"Heeyy anak tak berguna. Lama sekali bikin kopi saja." Seorang kakek tampak menggebrak meja dan berteriak memanggil cucunya, dengan wajah yang sangat kesal.
" Iya kek. Ini dia kopinya. Sudah siap. Tadi gasnya habis, lalu Mila mencari ranting kayu dipekarangan belakang. Mila kesulitan menyalakan apinya, karna kayunya basah terkena hujan malam tadi." Gadis manis berlesung pipi itu datang tergopoh gopoh dengan segelas kopi panas ditangannya. Dia berusaha meredakan amarah Kakeknya, dengan menjelaskan mengapa kopi yang diminta Kakeknya sedari tadi, agak terlambat diseduh Mila.
"Halaaaahhh. Alasan saja kamu ini. Dasar anak tak berguna." Kakek parmin menyeruput kopi itu, sambil menatap tajam pada Kamila- Cucu kandungnya itu.
Kamila yang sudah terbiasa mendengar caci makian Kakeknya, hanya tersenyum tipis. Menampakkan lesung pipinya yang menambah daya tarik gadis itu. Kamila berlalu meninggalkan Kakeknya yang amarah nya sudah sedikit mereda.
Setelah meneggak kopi, Kakek Parmin lantas meninggalkan rumah. Dan sepertinya, dia akan pergi ketempat bermabuk mabukan, diujung desa.
Kamila kembali melanjutkan pekerjaannya di dapur. Menyiapkan makanan untuk Kakek dan Neneknya, yang sedang terbaring sakit dikamar rumah mereka yang sudah tampak tua. Kamila memanfaatkan bahan makanan yang ada dipekarangan kecil belakang rumah kakek neneknya. Semua itu ditanam oleh Kamila sendiri.
Setelah menyelesaikan pendidikannya sampai Sekolah Menengah Atas, Kamila hanya dirumah saja, menemani sang Nenek. Kamila tak bisa pergi untuk mencari pekerjaan di kota. Kamila tak tega meninggalkan Neneknya. Karna Kamila tau, bahwa Kakek Parmin, tak akan mau mengurus Nenek Sumi. Dia hanya sibuk dengan mabuk dan judi.
Semenjak Ibu kandung Kamila memutuskan untuk kembali merantau ke kota, Mila dititipkan kepada Kakek dan Neneknya. Sejak umur lima tahun, Kamila tinggal disini. Dirumah peninggalan orang tua Nenek Sumi- Nenek kandung Kamila.
Ibunya tidak pernah pulang. Hanya uang saja yang dia kirimkan setiap bulannya melalui rekening tetangga, untuk Kamila. Dan sudah dua tahun ini, Kamila tak pernah lagi mendapatkan kiriman Ibunya. Bahkan, Ibunya sama sekali tak pernah lagi berkirim surat pada Kamila.
Sementara Ayahnya,entah lah. Tidak ada yang tau siapa Ayah Kamila. Sejak Ibunya membawa Kamila kecil kekampung halaman, tidak ada siapapun yang tau sosok Ayah Kamila. Ratih- Ibu kandung Kamila, yang semasa gadis sudah merantau ke kota untuk bekerja, dan menghidupi kedua orang tuanya, tiba tiba pulang membawa seorang anak. Kakek Parmin yang merasa tak pernah menikahkan anak gadisnya, juga merasa sangat terkejut melihat kehadiran Kamila, gadis kecil itu. Kakek Parmin tak mau mengakui Kamila sebagai cucunya. Meskipun Ratih, sudah menjelaskan padanya, bahwa Kamila anak kandung Ratih, melalui pernikahannya dengan seorang pria, yang hanya Ratih saja yang tau siapa pria itu.Semua warga kampung dulu mencibirnya. Kamila kecil dianggap pembawa sial, karna asal usulnya yang tidak jelas. Para Ibu Ibu dikampung itu, tidak mengizinkan anaknya bermain dengan Kamila.Tapi seiring berjalan waktu, melihat Kamila tumbuh menjadi gadis yang sopan, dan juga sholeha, warga kampung ini sudah menerima Kamila. Bahkan Ibu Ibu yang dulu melarang anaknya bermain dengan Kamila kecil, kini berusaha menjodohkan anak laki lakinya pada Kamila. Tapi Kamila, hanya membalas senyuman jika para Ibu Ibu berkata, ingin menjadikannya menantu. Karna, sepertinya Kamila sudah memiliki seseorang dihatinya.
Berbeda dengan warga, kakek Kamila sampai sekarang tidak menyukai Kamila. Dia selalu bilang bahwa Kamila anak yang tak berguna. Kakek selalu saja mencaci maki Kamila. Dia menganggap bahwa Kamila penyebab anaknya- Ratih, sampai sekarang tidak ada kabar berita .Namun gadis itu, hanya tersenyum mendengar makian yang dilontarkan oleh kakeknya. Hatinya sungguh sangatlah kuat.Nenek Sumi, beliau adalah kesayangan Kamila. Semasa sehat, nenek Sumi tidak pernah membiarkan Kamila melakukan pekerjaan rumah. Nenek Sumi sangat menyayangi Kamila. Karna ya, wajah Kamila sangatlah mirip dengan Ibunya yang merupakan anak satu satunya Nenek Sumi.
"Mila. Kamu dimana sayang." Nenek Sumi terdengar sedang memanggil Kamila.
"Iya nek. Mila didapur, Nek. Sebentar, ya, Nek." Mila yang tampak sudah siap memasak, dan membersihkan dapur, bergegas menemui Neneknya yang sedang terbaring lemah itu. Nenek Sumi diketahui mengidap penyakit kanker tulang. Yang menyebabkan beliau tidak bisa leluasa bergerak. Jika ingin keluar dari kamar, Nenek Sumi hanya bisa menggunakan kursi roda, karna kakinya yang sama sekali tak bisa bergerak.
"Nenek mau Mila bawakan apa?." Mila menanyakan pada neneknya mengapa Nenek memanggilnya."Tidak, Nduk. Nenek hanya ingin tau keadaan kamu. Tadi nenek mendengar, kakek memarahi kamu lagi ya, sayang." Ujar nenek.
"Maafkan Nenek, ya. Nenek tidak bisa melindungi kamu dari sikap kasar Kakekmu, Nak. Nenek lah yang sebenarnya tidak berguna." Air mata Nek Sumi mulai mengalir.
" Nenek. Jangan bicara seperti itu, Nek. Mila sudah terbiasa. Mila tidak apa apa, Nek. Lihatlah, Mila kuat. Mila tidak menangis sedikitpun." Mila berhambur memeluk neneknya yang kini tengah terisak itu. Mila tidak tahan jika melihat Neneknya bersedih. Mila lebih baik dicaci maki oleh Kakeknya, daripada harus melihat sang Nenek menangis. Hati Mila tidak kuat melihat orang yang sangat menyayangi, dan disayanginya itu menangis.
Mereka berdua larut dalam kesedihan, hingga suara daun pintu kamar yang ditendang menyadarkan mereka .
Bruuukkkk."Anak tidak berguna. Malah enak enakan kamu tidur disini. Sana kerja. Buk Endang tadi bertanya kapan cuciannya akan diantar. Kamu malah enak enakan tidur, ya. Kamu itu membuatku geram saja." Kakek Parmin menghampiri Kamila, lalu menarik rambut panjang wanita itu. Sungguh, Mila sangat menderita. Dia berusaha menahan rasa sakit dikepalanya. Tapi tidak mampu melepaskan tangan Kakeknya yang kuat, dan sepertinya sedang mabuk itu.
" Pak. Eling, Pak. Lepaskan Mila, Pak. Dia ini cucu kamu. Kasihan Mila, Pak." Nek Sumi sedikit berteriak pada suaminya itu, dan terus menangis sesenggukan.
Karna kesal melihat istrinya menangis, Kakek Parmin akhirnya melepaskan tangannya dari rambut Kamila. Lalu kembali pergi meninggalkan rumah.Ya, begitulah kebiasaan Kakek Parmin. Semenjak anak kesayangannya- Ratih, tidak ada kabar berita, kebenciannya pada Kamila semakin bertambah. Dia acap kali menyiksa Kamila. Gadis malang itu hanya bisa menangis tanpa suara jika terasa sakit mendera tubuhnya. Kakek Parmin juga kerap pergi untuk mabuk mabukan dan berjudi, dengan meminta uang hasil Kamila mencuci pakaian para tetangga.
Kamila melakukan pekerjaan itu, karna bisa menghasilkan uang, tanpa meninggalkan nenek Sumi dirumah. Para tetangga juga sangat senang dengan hasil cucian Kamila yang bersih dan wangi. Tak sedikit juga, pelanggan Kamila berasal desa sebelah.
"Mila, kamu tidak apa apa sayang? Maafkan Kakekmu, ya, Nak." Nenek Sumi terisak melihat Kamila kesakitan sembari memegang rambutnya." Tidak Nek. Mila baik baik saja. Nenek makan dulu ya. Sebentar, Mila ambilkan." Mila langsung bergegas kedapur untuk mengambil makanan Neneknya.
Kamila yang malang itu, sangat kuat hatinya. Tak pernah merasa menyesal, atas kehidupannya. Kamila juga selalu merasa bersyukur pada Allah, karna masih memberikan kesehatan padanya, hingga ia bisa menjaga Neneknya.
Setelah siap menyuapi Neneknya, Kamila pergi kedapur. Mengambil pakaian bersih yang sudah di cucinya, dan sudah dikemas rapi dalam plastik. Kamila bersiap mengantarkan nya kebeberapa rumah langganan nya. Kamila mengenakan kerudung, lalu berpamitan pada Nek Sumi.Kamila berjalan kaki dengan bawaan nya yang lumayan berat. Dipeluknya beberapa kantong kresek bersih yang berisi pakaian para tetangga itu, agar tak terjatuh kejalanan.Diperjalanan, Kamila dikejutkan oleh Setya- sahabat Kamila sejak kecil, yang tiba tiba saja sudah berjalan berdampingan dengan nya." Sini, aku bantu." Tanpa persetujuan Kamila,Setya mengambil begitu saja barang bawaan Kamila." Setya, itu tidak perlu. Aku bisa sendiri kok." Kamila yang memang tidak mau merepotkan orang lain itu, tentu menolak bantuan Setya." Kamu ini, Mil, seperti baru mengenalku saja. Kenapa sih selalu menolak bantuanku? Aku ini kan tampan dan baik hati. Hehehe. Mengapa kamu tidak mau berjalan
"Nek, ini uang hasil cucian Kamila. Nenek pegang sebagian, ya. Sebagian lagi akan Mila belanjakan ke warung Bu Ani. Mila akan membeli beras dan beberapa kebutuhan dapur." Kamila menyerahkan uang seratus lima puluh ribu pada neneknya. Sedangkan seratus lima puluh ribu, sisanya, akan dibawa kewarung untuk membeli kebutuhan dapur."Mila sayang, kamu pegang saja semua ya, Nduk. Nenek tidak perlu uang ini. Memangnya Mila gak kepengen beli kerudung atau pakaian baru?" Nek Sumi menyerahkan uang itu kembali ketangan Kamila.Karna selama ini, Kamila tidak pernah membeli barang barang pribadi untuk dirinya. Baju dan kerudung yang dipakai oleh Kamila,kebanyakan diberi oleh tetangga mereka. Dan yang lebih sering, Bu Indri- Ibu Setya yang memberi banyak baju untuk Kamila. Tak jarang juga, gamis yang diberi oleh Bu Indri, adalah gamis yang masih baru. Begitupun juga dengan kerudung. Kamila kerap kali menolak dengan sopan pemberian Bu Indri. Karna Kamila merasa tidak enak sudah merep
Setelah Ayah Setya, pulang dari puskesmas, tempatnya bertugas, Setya akan mengutarakan niatnya pada Ayah dan Ibunya, nanti seusai melaksanakan sholat maghrib.Ba'da maghrib, Ayah dan Ibu Setya nampak sedang duduk bersantai diruang keluarga, sambil menonton televisi. Keluarga mereka tampak begitu hangat. Tak satupun yang terlihat memegang gawai, saat sedang berkumpul bersama.Setya terlihat sedikit tegang, ketika akan berbicara pada Ibu dan Ayahnya. Meski tekad nya sudah bulat, dan pasti Ibu dan Ayahnya akan setuju jika ia menikah dengan Kamila, tapi Setya tak begitu yakin jika Ibu dan Ayahnya akan mengizinkannya menikah dalam waktu yang terbilang singkat. Dibarengi, dengan pendidikannya, yang sebentar lagi juga akan berakhir. Ibu dan Ayahnya, pasti menyarankan agar Setya menikah usai wisuda. Dan dia, tak akan sabar lagi menunggu waktu itu. Dia sudah banyak melihat penderitaan Kamila, meski gadis itu selalu menyembunyikannya."Bunda, Ayah, asik banget nonto
"Assalamualaikum." Pak Wiguna mengucap salam dan mengetuk pintu rumah nek Sumi. Mereka sudah memutuskan, akan segera menikahkan Kamila dan Setya. Karna Setya, sudah merasa yakin dengan itu. Bu Indri dan pak Wiguna juga tidak bisa menghalangi niat baik putra mereka. "Waalaikumsalam." Kamila menjawab dari dalam rumah, sembari membukakan pintu. Gadis berhijab itu tertegun melihat pak Wiguna, bu Indri, dan Setya berada di ambang pintu. Kamila lantas menjunjung tangan bu Indri dan pak Wiguna ke dahinya. Bu Indri tampak mengenakan gamis set sederhana, namun tampak mewah berada di tubuhnya. Bu Indri juga tampat membawa bingkisan berupa buah-buahan yang terbungkus rapi, di tangannya. Sementara pak Wiguna dan Setya, mengenakan celana bahan, dan kemeja lengan panjang bercorak batik. Setya terlihat semakin tampan memakai pakaian formal seperti itu. Setya juga memakai tas selempang kecil di pundaknya, yang entah apa isinya. Mereka datang hanya berjalan
Menunggu kedatangan kakek Parmin, bu Indri dan nek Sumi tampak berbincang hangat. Pak Wiguna juga terlihat ikut mengobrol bersama mereka. Sementara, Setya, melirik-lirik ke arah Kamila. Yang jika Kamila menoleh ke arahnya, dia mengedipkan sebelah matanya pada Kamila. "Bu Sumi, kakinya sudah mulai bisa digerakkan, ya?" Bu Indri menanyakan perihal kesehatan nek Sumi. "Iya, Nak Indri. Sudah tidak terlalu kaku. Nak Wiguna merawat saya dengan baik," ucap Nek Sumi tersenyum sembari menyebut nama Pak Wiguna, yang mengurus penyembuhan kakinya itu. Pak Wiguna rutin datang kerumah nek Sumi setiap dua hari sekali, untuk melakukan cek pada kaki nek Sumi yang terkena kanker tulang itu. Pak Wiguna juga memberikan pengobatan dengan sukarela pada nek Sumi, dengan arti, nek Sumi tidak perlu membayar pengobatannya pada pak Wiguna. Meskipun, obat nek Sumi relatif mahal, dan jarang sekali ada stok obat dari Puskesmas desa, pak Wiguna selalu menggunakan uang pribadiny
Kakek Parmin sudah diatasi. Sekarang, satu masalah lagi datang. Jika ingin menikah, Kamila harus mencari tahu siapa ayah kandungnya untuk menjadi wali pernikahan. Karna seperti yang diketahui, kakek Parmin adalah kakek dari pihak ibu. Tentu saja, kakek Parmin tidak punya andil untuk menjadi wali di pernikahan Kamila. "Semua yang dikatakan Kakek itu, benar adanya, Setya. Bagaimana mungkin kita bisa menikah, jika Ayah kandungku, tak pernah ada yang mengetahui sosoknya, kecuali Ibu." Kamila membuka suara, dengan sisa tangisan yang baru saja mereda. Dengan suaranya yang lembut, Kamila mengiyakan perkataan kakek Parmin barusan. "Sementara Ibu, sudah puluhan tahun tidak pulang. Bahkan, dua tahun belakangan ini, Ibu tak pernah memberi kabar," imbuhnya dengan nada sedih mengingat sang Ibu yang tak kunjung terdengar kabar beritanya. "Tenang lah, Kamila. Aku akan berusaha mencari jalan keluar untuk masalah ini. Aku berjanji padamu." Setya menenangkan Kamila. Tekad lela
Hari ini, Setya kembali ke kota untuk kuliah. Karna masa akhir pekan sudah berlalu. Sebenarnya, hati Setya sangat berat meninggalkan Kamila di desa. Tapi, dia juga tak bisa libur dari kuliahnya, karna sedang berlangsung ujian. Setelah pamit dengan Kamila kemarin sore, dan meninggalkan sebuah ponsel pada Kamila, hati Setya tak lagi begitu gelisah. Dia sudah sedikit tenang, karna bisa bertanya kabar Kamila, melalui telepon. Setya memberikan ponsel yang dulu dibelikan oleh ayahnya, pada Kamila. Ponsel itu sudah jarang ia gunakan. Karna, Setya sudah memiliki ponsel baru, yang dibelinya memakai uang dari gajinya bekerja. Dan atas usul dari pak Wiguna dan bu Indri juga, Setya memberikan ponsel itu pada Kamila. Agar Setya tidak berat hati meninggalkan Kamila. Ya, meskipun ibu dan ayah Setya berada di desa yang sama dengan Kamila, dan jarak rumah mereka tidak begitu jauh, Setya tetap saja tak tenang. Jika sewaktu-waktu Kamila memerlukan bantuan, dan dia
Setya dan Rizki sudah sampai di pos, tempat pengiriman surat terakhir yang dikirim oleh Bu Ratih, ke desa. Setelah memasuki pagar, Setya dan Rizki lalu memakirkan motor Setya. Di sana terlihat seorang lelaki paruh baya, yang sepertinya, telah bekerja cukup lama di kantor itu. Bisa dilihat dari pakaian dinasnya yang sudah tampak sedikit usang. Melihatnya, Rizki lantas menghampiri lelaki itu. "Selamat sore, Pak," ucap Rizki, sembari menyambangi lelaki yang terlihat seusia ibunya itu, dengan duduk persis di samping lelaki yang tengah santai di kursi panjang, di halaman kantor tersebut. "Iya, Nak. Ada yang bisa saya bantu?" balas lelaki itu ramah pada Rizki dan Setya. "Mari, duduk," ujar lelaki itu pada Setya yang tampak masih berdiri di samping Rizki. "Iya, Pak. Perkenalkan, saya Setya." Setya kemudian duduk di sebelah Rizki, lalu mengulurkan tangannya pada lelaki berseragam kantor pos itu, yang lantas disambut hangat olehnya. "Saya, Jupr