Share

Gara-gara keramas

Penulis: sarinah0488
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-09 14:41:58

KAKEK TUA itu SUAMIKU

Bab 2

Cup

Dia mengecup keningku. Apa yang harus aku lakukan?

Haruskah aku pasrah?

"Tidurlah, Kanda tak akan menyentuhmu."

Apa? Kanda? Aku membekap mulutku sendiri, ingin rasanya aku tertawa. Kanda … Dinda, oh Tuhan begitu beragam nama panggilan di dunia ini.

***

"Dinda … Ayo bangun! Sudah subuh loh." Terdengar suara lirih disertai goncangan di bahuku. Ah, mungkin mimpi. Namun, lagi-lagi bahuku terasa ada yang mengusapnya.

"Iiiih, apaan sih? Masih ngantuk ini, 5 menit lagi ya," jawabku malas. Mata ini rasanya seperti ada lem nya, lengket. Kutarik lagi selimut yang menutup hanya sampai di bagian perut hingga sampai di leher, memulai lagi mimpi yang sempat terganggu.

"Dinda … nggak baik loh menunda sholat. Bangun gih nanti sholat subuh berjamaah. Kanda yang jadi imamnya."

Loh kok suaranya bukan suara Bapak? Panggilnya Dinda lagi, apa Bapak punya anak lain selain aku? Atau namaku yang sudah ganti? Dengan rasa ngantuk yang masih mendera aku duduk dan mulai membuka mataku.

"Wuaaaaaaaaaaa, kamu siapa? Ibu … Bapak ... ada aki-aki di kamarku!" Aku berteriak melihat ada laki-laki tua asing yang berada di ranjangku.

Hmmmmmpppp

Tiba-tiba dia membekap mulutku.

"Apa kamu lupa kalau kamu sudah menikah?" Aku memutar bola mataku berusaha mengingat siapa sosok yang sudah berani membekap mulutku.

Ah, iya, benar dia suamiku. 

"Dinda sudah ingat?" tanyanya kemudian.

Aku mengangguk sebagai jawabannya karena tangannya masih saja membekap mulutku.

"Masih mau berteriak?" 

Kugelengkan kepalaku. Akhirnya tangannya dilepaskan dari mulutku.

"Maaf, aku lupa," ucapku lirih. "Aku mandi dan wudhu dulu."

Bergegas aku mengambil handuk yang tergantung di pintu kamar. Tapi sial, tiba-tiba seekor cicak malah mengeluarkan kotoran dan jatuh tepat di atas kepalaku. Dikira toilet kali ya kepalaku.

"Dasar cicak nggak punya etika! Apa nggak bisa kalau mau buang kotoran ke toilet dulu!" gumamku.

"Kenapa? Bangun tidur kok ngomel?" tanya Ibu saat berpapasan di dapur.

"Nggak apa-apa Bu, Seva ke kamar mandi dulu. Nggak ada orang kan di dalam?" Kamar mandi rumahku memang nggak ada pintunya, hanya selembar kain yang digunakan sebagai pengganti pintu. 

"Nggak ada, bapak sama Seno sudah pergi ke mushola tadi." Alhamdulillah, selama ini bapak dan Seno sering sholat berjamaah di mushola dekat rumah, biasanya aku dan ibu juga ikut, tapi hari ini terkecuali.

Aku melanjutkan langkahku menuju kamar mandi. Gara-gara cicak sialan pagi-pagi aku harus keramas, mana dingin lagi. Umpatku dalam hati.

Setelah sholat subuh berjamaah aku berniat untuk membantu ibu mengerjakkan pekerjaan rumah. Sementara laki-laki yang bergelar suami sudah sibuk dengan ponselnya. Entah sudah berapa kali ponsel itu berdering dari mulai di aktifkan. 

"Bu, Seva bantuin ya," tawarku. Ibu yang sedang mengaduk adonan kemudian menghentikan aktifitasnya. 

"Seva ke warung aja ya, belikan Ibu minyak goreng. Kayaknya itu nggak cukup," titah Ibu.

Tanpa menunggu persetujuanku Ibu langsung memberikan selembar uang berwarna biru padaku. 

"Nggak usah, Bu, pakai uang Seva aja," tolakku halus. Lumayan tadi sebelum ke luar kamar aku dikasih sepuluh lembar uang merah sama suamiku katanya buat beli garam. Kupikir sampai seribu kali pun otakku nggak nyampe, masa iya uang satu juta buat beli garam yang per bungkus harganya paling lima ribu perak. Jangan-jangan dia sarapan garam, makan siang garam, makan malam garam. Pantesan kalau orang yang sudah tua dibilang sudah banyak makan garam. Aku tertawa sendiri dengan pikiranku.

"Disuruh ke warung malah ngelamun! Pake acara ketawa lagi! Kenapa?" Perkataan ibu membuyarkan lamunanku, ternyata dari tadi ibu memperhatikanku.

"Ehm ini, Bu." Kurogoh uang yang ada di saku celanaku lalu kutunjukkan pada ibu. "Kata Pak Bambang tadi buat beli garam, tapi kok banyak banget ya? Bisa dapet berapa bungkus itu ya?" Akhirnya kuceritakan saja apa yang buatku tertawa.

"Cah cah, maksud suamimu itu buat beli keperluan dapur nggak buat beli garam semuanya! Dah sana pergi ke warung!" 

"Siap! Nih, uangnya Ibu aja yang pegang, Seva ambil selembar buat ke warung." Kulangkahkan kakiku ke luar rumah menuju ke warung Bu Sri. Warung yang berjarak hanya beberapa rumah dari rumahku. 

Udara dingin langsung menerpaku begitu aku berjalan, ditambah rambut yang masih basah gara-gara keramas. Tak butuh waktu lama akhirnya aku sampai di warung Bu Sri.

"Assalamualaikum, Bu Sri … "

Kupanggil pemilik warung agar segera keluar.

"Waalaikumsalam, eh Seva, nyari apa?" 

"Minyak goreng Bu."

Diberikannya minyak goreng ukuran gelas untukku.

"Maaf Bu Sri, Seva maunya yang kemasan dua liter bukan yang ini." 

"Biasanya juga yang kayak gini belinya. Ngutang lagi! Kalau mau beli yang dua liter nggak boleh ngutang!" Bu Sri mengucapkannya dengan ketus.

"Nggak Bu, Seva nggak ngutang, nih bayar!" Kuberikan uang lembaran merah pada Bu Sri. 

"Cie, penganten baru pagi-pagi udah keramas aja!" 

Duh, kenapa sih harus ketemu Bude Ratmi. Dipegangnya rambutku yang memang masih dalam keadaan basah. "Kayaknya semalem ada yang habis gulat nih."

"Paling juga baru sekali udah KO apa malah jangan-jangan belum selesai udah nyerah" timpal Bu Sri. 

"Ha ha ha, lagian kamu sih, masih muda mau aja sama aki-aki kan rugi!" 

"Ngomong-ngomong dapet berapa ronde?" tanya Bude Ratmi.

"Ronde? Emangnya Seva habis tinju?"

Bukannya menjawab pertanyaanku malah Bu Sri dan Bude Ratmi kompak tertawa.

"Udah lah, Seva pulang dulu mana minyaknya Bu?" Males banget kalau lama-lama harus ketemu mereka omongannya bisa ngelantur kemana-mana.

"Tunggu dulu donk, buru-buru amat. Bude masih penasaran nih, udah apa belum?" 

"RA HA SI A." Aku langsung membawa minyak yang aku beli dan segera untuk pulang.

"Coba lihat cara jalannya Rat, kalau ngangkang berarti semalam sudah gol." Aku yang mendengar ucapan Bu Sri langsung merubah cara jalanku. Kuperagakan saja cara monyet berjalan, biar mereka semakin puas!

"Dasar cah edan!"

Masih jelas terdengar suara mereka ketika mengumpatku. Bodo amat!

***

Jebred!

Kubanting pintu depan dengan keras saat memasuki rumah.

"Astaghfirullah hal adzim! Masuk rumah itu ngucapin salam bukannya banting pintu, Bapak sampai kaget loh! Kalau jantung Bapak kumat gimana?" Seno dan Bapak yang sedang duduk memang kaget saat aku menutup pintu dengan keras. Lagian aku masih kesel sama kejadian di warung.

"Maaf," ucapku. Kuserahkan minyak goreng tadi pada Ibu.

"Va, bikinkan minuman buat suamimu sana!" Lagi-lagi Ibu memberiku perintah. Mau tak mau aku harus menurutinya kalau tidak bisa-bisa merembet kemana-mana. 

Tapi aku bikin minum apa ya? Kopi pahit? Nanti dikira aku kasih minum dukun. Teh manis? Yang manis-manis kan nggak boleh buat orang tua apalagi kalau udah sepuh. Nah, air putih aja, lebih sehat dan lebih mudah bikinnya, tinggal 'cor' jadi deh. 

Kubawa air putih hangat itu ke dalam kamar. 

"Ini, Seva sudah bawain air minum anget!" Kuberikan secangkir air putih itu padanya yang ternyata masih sibuk dengan ponselnya. Ah, rasanya canggung sekali.

"Bawa keluar lagi!"

Deg!

Apa dia marah? Sepertinya dia nggak suka dengan minuman yang aku bawa. 

"Bawa minumannya ke ruang tamu, nanti Kanda minum disana." Kembali dia memintaku membawa minumnya tapi dengan suara yang lebih pelan. Syukurlah ternyata dia tidak marah, kubawa lagi minuman itu dan meletakkannya di meja ruang tamu. 

"Kenapa dibawa kesini?" tanya Bapak yang masih duduk bersama Seno.

"Katanya mau minum disini nggak di kamar," jawabku. 

"Aku yang menyuruhnya membawa kesini." Ternyata suamiku sudah ada di belakangku. "Dinda juga duduk sini temani Kanda ngobrol." 

Akhirnya aku, bapak, Seno dan suamiku duduk bersama di kursi dari kayu yang sudah mulai lapuk. 

"Nih ... mendoan sama pisang gorengnya sudah matang, lumayan buat teman ngobrol." Ibu yang datang dengan nampan berisi gorengan itu juga ikut ngobrol dengan kami.

"Dinda, besok masih kuliah?" tanya suamiku.

"Masih, selama pihak kampus belum tau tentang pernikahan ini mungkin aku bisa melanjutkan kampus." Aku memang merahasiakan pernikahanku. Hanya sahabatku Riska yang aku beri tahu. Aku masih sangat ingin kuliah. Selama ini aku kuliah dengan jalur bidik misi, jika tidak lewat jalur itu mungkin aku berakhir hanya lulusan SMA. Penghasilan bapak yang hanya seorang tukang becak sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup kami.

"Ehm, Seno boleh tanya nggak?" tanya Seno. "Apa Mbak Seva sudah ganti nama jadi Dinda?" 

Aku yang mendengar pertanyaan Seno hanya bisa melirik suamiku, dia yang harusnya menjawab pertanyaan Seno. Aku saja geli dengan panggilan itu. 

Tok tok tok

Terdengar suara ketukan pintu di depan rumah.

"Siapa yang bertamu pagi-pagi gini ya, Bu?" tanya Bapak.

"Nggak tau Pak, sebentar Ibu buka dulu."

 

Ceklek!

Pintu dibuka oleh Ibu, kemudian masuklah seorang perempuan muda dengan rambut pirang panjang, hidung mancung dan mata yang lentik, mirip artis yang aku lihat di televisi. 

Siapa dia ya?

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • KAKEK TUA itu SUAMIKU    Bab 162 Ending

    "Cie yang sudah jadi CEO," ledek Riska saat aku sampai di kantor. "Kamu tahu?" Riska mengangguk." Tristan yang cerita semalam." "Kenapa bukan Tristan saja yang menggantikanku? Kenapa Andi?" "Andi itu di Australia pimpinan tertinggi perusahaan Va, sekarang beralih pada Mas Ivan. Andi dipindah tugaskan balik kesini jadi presiden direktur menggantikan kamu" jelas Riska. "Nggak tau aku maunya suamiku, bisa-bisanya mengundurkan diri nggak bilang-bilang." "Suamimu ingin yang terbaik buatmu Va, yakin itu," ucap Riska. *** Malam ini udara terasa dingin, bahkan pendingin ruangan tidak aku nyalakan. "Masih banyak kerjaannya?" tanya suamiku yang melihatku masih sibuk di depan laptop. "Nggak, bentar lagi selesai. Lagian kenapa Kanda harus mundur sih? Kalau nggak kenapa bukan Tristan aja yang jadi CEO?" Aku kemudian mematikan laptopku, pertanda aku sudah selesai mengerjakan pekerjaanku. Di dada bidang suamiku aku sandarkan kepalaku. "Kanda hanya ingin istirahat Dinda, Kanda mau m

  • KAKEK TUA itu SUAMIKU    Bab 161 Apa rencanamu sebenarnya?

    "Iya, ini aku. Kenapa? Kamu kaget?" Sejujurnya iya, aku sangat kaget. Dari gelagatnya, sepertinya Mbak Susi punya niat tidak baik sama aku. "Mbak Susi mau apa?" "Mau main-main sebentar sama kamu," sahut Mbak Susi. "Apa maksud Mbak Susi?" "Aku cuma mau tau, kalau wajahmu itu sudah nggak cantik, apa suamimu masih mau sama kamu?" Aku semakin bingung dengan ucapan Mbak Susi. Mbak Susi terlihat sibuk mencari sesuatu dari dalam tasnya. Pintu toilet yang tadinya tertutup kini terbuka semuanya. Namun yang keluar bukan wanita, tapi justru Pakde Parmin juga dengan tiga orang polisi lain, hanya satu yang wanita dia adalah Riska. Mbak Susi yang masih sibuk dengan tasnya tak sadar jika Pakde Parmin dan ketiga polisi datang mendekat, ketiga polisi bahkan langsung menyergap Mbak Susi dari belakang. Mbak Susi kaget, dan berusaha memberontak. "Lepas! Lepaskan aku!" "Kamu nggak akan bisa lepas sekarang," sahut Pakde Parmin. "Bapak tega, menangkap anak Bapak sendiri?" "Bapak harus teg

  • KAKEK TUA itu SUAMIKU    Bab 160 Dia membuntuti

    Sesampainya di parkiran aku dan Riska bergegas untuk turun. Langsung menuju ke lantai lima. Di depan ruanganku aku dan Riska kemudian berpisah. Riska ke divisinya sendiri dan aku masuk ke ruanganku sendiri.Hari itu aku lewati seperti biasa, memeriksa laporan dan menandatangani berkas. Ting Pesan masuk ke ponselku. Nomor baru lagi. Apa ini Mbak Susi lagi ya? Aku segera membukanya. Benar dia lagi yang mengirimku pesan.[ KAMU PIKIR AKU TAKUT DENGAN BODYGUARDMU YANG BERTAMBAH BANYAK? NGGAK! KAMU SALAH! ] [ Mau kamu sebenarnya apa, Mbak? Aku rasa aku nggak pernah mengusikmu, mengganggumu. ] Kubalas pesan dari Mbak Susi. Sudah muak rasanya mendiamkannya.[ BERANI JUGA KAMU MEMBALAS PESANKU. AKU MAU KAMU MENDERITA! AKU TIDAK RELA JIKA KAMU BAHAGIA! ] Mbak Susi kemudian mengirimkan sebuah foto padaku. Foto mobil Tristan yang tadi pagi aku tumpangi. Ya Tuhan, bahkan Mbak Susi tau jika aku ikut mobilnya Tristan.Aku segera keluar dari ruanganku dengan buru-buru dan menuju ke ruangan Tris

  • KAKEK TUA itu SUAMIKU    Bab 159 Seperti porselen

    "Jangan begitu Bude. Bude nggak usah merasa bersalah. Kita doakan saja semoga Mbak Susi secepatnya kembali ke jalan yang benar." "Bude sudah berusaha menghubungi nomor Susi tapi tidak ada yang bisa." "Sudahlah Bude, suatu saat Mbak Susi pasti mencari Bude. Bagaimanapun juga seorang anak pasti suatu hari butuh ibunya. Ehm, Bude minta tolong siapkan buah ya," pintaku pada Bude. Bude kemudian beranjak menuju ke dapur menyiapkan apa yang aku minta. "Assalamualaikum …!" Terdengar suara seseorang yang selama beberapa hari ini menghilang. Suara yang aku rindukan. "Waalaikumsalam," jawabku seraya menyambut Riska. Riska langsung memelukku erat. "Kangen banget sama kamu, Va," ucap Riska. "Ah, aku nggak, biasa aja!" jawabku bohong. Riska kemudian mendorongku. "Tega banget kamu!" Aku menarik tangan Riska kemudian merangkulnya. "Gitu aja ngambek. Ya kangen lah," lanjutku. Tak lama berselang, Tristan datang. "Tiap hari dia minta pulang, katanya kangen si kembar, kangen kamu, kangen Bi R

  • KAKEK TUA itu SUAMIKU    Bab 158 Pesan ancaman

    Pagi ini, aku tengah bersiap pergi ke kantor. Jadwal sudah dikirim lewat email oleh Nana–sekretarisku. "Kanda, mungkin nanti aku pulangnya sore," ucapku pada suamiku. Suamiku sekarang lebih banyak di rumah. Hanya sesekali ke kantor itupun tidak lama. "Apa Dinda sibuk?" "Lumayan, ada berkas yang harus aku pelajari dari hasil meeting kemarin, juga ada meeting dengan klien siang nanti." Pekerjaan yang kemarin tertunda karena sibuk dengan kasus Seno, kini harus menumpuk pada hari ini. Biasanya ada Riska dan Tristan yang menghandle, tapi mereka baru akan kembali tiga hari lagi. Dari foto yang dikirim Riska, terlihat dia sangat bahagia. Syukurlah, aku ikut senang melihatnya. Sebenarnya ada rasa kehilangan beberapa hari tidak mendengar suara khas Riska. Untung saja besok setelah honeymoon mereka akan tinggal disini terlebih dahulu. Kali ini aku setuju dengan hadiah rumah yang besar dari suamiku, bisa menampung orang banyak. "Jangan terlalu capek, kalau ada apa-apa hubungi Kanda." Sua

  • KAKEK TUA itu SUAMIKU    Bab 157 Dia tidak takut!

    Waktu menunjukkan pukul delapan malam, saat semua prosedur pembebasan Seno telah selesai. Dengan langkah yang gembira Seno berjalan menuju ke mobil."Aku lapar," ucapku saat diperjalanan menuju pulang."Saya juga lapar, Nona Bos," sahut Pak Agus. "Kanda juga, dari siang belum makan," imbuh suamiku. "Ha ha ha." Kami semua tergelak tertawa bersama. Saking fokusnya pada Seno kami lupa mengisi perut kami.Sebelum sampai rumah, kami memutuskan untuk terlebih dahulu membeli makanan untuk dibawa pulang. Menu yang paling disukai oleh anak-anak. Ayam goreng tepung kriuk-kriuk begitu anaku menyebutnya. "Pak Agus, bagikan juga makanannya pada bodyguard serta yang lainnya ya." "Siap, Nona Bos," sahut Pak Agus."Om Seno …!" teriak Arthur saat melihat Seno masuk ke rumah. Dia langsung meminta Seno untuk menggendongnya. Padahal Arthur sudah berusia enam tahun tapi tetap saja jika ada Seno ataupun Tristan dia akan langsung minta gendong. Berbeda dengan Alvina, dia hanya akan memeluk Seno dan memi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status