Home / Romansa / KAKEK TUA itu SUAMIKU / Pernikahan diam-diam

Share

KAKEK TUA itu SUAMIKU
KAKEK TUA itu SUAMIKU
Author: sarinah0488

Pernikahan diam-diam

Author: sarinah0488
last update Last Updated: 2022-07-09 14:40:41

KAKEK TUA itu SUAMIKU

Bab 1

Aku mematut diriku di depan cermin, memperbaiki letak kerudung putihku yang sedikit tidak rapi, tak lupa juga aku rapikan kembali gamis putih yang aku gunakan. Kugunakan bedak bayi untuk wajahku dan kupoles bibirku dengan lipstik berwarna pink hadiah dari sahabatku satu tahun lalu.

"Nak, kalau kamu mau membatalkan nggak  apa-apa, jangan berkorban demi kami," ucap Bapak. Bapak kemudian duduk di ranjang sempit milikku. Kemudian aku mendekati Bapak dan duduk disampingnya.

"Nggak Pak, Seva ikhlas. Seva mau, kita tetap lanjutkan pernikahan ini," jawabku. Jikapun dibatalkan akan banyak sekali resiko yang aku  tanggung. Keputusanku sudah bulat tak ada yang perlu dirubah.

"Pak, itu penghulu dan lainnya sudah siap. Seva ... apa kamu siap, Nak?" tanya  Ibu.

Ibu mengenakan kebaya coklat sederhana, dengan jilbab yang dibelinya di pasar lebaran tahun kemarin.

"Bissmillah, Seva siap, Bu," jawabku pelan.

"Ya udah Bapak sama Ibu keluar dulu, nanti kamu ditemenin Bi Sani ya."

"Iya, Bu."

Sebelum ke luar kamar, bapak memelukku dan mengusap punggungku. Sungguh Pak, Seva ikhlas. Seva ikhlas meninggalkan semua dunia remaja Seva. Demi kalian, iya kalian keluargaku. Bapak, ibu, adikku Seno. Batinku.

***

"Saya terima nikah dan kawinnya Seva Lidya Dewi binti Suparjo dengan mas kawin seperangakat alat sholat, mas seberat 100gram dan uang tunai sebesar dua belas juta seratus dua puluh dua ribu dua puluh satu rupiah dibayar tunai."

"Bagaimana para saksi? Sah?"

"Sah"

"Alhamdulilah"

Acara pernikahan yang aku impikan tapi benar-benar hanya mimpi. Hanya ada segelintir orang yang datang dan mereka hanya saudara dekat saja. Bahkan aku yakin mereka terus berbisik membicarakan pernikahan anehku ini. Aku Seva Lidya Dewi usia dua puluh satu tahun lebih enam bulan menikah dengan Bambang Hendromoyo usia enam puluh tahun.Tidak usah kaget, memang seperti itu keadaannya. Jika ada yang bilang aku matre, aku jawab jujur iya. Aku menikah dengannya karena harta. 

Tidak ada pernikahan mewah, tidak ada pelaminan apa lagi menu makanan internasional, yang ada hanya pernikahan di bawah tangan di gubuk reot ini.

Akupun dituntun ke luar kamar menemui suamiku. Ah, rasanya masih aneh. Satu minggu yang lalu aku masih duduk di bangku kuliah, aku masih  belajar sebagaimana biasanya. Aku masih belajar sebagai mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di kotaku. Bukan hal yang mudah bagiku bisa kuliah, aku masuk dengan jalur bidik misi, dengan terseok aku mampu terus melanjutkan kuliahku.

Jika kalian membayangkan seperti di cerita dengan CEO ganteng kalian salah! Postur tubuhnya tinggi, dengan pawakan sedikit berisi dan tidak ada bayangan seperti yang ada di cerita, yang mirip mungkin hanya hartanya. Rasanya aku jadi ingin tertawa, tertawa dengan nasibku.

Tahan Seva, ayo senyum, bukankah kamu yang menyetujui pernikahan konyol ini. Aku bermonolog dengan diriku sendiri.

Aku melihat Bapak mengusap sudut netranya dan Ibu yang berkaca-kaca, adikku hanya menatapku dengan tatapan yang entah seperti apa. Terlihat ada satu orang sahabatku, Riska. Riska tersenyum kepadaku, tapi air mata sudah turun ke pipinya. 

Aku yang menikah, kenapa mereka yang menangis? Dasar aneh!

***

"Ayo Nak, cium tangan suamimu," titah Ibu.

Ada rasa enggan untuk melakukannya tapi jika aku menolaknya secara terang-terangan apa kata mereka. Ah, kuturuti saja toh hanya mencium tangannya. Aku meraih tangan yang terulur, lalu mencium tangan yang mulai keriput. Laki-laki itu kemudian mengusap kepalaku yang tertutup jilbab dan menciumnya. 

"Cie, yang sudah sah jadi suami istri, pipinya juga donk yang di cium."

Sialan! Itu pasti suara dari mulut rombeng Bude Ratmi! Mereka yang hadir pun tertawa cekikikan mendengar ucapan Bude Ratmi.

Awas aja, besok kalau minta cabe sama Ibu akan kulempar sekalian sama sambelnya!

"Permisi, selamat siang," ucap seseorang yang memakai pakaian putih dan topi ala koki dari restoran. "Ini pesanan makanan di letakkan dimana ya?"

Ibu dan Bapak sebagai tuan rumah saling berpandangan. Mereka merasa tidak memesan makanan apapun.

"Bawa masuk dan tata di dalam, sekalian layani mereka yang hadir!" Suara itu datang dari orang yang duduk di depanku. Jadi dia yang kini bergelar suami yang memesan makanan.

Ternyata tidak hanya ada satu orang yang datang membawa makanan tapi ada lima orang dengan membawa menu yang berbeda-beda. Melihat pemandangan itu Bude Ratmi langsung senyum sumringah.

"Akhirnya, bisa makan enak juga, aku kira diundang  ke nikahan cuma disuguhi mendoan doang." Bude Ratmi masih saja nyinyir tanpa pandang tempat.

"Kira-kira isinya apa ya, Rat?" Bu Jum tetangga sebelah rumah terus menatap kotak tertutup yang berisi makanan.

Tak lama berselang makanan sudah siap, dari sate, prasmanan, siomay, bakso, soto, buah-buahan aneka kue bahkan es cendol juga ada.

Terlihat mereka yang hadir, langsung berbaris antri bahkan Bu Jum dan Bude Ratmi sempat meminta kantong kresek pada ibu.

"Makanan segitu banyaknya daripada mubazir lebih baik Bude bawa pulang, iya 'kan?" Aku hanya mengangguk, terserah mereka saja daripada ribut.

"Va, kamu sudah ambilkan makanan buat suamimu belum?" tanya Ibu.

"Hah? Apa Bu? Iya nanti Seva ambilkan buat Bapak," jawabku sambil terus memperhatikan mereka yang terus memasukkan makanan ke dalam kantong plastik. 

Bugh!

"Aduh! Ibu … kenapa aku di pukul?" Aku memegang lengan kananku yang dipukul Ibu.

"Bukan Bapak, tapi suamimu. SUAMI." Ibu memperjelas kalau aku sudah punya suami. 

"Males deh Bu, Ibu aja gimana?" 

Bukan jawaban yang aku dapatkan malah ibu melotot dan mengarahkan tangannya ke atas akan memukulku.

"Hisssshhh, Iya Bu, Iya" Kuhentakkan kakiku sambil melangkah.

Aku menuju meja prasmanan. Kuambil nasi satu centong tapi kemudian kuambil lagi setengah takut nggak habis, kuambil sate lima tusuk, tapi nanti takut giginya nggak kuat kalau harus makan daging atau bisa-bisa gigi palsunya ikut kebawa sate saat menariknya. Aku kembalikan lagi sate ke tempatnya. Aku menuju tempat sayur, duh kok pedes semua nanti malah sakit perut, aki-aki kan perutnya mudah sakit. Nah itu dia, sayur sop! Aku siram saja nasi yang setengah centong dengan dua gayung sayur sop, eh salah maksudnya dua sendok sayur. Lalu atasnya aku taruh deh kerupuk udang, sengaja kerupuknya disuruh berenang dulu di kuah sop biar nggak keras. Kurang cerdas gimana lagi aku coba?

Pelan aku membawanya ke tempat lelaki yang sedang duduk dengan bapak. Kira-kira nanti suamiku memanggil bapak apa ya? Secara, umurnya lebih tua dia daripada bapak. Apakah Dik Mertua? atau Dede Mertua? Lalu bapak panggil suamiku apa ya? Akang Mantu? Kaka Mantu? Abang Mantu? Hahahaha bisa gila aku memikirkannya.

"Kenapa jalan sambil senyum-senyum? Apalagi bawa piring, nanti kalau jatuh gimana?" tanya Bapak.

"Eh, nggak kok, Pak," jawabku.

"Ini, makanlah!" Kusodorkan piring yang berisi makanan pada lelaki itu.

"Seva … yang sopan donk," ucap Bapak tak terima dengan caraku menyerahkan makanan itu.

"Nggak apa-apa, Dinda udah makan belum?" 

Dinda? What? 

Uhuk!

Aku langsung batuk tersedak permen yang ada di mulutku begitu mendengar dia memanggilku 'Dinda'.

"Dinda … dimanakah kau berada ...." Riska justru menyanyi dengan suara sumbangnya. Langsung saja kutimpuk kepalanya. Bukannya sakit malah dia cengengesan. 

***

Akhirnya rangkaian acara sudah selesai.

Aku masuk ke kamarku, lelaki tua itu sudah menungguku. Ah, kenapa aku jadi deg-degan gini? apa jangan-jangan akan seperti yang aku lihat di film-film? 

Lelaki itu menepuk kasur menyuruhku duduk. Akupun menuruti, duduk disampingnya.

"Tidurlah, ini sudah malam," ucapnya.

Kuturuti permintaannya yang lebih mirip perintah ke cucunya. Memang aku lebih pantas jadi cucunya. Aku tidur dengan membelakanginya, pura-pura memejamkan mata, takut jika diam-diam dia berbuat sesuatu. Lalu kurasakkan ada yang membelai rambutku. Aku semakin memejamkan mata, dada ini rasanya sesak, jantungku berdetak lebih cepat. Aku merasakkan nafas hangat yang semakin mendekat. Oh Tuhan, bantu aku.

Cup

Dia mengecup keningku. Apa yang harus aku lakukan?

Haruskah aku pasrah?

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KAKEK TUA itu SUAMIKU    Bab 162 Ending

    "Cie yang sudah jadi CEO," ledek Riska saat aku sampai di kantor. "Kamu tahu?" Riska mengangguk." Tristan yang cerita semalam." "Kenapa bukan Tristan saja yang menggantikanku? Kenapa Andi?" "Andi itu di Australia pimpinan tertinggi perusahaan Va, sekarang beralih pada Mas Ivan. Andi dipindah tugaskan balik kesini jadi presiden direktur menggantikan kamu" jelas Riska. "Nggak tau aku maunya suamiku, bisa-bisanya mengundurkan diri nggak bilang-bilang." "Suamimu ingin yang terbaik buatmu Va, yakin itu," ucap Riska. *** Malam ini udara terasa dingin, bahkan pendingin ruangan tidak aku nyalakan. "Masih banyak kerjaannya?" tanya suamiku yang melihatku masih sibuk di depan laptop. "Nggak, bentar lagi selesai. Lagian kenapa Kanda harus mundur sih? Kalau nggak kenapa bukan Tristan aja yang jadi CEO?" Aku kemudian mematikan laptopku, pertanda aku sudah selesai mengerjakan pekerjaanku. Di dada bidang suamiku aku sandarkan kepalaku. "Kanda hanya ingin istirahat Dinda, Kanda mau m

  • KAKEK TUA itu SUAMIKU    Bab 161 Apa rencanamu sebenarnya?

    "Iya, ini aku. Kenapa? Kamu kaget?" Sejujurnya iya, aku sangat kaget. Dari gelagatnya, sepertinya Mbak Susi punya niat tidak baik sama aku. "Mbak Susi mau apa?" "Mau main-main sebentar sama kamu," sahut Mbak Susi. "Apa maksud Mbak Susi?" "Aku cuma mau tau, kalau wajahmu itu sudah nggak cantik, apa suamimu masih mau sama kamu?" Aku semakin bingung dengan ucapan Mbak Susi. Mbak Susi terlihat sibuk mencari sesuatu dari dalam tasnya. Pintu toilet yang tadinya tertutup kini terbuka semuanya. Namun yang keluar bukan wanita, tapi justru Pakde Parmin juga dengan tiga orang polisi lain, hanya satu yang wanita dia adalah Riska. Mbak Susi yang masih sibuk dengan tasnya tak sadar jika Pakde Parmin dan ketiga polisi datang mendekat, ketiga polisi bahkan langsung menyergap Mbak Susi dari belakang. Mbak Susi kaget, dan berusaha memberontak. "Lepas! Lepaskan aku!" "Kamu nggak akan bisa lepas sekarang," sahut Pakde Parmin. "Bapak tega, menangkap anak Bapak sendiri?" "Bapak harus teg

  • KAKEK TUA itu SUAMIKU    Bab 160 Dia membuntuti

    Sesampainya di parkiran aku dan Riska bergegas untuk turun. Langsung menuju ke lantai lima. Di depan ruanganku aku dan Riska kemudian berpisah. Riska ke divisinya sendiri dan aku masuk ke ruanganku sendiri.Hari itu aku lewati seperti biasa, memeriksa laporan dan menandatangani berkas. Ting Pesan masuk ke ponselku. Nomor baru lagi. Apa ini Mbak Susi lagi ya? Aku segera membukanya. Benar dia lagi yang mengirimku pesan.[ KAMU PIKIR AKU TAKUT DENGAN BODYGUARDMU YANG BERTAMBAH BANYAK? NGGAK! KAMU SALAH! ] [ Mau kamu sebenarnya apa, Mbak? Aku rasa aku nggak pernah mengusikmu, mengganggumu. ] Kubalas pesan dari Mbak Susi. Sudah muak rasanya mendiamkannya.[ BERANI JUGA KAMU MEMBALAS PESANKU. AKU MAU KAMU MENDERITA! AKU TIDAK RELA JIKA KAMU BAHAGIA! ] Mbak Susi kemudian mengirimkan sebuah foto padaku. Foto mobil Tristan yang tadi pagi aku tumpangi. Ya Tuhan, bahkan Mbak Susi tau jika aku ikut mobilnya Tristan.Aku segera keluar dari ruanganku dengan buru-buru dan menuju ke ruangan Tris

  • KAKEK TUA itu SUAMIKU    Bab 159 Seperti porselen

    "Jangan begitu Bude. Bude nggak usah merasa bersalah. Kita doakan saja semoga Mbak Susi secepatnya kembali ke jalan yang benar." "Bude sudah berusaha menghubungi nomor Susi tapi tidak ada yang bisa." "Sudahlah Bude, suatu saat Mbak Susi pasti mencari Bude. Bagaimanapun juga seorang anak pasti suatu hari butuh ibunya. Ehm, Bude minta tolong siapkan buah ya," pintaku pada Bude. Bude kemudian beranjak menuju ke dapur menyiapkan apa yang aku minta. "Assalamualaikum …!" Terdengar suara seseorang yang selama beberapa hari ini menghilang. Suara yang aku rindukan. "Waalaikumsalam," jawabku seraya menyambut Riska. Riska langsung memelukku erat. "Kangen banget sama kamu, Va," ucap Riska. "Ah, aku nggak, biasa aja!" jawabku bohong. Riska kemudian mendorongku. "Tega banget kamu!" Aku menarik tangan Riska kemudian merangkulnya. "Gitu aja ngambek. Ya kangen lah," lanjutku. Tak lama berselang, Tristan datang. "Tiap hari dia minta pulang, katanya kangen si kembar, kangen kamu, kangen Bi R

  • KAKEK TUA itu SUAMIKU    Bab 158 Pesan ancaman

    Pagi ini, aku tengah bersiap pergi ke kantor. Jadwal sudah dikirim lewat email oleh Nana–sekretarisku. "Kanda, mungkin nanti aku pulangnya sore," ucapku pada suamiku. Suamiku sekarang lebih banyak di rumah. Hanya sesekali ke kantor itupun tidak lama. "Apa Dinda sibuk?" "Lumayan, ada berkas yang harus aku pelajari dari hasil meeting kemarin, juga ada meeting dengan klien siang nanti." Pekerjaan yang kemarin tertunda karena sibuk dengan kasus Seno, kini harus menumpuk pada hari ini. Biasanya ada Riska dan Tristan yang menghandle, tapi mereka baru akan kembali tiga hari lagi. Dari foto yang dikirim Riska, terlihat dia sangat bahagia. Syukurlah, aku ikut senang melihatnya. Sebenarnya ada rasa kehilangan beberapa hari tidak mendengar suara khas Riska. Untung saja besok setelah honeymoon mereka akan tinggal disini terlebih dahulu. Kali ini aku setuju dengan hadiah rumah yang besar dari suamiku, bisa menampung orang banyak. "Jangan terlalu capek, kalau ada apa-apa hubungi Kanda." Sua

  • KAKEK TUA itu SUAMIKU    Bab 157 Dia tidak takut!

    Waktu menunjukkan pukul delapan malam, saat semua prosedur pembebasan Seno telah selesai. Dengan langkah yang gembira Seno berjalan menuju ke mobil."Aku lapar," ucapku saat diperjalanan menuju pulang."Saya juga lapar, Nona Bos," sahut Pak Agus. "Kanda juga, dari siang belum makan," imbuh suamiku. "Ha ha ha." Kami semua tergelak tertawa bersama. Saking fokusnya pada Seno kami lupa mengisi perut kami.Sebelum sampai rumah, kami memutuskan untuk terlebih dahulu membeli makanan untuk dibawa pulang. Menu yang paling disukai oleh anak-anak. Ayam goreng tepung kriuk-kriuk begitu anaku menyebutnya. "Pak Agus, bagikan juga makanannya pada bodyguard serta yang lainnya ya." "Siap, Nona Bos," sahut Pak Agus."Om Seno …!" teriak Arthur saat melihat Seno masuk ke rumah. Dia langsung meminta Seno untuk menggendongnya. Padahal Arthur sudah berusia enam tahun tapi tetap saja jika ada Seno ataupun Tristan dia akan langsung minta gendong. Berbeda dengan Alvina, dia hanya akan memeluk Seno dan memi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status