Park segera berlari ke dalam. Suara baku hantam terdengar. Ia menyiapkan pistol di tangannya. Tanpa suara, ia berjalan menaiki tangga.
“Ahhh…”
Suara teriakan Jung menggema kemudian disusul oleh suara orang berlari. Park segera menghampiri Jung dan ia bisa menebak bahwa penculik itu telah pergi.
“Sial,” umpatnya ketika melihat Jung tertimbun tumpukan kursi yang terbuat dari kayu.
“Park.” Jung mengeluarkan tangannya. Ia berharap Park segera membantunya. Ia telah ditipu oleh penculik tersebut. Awalnya dia mengira bahwa penculik itu telah kabur. Ternyata ia bersmebunyi. Ketika Jung hendak menyelamatkan Ken, ia dihantam dari belakang. Sebuah balok kayu mendarat di kepalanya kemudian secara membabi buta ia ditendang dan dihajar. Ia tak mau kalah, kemudian mencoba bangkit dan melawan. Namun, tenaganya tak seimbang. Lalu ia dilempar oleh kursi-kursi hingga tertimbun di dalamnya. Untung saja ia telah men
Dua detik kemudian, Max telah mengirimkan nomor Bian. Rina langsung melakukan panggilan. Ketika dia hendak menyatukan ponsel ke telinga, dari arah belakang merampas ponselnya. Itu adalah Byanca dengan banjir air mata di seluruh wajahnya.“Biar Byanca saja, Mi.”Rina terkesiap. Sejak kapan Byanca mendengarkan obrolannya.Byanca tampak mengatur napasnya sebelum bergumam, “Kenapa kau sangat jahat? Dimana harga diri dan hati nuranimu sebagai seorang ayah?”Byanca buru-buru memotong ucapan Bian, “Mulai detik ini jangan pernah anggap Ken sebagai putramu lagi dan tolong izinkan kami hidup bahagia.”Byanca benar-benar tak memberi Bian kesempatan untuk berbicara, “Bian, aku memang bodoh telah mempercayakan hatiku untukmu, tetapi sekarang kamu tega menculik Ken. Aku tak akan tinggal diam. Ken trauma. Apakah kau menginginkannya terus menderita?” Byanca setengah berteriak. Ia hampir gila.
Rina melakukan proses penghormatan terakhir pada jasad Jung. Di sisi kanan ruang pemakaman, keluarga Jung berdiri. Mata mereka sembab dengan suara isak yang terdengar. Rina menundukkan kepalanya, hormat. Setelah ia keluar, salah satu anak Jung kehilangan kendali. Ia mendorong Rina hingga terjatuh ke lantai. Sontak beberapa anak buah Rina langsung membantunya untuk berdiri sementara yang lain membawa anak Jung untuk menjauh. Anak itu adalah laki-laki, kira-kira berusia 17 tahun. Ia memberontak dalam cengkeraman anak buah Rina.“Lepaskan aku! Aku ingin menghajar wanita itu. Karena dialah ayahku wafat,” teriaknya dengan kaki menendang angin seolah itu adalah tubuh Rina.Rata-rata yang berada di sana langsung mengerumuni mereka. Beberapa diantaranya menatap jijik pada Rina, tetapi yang lainnya bersimpati padanya. Rina tidak terlalu mengambil pusing hal tersebut. Yang ada dalam pikirannya adalah anak itu. Bagaimana ia menjelaskan bahwa wafatnya Jun
“Apa maksudmu?” Mellisa menatap Dewo dengan keraguan.Dewo duduk di sebuah sofa. Kakinya ia silangkan. Sebuah rokok dikeluarkan dari sakunya. Ia bukan pecandu tembakau tersebut tetapi ia sengaja melakukannya ketika dalam suasana hati buruk. Mata Dewo terus menatap Mellisa sementara mulutnya sibuk mengisap rokok tersebut. Segera asap menggumpal memenuhi wajah Mellisa. Ia terbatuk-terbatuk.“Aku rasa kau yang paling paham maksudku.” Ekspresi yang ditampilkan Dewo seakan menegaskan bahwa ia adalah makhluk yang telah sembuh dari kebutaan.Bulu mata Mellisa bergetar. Jujur ia khawatir. “Dewo apakah kau ke sini hanya untuk mengatakan hal yang tidak penting?” Mellisa berpura-pura seolah tak ada sesuatu yang disembunyikan. Ia terlihat sedikit genit dengan berjalan kea rah Dewo. Bajunya yang ketat menampilkan lekuk tubuh seksinya.Di mata orang lain, Mellisa mungkin wanita yang cantik dengan rupa dan tubuhnya yang menawan. Namun
Pada malam harinya, Dewo memutuskan kembali ke Busan. Ia merasa tugasnya sudah selesai di tempat ini dan ia yakin bahwa Mellisa tidak akan mengganggunya lagi. Adapun Archi yang tak diizinkan Mellisa untuk dirawatnya, maka secara diam-diam ia meminta anak buahnya menjaga Archi dari jarak jauh. Ia juga akan memantau tumbuh kembang Archi. Bagaimana pun rasa sayang masih melekat pada putranya ituDewo menyandarkan punggungnya ketika menduduki kursi jet pribadinya. Ia cukup lelah. Selama dua hari ini, ia belum tidur dan makannya juga sangat sedikit. Dewo teringat bagaimana lahapnya ia makan ketika bersama Rina di restoran waktu itu.“Berikan ponselku!” Dewo mengulurkan tangannya pada sang asisten. Sejak keberangkatannya ke Singapore, ia menitipkan ponselnya kepada asistennya. Ia juga meminta agar ponselnya dimatikan. Itu dikarenakan ia ingin fokus menyelesaikan permasalahan dengan Mellisa.Nama Rina dan Byanca langsung memenuhi tampilan layar
“Rams, bantu aku!” Mellisa menjelaskan semuanya termasuk Dewo yang sudah mengetahui kebohongan mereka.“Dasar ceroboh!”Emosi Mellisa memuncak. Pria ini sangat lancang mengatainya. Jika bukan karena ia maka Mellisa tak akan jatuh ke titik ini. Mellisa menendang kursi dengan keras hingga suaranya terdengar oleh Rams.“Aku akan ke sana membantumu tetapi jangan beri tahu Rentina.”Meski Mellisa tak mengerti arti peringatan tersebut. Ia tak terlalu memikirkan. Baginya, kini sudah saatnya Rams mengambil tanggung jawab untuk Archi. Rams belum pernah sekali pun melihat Archi. Wajah mereka mirip. Tak akan ada yang tak percaya bila dikatakan mereka sepasang ayah dan anak.***Dewo menggulir layar ponselnya dengan malas. Sudah lebih dari 5 jam pesannya tak kunjung dibalas oleh Byanca. Apakah anaknya itu terlalu sibuk
Rina merasa diawasi. Mata Byanca setajam mata elang. Mata itu menembus organ dalam Rina. Meski mulutnya tak bersuara tetapi Rina mengerti jika Byanca ingin melayangkan protes.Rina tampak tak mempedulikan. Ia masuk ke dalam kamar tidur di sebelah ruangan Ken. Jadi, tempat Ken dirawat rumah sakit ini merupakan ruangan VIP. Ada sebuah kamar tidur, pantry, dua buah toilet hingga perabotan lainnya. Bisa dikatakan mirip seperti apartemen.Byanca hendak mendatangi Rina karena tega mengusir papinya. Byanca tahu bahwa Dewo telah mengecewakan mereka tetapi mengusir secara langsung seperti itu juga terlalu berlebihan. Tadinya Byanca ingin mengajak Dewo berbicara di kantin rumah sakit. Bukan Rina namanya jika mengizinkan. Ia menarik tangan Byanca ke dalam ruangan Ken.“Mi…” suara parau Ken membuyarkan lamunan Byanca.“Iya, Sayang.” Byanca mengambil segelas
Suasana dingin menyelimuti ruangan inap Bian. Hembusan angin terdengar lirih bersanding dengan suara jarum jam.Perbedaan karakter memang merupakan salah satu alasan perpisahan. David tak bisa mengelak, ia memang tak pernah menyukai sikap ketus Rentina. Ia yang lembut akan sangat berbanding terbalik dengan Rentina.“Aku ke sini bukan untuk berdebat,” putusnya. Bagaimanapun ia sangat menyukai kedamaian. Hidup damai itu menyenangkan, meski ketinggalan tetapi tak merusak kejernihan hati.Dia duduk di sebelah Bian. Melihat putranya terbaring juga kesedihan baginya.Rentina juga merasakan kesal jika berlama-lama di ruangan ini bersama mantan suaminya. Ia mengambil tas kemudian pamit pergi.David menghela napas ketika menyaksikan pemandangan itu. Dulu, mereka adalah korban perjodohan kedua orang tua sehingga tak ada cara untuk saling menolak. S
Rentina tak langsung pulang. Ia memilih pergi ke suatu tempat. Pemikirannya terlihat runyam. Ia sama sekali tak yakin atas ucapan Max. Bian bukan anak yang sejahat itu. Dia yang melahirkan Bian. Jadi, dia mengetahui karakter Bian dengan jelas.“Apa yang membuatmu datang ke sini?”Dia menuangkan minuman ke dalam gelas Rentina. Dari tutur katanya bahwa sangat jelas jika mereka memiliki hubungan yang akrab.“Ada yang sedang bermain-main denganku.” Rentina mengatakan dengan mata terbakar, tangannya terkepal. Orang di hadapannya dapat merasakan emosi Rentina.Dia masih belum mengerti permasalahan yang menyulitkan Rentina. Ia hanya diam, menunggu Rentina akan menyampaikan sendiri permasalahannya.Jika seorang anak akan menangis ketika terserang permasalahan kepada ibunya, maka tidak dengan Rentina. Dia akan menangis, mengeluh dan meminta perlindungan kepada wanita di hadapannya ini. Rentina merasa nyaman bila berada di dekatnya.