Share

Rinjani kembali

Bara dan sang Bunda kini tengah berada di perjalanan menuju vila dimana akan diadakan perayaan ulang tahun Rinjani.

"Jadi apa, ANGKASAJAYA sudah berantakan, Bund?" tanya Bara memecah keheningan.

"Tentu! Bunda rasa, dalam waktu dekat ini Dewa dan antek-anteknya kalang kabut mencari investor yang mau membeli saham ANGKASAJAYA secara ilegal dan tanpa sepengetahuan Aryo." jawab Wartini sembari menatap lurus pada jalanan.

"Sudah ada tebakan calon kandidatnya, kah?"

"Bunda rasa, jika tidak pada INDOKARYA ya pasti Bank Central. Tapi, kemungkinan lebih besarnya ke INDOKARYA. Kau tentu paham akan alasannya, bukan?" ucap Wartini menoleh sekilas pada putra tunggalnya itu.

"Ya dan Bara punya ide untuk hal itu." jawab Bara menampilkan senyum liciknya.

"Bunda selalu percaya pada rencana yang kalian buat! Itu sangat menganggumkan!" dukung Wartini sembari turut tersenyum simpul.

Keduanya lantas terlibat obrolan layaknya teman, tanpa terasa mereka sudah memasuki kawasan vila milik keluarga Rinjani.

"Bunda! Makasih ya udah luangin waktu untuk datang kesini!" sambut Kanaya sembari memeluk Wartini.

"Tentu, Sayang! Mama kamu sahabat baik Bunda. Jika bukan karena Mama sama Opa kamu, Bunda sama Bara gak akan seperti ini sekarang." jawab Wartini lembut menenangkan.

"Gimana sama Arkan?" tanya Bara.

"Arkan gak bisa datang hari ini, karena rupanya Aryo mengantarnya sampai ke Jerman. Aku rasa, hanya untuk memastikan bahwa Arkan tak membohonginya." jawab Kanaya sedikit kecewa. Bara mengusap lengannya lembut.

"Rencananya, lusa baru dia akan kembali pulang karena Aryo juga akan kembali lusa. Arkan akan mengambil penerbangan yang berbeda dengan Aryo." lanjut Kanaya lagi.

"Sudah gak papa! Yang penting Arkan baik-baik saja dan bisa memainkan perannya dengan baik. Anak itu pandai, Bunda yakin semua bisa dia atasi!" hibur Wartini yang melihat raut khawatir dari wajah Kanaya.

"Sekarang kita ke Mama kamu! Kita hibur dia, supaya cepat kembali seperti semasa muda dulu!" Kanaya mengangguk dan melangkah menuju kamar sang Ibu yang sudah nampak rapi dengan dress sederhana tapi elegan yang di belikan Kanaya.

"Rin, kamu cantik sekali!" puji Wartini kagum, seakan kecantikan sahabatnya itu tak lekang dimakan usia.

Rinjani menoleh, ia menatap Wartini dalam-dalam. Satu bulir bening menerobos melalui sudut netranya.

"Tini. .!" lirihnya membuat Wartini terkesiap. 

"Kamu ingat aku, Rin? Kamu masih mengenaliku?" cecar Wartini terharu. Rinjani mengangguk lantas kedua sahabat yang tak muda lagi itu saling berpelukan erat.

"Rin! Ayo bangkit! Kami semua ada di sini untukmu!" semangat Wartini sembari memeluk erat sahabatnya itu. 

"Terimakasih, Tin!" lirihnya lagi dalam dekapan Wartini.

Wartini mengurai pelukannya, ia menatap dalam manik mata kecoklatan yang selama ini kosong tanpa ada bias kehidupan. Kini, sorot mata itu perlahan pulih kembali.

"Rin! Bangkit! Lawan mereka dan ambil kembali apa yang menjadi milikmu!" ucap Wartini sembari memegang erat pundak sahabatnya itu.

"Jangan takut! Ada kami di sini! Ada anak-anak kamu yang hebat! Mereka berjuang untukmu, Rin!" Rinjani balas menatap mata Wartini, kini Wartini nampak dengan jelas pupil mata itu benar-benar telah bidup kembali. 

"Tapi, aku hanya wanita gila!"

"Tidak, Rin! Bukan kamu yang gila, tapi mereka yang gila! Dan mereka pantas mendapat hukuman karena telah membuat kamu seperti ini!" 

"Apa aku bisa?" 

"Pasti bisa! Ayok RINJANI KUMALASARI SUTEDJA, kamu pasti bisa!" teriak Wartini lantang seperti kala mereka asih SMA dulu. 

Tiap kali mereka merasa tertekan dengan pelajaran ataupun soal-soal ujian, mereka akan ke taman dan akan meneriakkan jargon penyemangat satu sama lain. Rinjani akan meneriakkan nama lengkap Wartini, pun sebaliknya Wartini akan melakukan hal yang sama seperti sekarang ini. Lantas keduanya akan berpelukan sembari tertawa lepas.

Rinjani tersenyum lebar menanggapi teriakan Wartini, berbeda dengan Kanaya dan Bara yang berada di ruang tengah tepatnya di depan kamar sang Ibu. Begitu mendengar teriakan Wartini mereka semua tergopoh masuk ke dalam kamar termasuk Wak Sanih dan Mbak Asih.

Begitu pintu kamar terbuka, Kanaya diam mematung di tempat melihat Runjani dan Wartini tengah tertawa lepas. Tawa yang hampir 30 tahun tak pernah Kanaya lihat sama sekali.

"WARTINI SUBAGYO KITA PASTI BISA!" balas Rinjani dengan berteriak tak kalah kencang membuat semua yang menyaksikan itu merinding sempurna, air mata mengalir tanpa dikomando dari netra meraka.

"Ma-ma!" isak Kanaya dengan air mata mengalir tetapi bibirnya tersenyum merekah. Bara dengan segap meraih Kanaya dalam pelukannya, turut merasakan kebahagiaan yang luar biasa melihat ibu dari wanita yang ia cintai kini kembali seperti sediakala.

Wajah Wartini telah basah oleh air mata, tapi senyum bahagia merekah dari bibirnya.

Keduanya larut dalam kebahagiaan yang tak terkira. Pelukan hangat sedari mereka duduk di bangku SMA, kuliah, kemudian mereka memilih jodohnya masing-masing hingga kini, masih sama terasa nyaman dan menenangkan.

"Mama!" tak tahan Kanaya akan kebahagiaannya hingga tanpa sadar ia berlari menghampiri kedua wanita berusia kepala 5 yang masih berpelukan itu. Lantas ikut menghambur dalam pelukan penuh haru itu.

Obat dari sakit mental dan kejiwaan adalah dukungan dan pelukan orang-orang terkasih. Bukan malah mengasingkannya jauh dari keluarga.

☘☘☘

"Yeeeeeyyy!" 

Sorak semua orang yang berada di salah satu vila mewah milik keluarga Rinjani. Semua tertawa penuh haru menyambut kembali sang pewaris tunggal seluruh harta kekayaan Sutedja. 

Tepat diusia yang ke 55 tahun, kesehatan mental Rinjani kembali pulih. Kanaya memastikan bahwa sang Mama benar-benar telah pulih seperti sediakala. Telah hampir 25 tahun, Rinjani kehilangan kesehatan akal dan jiwanya, membuatnya harus kembali beradaptasi dengan dunia baru yang baru saja ia buka kembali. 

Rasa sakit akibat pengkhianatan dan keserakahan suaminya membuat air matanya kering sudah. Kini, ia bangkit dari keterpurukannya bersiap menantang dunia kelam yang diberikan oleh suami dan gundiknya. 

Rinjani menatap haru orang-orang yang sudah sangat berjasa dalam hidupnya. Wartini, sang sahabat masih terus menitikkan air mata bahagia dengan kembalinya Rinjani. Kanaya, Bara, Mbak Asih, Wak Sanih dan beberapa penjaga turut terharu dengan kembalinya sang majikan itu.

"Jadi, apa rencana kita selanjutnya?" tanya Rinjani saat usai makan bersama, merayakan pertambahan usianya sekaligus syukuran akan pulihnya kesehatan mental dan jiwanya.

"Menurutku sih, lebih baik kamu tetap di sini dulu dan tetap berpura-pura masih seperti sebelumnya sampai saat yang tepat. Dan aku pastikan saat itu tidak akan lama lagi!" jawab Wartini yakin dan didukung anggukan oleh Kanaya dan yang lainnya.

"Baik, aku setuju! Katakan apa yang perlu aku lakukan untuk menghukum wanita serakah itu. Aku harus balaskan dendamku padanya!" tegasnya bersemangat.

"Pasti, Ma! Dan akan Naya pastikan Aryo pun akan menanggung akibatnya!" lanjut Kanaya penuh kebencian.

Jadilah malam itu mereka menyusun kembali rencana untuk menghancurkan Ratna dan Aryo beserta antek-anteknya.

"Kemungkinan, untuk beberapa saat wanita iblis itu takkan datang kemari karena anak kesayangannya baru saja melakukan percobaan bunuh diri, pastilah sibuk mengurus robot mereka itu." jelas Bara membuat Rinjani sedikit terkejut begitupun Kanaya.

"Bunuh diri?" ulang Kanaya memastikan.

"Iya! Setelah aku beri pilihan sulit untuknya!" 

Lantas Bara menceritakan tentang eksekusi dari rencana yang beberapa waktu lalu mereka susun itu.

"Tepat sekali! Setelah ini, giliran Ratna yang akan mendapat syock terapi, anak buahku bergerak cukup cepat hingga tak butuh waktu lama aku sudah mengantongi bukti kecurangan Dewa dan pernikahan mereka!" lanjut Wartini disambut senyum mengembang dari bibir Rinjani.

"Terimakasih! Kalian luar biasa!" kagum Rinjani.

"Aku saja yang bodoh, tak mampu bangkit dari keterpurukan hingga menyia-nyiakan hidupku selama 25 tahun lamanya." lanjutnya sendu.

"Tak perlu disesali! Sekarang waktunya kamu bangkit, ambil kembali semua milikmu dan beri mereka pelajaran berharga yang akan mereka ingat seumur hidup. Kita akan buat mereka menderita, hingga malaikat maut pun enggan mendekat pada mereka!" Semangat Wartini lagi mengusap bahu Rinjani menguatkan.

"Benar! Saatnya kita bangkit dan lawan mereka! Tanpa hartaku mereka bukan siapa-siapa!" 

"Kau tak perlu risau! Hampir 40% harta milikmu sudah aman bersama kami. Meski, sudah terlampau banyak juga yang mereka habiskan untuk perut mereka sendiri!" 

"Terimakasih, Tin! Aku tak tahu harus berkata apalagi padamu!" ucap Rinjani setulus hati.

"Sudahlah, kau adalah saudaraku! Tak akan aku biarkan orang lain menyakitimu. Itu adalah janji kita dulu, kan? Apa kau masih ingat?" 

"Tentu! Aku hanya punya dua saudara yaitu kamu juga Wulan. Tapi, bagaimana sekarang kabar Wulan?"

"Wulan sudah meninggal 10 tahun lalu, kecelakaan bersama suami dan dua anaknya. Meninggalkan satu orang anak perempuan yang masih kuliah di Aussie. Tahun depan baru selesai kuliahnya." jawab Wartini sedikit sendu mengingat nasib adik satu-satunya itu.

"Semoga dia tenang di sana! Kau jangan sedih, masih ada aku!" hibur Rinjani.

"Makanya, ayok bangkit! Jangan biarkan aku berjuang sendiri untuk anak-anak kita!" 

Mereka kembali larut dalam pelukan hangat yang penuh keharuan.

☘☘☘

"Dasar anak bodoh! Apa dengan kamu mati, semua masalah akan selesai begitu saja, HAH?!" bentak Ratna pada anak kesayangan yang baru saja sadarkan diri dari masa kritis akibat ulah bodohnya sendiri itu.

Suci menangis tergugu, kembali ia menyalahkan takdir yang masih saja memberinya kesempatan hidup dalam kesengsaraan yang entah kapan akan berlalu dari hidupnya.

Ia abaikan ocehan sang Ibu yang terus saja menyalahkannya. Ia semakin merasa muak dengan tingkah ibu kandungnya yang gila harta itu.

Dengan ia kembali hidup, itu artinya ia akan kembali dihadapkan dengan masalah yang sama kedepannya. Mau tak mau ia harus menghadapinya.

Rasa nyeri pasca operasi tak sesakit saat mendengar segala cacian dan makian yang keluar dari mulut sang Ibu yang telah melahirkannya 24 tahun lalu.

Ia memilih memejamkan mata dan enggan menanggapi kemarah Ratna. Ia harus mencari cara supaya tetap mendapatkan harta dari Aryo sekalipun Bara telah menceraikannya. Suara sang Ibu kian samar dengan kembali masuknya ia ke alam mimpi. 

Pagi harinya ia disambut dengan celoteh riang sang putri yang dibawa pengasuhnya untuk menemuinya. Dia tersenyum melihat wajah bulat dan bermata sipit dengan poni sebatas alis hampir menutup sebagian matanya.

Hatinya kembali getir mengingat bahwa Sofia bukanlah darah daging Bara, lantas Sofia anak siapa? Suci pun tak dapat menjawabnya, satu tekadnya lepas dari siapa ayah kandung Sofia. Yang jelas Sofia adalah anak yang ia lahirkan sendiri, ia berjanji akan menjadi Ibu yang baik untuknya. 

Senyumnya terukir seiring dengan tingkah manja nan menggemaskan gadis cantik berusia 2 tahun itu. Tapi, tetiba pintu ruangannya terbuka dan masuklah dua orang yang sangat ingin ia hindari, Ratna dan Dewa.

"Bagaimana kondisimu?" tanya Ratna sedikit ketus. Suci tak menanggapi pertanyaan Ibunya. Ia justru menatap Dewa yang tengah mencuri pandang terhadap pengasuh Sofia yang memang masih muda dan terbilang cantik.

"Sus, tolong bawa Sofia pulang saja! Tak baik dia di rumah sakit terlalu lama!" titahnya pada pengasuh Sofia karena dia menangkap gelagat tak menyenangkan dari tatapan Dewa.

"Baik, Bu!" jawab wanita muda itu kemudian meraih Sofia dalam gendongannya dan hendak berlalu.

"Biar, Saya yang antar saja!" tawar Dewa agresif.

"Tak perlu! Ada mang Samih bersama mereka!"  sambar Suci tak mengijinkan, ia tahu betul tabiat Dewa yang akan memanfaatkan keadaan untuk merayu gadis-gadis muda untuk dijadikan simpanannya.

Dewa mendengus tak suka dengan sahutan Suci, dia menatap tak suka ke arah anak kandungnya itu. Pengasuh Sofia segera berlalu setelah mendapat anggukan kepala dari majikannya.

"Kau harus segera keluar dari rumah sakit dan lakukan segera tugasmu!" titah Ratna tanpa perasaan. Suci masih enggan menanggapi.

"Apa yang membuatmu nekat melakukan ini? Dasar bodoh!" umpat Dewa tak suka.

"Jika aku bodoh, kenapa kalian sangat bergantung padaku?" sinis Suci membuat Ratna dan Dewa menegang.

"Itu wujud baktimu pada kami sebagai orang tua yang sudah melahirkan dan merawatmu dari bayi!" jawab Ratna cepat mencari pembenaran dirinya.

"Kau memang melahirkanku, tapi kau tak merawatku seperti apa yang kau katakan tadi Ibu Ratna!" jawab Suci dengan senyum licik di bibirnya.

"Kau? Mau kau jadi anak durhaka?" bentak Ratna tak terima di panggil kau oleh Suci.

"Aku durhaka? Aku rasa sekalian saja, bukan? Tak ada ruginya aku durhaka pada kalian!" jawab Suci menantang.

Ratna naik pitam tapi tak dapat berbuat apa-apa. Sebab jika Suci membangkang dan tak lagi tunduk dalam kendalinya, maka dia sendiri yang akan rugi besar.

Ratna menatap Dewa dengan kesal, seakan tahu Ratna butuh pembelaan, Dewa akhirnya membuka suaranya lagi.

"Jangan begini, Sayang! Biar bagaimanapun kamu tetaplah anak kami. Mama sama Papa sejujurnya terlalu khawatir karena kamu nekat sekali melakukan ini." ucap Dewa mencari simpati Suci tapi Suci tak lagi luluh dengan sikap manis yang hanya ada maunya itu.

Suci enggan menanggapi dua manusia serakah dan ambisius itu. Ia abaikan mereka hingga mereka merasa jengah dengan sendirinya.

"Sebenarnya apa yang terjadi sampai kamu nekat melakukan ini, Sayang?" tanya Ratna mulai merendahkan suaranya.

"Bara menggugat cerai! Itu artinya aku tak akan dapat apapun dari harta Aryo." jawab Suci tegas membuat Dewa dan Ratna terperangah. Mereka pikir yang Suci katakan kemarin hanya gertakan saja rupanya benar terjadi.

"Kan, masih bisa dibicarakan baik-baik, Nak?" 

"Gak bisa lagi! Dengan atau tanpa persetujuanku, gugatan itu tetap akan naik ke pengadilan. Bahkan-" suara Suci tercekat di tenggorokan mengingat kenyataan pahit yang harus ia telan.

"Bahkan, apa?" 

"Bara memiliki bukti jika Sofia bukan darah dagingnya." lanjut Suci dengan menahan air mata yang siap mengalir.

"APA?" pekik Ratna terkejut. Dewa pun meraup wajahnya frustasi.

"Jadi, Sofia anak siapa?" tanya Ratna kalut. Suci menggeleng pelan tanda tak tahu. 

Ratna menjatuhkan bobotnya pada kursi yang tersedia. Untuk sesaat hening menyelimuti.

"Dan lagi, Bara memiliki banyak bukti video skandalku dengan banyak laki-laki termasuk dengan Mukti!" ucap Suci tanpa ada lagi yang ia tutupi.

Dewa dan Ratna terperangah tak percaya dengan apa yang baru saja Suci katakan. Hening, mereka larut dengan pikiran masing-masing. Ini bagai buah simalakama untuk mereka, bahkan kini mereka terkepung oleh kehancuran yang akan segera menghampiri mereka.

🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status