“Aku mendengar bahwa yang menjadi pimpinan tersebut adalah sepupunya.”
Bian menatap tajam Dion, rekan bisnisnya. Ia sungguh tak peduli tentang hal itu tetapi Dion seakan memberitahunya begitu banyak. Akankah ada maksud tersembunyi di balik kalimat tersebut?
“Baguslah! Bukankah itu bagus jika perusahaannya dikelola oleh orang yang berkompeten?” Bian merasa jika perusahaan tersebut tetap dikelola oleh keluarga Byanca, masih ada kesempatan untuk Byanca untuk kembali. Ia tak menginginkan perusahaannya padam begitu saja.
“Ya. Keluarga Byanca memang tidak perlu diragukan lagi bagaimana hebatnya mereka dalam berbisnis.” Wajah penuh kekaguman terukir di wajah Dion.
Seperti pedang yang menancap begitu dalam, Bian merasakan ucapan D
Ini sangat memalukan, tanpa mengatakan apapun, Nirina menutupi dadanya dan berlari tanpa pamit. Ia ingin menggali tanah dan bersembunyi di dalamnya. Kau sangat ceroboh, Nirina. Ia mengutuk dirinya sendiri. Hingga waktunya pulang pun. Nirina memilih menundukkan kepala dan meminimalisir komunikasi diantara mereka. Ia hanya akan menjawab apa yang ditanyakan Max, sementara Max yang memahami bahwa Nirina sedang menyesali perbuatannya terlihat biasa saja. Ia tak ingin menyinggung permasalahan itu kembali dan bersikap biasa aja. Mereka tampak seperti saling menghindari tatapan satu sama lain. Ketika sampai ke apartemen, Max segera membersihkan tubuhnya dan seketika ia mengingat Nirina. Senyuman terpatri di wajahnya. Namun segera ia enyahkan. Ia tak boleh memiliki perasaan berlebih terhadap Nirina. Itu sangat merepotkan nantinya. Ia mel
“Memangnya kenapa jika makan di pinggir jalan. Yang penting enak!” teriaknya. Mengapa orang kaya cenderung memilih makanan berdasarkan tempat berjualan bukan kepada cita rasanya. Tidakkah mereka tahu bahwa makanan di pinggir jalan kebanyakan lebih nikmat dari pada makanan mahal? Selain menawarkan harga yang ekonomis, makanan seperti itu juga beragam dan rasa sangat familiar di lidah.Huh, sudahlah! Ia tak menghiraukan persetujuan dari Max. Lebih baik ia merealisasikan keinginannya. Membayangkan bakso dengan kuah berkaldu tersebut mampu membakar tenggorokannya. Tak ingin menyiakan waktu lagi. Dengan itu, dia melangkah untuk menyeberang jalan.Max mendengar bahwa wanita di belakangnya menghentakkan kaki dan Max berpura-pura tak mendengar. Ia bersenandung kecil dan melangkah lagi, berharap wanita di belakangnya akan berlari menyusulnya.Tin.. tinBrakkkk….Seketika beberapa k
“Sebenarnya jika perusahaan itu runtuh, Om bisa mewarisinya perusahaan Om tetapi Byanca selalu menolak. Dasar keras kepala.” Dewo membayangkan wajah mungil putrinya. Ia tak pernah memanjakan diri dengan kemewahan yang ditawarkan kedua orang tuanya, padahal baik Mami maupun Papi sama-sama memiliki usaha yang sangat maju dan dia tidak mau mengambil keuntungan.“Tapi ada satu permasalahan yang ingin Om minta kamu juga membantu menanganinya,” ucap Dewo lagi.“Apakah itu tentang Bian?” tebak Max.Dan Dewo mengangguk. Max menghela napas kasar. Apa kiranya yang mampu ia lakukan.“Max kamu tahu jika Bian tak sehebat itu dalam dunia bisnis, ia juga tak punya pijakan karena perusahaan Rams juga sedang bermasalah. Aku mau kau menekannya tapi jangan buat ia sampai gulung tikar.”Kedua alis Max menyatu dengan sempurna. “Maksud Om?”“Kita hanya akan menekannya hingga ia frustrasi tetapi tak
“Opa akan datang, Mi?” Ken menanti jawaban Byanca dengan kesenagan yang tak bisa ia sembunyikan. Sejak suara ponsel ibunya berbunyi, ia sudah terbangun dan diam-diam mendengarkan percakapan diantara ibunya dan si penelepon yang ternyata adalah opanya, Dewo.Byanca tersenyum dan mengelus rambut halus Ken. “Iya, Sayang.”Ken langsung bersorak ria. Ia melompat di atas kasur. Sudah sangat lama ia tak memancing atau berkebun. Oh tidak, bermain catur juga. Bermain bola dan masih banyak lagi. Ken tentu sangat senang karena hanya Opa yang bisa mengajarinya permainan yang berbeda. Ken jadi tidak sabar menanti itu. Biasanya Opa akan membawanya bermain di luar rumah, entah mereka memulai bersepeda kemudian berkebun dan memancing lalu diakhiri dengan bermain sepak bola, yang tentunya setiap pulang ke rumah Ken akan membawa luka ringan di bagian lutut atau pun lengannya. Itu tidak masalah, justru ia senang dan nantinya Mami lah yang akan mengomel sambil meng
Byanca mengajak Dewo berbicara setelah memastikan bahwa Ken sudah tertidur. Anak itu terus saja mengoceh dan bermain dengan opanya seakan energinya tak pernah habis. Jika Byanca mengajaknya tidur, maka ia akan cemberut dan bersembunyi di dalam pelukan Dewo. Sungguh anak yang manis.“Papi apa kabar?” Byanca tampak memainkan jarinya di sisi gelas di hadapannya.“Alhamdulillah baik, Sayang. Kamu bagaimana By?”Byanca memaksakan untuk tersenyum. “Seperti ini, Pi. Baik-baik saja insyaallah.”Dewo mengelus kepala Byanca. “Sini peluk, Papi. Papi kangen.”Adalah hal yang menyulitkan bagi Byanca untuk memulai bercerita tentang permasalahannya. Oleh sebab itu Dewo hanya ingin memeluk tubuh rapuh itu.Segera Byanca beringsut ke dalam pelukan Papi. Dewo membubuhi kecupan dan mengelus rambut hingga punggung Byanca. Keadaan nyaman dan damai dirasakan Byanca. Tak terasa air
“Tapi sayangnya seseorang lebih menyukai kulit bertekstur seperti kulit buaya daripada kulit sehalus bambu.” Byanca menatap Mami dengan guratan tak enak. Ini berada di beranda umum, tidak baik untuk mengumbar aib orang lain. Bagaimana jika orangnya mendengar. “Benarkah? Saya baru tahu ada orang yang seperti itu, Nyonya?” Kini giliran pegawai spa yang memijat Mami yang berbicara. Mami menyunggingkan senyumannya. “Ya. Orang seperti itu tidak pantas dijadikan kekasih.” Entah siapa orang yang dimaksud Mami, Byanca pun tak memahami. Ia curiga jika ibunya ini sudah terbiasa menghina orang lain di belakang. Nanti, akan Byanca bicarakan dengan Mami perihal kebiasaan buruk ini yang bisa menjadi berbahaya untuknya jua. Selepas spa, Mami mendapat panggilan dari perusahaan bahwa salah satu dari desainernya mendapatkan surat panggilan dari kepolisian karena dianggap melakukan palgiat karya. Perusahaan Mami adalah perusahaan yang bergerak di bidang ritel. B
Suara ponsel Dewo mengakhiri aksi mereka. Dengan terpaksa, ia meletakkan Ken dengan posisinya nyaman yaitu bersandar di dadanya. Kemudian ia mengangkat panggilan tersebut. “Dia tidak merepotkan, Papi. Dia sangat baik hari ini.” “…..” “Hmm.. baiklah. Papi akan membawa Ken ke sana. Tolong kirimi alamatnya!” “….” “Apa Mami juga ikut?” “….” “Baiklah. Kami akan segera ke sana.&rdquo
Tok.. tok.. Baru beberapa detik, ia merebahkan tubuh di atas sofa dalam ruangannya, suara ketukan pintu membangunkannya kembali. Dengan nada malas, ia mengizinkan seseorang di balik pintu itu masuk. “Mi..” Kepala Byanca menyembul dengan cengiran di wajahnya. Ia pelan-pelan masuk karena ia mengetahui ibunya sedang tak enak badan, Byanca berinisiatif untuk memijatnya. “Mami rebahanlah, Byanca akan memijat Mami.” *** “Ken memperhatikan siapa, Nak?” Dewo mengikuti arah pandang Ken. Terhitung sudah lebih dari sepuluh menit ia melihat ke depan bahkan es krim di tangannya dibiarkan meleleh. Tak jauh dari mereka atau tepatnya di depan mereka, ada seorang anak perempuan kecil—mungkin seusia Ken—sedang bermain dengan ayahnya. Ia tertawa setiap kali ayahnya menghembuskan gelembung dan ia pun berlari dengan senang. Anak perempuan itu memakai baju gaun berpita merah jambu di pinggangnya terlihat seperti putri raja sementara ayahnya dengan gag