Setelah siap menyuapi Neneknya, Kamila pergi kedapur. Mengambil pakaian bersih yang sudah di cucinya, dan sudah dikemas rapi dalam plastik. Kamila bersiap mengantarkan nya kebeberapa rumah langganan nya. Kamila mengenakan kerudung, lalu berpamitan pada Nek Sumi.
Kamila berjalan kaki dengan bawaan nya yang lumayan berat. Dipeluknya beberapa kantong kresek bersih yang berisi pakaian para tetangga itu, agar tak terjatuh kejalanan.
Diperjalanan, Kamila dikejutkan oleh Setya- sahabat Kamila sejak kecil, yang tiba tiba saja sudah berjalan berdampingan dengan nya.
" Sini, aku bantu." Tanpa persetujuan Kamila,Setya mengambil begitu saja barang bawaan Kamila.
" Setya, itu tidak perlu. Aku bisa sendiri kok." Kamila yang memang tidak mau merepotkan orang lain itu, tentu menolak bantuan Setya.
" Kamu ini, Mil, seperti baru mengenalku saja. Kenapa sih selalu menolak bantuanku? Aku ini kan tampan dan baik hati. Hehehe. Mengapa kamu tidak mau berjalan beriringan denganku. Kamu selalu saja seperti itu." Setya sedikit kesal karna Kamila seperti biasanya, menolak jika dibantu oleh Setya. Padahal Setya selalu ada disaat Kamila berada dalam kesulitan. Meskipun Kamila tidak memberi tahu, Setya selalu sigap membantu Kamila.
Setya sudah mengenal Kamila sejak usia delapan tahun. Waktu itu, Ayah dan Ibu Setya baru saja pindah dari kota, ke kampung tempat tinggal Kamila. Ayah Setya yang merupakan seorang dokter, ditugaskan kepuskesmas desa ini, dan memboyong keluarganya tinggal disini.Ibu dan Ayah Setya, tidak pernah melarang Setya berteman dengan Kamila. Karna mereka melihat Kamila adalah anak yang sangat baik dan sopan. Sejak berteman dengan Kamila, Setya kecil yang dulunya sangat sulit diatur, perlahan berubah menjadi anak baik. Sebab itu jugalah, Ibu Ayah Setya sangat senang melihat Setya selalu bersama Kamila.
" Bu Indri." Setya membaca tulisan yang ditulis dengan spidol di plastik kresek wadah pakaian bersih tersebut." Ini punya Bunda, ya, Mil? Sejak kapan Bunda mencucikan pakaiannya padamu? Biasanya juga di Laundry." Tanya Setya heran. Tapi dia juga senang, dengan begitu, Setya bisa setiap akhir pekan, kerumah Kamila, beralasan mengantar dan mengambil pakaian. Karna selama ini, walaupun Setya berteman Kamila, mereka tidak bisa leluasa bertemu dikarenakan Kakek Parmin yang begitu galak, tidak mengizinkan Kamila berteman dengan siapapun.
" Oh, itu. Sudah dua kali aku nyuci baju Bu Indri. Memangnya Ibu Indri tidak ngasi tau kamu, Setya ?" Kamila menjelaskan, sembari balik bertanya pada Setya.Setya hanya menggelengkan kepalanya. Mana mungkin Setya tahu. Dia pulang ke desa ini hanya saat akhir pekan saja, karna Setya berkuliah di kota. Mereka melanjutkan perjalanan diiringi dengan ocehan Setya, yang tidak bisa berhenti berbicara. Sementara Kamila, hanya membalas dengan senyuman.
Setelah beres mengantarkan semua pakaian bersih pada para pelanggannya, termasuk rumah Setya, Kamila dan Setya duduk di balai balai desa ini, yang biasanya dipakai sebagai pos ronda. Meregangkan otot kaki yang berjalan lumayan jauh, dengan beban bawaan yang lumayan berat. Mereka mengobrol ringan. Diiringi dengan candaan receh Setya yang sukses membuat Kamila tertawa riang. Setelah satu minggu merasa hidup sendirian, Kamila kembali ceria setelah bertemu Setya.
Setya yang saat ini sedang kuliah jurusan hukum, di kota, memang tidak setiap saat berada di desa ini. Setya pulang setiap akhir pekan. Selain tidak tahan berpisah lama dengan Ibunya, Kamila adalah alasan Setya untuk sering kembali ke desa. Sosok sederhana Kamila, sopan santun, tutur bahasa yang lembut, serta wajah cantik Kamila, sangat membuat Setya merindukan Kamila jika berada jauh darinya.
Mereka berbincang cukup lama, hingga Kamila mengingat Nenek nya, Kamila bangkit dari tempat duduknya. Dan bergegas pulang kerumah.
" Astaghfirullah. Setya, aku pulang duluan, ya." Kamila menepuk keningnya. Dia merasa bersalah karna asik ngobrol, dan lupa pada Neneknya.
"Mau kemana Mil? Buru buru banget." Setya refleks menarik lengan Kamila,hingga jarak mereka menjadi sangat dekat. Setya memandang wajah wanita yang selama ini mengisi hatinya. Meskipun Setya tidak tahu, apakah Kamila menaruh hatinya pada Setya atau tidak. Karna selama ini, jika Setya berusaha ingin mengungkapkan perasaannya pada Kamila, wanita itu pasti akan mengalihkan pembicaraan. Seperti tidak ingin membahas tentang hati. Padahal, lelaki berusia dua puluh tiga tahun itu, sangat ingin tahu isi hati Kamila yang sebenarnya.
Sepersekian detik, Kamila mendorong pelan tubuh kekar lelaki tampan dihadapan nya itu. Jantung Kamila berdetak begitu kencang. Seperti habis dikejar kuda. Keringat nya mengucur membasahi wajah manis nya.
Yang sebenarnya adalah, Kamila selama ini menyimpan rasa pada Setya. Rasa yang sangat berbeda. Rasa yang melebihi dari persahabatan. Hanya saja, mengingat siapa dirinya, Kamila merasa tak pantas berada disisi Setya. Kamila berusaha untuk tidak terlalu menggubris Setya. Kamila mengacuhkan nya. Sebab, semenjak rasa itu datang, Kamila merasa sangat tersiksa. Dihatinya ada rasa cinta, namun logikanya menolak. Karna merasa tak pantas menaruh rasa pada Setya. Apalagi sampai berniat memilikinya.
" Eh, itu, Nenek sendirian dirumah. Gak ada yang jagain. Terima kasih sudah bantuin aku ya, Setya." Kamila tampak grogi menjawab pertanyaan Setya,lalu berlari meninggalkan Setya. Kamila merasa sangat malu dengan kejadian yang baru saja terjadi. Berhadapan sangat dekat dengan Setya, membuat jantung Kamila berdetak kencang. Wanita yang tidak pernah mengenal cinta itu, merasakan hal yang berbeda dihatinya, jika berada didekat Setya. Dia menyadari bahwa, ya, Kamila mencintai Setya.
Setya hanya berdiri ditempat nya ditinggalkan oleh Kamila. Dia menatap erat gadis pujaan hatinya itu. Setya menyunggingkan senyum nya. Dia sangat melihat jelas pipi putih Kamila, berubah menjadi merah muda, karna merasa malu. Setya senang, merasa bahwa ada ruang di hati Kamila untuk nya. Hanya saja, Kamila merasa malu. Gadis yang selalu mengenakan gamis panjang, serta mengenakan kerudung labuh itu, sangat memikat hati Setya. Sebab, dikampus tempat Setya kuliah, jarang sekali dia temui gadis seperti Kamila. Dikampus nya, siapa yang tidak mengenal Setya. Lelaki itu begitu populer dikampus. Dia digilai oleh para mahasiswi mahasiswi disana. Selain tajir, Setya juga sangat tampan. Melihatnya dari kejauhan saja, para wanita langsung tidak bisa bergerak dari tempatnya. Dan tak bisa berhenti menatapnya.Bahkan, ada yang ingin pingsan, jika tak sengaja bertatapan mata dengan Setya. Namun sayang, Setya tak pernah menggubris sedikitpun siapa saja yang mendekatinya. Dikampus, Setya juga dikenal sebagai orang yang cuek, dan dingin. Sangat berbanding terbalik jika berada di dekat Kamila.Jika berada di dekat Kamila, Setya akan menunjukkan kekonyolan nya sampai Kamila tertawa terbahak bahak. Setya juga tak bisa berhenti bicara jika sedang bersama Kamila.
***"Assalamualaikum." Kamila mengucap salam, sembari mendorong pelan pintu rumah yang tidak terkunci. Suara derit pintu tua, beradu dengan lantai semen itu, mengiringi langkah kaki Kamila memasuki rumah."Waalaikumsalam." Nek Sumi menjawab salam Kamila dari dalam bilik.
"Mila pulang, Nek." Ucap Kamila seraya berjalan menuju kamar Nek Sumi.
Kamila membuka hijab, dan duduk disamping dipan tua, tempat Nek Sumi berbaring.
"Capek Nduk? Ngantarnya jauh ya?." Tanya Nek Sumi pada Kamila.
"Enggak, Nek. Hanya sekitar desa sini saja. Tidak sampai desa sebelah. Kamila lama ya? Nenek butuh sesuatu?" Kamila merasa bersalah pada Nenek nya.
"Tidak, Nduk. Kamu ketemu Setya ya?" Nek Sumi seakan sudah mengerti dengan cucu kesayangannya itu. Karna, Kamila tidak pernah pulang terlambat dihari biasa. Hanya di akhir pekan saja, jika bertemu Setya.
"Anak itu sangat baik, Nduk. Nenek sangat menyukai sikapnya. Kamu juga menyukainya bukan?" Nek Sumi menggoda Kamila yang tampak tersipu malu.
" Neneeekk." Kamila tersenyum malu,lalu menghambur memeluk Neneknya. Mereka berdua tertawa lepas petang itu. Sungguh sederhana kebahagiaan yang mereka ciptakan.
"Nek, ini uang hasil cucian Kamila. Nenek pegang sebagian, ya. Sebagian lagi akan Mila belanjakan ke warung Bu Ani. Mila akan membeli beras dan beberapa kebutuhan dapur." Kamila menyerahkan uang seratus lima puluh ribu pada neneknya. Sedangkan seratus lima puluh ribu, sisanya, akan dibawa kewarung untuk membeli kebutuhan dapur."Mila sayang, kamu pegang saja semua ya, Nduk. Nenek tidak perlu uang ini. Memangnya Mila gak kepengen beli kerudung atau pakaian baru?" Nek Sumi menyerahkan uang itu kembali ketangan Kamila.Karna selama ini, Kamila tidak pernah membeli barang barang pribadi untuk dirinya. Baju dan kerudung yang dipakai oleh Kamila,kebanyakan diberi oleh tetangga mereka. Dan yang lebih sering, Bu Indri- Ibu Setya yang memberi banyak baju untuk Kamila. Tak jarang juga, gamis yang diberi oleh Bu Indri, adalah gamis yang masih baru. Begitupun juga dengan kerudung. Kamila kerap kali menolak dengan sopan pemberian Bu Indri. Karna Kamila merasa tidak enak sudah merep
Setelah Ayah Setya, pulang dari puskesmas, tempatnya bertugas, Setya akan mengutarakan niatnya pada Ayah dan Ibunya, nanti seusai melaksanakan sholat maghrib.Ba'da maghrib, Ayah dan Ibu Setya nampak sedang duduk bersantai diruang keluarga, sambil menonton televisi. Keluarga mereka tampak begitu hangat. Tak satupun yang terlihat memegang gawai, saat sedang berkumpul bersama.Setya terlihat sedikit tegang, ketika akan berbicara pada Ibu dan Ayahnya. Meski tekad nya sudah bulat, dan pasti Ibu dan Ayahnya akan setuju jika ia menikah dengan Kamila, tapi Setya tak begitu yakin jika Ibu dan Ayahnya akan mengizinkannya menikah dalam waktu yang terbilang singkat. Dibarengi, dengan pendidikannya, yang sebentar lagi juga akan berakhir. Ibu dan Ayahnya, pasti menyarankan agar Setya menikah usai wisuda. Dan dia, tak akan sabar lagi menunggu waktu itu. Dia sudah banyak melihat penderitaan Kamila, meski gadis itu selalu menyembunyikannya."Bunda, Ayah, asik banget nonto
"Assalamualaikum." Pak Wiguna mengucap salam dan mengetuk pintu rumah nek Sumi. Mereka sudah memutuskan, akan segera menikahkan Kamila dan Setya. Karna Setya, sudah merasa yakin dengan itu. Bu Indri dan pak Wiguna juga tidak bisa menghalangi niat baik putra mereka. "Waalaikumsalam." Kamila menjawab dari dalam rumah, sembari membukakan pintu. Gadis berhijab itu tertegun melihat pak Wiguna, bu Indri, dan Setya berada di ambang pintu. Kamila lantas menjunjung tangan bu Indri dan pak Wiguna ke dahinya. Bu Indri tampak mengenakan gamis set sederhana, namun tampak mewah berada di tubuhnya. Bu Indri juga tampat membawa bingkisan berupa buah-buahan yang terbungkus rapi, di tangannya. Sementara pak Wiguna dan Setya, mengenakan celana bahan, dan kemeja lengan panjang bercorak batik. Setya terlihat semakin tampan memakai pakaian formal seperti itu. Setya juga memakai tas selempang kecil di pundaknya, yang entah apa isinya. Mereka datang hanya berjalan
Menunggu kedatangan kakek Parmin, bu Indri dan nek Sumi tampak berbincang hangat. Pak Wiguna juga terlihat ikut mengobrol bersama mereka. Sementara, Setya, melirik-lirik ke arah Kamila. Yang jika Kamila menoleh ke arahnya, dia mengedipkan sebelah matanya pada Kamila. "Bu Sumi, kakinya sudah mulai bisa digerakkan, ya?" Bu Indri menanyakan perihal kesehatan nek Sumi. "Iya, Nak Indri. Sudah tidak terlalu kaku. Nak Wiguna merawat saya dengan baik," ucap Nek Sumi tersenyum sembari menyebut nama Pak Wiguna, yang mengurus penyembuhan kakinya itu. Pak Wiguna rutin datang kerumah nek Sumi setiap dua hari sekali, untuk melakukan cek pada kaki nek Sumi yang terkena kanker tulang itu. Pak Wiguna juga memberikan pengobatan dengan sukarela pada nek Sumi, dengan arti, nek Sumi tidak perlu membayar pengobatannya pada pak Wiguna. Meskipun, obat nek Sumi relatif mahal, dan jarang sekali ada stok obat dari Puskesmas desa, pak Wiguna selalu menggunakan uang pribadiny
Kakek Parmin sudah diatasi. Sekarang, satu masalah lagi datang. Jika ingin menikah, Kamila harus mencari tahu siapa ayah kandungnya untuk menjadi wali pernikahan. Karna seperti yang diketahui, kakek Parmin adalah kakek dari pihak ibu. Tentu saja, kakek Parmin tidak punya andil untuk menjadi wali di pernikahan Kamila. "Semua yang dikatakan Kakek itu, benar adanya, Setya. Bagaimana mungkin kita bisa menikah, jika Ayah kandungku, tak pernah ada yang mengetahui sosoknya, kecuali Ibu." Kamila membuka suara, dengan sisa tangisan yang baru saja mereda. Dengan suaranya yang lembut, Kamila mengiyakan perkataan kakek Parmin barusan. "Sementara Ibu, sudah puluhan tahun tidak pulang. Bahkan, dua tahun belakangan ini, Ibu tak pernah memberi kabar," imbuhnya dengan nada sedih mengingat sang Ibu yang tak kunjung terdengar kabar beritanya. "Tenang lah, Kamila. Aku akan berusaha mencari jalan keluar untuk masalah ini. Aku berjanji padamu." Setya menenangkan Kamila. Tekad lela
Hari ini, Setya kembali ke kota untuk kuliah. Karna masa akhir pekan sudah berlalu. Sebenarnya, hati Setya sangat berat meninggalkan Kamila di desa. Tapi, dia juga tak bisa libur dari kuliahnya, karna sedang berlangsung ujian. Setelah pamit dengan Kamila kemarin sore, dan meninggalkan sebuah ponsel pada Kamila, hati Setya tak lagi begitu gelisah. Dia sudah sedikit tenang, karna bisa bertanya kabar Kamila, melalui telepon. Setya memberikan ponsel yang dulu dibelikan oleh ayahnya, pada Kamila. Ponsel itu sudah jarang ia gunakan. Karna, Setya sudah memiliki ponsel baru, yang dibelinya memakai uang dari gajinya bekerja. Dan atas usul dari pak Wiguna dan bu Indri juga, Setya memberikan ponsel itu pada Kamila. Agar Setya tidak berat hati meninggalkan Kamila. Ya, meskipun ibu dan ayah Setya berada di desa yang sama dengan Kamila, dan jarak rumah mereka tidak begitu jauh, Setya tetap saja tak tenang. Jika sewaktu-waktu Kamila memerlukan bantuan, dan dia
Setya dan Rizki sudah sampai di pos, tempat pengiriman surat terakhir yang dikirim oleh Bu Ratih, ke desa. Setelah memasuki pagar, Setya dan Rizki lalu memakirkan motor Setya. Di sana terlihat seorang lelaki paruh baya, yang sepertinya, telah bekerja cukup lama di kantor itu. Bisa dilihat dari pakaian dinasnya yang sudah tampak sedikit usang. Melihatnya, Rizki lantas menghampiri lelaki itu. "Selamat sore, Pak," ucap Rizki, sembari menyambangi lelaki yang terlihat seusia ibunya itu, dengan duduk persis di samping lelaki yang tengah santai di kursi panjang, di halaman kantor tersebut. "Iya, Nak. Ada yang bisa saya bantu?" balas lelaki itu ramah pada Rizki dan Setya. "Mari, duduk," ujar lelaki itu pada Setya yang tampak masih berdiri di samping Rizki. "Iya, Pak. Perkenalkan, saya Setya." Setya kemudian duduk di sebelah Rizki, lalu mengulurkan tangannya pada lelaki berseragam kantor pos itu, yang lantas disambut hangat olehnya. "Saya, Jupr
Rintik hujan menghiasi pemandangan di luar jendela kamar Setya. Usai mengerjakan pekerjaan yang ditugaskan oleh om Ilham, Setya tak kunjung merasa lelah dan mengantuk. Sementara, jam dinding sudah menunjukkan pukul satu dinihari. Seharian, Setya tak menerima kabar dari Kamila. Dan dia pun, tak berusaha untuk menghubungi Kamila. Bukan karna dia enggan, namun, kesibukannya dari pagi hingga sore, membuatnya tak punya luang untuk menghubungi Kamila. Setya menatap layar ponsel pintarnya, lalu memandangi poto Kamila, yang dijepret secara diam-diam olehnya, dengan kamera ponsel miliknya. Potret Kamila yang tengah membaca buku itu, terpajang manis menghiasi layar depan ponsel pemuda itu. Rasa rindu, lantas menyeruak dalam hatinya. Jika tak mengingat jam yang sudah sangat larut, Setya ingin sekali menghubungi Kamila. "Kamila. Bersabarlah, sayang. Aku pasti akan mencari keberadaan ibu," lirihnya sembari menatap gambar diri Kamila. Malam itu, Setya benar-benar tak