Share

Dikira cabe-cabean

KAKEK TUA itu SUAMIKU

Bab 3

Pintu dibuka oleh Ibu, kemudian masuklah seorang perempuan muda dengan rambut pirang panjang, hidung mancung dan mata yang lentik, mirip artis yang aku lihat di televisi. 

Siapa dia ya?

"Nisa? Kenapa ada disini? Kapan pulang?" Kali ini malah suamiku yang bersuara.

"Ayah terkejut? Sama! Nisa juga terkejut dengan kabar pernikahan Ayah!" Oh, jadi ini anaknya suamiku. Jadi aku ibunya perempuan cantik ini donk. Tapi malah lebih tua anaku daripada ibunya. 

"Duduk dulu, Nak, kita ngobrol dulu. Pulang dari luar negeri kok nggak kabar-kabar?" 

Perempuan itu tetap bergeming tak mau menuruti perintah ayahnya.

"Mana istri baru Ayah? Dia?" Telunjuknya mengarah pada Ibu. Ibu pun kaget, dikira dia istri suamiku padahal adalah ibu mertuanya.

"Bukan Nak, bukan dia." Suamiku kemudian berdiri, dan menarik tanganku sehingga aku mengikutinya berdiri. "Dinda, kenalin ini anakku yang paling bontot, namanya Nisa." Aku mengulurkan tanganku untuk berjabat tangan tapi sama sekali tak ada respon darinya.

"Hah? Ayah nggak salah? Jadi perempuan cabe-cabean ini yang jadi Ibu tiriku?" Nisa menyebutku dengan cabe-cabean! Enak saja! Kalau saja dia bukan anak dari suamiku sudah aku tarik rambutnya. "Heh Dinda! Kamu pasti cuma mau morotin harta ayahku aja kan? Kalau nggak ngapain kamu mau nikah sama ayah?" 

"Namaku Seva bukan Dinda!" sanggahku. Gara-gara aki-aki lebay ini namaku jadi berubah!

"Bukankah tadi ayah memanggil Dinda? Kupingku masih waras dan daya ingatku tinggi nggak mungkin aku salah dengar!" 

"Namanya Seva, Nis, Dinda itu panggilan sayang Ayah buat Seva" jawab suamiku. Suamiku kemudian menjelaskan asal muasal panggilan itu.

"Astaga Ayah! Apa nggak malu? Ayah itu sudah ENAM PULUH TAHUN nggak pantas rasanya bucin kayak anak muda! Dan kamu! Apa jangan-jangan kamu sudah pelet ayah aku ya?" Lagi-lagi Nisa menuduhku sembarangan.

"Mbak, maaf jangan nuduh sembarangan ya!" Aku berusaha bersabar menghadapi Nisa.

"Mbak? Hellow, aku bukan adikmu! Kalau kamu nikah dengan ayahku berarti aku ini anak tirimu! Tapi sayang sampai kapanpun aku tak sudi punya ibu tiri macam kamu!" ucap Nisa sambil bertolak pinggang.

"Nak Nisa, duduk dulu yuks, bicarakan ini baik-baik," ucap Bapak menengahi.

"Nggak! Nggak sudi aku duduk disini! Nisa kecewa sama Ayah! Nisa benci Ayah!" Teriak Nisa sambil menangis.

"Dengerin Ayah dulu Nis," pinta suamiku.

"Nggak! Nisa nggak mau lagi ketemu sama Ayah!" Nisa berlari keluar, suamiku berusaha mengejarnya tapi usianya yang sudah tak muda lagi membuatnya tak mampu berlari. Nisa kemudian sudah masuk ke mobil mewahnya kemudian pergi dengan kecepatan tinggi. Kami hanya mampu memandang mobil yang dikendarai Nisa menghilang di ujung jalan.

***

Malam menjelang, sampai tengah malam aku masih tak bisa tidur memikirkan Nisa. Aku tau dia pasti terluka, dan itu disebabkan karena aku. 

"Kenapa belum tidur?" tanya suamiku.

"Nggak bisa tidur, gerah," jawabku asal. Memang cuaca malam ini terasa gerah bahkan dia terus mengipasi dirinya dengan kipas sate milik bapak. Nggak usah tanya kipas angin, kita nggak punya.

"Bisakah Dinda ambilkan minum? Rasanya haus." Yah, memang aku pun merasakan hal yang sama, mungkin karena terus berkeringat akibat gerah.

Aku pun beranjak dari ranjang ke luar kamar menuju dapur.

"Loh, Seno? Kenapa belum tidur?" Seno terlihat sedang duduk sendirian di meja makan.

"Haus Mbak, tadi ambil minum," jawabnya.

"Udah kan minumnya? Sekarang tidur lagi gih, besok sekolah kan?" 

"Mbak, maaf ya," ucap Seno lagi. 

"Kenapa minta maaf, memangnya Seno salah apa?" 

"Karena Seno, Mbak jadi nikah sama Pak Bambang," kata Seno dengan nada bergetar. Aku yang tadinya sedang menuang air ke cangkir kemudian beralih mengambil tempat duduk di samping Seno.

"Nggak Kok, nggak gitu juga alasannya. Seno nggak usah punya pikiran macam-macam, yang penting Seno sembuh terus lanjutin sekolahnya. Katanya Seno mau mondok? Jadi kan?" 

Seno menganggukkan kepalanya. "Seno tidur dulu ya, Mbak," pamit Seno.

***

Pagi menjelang, aku telah bersiap dengan tas kuliahku. Aku sangat berharap pihak kampus tak ada yang mendengar kabar pernikahanku, aku takut dikeluarkan dari kampus. Sebenarnya jika aku bukan masuk lewat jalur bidik misi, menikah bukan jadi penghalang buatku untuk terus kuliah, sayang aja jika sudah tiga tahun kuliah harus terhenti.

"Dinda, nanti sopir akan mengantar Dinda dan Seno ya." Suamiku juga telah bersiap katanya mau ke kantornya ada urusan. Aku sih bodo amat!

"Nggak usah, aku nggak mau nanti malah temen-temen pada curiga kalau aku naik mobil. Aku naik angkot saja seperti biasa." Kuberikan alasan yang masuk akal agar aku bisa berangkat naik angkot. 

"Oh, ya sudah, ini uang saku buat Dinda buat seminggu. Kanda ada urusan ke luar kota. Nggak apa-apa kan ditinggal seminggu?" Suamiku terlihat menyodorkan uang kepadaku. Aku cukup tercengang dengan uang yang dia berikan.

"I—ini berapa jumlahnya?" tanyaku gelagapan melihat uang segepok di tangan.

"Sepuluh juta, apa masih kurang? Ibumu tadi juga sudah kuberi, itu khusus buat Dinda." 

"Seminggu sepuluh juta? Astaga! Uang saku sepuluh juta? Biasanya sepuluh ribu per hari juga sudah beruntung. Nggak, jangan banyak-banyak, sisa kemarin aja masih ada." Aku justru takut dengan uang yang bagiku itu terlalu banyak, kusodorkan kembali uang itu padanya. 

"Dinda itu aneh, dikasih uang malah menolaknya. Udah simpen aja uangnya, belilah baju atau apapun yang Dinda mau. Kalau kurang nanti Kanda tambahin, Kanda pergi dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawabku. Kusimpan uang itu dalam laci lemariku. Aku cukup membawa uang dua puluh ribu di kantong.

Aku ke luar kamar hendak berpamitan pada ibu dan bapak. Terlihat ada ibu, bapak dan Seno yang duduk di meja makan. Mereka terlihat diam tanpa suara, apa mereka lagi marahan ya? Kok pada saling diam?

"Bu, Pak, kok pada diam? Apa lagi pada marahan?" Kuberanikan diri untuk bertanya.

"Duduk sini, Va," perintah Bapak. 

Kugeret kursi di sebelah Ibu kemudian duduk menuruti perintah Bapak. Bapak kemudian terlihat merogoh sakunya. 

"Lihat ini!" Bapak mengeluarkan uang dari sakunya, Ibu juga, diikuti oleh Seno. Mereka meletakkan uang itu di meja. 

"Kenapa, Pak?" tanyaku.

"Bapak dikasih uang lima juta sama suamimu, katanya buat satu minggu." Bapak menjelaskan asal muasal uang itu.

"Ibu juga sama Pak."

"Seno juga dikasih sejuta, Bapak aja yang pegang ya," Seno justru menyerahkan uang itu pada Bapak.

"Kita bahas nanti ya, sudah siang nanti malah Seva terlambat. Seno, Ayo!" 

***

Sesampainya di kampus aku sudah ditunggu oleh Riska.

"Va, gimana?" Riska langsung bertanya saat aku memasuki gerbang kampus. Sepertinya dia sudah menungguku dari tadi.

"Gimana apanya?" tanyaku balik. Heran dengan pertanyaan Riska. 

"Itunya" jawab Riska.

"Ish, kalau ngomong yang jelas donk. Itunya apanya?" 

"Idih, masa nggak paham?"

"Jelasin dulu baru aku paham." Kuletakkan tas gendong yang cukup berat di meja nomor tiga dari depan tempatku duduk, begitupun dengan Riska, dia duduk di sampingku.

"Kamu kan udah nikah, gimana rasanya malam pertama? Sakit nggak?" Reflek kupukul kepala Riska dengan buku tulis yang aku keluarkan dari dalam tas. 

"Aduh! Sakit tau!" Riska memegangi kepalanya yang aku pukul.

"Ssssttttt, jangan keras-keras nanti ada yang dengar bisa mamp*s aku!" Aku celingukan melihat keadaan takut ada yang mendengar ucapan Riska. Untung saja mereka sedang asyik ngobrol sendiri jadi nggak dengar omongan Riska.

"Jangan diem aja, gimana rasanya?" Riska terus saja bertanya.

"Rasanya itu—"

"Selamat pagi semua," ucap Pak Edi, dosen mata kuliahku pagi ini yang sudah masuk ke kelas. 

Kulirik Riska yang terlihat kecewa tidak jadi mendengar ceritaku. Aku hanya tersenyum melihatnya.

***

"Oke, kelas saya akhiri. Ada pertanyaan?" tanya Pak Edi. Ruangan kelas hening, pertanda semua mahasiswa sudah pintar. Eh! "Kalau tidak ada pertanyaan, kelas saya akhiri. Selamat siang."

Akhirnya kelas kembali riuh dengan suara mahasiswa yang berhamburan keluar.

Aku dan Riska, jalan beriringan menuju ke parkiran. Riska ke kampus dengan membawa motor beda denganku yang naik angkot. Kali ini Riska akan mengantarku, sebenarnya dia itu penasaran dengan pertanyaan tadi pagi yang sampai saat ini belum aku jawab. 

"Va … " Seseorang memanggilku dari belakang. Aku berbalik dan melihat siapa orangnya. Ternyata itu Andi sang ketua BEM dan mahasiswa yang banyak sekali idolanya, terutama kaum hawa. Ya iya lah, masa kaum adam.

"Ya, ada apa?" jawabku malu. 

"Ini buat kamu," ucapnya seraya memberikan sebungkus coklat Silver Queen kepadaku.

"Buatku? Dalam rangka apa?" Aku yang baru pertama kali diberi coklat heran dengan maksud pemberiannya.

"Nggak apa-apa, tadi aku beli tapi kebanyakan takut sakit gigi juga. Jadi ini buat kamu aja." Andi langsung memberikan coklatnya di tanganku.

"Aku pulang ya," pamitnya 

"I—iya, makasih, Ndi" jawabku. Aku melihat coklat ditanganku dan memasukannya ke dalam tas kuliahku.

"Andi kayakny suka deh sama kamu." Riska mengucapkannya sambil menyikut lenganku. 

"Ngaco kamu! Mana mungkin dia suka sama aku, cewek yang lain juga banyak!" 

"Inget, Va, kamu sudah punya suami" ucap Riska lirih.

"Ayo jalan!" Tak ku gubris ucapan Riska. 

Lima belas menit perjalanan akhirnya kami sampai di rumah. Memasuki halaman ada mobil ambulance yang terparkir dan motor yang kuhitung ada lima buah juga berada di halaman.  Pikiranku langsung tertuju ke Bapak. 

Ya Tuhan, ada apa ini?

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status