KAKEK TUA itu SUAMIKU
Bab 2CupDia mengecup keningku. Apa yang harus aku lakukan?Haruskah aku pasrah?"Tidurlah, Kanda tak akan menyentuhmu."Apa? Kanda? Aku membekap mulutku sendiri, ingin rasanya aku tertawa. Kanda … Dinda, oh Tuhan begitu beragam nama panggilan di dunia ini.***"Dinda … Ayo bangun! Sudah subuh loh." Terdengar suara lirih disertai goncangan di bahuku. Ah, mungkin mimpi. Namun, lagi-lagi bahuku terasa ada yang mengusapnya."Iiiih, apaan sih? Masih ngantuk ini, 5 menit lagi ya," jawabku malas. Mata ini rasanya seperti ada lem nya, lengket. Kutarik lagi selimut yang menutup hanya sampai di bagian perut hingga sampai di leher, memulai lagi mimpi yang sempat terganggu."Dinda … nggak baik loh menunda sholat. Bangun gih nanti sholat subuh berjamaah. Kanda yang jadi imamnya."Loh kok suaranya bukan suara Bapak? Panggilnya Dinda lagi, apa Bapak punya anak lain selain aku? Atau namaku yang sudah ganti? Dengan rasa ngantuk yang masih mendera aku duduk dan mulai membuka mataku."Wuaaaaaaaaaaa, kamu siapa? Ibu … Bapak ... ada aki-aki di kamarku!" Aku berteriak melihat ada laki-laki tua asing yang berada di ranjangku.HmmmmmppppTiba-tiba dia membekap mulutku."Apa kamu lupa kalau kamu sudah menikah?" Aku memutar bola mataku berusaha mengingat siapa sosok yang sudah berani membekap mulutku.Ah, iya, benar dia suamiku. "Dinda sudah ingat?" tanyanya kemudian.Aku mengangguk sebagai jawabannya karena tangannya masih saja membekap mulutku."Masih mau berteriak?" Kugelengkan kepalaku. Akhirnya tangannya dilepaskan dari mulutku."Maaf, aku lupa," ucapku lirih. "Aku mandi dan wudhu dulu."Bergegas aku mengambil handuk yang tergantung di pintu kamar. Tapi sial, tiba-tiba seekor cicak malah mengeluarkan kotoran dan jatuh tepat di atas kepalaku. Dikira toilet kali ya kepalaku."Dasar cicak nggak punya etika! Apa nggak bisa kalau mau buang kotoran ke toilet dulu!" gumamku."Kenapa? Bangun tidur kok ngomel?" tanya Ibu saat berpapasan di dapur."Nggak apa-apa Bu, Seva ke kamar mandi dulu. Nggak ada orang kan di dalam?" Kamar mandi rumahku memang nggak ada pintunya, hanya selembar kain yang digunakan sebagai pengganti pintu. "Nggak ada, bapak sama Seno sudah pergi ke mushola tadi." Alhamdulillah, selama ini bapak dan Seno sering sholat berjamaah di mushola dekat rumah, biasanya aku dan ibu juga ikut, tapi hari ini terkecuali.Aku melanjutkan langkahku menuju kamar mandi. Gara-gara cicak sialan pagi-pagi aku harus keramas, mana dingin lagi. Umpatku dalam hati.Setelah sholat subuh berjamaah aku berniat untuk membantu ibu mengerjakkan pekerjaan rumah. Sementara laki-laki yang bergelar suami sudah sibuk dengan ponselnya. Entah sudah berapa kali ponsel itu berdering dari mulai di aktifkan. "Bu, Seva bantuin ya," tawarku. Ibu yang sedang mengaduk adonan kemudian menghentikan aktifitasnya. "Seva ke warung aja ya, belikan Ibu minyak goreng. Kayaknya itu nggak cukup," titah Ibu.Tanpa menunggu persetujuanku Ibu langsung memberikan selembar uang berwarna biru padaku. "Nggak usah, Bu, pakai uang Seva aja," tolakku halus. Lumayan tadi sebelum ke luar kamar aku dikasih sepuluh lembar uang merah sama suamiku katanya buat beli garam. Kupikir sampai seribu kali pun otakku nggak nyampe, masa iya uang satu juta buat beli garam yang per bungkus harganya paling lima ribu perak. Jangan-jangan dia sarapan garam, makan siang garam, makan malam garam. Pantesan kalau orang yang sudah tua dibilang sudah banyak makan garam. Aku tertawa sendiri dengan pikiranku."Disuruh ke warung malah ngelamun! Pake acara ketawa lagi! Kenapa?" Perkataan ibu membuyarkan lamunanku, ternyata dari tadi ibu memperhatikanku."Ehm ini, Bu." Kurogoh uang yang ada di saku celanaku lalu kutunjukkan pada ibu. "Kata Pak Bambang tadi buat beli garam, tapi kok banyak banget ya? Bisa dapet berapa bungkus itu ya?" Akhirnya kuceritakan saja apa yang buatku tertawa."Cah cah, maksud suamimu itu buat beli keperluan dapur nggak buat beli garam semuanya! Dah sana pergi ke warung!" "Siap! Nih, uangnya Ibu aja yang pegang, Seva ambil selembar buat ke warung." Kulangkahkan kakiku ke luar rumah menuju ke warung Bu Sri. Warung yang berjarak hanya beberapa rumah dari rumahku. Udara dingin langsung menerpaku begitu aku berjalan, ditambah rambut yang masih basah gara-gara keramas. Tak butuh waktu lama akhirnya aku sampai di warung Bu Sri."Assalamualaikum, Bu Sri … "Kupanggil pemilik warung agar segera keluar."Waalaikumsalam, eh Seva, nyari apa?" "Minyak goreng Bu."Diberikannya minyak goreng ukuran gelas untukku."Maaf Bu Sri, Seva maunya yang kemasan dua liter bukan yang ini." "Biasanya juga yang kayak gini belinya. Ngutang lagi! Kalau mau beli yang dua liter nggak boleh ngutang!" Bu Sri mengucapkannya dengan ketus."Nggak Bu, Seva nggak ngutang, nih bayar!" Kuberikan uang lembaran merah pada Bu Sri. "Cie, penganten baru pagi-pagi udah keramas aja!" Duh, kenapa sih harus ketemu Bude Ratmi. Dipegangnya rambutku yang memang masih dalam keadaan basah. "Kayaknya semalem ada yang habis gulat nih.""Paling juga baru sekali udah KO apa malah jangan-jangan belum selesai udah nyerah" timpal Bu Sri. "Ha ha ha, lagian kamu sih, masih muda mau aja sama aki-aki kan rugi!" "Ngomong-ngomong dapet berapa ronde?" tanya Bude Ratmi."Ronde? Emangnya Seva habis tinju?"Bukannya menjawab pertanyaanku malah Bu Sri dan Bude Ratmi kompak tertawa."Udah lah, Seva pulang dulu mana minyaknya Bu?" Males banget kalau lama-lama harus ketemu mereka omongannya bisa ngelantur kemana-mana."Tunggu dulu donk, buru-buru amat. Bude masih penasaran nih, udah apa belum?" "RA HA SI A." Aku langsung membawa minyak yang aku beli dan segera untuk pulang."Coba lihat cara jalannya Rat, kalau ngangkang berarti semalam sudah gol." Aku yang mendengar ucapan Bu Sri langsung merubah cara jalanku. Kuperagakan saja cara monyet berjalan, biar mereka semakin puas!"Dasar cah edan!"Masih jelas terdengar suara mereka ketika mengumpatku. Bodo amat!***Jebred!Kubanting pintu depan dengan keras saat memasuki rumah."Astaghfirullah hal adzim! Masuk rumah itu ngucapin salam bukannya banting pintu, Bapak sampai kaget loh! Kalau jantung Bapak kumat gimana?" Seno dan Bapak yang sedang duduk memang kaget saat aku menutup pintu dengan keras. Lagian aku masih kesel sama kejadian di warung."Maaf," ucapku. Kuserahkan minyak goreng tadi pada Ibu."Va, bikinkan minuman buat suamimu sana!" Lagi-lagi Ibu memberiku perintah. Mau tak mau aku harus menurutinya kalau tidak bisa-bisa merembet kemana-mana. Tapi aku bikin minum apa ya? Kopi pahit? Nanti dikira aku kasih minum dukun. Teh manis? Yang manis-manis kan nggak boleh buat orang tua apalagi kalau udah sepuh. Nah, air putih aja, lebih sehat dan lebih mudah bikinnya, tinggal 'cor' jadi deh. Kubawa air putih hangat itu ke dalam kamar. "Ini, Seva sudah bawain air minum anget!" Kuberikan secangkir air putih itu padanya yang ternyata masih sibuk dengan ponselnya. Ah, rasanya canggung sekali."Bawa keluar lagi!"Deg!Apa dia marah? Sepertinya dia nggak suka dengan minuman yang aku bawa. "Bawa minumannya ke ruang tamu, nanti Kanda minum disana." Kembali dia memintaku membawa minumnya tapi dengan suara yang lebih pelan. Syukurlah ternyata dia tidak marah, kubawa lagi minuman itu dan meletakkannya di meja ruang tamu. "Kenapa dibawa kesini?" tanya Bapak yang masih duduk bersama Seno."Katanya mau minum disini nggak di kamar," jawabku. "Aku yang menyuruhnya membawa kesini." Ternyata suamiku sudah ada di belakangku. "Dinda juga duduk sini temani Kanda ngobrol." Akhirnya aku, bapak, Seno dan suamiku duduk bersama di kursi dari kayu yang sudah mulai lapuk. "Nih ... mendoan sama pisang gorengnya sudah matang, lumayan buat teman ngobrol." Ibu yang datang dengan nampan berisi gorengan itu juga ikut ngobrol dengan kami."Dinda, besok masih kuliah?" tanya suamiku."Masih, selama pihak kampus belum tau tentang pernikahan ini mungkin aku bisa melanjutkan kampus." Aku memang merahasiakan pernikahanku. Hanya sahabatku Riska yang aku beri tahu. Aku masih sangat ingin kuliah. Selama ini aku kuliah dengan jalur bidik misi, jika tidak lewat jalur itu mungkin aku berakhir hanya lulusan SMA. Penghasilan bapak yang hanya seorang tukang becak sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup kami."Ehm, Seno boleh tanya nggak?" tanya Seno. "Apa Mbak Seva sudah ganti nama jadi Dinda?" Aku yang mendengar pertanyaan Seno hanya bisa melirik suamiku, dia yang harusnya menjawab pertanyaan Seno. Aku saja geli dengan panggilan itu. Tok tok tokTerdengar suara ketukan pintu di depan rumah."Siapa yang bertamu pagi-pagi gini ya, Bu?" tanya Bapak."Nggak tau Pak, sebentar Ibu buka dulu." Ceklek!Pintu dibuka oleh Ibu, kemudian masuklah seorang perempuan muda dengan rambut pirang panjang, hidung mancung dan mata yang lentik, mirip artis yang aku lihat di televisi. Siapa dia ya?***KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 3Pintu dibuka oleh Ibu, kemudian masuklah seorang perempuan muda dengan rambut pirang panjang, hidung mancung dan mata yang lentik, mirip artis yang aku lihat di televisi. Siapa dia ya?"Nisa? Kenapa ada disini? Kapan pulang?" Kali ini malah suamiku yang bersuara."Ayah terkejut? Sama! Nisa juga terkejut dengan kabar pernikahan Ayah!" Oh, jadi ini anaknya suamiku. Jadi aku ibunya perempuan cantik ini donk. Tapi malah lebih tua anaku daripada ibunya. "Duduk dulu, Nak, kita ngobrol dulu. Pulang dari luar negeri kok nggak kabar-kabar?" Perempuan itu tetap bergeming tak mau menuruti perintah ayahnya."Mana istri baru Ayah? Dia?" Telunjuknya mengarah pada Ibu. Ibu pun kaget, dikira dia istri suamiku padahal adalah ibu mertuanya."Bukan Nak, bukan dia." Suamiku kemudian berdiri, dan menarik tanganku sehingga aku mengikutinya berdiri. "Dinda, kenalin ini anakku yang paling bontot, namanya Nisa." Aku mengulurkan tanganku untuk berjabat tangan tapi sama sekali tak
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 4 Lima belas menit perjalanan akhirnya kami sampai di rumah. Memasuki halaman ada mobil ambulance yang terparkir dan motor yang kuhitung ada lima buah juga berada di halaman. Pikiranku langsung tertuju ke Bapak. Ya Tuhan, ada apa ini?"Pak … Bapak!" Aku memanggil Bapak sambil berlari menuju rumah. Ya Tuhan semoga Bapak tidak apa-apa. Aku sangat khawatir karena Bapak punya riwayat penyakit jantung."Kenapa, Va? Kenapa teriak-teriak?" jawab Bapak.Ah, lega rasanya. Ternyata bapak sedang duduk di ruang tamu. Ibu juga duduk disampingnya. Tunggu, mana Seno?"Seno mana, Pak?" Masih saja aku takut terjadi sesuatu dengan anggota keluargaku."Ada itu di kamar. Sini loh, ada Bu Bidan sama perangkat desa mau ketemu sama kamu." Bapak menjelaskan siapa saja yang ada di ruang tamu. Karena ruang tamu yang sempit jadi yang duduk hanya Bu Bidan dan Pak Lurah saja yang lainnya berdiri. "Kami tunggu di luar saja ya Pak, biar lebih enak ngobrolnya." Salah satu dari laki laki
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 5"Mar, kamu kan masih punya utang lima ratus ribu jadi motor ini saya bawa dulu sebagai jaminan sampai kamu bisa lunasin utang kamu!"Apa?! Dih, Bude emang keterlaluan!"Rik … Riko, sini kamu!" Riko yang sedang berjalan kemudian berbelok setelah mendengar panggilan ibunya."Ada apa, Bu? Riko mau main, nih," jawab Riko. Riko tampak kesal acaranya terganggu."Mau motor baru ini nggak? Ini bawa motornya pulang!" Bude Ratmi menyerahkan kunci motor yang dipegangnya."Beneran? Ini motor yang Riko pengin, siapa yang beli Bu? Ayo deh Riko boncengin Ibu, tapi nanti Riko langsung bawa main ya motornya." Riko begitu bersemangat dan langsung menaikinya."Tunggu!" Aku yang sedari tadi hanya memperhatikan lama-lama geram juga melihat tingkah Bude. "Assalamualaikum," ucap suamiku yang baru datang. Saking konsentrasinya melihat tingkah laku Bude dan Riko sampai tidak sadar ada yang datang."Waalaikumsalam," jawab kami serempak."Udah nyampe motornya? Gimana? Dinda suka ng
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 6Bagaimana dia tahu kalau aku sudah menikah? Daripada pihak kampus tahu lebih baik aku menurutinya. Pintu belakang mobil itu terbuka lalu aku masuk dan duduk disebelahnya.Siapa kira-kira wanita ini ya?Bau parfum yang sangat wangi tercium begitu aku duduk di samping wanita itu. Beda sekali denganku yang bau matahari, apalagi kalau melihat dandanan dan model bajunya. Aku dan wanita itu layaknya bumi dan langit. Aku yang sangat lusuh dan dia yang cantik dan modis bak artis. "Jalan, Pak!" Perintahnya pada sopir. Mobil mewah yang aku tumpangi pun perlahan melaju. Tak ada suara berisik mesin seperti angkot yang biasa aku tumpangi, tak ada bau solar tercium yang ada wangi pengharum mobil dan hawa dingin yang keluar dari AC yang terpasang. Jika mereka yang diluar merasa kegerahan maka aku tetap sejuk walaupun di dalam mobil. Seumur hidup baru pernah aku merasakan naik mobil mewah seperti ini. "Kenapa? Baru pernah naik mobil mewah seperti ini?" Wanita itu seperti
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 7"Ikat dia dan lakban mulutnya! Taruh di gudang!"Astaga! Mereka begitu jahat! Ya Tuhan, selamatkan aku.Ditariknya aku untuk berdiri oleh dua orang laki-laki, kemudian memaksaku untuk jalan. "Lepasin aku! Lepas! Toloooong!" Aku berteriak minta tolong berharap ada bantuan yang datang. Kaki kananku tiba-tiba tersandung oleh kaki kiriku akibat jalanku yang dipaksa. Aku pun kemudian terjatuh. Mereka bukannya membantuku untuk berdiri tapi justru mereka melarakku di lantai. Tega sekali mereka. Ibu … bapak tolong Seva."Berhenti kalian!" Terdengar teriakan dari belakangku."A—ayah!" Kedua laki-laki yang menyeretku seketika berhenti dan melepaskan tanganku. Aku yang dengan posisi badan tertelungkup kemudian menyatukan tanganku dibawah dahiku. Ya, aku menangis. Aku yang sedari tadi menahannya kini tak sanggup lagi menahannya.Sentuhan di bahuku dan usapan tangan di kepalaku belum mampu meredakannya. Biarlah, aku melepas beban di dada. "Kalian keterlaluan! Siapa
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 8Memasuki halaman terlihat mobil mewah yang kemarin aku tumpangi bersama Nyonya Lidiya. Mau ngapain lagi dia kesini?Baiknya aku masuk atau aku menghindar dulu ya? Tunggu, di dalam masih ada ibu, bapak juga Seno. Bagaimana kalau mereka tau kejadian kemarin? Kalau begitu aku masuk saja. "Assalamualaikum," ucapku saat akan memasuki rumah."Waalaikumsalam," jawab mereka serempak. Ternyata bukan hanya Nyonya Lidiya tapi ada juga Nyonya Tania. "Sini, Nak, mereka anak-anak suamimu." Ibu memperkenalkan mereka. Ibu menyangka aku belum tahu siapa mereka. "O, ini ya istri baru Ayah? Wah, cantik ya, Ayah pinter banget cari ibu baru buat kita. Bener nggak Mbak Lidiyia?" Nyonya Tania mengatakan seolah-olah kita baru saja bertemu."Be—betul. Cantik banget, pantes Ayah langsung klepek klepek," jawab Nyonya Lidiya. Aku yang masih bingung dengan sikap mereka hanya bisa terdiam, sikap mereka sungguh sangat berbeda dengan yang kemarin. Apa mereka sudah sadar dan menerimaku
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 9"Terima kasih, sudah mau memaafkan anak-anak ku." Suara lirih itu terdengar menempel di telingaku. Nafasnya yang hangat kini beralih di leher. Aku merinding ketika sebuah kecupan mendarat di tengkuk. Rasanya bulu-bulu halus di seluruh tubuhku sudah berdiri. Dia membalikkan badanku, kini kami saling bertatapan. Tangannya yang sedianya melingkar di perutku kini beralih memegang kedua pipiku. Dia mendekatkan wajahnya padaku, semakin dekat bahkan hidung kami sudah saling menempel. Apa yang harus aku lakukan?Oh Tuhan bibirku ini masih perawan jangan sampai ternoda oleh suamiku. Aku belum rela … Berikan pertolongan untuk hambaMU yang selalu bersikap manis ini atau sebentar saja, ubah wajah suamiku seperti Bang Jimin atau Bang Lee Min Hoo ya boleh lah, atau kalau lokalan ya udah Bang Billar ya nggak apa-apa.Tok tok tok"Permisi Bos, mobil sudah siap apa jadi pulang sekarang?" Alhamdulillah ternyata Tuhan mengirimkan penyelamat itu Bang Agus, produk lokal yang
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 10Sepertinya aku melihat seseorang yang aku kenal. Bener nggak ya?Benar! Mataku nggak salah lihat! Dia memakai setelan jas yang juga berwarna putih. Kenapa Andi juga ada disini?Duh, kok jadi bisa kebetulan gini?"Ini acara apa?" tanyaku pada suamiku."Acara ulang tahun cucuku. Dinda nanti akan Kanda kenalin ke semua anak dan cucuku. Ayo, kita kesana.""Si—siapa nama cucunya?""Andi, mungkin dia seumuran sama Dinda. Nanti Kanda kenalin sama Dinda."Duar!Jawaban itu laksana petir yang menyambarku. Baru saja Andi tadi menyatakan suka padaku tapi malam ini, aku harus mendapati kenyataan kalau Andi adalah cucuku. Takdir seperti apa ini?"Permisi Bos, Nyonya ingin bertemu," ucap Pak Agus."Baiklah, Ayo!"Apa sekarang waktunya, apa sekarang jati diriku terungkap di depan Andi? Aku belum siap. Jujur, ada rasa tersendiri saat aku didekat Andi. Apalagi waktu kejadian tadi pagi."Dinda … kok bengong? Ayo!" "I—iya" jawabku gugup. Lalu digandengnya tanganku seperti t