Share

Part (3)

KACAMATA BERDARAH

Written by David Khanz

Part 3

———————————————————

Kurang dari pukul delapan, Rehan tiba di kantor seperti biasa bersama Panji. Hari itu terpaksa dia harus membonceng di belakang rekan kerjanya tersebut, karena ban motor Rehan yang kempis tadi malam, ternyata belum sempat ditambal.

"Maaf, Pak," tutur Panji begitu Rehan datang pagi-pagi sekali ke rumah laki-laki muda tersebut sebelumnya. "Sejak Subuh tadi saya sudah berusaha mendatangi bengkel di depan itu," Panji menunjuk sebuah bangunan kecil tidak jauh dari sana, "tapi gak juga dibukain sama pemiliknya. Jadi saya belum bisa membantu menambalkan ban motor Bapak."

Rehan menarik napas panjang. Ada rasa kecewa menikam dada begitu mengetahui kondisi motornya belum kunjung diperbaiki. Akan tetapi di balik itu, dia pun punya perasaan bersalah terkait peristiwa semalam. Apalagi kalau bukan mengenai kendaraan milik Panji tersebut.

"Gak apa-apa, Mas," timpal Rehan tampak bingung hendak mengawali ucapan. "Tapi justru …." Dia menghentikan kalimatnya sejenak seraya menoleh ke arah motor Panji di belakang. "Ini mengenai …."

Panji turut melihat-lihat motornya yang diparkir di depan rumah. "Ada apa, Pak?" tanya laki-laki muda itu.

Rehan menjilat bibirnya yang terasa kering, lantas lanjut menjawab, "Semalam … saya mengalami kecelakaan."

"Apa?!" Panji terkejut. "Terus, Bapak gak apa-apa, 'kan?"

"Enggak," jawab Rehan diiringi gelengan kepala. "Hanya saja … motor Mas Panji itu … mengalami sedikit lecet-lecet dan kaca spionnya retak."

"Ya, Tuhan!"

"Semalam jalanannya licin. Saya terpeleset dan jatuhlah," kata Rehan kembali, berbohong. Terpaksa dia lakukan untuk merahasiakan kejadian mistis semalam.

"Oh, begitu."

"T-tapi Mas Panji tenang saja," ujar Rehan buru-buru melanjutkan ucapannya. "Saya akan ganti dan memperbaiki kembali motor Mas itu secepatnya. Saya janji."

Panji menggeleng-geleng.

"Bukan itu maksud saya, Pak," balas laki-laki muda yang masih bujangan tersebut. "Saya justru khawatir Bapak kenapa-kenapa? Eh, tapi hari ini Pak Rehan gak bermaksud minta izin absen 'kan, Pak?"

"He-he." Rehan tertawa kecil. "Enggaklah, Mas. Saya tetap akan masuk kerja, kok. Cuma … ya, itu tadi."

"Kenapa, Pak?"

Rehan menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu menjawab, "Saya mau ikut nebeng. Itupun kalo Mas Panji gak keberatan. He-he."

Hampir saja tawa Panji meledak, tapi buru-buru lelaki muda itu menahan diri. Kemudian dengan wajah semringah, dia berkata, "Tentu saja saya gak keberatan, Pak. He-he. Malah saya seneng bisa ngebantu Bapak, temen kantor saya sendiri."

"He-he. Terima kasih, Mas."

Hari masih pagi. Masih ada beberapa menit lagi waktu tersisa untuk bersiap-siap berangkat kerja. Panji segera mengajak Rehan masuk ke dalam rumah. "Saya mau ganti baju dulu, Pak," ujarnya, "sekalian kita sarapan bareng, ya?"

"Gak usah, Mas," timpal Rehan. "Saya sudah makan sama istri tadi di rumah."

" … atau segelas kopi?" Panji menawarkan.

Suaminya Shanti itu berpikir sejenak. "Bolehlah. He-he," jawabnya kemudian.

"Baik," ucap Panji sebelum masuk ke dalam rumah, "sebentar, saya buatkan dulu ya, Pak?"

"Terima kasih, Mas. Saya izin nunggu di luar saja, deh."

"Gak masuk nih, Pak?"

"Udara pagi sangat bagus buat pernapasan," kilah Rehan. "Rasanya sayang banget kalo sampai dilewatkan."

"He-he. Bapak bisa saja," kata Panji diiringi tawanya. "Sebentar ya, Pak. Saya tinggal dulu ke dalam."

"Silakan, Mas."

Rehan memilih duduk di sebuah kursi di teras rumah Panji, sambil menatap jalanan kecil di depan yang masih sepi dari lalu-lalang kendaraan lainnya. Agak siang sedikit, biasanya selalu ramai dengan berbagai jenis motor. Mengisi rutinitas warga yang hendak berangkat ke tempat kerja, sekolah, maupun ke pasar.

Sebentar kemudian, Panji muncul kembali membawakan segelas kopi panas. Cukup nikmat. Apalagi bertemankan kepulan asap nikotin menghiasi udara pagi yang masih terasa sejuk ini. Takarannya pun pas. Perpaduan antara rasa pahit kopi dan gula. Mirip buatan istrinya, Shanti.

"Hhmmm," deham Rehan usai menyeruput sedikit demi sedikit cairan hitam beraroma harum tersebut. Benaknya langsung teringat akan sosok Shanti. Semalam. Ya, malam tadi. Tidak seperti biasanya perempuan itu bersikap manja. Malah terlalu lembut, pikir Rehan.

"Jantan banget sih kamu malam ini, Mas," ujar Shanti disertai tarikan napas kelelahan di samping tubuh suaminya yang mengilap, banjir keringat. "Kamu pake obat, ya?"

"Enak saja," sangkal Rehan lantas cengengesan karena merasa senang. "Biasa saja kok, Dek. Lagian aku 'kan masih muda. Ngapain pake begituan?"

Shanti ikut tertawa kecil. Kemudian menyampingkan diri, memeluk hangat, dan membenamkan wajah di dada suaminya.

"Aku sangat mencintaimu, Mas," ucap Shanti dengan suara hampir berupa bisikan panas.

"Memang sebelumnya enggak, Dek?" tanya Rehan bermaksud menggoda.

Jawab perempuan tersebut seraya mengusap-usap dada dan perut Rehan, "Kali ini lebih, Mas. Banget."

"Aku juga sangat mencintaimu, Dek," balas Rehan ikut mengelus-elus punggung Shanti menggunakan ujung jemarinya dengan lembut.

"Gak tahu kenapa, sepertinya … aku mulai tergila-gila lagi sama kamu, Mas," ucap Shanti tiba-tiba.

"Maksudmu?"

Perempuan itu tersenyum. Kemudian perlahan-lahan dia mengangkat tubuhnya, naik sedikit, lalu merapatkan diri di atas telentang Rehan. 

"Kamu laki-laki terkeren yang beruntung kumiliki, Mas," kata Shanti dengan tatapan menggoda.

"Gombal!"

"Serius," timpal perempuan itu kembali sambil menggerak-gerakkan panggulnya sedemikian rupa. "Kamu sangat menggairahkanku, Mas."

"Ah, Dek. Aku …." desah Rehan tapi mendadak terdiam begitu Shanti mendaratkan bibirnya dengan hangat, seakan menutup ruang bicara laki-laki tersebut seketika. Bukan lagi kata-kata yang terdengar kini, melainkan senandung decak berirama dari pertautan kedua lidah mereka. Meliuk-liuk eksotis seperti dua ular berkasih asmara. "Sebentar, aku buka dulu kac—"

"Diamlah, Sayang," tukas Shanti menahan gerak tangan Rehan yang hendak menanggalkan kacamatanya. "Aku sedang ingin menikmati kegilaan ini bersamamu. Diamlah."

"Aku hanya—"

"Aku rasa, kaupun ingin kembali mengulanginya 'kan, Sayang?" tanya perempuan itu sambil tersenyum-senyum penuh gairah, begitu merasakan ada pergerakan liar yang mengetuk-ngetuk panas dari arah bawah perut suaminya.

"Ya, Sayang," jawab Rehan diiringi pejaman matanya di antara desir darah yang kembali menderu deras. "Lakukanlah …." katanya kembali begitu Shanti mulai menurunkan kepala, menyusuri setiap lekuk leher dan terus bergerak ke bawah secara perlahan-lahan.

'Gila!' rutuk laki-laki tersebut kemudian. 'Sesingkat itukah hasratku bangkit kembali? Dan istriku pun ….'

"Aahhh!"

"Pak Rehan?"

"Oohhh … yeaahh, eh?"

"Kenapa, Pak?"

Rehan buru-buru mengusap wajah. Lantas menoleh ke arah dimana Panji tengah berdiri menatapnya dengan heran di ambang pintu.

"Eh, Say—" Ucapan laki-laki tersebut terhenti tiba-tiba. "Maksudku … eh, saya … Mas Panji, ya? Duh!"

"Bapak gak apa-apa, 'kan?" tanya Panji terheran-heran.

Rehan menggerak-gerakkan kepalanya dengan cepat. Berusaha agar kesadarannya lekas pulih.

"Iya, Mas. Tentu. Saya gak apa-apa. Eh?" jawab Rehan gagap. "Tadi … saya hanya … melamun sebentar. Maaf."

Panji manggut-manggut disertai alis terangkat tinggi-tinggi.

"Oh, begitu," timpal laki-laki muda tersebut. "Kita berangkat sekarang, Pak."

"Kerja?"

"Ya, tentu saja. Ke kantor."

"Oh, baiklah. Ayo."

Panji melangkah terlebih dahulu dengan kepala dipenuhi tanda tanya terkait sikap rekan kantornya itu. Sejenak dia menoleh, memperhatikan Rehan yang masih tampak seperti linglung.

"Tentang motor Bapak itu, saya sudah titipkan kuncinya sama Mang Dirman, tetangga sebelah, supaya dibawa ke bengkel depan sana kalo siang nanti sudah buka," kata Panji di samping motornya yang terdapat sedikit lecet-lecet dan kaca spionnya retak. Tidak begitu bermasalah.

"Oh, iya. Terserah Mas Panji saja, deh," balas Rehan. "Ayo, kita berangkat," imbuhnya mempersilakan pada Panji untuk naik terlebih dahulu.

"Bapak yang bawa atau saya yang—"

"Mas Panji saja, deh. He-he."

"Tapi kuncinya masih sama Pak Rehan."

"Hah?! Astaga!" 

Rehan langsung mengeplak jidatnya sendiri, disambut tawa Panji. Laki-laki muda itu terheran-heran memperhatikan sikap rekan kantornya tersebut. Karena hal itu pula, dia memutuskan untuk mengendarai.

"Pak Rehan beneran tidak apa-apa 'kan, Pak?" tanya Panji sekadar memastikan, sesaat setelah mereka mulai melaju menuju tempat pekerjaan.

"Saya baik-baik saja kok, Mas. Tenang saja," jawab Rehan dari belakang.

"Oh, syukurlah."

Tidak sampai satu jam, mereka berdua tiba di kantor. Lantas langsung bergegas masuk menuju ruangan masing-masing. Namun di sebuah lorong, tiba-tiba langkah Rehan melambat. Panji yang berjalan di sampingnya turut melakukan hal sama.

"Kenapa, Pak?" tanya laki-laki muda tersebut seraya mengikuti arah tatapan Rehan yang tengah memandangi sesosok perempuan di depan mereka. Berjalan berlawanan arah menuju keduanya dengan derap suara sepatu mengetuk-ngetuk lantai.

"Gak apa-apa," jawab Rehan singkat.

"Bu Lina?" tanya Panji menerka-nerka akan sosok yang tengah diperhatikan Rehan kini.

"Mas kenal dia?" Balik bertanya laki-laki itu dengan suara pelan.

"Tentu saja, Pak," jawab Panji. "Beliau 'kan kepala HRD. Pasti saya tahulah."

"O, iya ya. He-he," ujar Rehan menyadari kebodohannya. Setiap pekerja yang baru, pasti akan diinterviu terlebih dahulu di ruangan perempuan itu. Sudah pasti Panji bakal mengenali sosoknya. "Selamat pagi, Bu," sapa Rehan begitu mereka berpapasan.

"Pagi," balas perempuan yang bernama Lina tersebut datar. Dingin. Tanpa ekspresi sama sekali. Sekilas terlihat sedikit angkuh. Hanya itu kata yang terucap dari bibirnya. Kemudian berlalu begitu saja meninggalkan dua laki-laki ini.

'Sombong banget!' gerutu Rehan kesal. 'Lina … Lina, masih sama saja sikapnya itu seperti dulu. Jutek. Hhmmm, pantas saja kalo sampai sekarang dia masih—'

"Saya masuk ruangan saya ya, Pak?"

"Eh, apa?"

Panji mengulang ucapannya. "Saya pamit masuk ke ruangan saya," katanya dengan suara sedikit naik.

"O, iya. Silakan, Mas," balas Rehan tergagap-gagap. "Silakan."

Panji membelok ke salah satu ruangan. Sebelum benar-benar masuk, dia menoleh sejenak dan melempar senyum pada Rehan yang masih berdiri termangu.

Rehan melambaikan tangan.

'Sial! Kenapa pagi ini aku sulit banget buat fokus mikir, ya? Huh!' gerutu laki-laki tersebut sambil melangkah menuju ruangan kerjanya. 'Tentang Shanti istriku, Bu Lina, serta kejadian semalam. Orang tua misterius itu … ya, Tuhan! Semalam tadi … dan ….'

Rehan mengenyakkan diri di atas kursi kerjanya. Mengingat-ingat kembali kejadian menakutkan semalam. Tubuh kakek itu tiba-tiba terbakar hebat, sosok-sosok hitam yang datang begitu saja tanpa diketahui dari mana asalnya, kemudian percakapan mereka tentang ….

'Benda?' Rehan mulai bertanya-tanya. 'Mereka tengah mencari-cari benda dari orang tua itu. Benda apa? Apakah … kacamata yang dia berikan padaku semalam? Ah, buat apa? Segitu pentingkah benda usang itu bagi mereka? Hanya sebuah kacamata kuno. Dijual pun gak akan ada yang mau beli. Hhmmm."

'Lalu, siapa orang-orang berpakaian hitam semalam itu? Tampilan mereka seperti sosok-sosok di dalam film-film horor, anggota sekte—"

"Ah!" seru Rehan tidak sadar seraya menggebrak meja.

BRAK!

"Astaga!"

Beberapa suara berseru kaget. 

Bola mata Rehan bergerak-gerak. Menatapi satu per satu wajah-wajah yang tengah memelototinya di belakang meja-meja kerja itu.

"Eh, maaf. Maaf. S-saya gak sengaja. Maaf," ujar Rehan berulang-ulang meminta maaf.

Sekonyong-konyong seseorang yang duduk tidak begitu jauh dari meja kerja Rehan bertanya, "Kenapa lu, Han? Ada masalah keluarga? Ribut lagi ama bini lu, hah? Ha-ha!"

'Ribut dengan istriku?' Benak Rehan seperti diingatkan. 'Semalam dia malah tergila-gila padaku. Kami bercinta hingga menjelang pagi tanpa henti. Ah, kegilaan macam apalagi ini? Begitu burukkah pernikahanku selama ini? Kenapa tiba-tiba saja aku lupa tentangku sendiri?'

"Ditanya malah bengong lu, Han. Kenapa, sih?" Sosok tadi bertanya kembali. "Elu baik-baik aja, 'kan?"

Rehan berusaha berpikir keras, tapi otaknya sulit diajak bekerja normal.

'Tentu saja aku baik-baik saja, Arga!' jawab Rehan dalam hati. 'Aku sehat. Malah jauh merasa bugar usai bercinta semalaman dengan Shanti. Eh, kenapa pula aku berpikir ke arah itu, ya? Aku hanya ingin mengetahui tentang semalam. Kejadian semalam itu. Kakek misterius yang mati terbakar. Tapi … pagi tadi waktu lewat berangkat ke rumah si Panji, gak ada sedikit pun tanda-tanda bekas perapian di tempat itu. Aneh. Padahal—'

"Han! Rehan!"

Rehan menoleh. Sosok Arga yang tadi bertanya-tanya kini sudah berdiri tepat di samping meja kerjanya. Kapan datangnya? Pikir laki-laki ini semakin bingung.

"Elu sakit, Han?" tanya Arga kembali. "Ada apa, sih?"

"G-gua … g-gua … ah, gak apa-apa," jawab Rehan terbata-bata. "Memangnya elu pikir, gue kenapa?"

"Ya, Tuhan … Rehan," seru Arga seraya menggeleng-geleng heran.

Rehan melihat-lihat sosok lain rekan kerjanya yang masih menatap tajam pada laki-laki tersebut. Pram, Agi, Martin, Yoga, juga Vikram yang selama ini menjadi rival kerja di divisi ini. Dia, sosok terakhir tadi, laksana duri dalam daging baginya.

"Kita ke pantri, yuk. Gimana? Mungkin elu lagi butuh seseorang buat diajak bicara," kata Arga kembali mencoba membantu. "Gua lihat, elu kayak orang lagi kebingungan 'gitu."

"Enggak, Ga. Gua gak kenapa-kenapa, kok." Rehan berkilah. "Gua cuman—"

"Ayolah, gua temenin minum kopi. Yuk, Han."

Dengan berat hati, terpaksa Rehan menuruti ajakan Arga. Mereka berdua pun berjalan beriringan meninggalkan ruangan, disaksikan beberapa pasang mata mengawasi dari belakang.

"Kenapa dia?" tanya Agi pada sesama rekan kerja lain, setelah keduanya menghilang di balik pintu.

"Gak tahu. Gua aja bingung," jawab Yoga seraya mengangkat bahu.

"Mungkin si Rehan stres, Gi. Akibat sering disuruh lembur sama Pak Danu," timpal Martin disambut tawa seisi ruangan.

"Bener," imbuh Pram ikut bersuara. "Terus di rumahnya diomelin istrinya. Ribut-ribut begitulah. Akhirnya, depresilah si Rehan. Ha-ha."

"Ha-ha."

Sementara di ruang pantri, Rehan dan Arga duduk berhadapan di sebuah bangku kecil sambil menikmati segelas teh manis dan kopi luwak.

"Sebaiknya, kita gak berlama-lama di sini, Ga," kata Rehan tampak tidak tenang.

"Lho, memangnya kenapa?" tanya Arga disertai cengengesannya.

"Elu tahu sendiri 'kan gimana si Dalit itu?" ujar Rehan lanjut berkata usai menyeruput teh manis pesanannya. "Dia pasti akan ngadu sama Pak Danu kalo gue lama kelayaban kayak begini."

Kening Arga mengerut. Heran.

"Vikram?"

"Ya, dia. Siapa lagi?" jawab Rehan gelisah. "Elu tahu 'kan sikap dia selama ini ama gua?"

"Iya, gua tahu," jawab Arga masih dengan raut bingung. "Dua hari ini dia cuti kerja, Han."

"Maksud lu?"

Arga berdecak.

"Hari ini dan besok, dia gak masuk kerja."

"Gak masuk kerja apaan?"

"Memang hari ini dia gak ada di kantor. Gimana sih lu?" 

"Apa?!"

"Apa apanya?"

"Tadi gua lihat dia ada, kok," ujar Rehan meyakinkan. "Masa elu gak lihat, Ga?"

'Ya, Tuhan! Apalagi ini? Halusinasikah? Gak mungkin! Tadi aku benar-benar melihat dia duduk di kursi kerjanya,' membatin Rehan dilanda kebingungan. ' … ataukah si Arga ini sedang mengerjaiku? Sialan!'

"Gimana, Han? Kopi gua udah dipesenin, 'kan?" tanya satu suara dari arah belakang Rehan. Sontak laki-laki itu memutar badan. Mendapati sosok Arga yang sedang berjalan masuk ke ruang pantri. "Sorry, Han. Gua agak lama di toilet. He-he."

"Arga?"

"Iya, kenapa? Mau curhat sekarang? Gua siap dengerin, nih," jawab Arga lantas duduk di kursi di depan Rehan.

'Apa pula ini? Tadi Arga duduk dan bicara di depanku. Tapi kenapa justru dia baru datang menyusul? Terus … tadi itu … aku ngomong sama siapa?' Rehan bertanya-tanya. 

Laki-laki ini memperhatikan permukaan meja. Kosong. Tidak ada apapun. Kopi atau segelas teh manis, misalkan. Belum ada sama sekali.

"Ya, Tuhaaann!"

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status