pak."

"Ya, mungkin saja itu cuma suara angin atau apalah," timpal Rehan bermaksud tidak mau memperpanjang percakapan tersebut.

'Mungkin si Arga benar, aku harus segera mengajukan cuti kerja,' membatin kembali lelaki itu di sepanjang perjalanan. 'Semoga saja kejadian-kejadian itu sekadar halusinasiku akibat rasa lelah ini semata.'

Rehan segera memarkir motornya begitu tiba di rumah. Mengganti pakaian yang lembab akibat terkena rintik hujan selama di perjalanan, mandi, makan, dan bercengkerama seperti semalaman bersama Shanti.

"Kalo kamu lapar, makanan udah aku siapin di meja," ujar perempuan itu datar saat disapa Rehan di dalam rumah.

"Kamu udah makan, Dek?" tanya laki-laki tersebut heran memperhatikan sikap istrinya yang dingin. Tidak seperti malam kemarin, begitu hangat penuh cinta.

Shanti tidak menjawab. Dia mengeloyor begitu saja ke ruang tengah, menghidupkan televisi, dan duduk sendiri dengan raut wajah menyebalkan.

"Dek, kamu gak apa-apa, 'kan?" tanya Rehan kembali begitu mendekati sosok istrinya. "Kamu sakit, hhmmm?"

Shanti menggeleng tanpa sedikit pun berkenan untuk menoleh.

"Terus, kenapa sikap kamu—"

Tukas Shanti dengan cepat, "Udahlah, Mas. Jangan mulai, deh. Aku lagi gak pengen berdebat sama kamu."

Alis Rehan seketika meninggi.

"Berdebat? Maksud kamu—"

"Aku bilang juga cukup, Mas!" Suara perempuan itu bertambah keras. "Hari ini aku ingin sedikit ketenangan. Bisa gak sih, sehari saja kita gak mesti ribut-ribut terus?"

Rehan mengangkat kedua tangannya sebatas bahu. "Oke … oke, Dek, aku diam. Aku gak bakal banyak ngomong. Aku diam, ya."

Benar-benar aneh, pikir Rehan. Sangat berbeda sekali sikap istrinya itu dengan waktu semalam kemarin. Sialnya lagi, laki-laki itu sama sekali sulit mengingat, gerangan apa saja yang sudah terjadi selama ini di dalam rumah tangganya.

'Benar, kejadian-kejadian sebelum ini memang cuma hasil dari imajinasi otakku saja. Semuanya tidak nyata. Orang tua misterius itu, api yang membakar tubuhnya, sosok-sosok berjubah hitam, serta … kacamata?' Tiba-tiba Rehan baru teringat kembali pada benda kuno itu. 'Apakah itu khayalanku juga? Kacamata. Ya, kacamata itu!'

Rehan bergegas mencari kacamata tersebut. Namun dia pun lupa, di mana terakhir kali meletakkan benda itu usai bercinta dengan istrinya semalaman.

"Ah, sial!" rutuk laki-laki itu kesal. Berkali-kali berusaha mencari, benda itu belum kunjung ditemukan. "Di mana kacamata itu, ya? Apakah mungkin …." Rehan mengurungkan langkah hendak menemui Shanti. Semula berniat menanyai perempuan itu, tapi memutuskan tidak jadi dilakukan. 'Percuma saja. Mungkin dia tidak akan mau menjawabku. Huh!'

Krosak! Krosak!

Rehan mendengar ada suara-suara kecil berisik. Entah dari mana berasal. Dia pun tidak mengacuhkannya.

Krosak! Krosak! Krosak!

Kali ini semakin menjadi-jadi. Berhasil menarik perhatian lelaki tersebut untuk memeriksa tiap penjuru kamar tidur.

'Tikus sialan!' gerutu Rehan seraya meneliti celah antara lemari dan dinding kamar. Tidak ditemukan apapun. Kemudian beralih memandangi langit-langit. Mungkin berasal dari sana, pikirnya. 

Krosak!

Mata lelaki itu berputar-putar sambil memasang telinga kuat-kuat. Berusaha fokus mencari-cari lebih teliti tempat binatang menjijikkan itu bersembunyi.

Krosak! Krosak! Krosak!

Seketika Rehan menoleh. Terarah pada satu titik pandang dengan tajam. Tepatnya akan lipatan kasur di atas tempat tidur.

'Jahanam! Rupanya di situ binatang sialan itu bersarang!' rutuk Rehan murka. Lantas segera datang mendekat, mengangkat kasur secara perlahan-lahan, berharap-harap cemas, dan ….

"Apa?!"

Mulut laki-laki itu menganga lebar diiringi belalak besar begitu mendapati apa yang tersembunyi di bawah kasur sana.

"Kacamata itu …." gumam Rehan terheran-heran. 

Mungkinkah benda itu yang menimbulkan bebunyian tadi? Tidak mungkin. Namun usai kacamata tersebut ditemukan, suara-suara tadi tidak lagi terdengar.

Dengan tangan gemetar, perlahan-lahan Rehan mengambil kacamata kuno itu. Diperhatikan dengan saksama, bentuk dan modelnya masih sama persis sebagaimana yang dia perhatikan semalam tadi. Bingkai kuning keemasan, kaca membulat, dan ukiran-ukiran di sepanjang gagangnya dengan tulisan jawa kuno.

Entahlah, Rehan sendiri bingung. Bagaimana caranya kacamata tersebut bisa berada di sana. Mungkinkah secara tidak sengaja dia menaruh benda itu di bawah kasur. Melepaskannya begitu saja usai kelelahan menggauli Shanti hingga berpeluh-peluh dan kepayahan. Lantas jika saja ini benar-benar sebuah kenyataan, apa makna kejadian-kejadian semalam dan sepanjang hari di kantor tadi. Halusinasi? Laki-laki berusia tiga puluhan tahun itu menggeleng-geleng tidak percaya. Sulit diakui secara logika. Akan tetapi rasa perih bekas jatuh dari motor itu terlalu sukar untuk tidak diakuinya hingga kini.

"Shanti …." desah Rehan tiba-tiba seraya memutar badan mengarah ke pintu kamar. Lebih tepatnya menghadap ruang tengah. Tempat dimana saat itu perempuan tersebut berada.

Laki-laki itu melangkah perlahan-lahan sambil mengenakan kacamatanya. Mendatangi Shanti disertai debaran jantung bertalu-talu.

"Dek …." panggil Rehan lembut.

Shanti menoleh.

"Iya, Mas," sahut perempuan itu dengan tatapan sayu menggairahkan. "Kamu mau makan sekarang? Ayo, aku temenin sekarang, Sayang."

Shanti bangkit dari duduknya. Kemudian menghampiri Rehan dan bergelayut manja menuntun langkah sang suami menuju ruang makan.

"Ya, Tuhan!"

"Kenapa, Mas?" tanya perempuan itu keheranan. "Mau sekalian aku suapin? Hi-hi hi-hi."

"Dek?" Rehan mencekal lengan istrinya, lantas menarik, dan merapatkan diri ke dalam pelukan.

Shanti balas menatap wajah suaminya.

"Kamu menginginkanku sekarang juga, Sayang?" tanya Shanti dengan suara penuh gairah. "Lakukankah kalo itu memang maumu, Mas. Aku akan memberi apapun yang kamu pinta," imbuh perempuan itu disertai dengkus napas hangat menerpa ujung hidung suaminya.

Shanti menaikkan tubuh melalui pijakan ujung ruas jemari kakinya, agar bisa berdiri sejajar dengan tinggi Rehan. Lanjut mendekatkan wajah dengan posisi kepala miring, hendak menyentuhkan bibir ranum itu pada ….

"Sayang," bisik Rehan seraya menahan gerak kepala istrinya di depan muka. "Apa yang kamu lakukan ini?"

Shanti tersenyum manis.

"Aku sangat mencintaimu, Mas," jawab perempuan tersebut dengan suara senada. "Aku ingin selalu membuatmu bahagia selama bersamaku. Kamu juga menginginkanku, 'kan?"

Rehan menahan napas sebentar.

"Iya, aku tahu itu," balas laki-laki itu masih enggan membuka lubang hirup hidungnya. "Tapi enggak sekarang."

"Kenapa? Kamu gak menyukaiku?"

"Bukan begitu maksudnya."

"Terus?"

Rehan bernapas sebentar, lalu menjawab, "Hari ini menu makan malam kita jengkol, ya?"

"Kok, Mas tahu?" tanya Shanti sembari mengerutkan kening.

Jawab suaminya, "Tentu saja tahu, Dek. Dari napasmu …."

"Ih, Mas Rehan jahat!" seru Shanti seraya memukul-mukul dada suaminya dengan manja.

"Ha-ha!"

"Hi-hi!"

BERSAMBUNG

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status