Share

Bunuh diri

"Arrrgghtt!!!" 

Jerit Suci untuk yang kesekian kalinya, ia melampiaskan seluruh amarahnya pada apa saja yang ia temui di kamarnya. 

Bantal, guling, tas, vas bunga sampai meja riasnya tak luput dari amukan wanita berambut panjang itu. Kondisi kamar yang sudah layaknya kapal pecah dengan semua barang berhamburan di lantai. 

Tubuhnya merosot ke lantai, ia tergugu dalam penyesalan dan amarah yang tak bisa lagi ia kendalikan. Jika saja ia tak mempermainkan janjinya pada Bara, mungkin sekarang dia masih bisa mendekap Bara dalam pelukannya. Meski, ia hanya mendapatkan raganya saja, tidak dengan hati dan cintanya. Tapi, setidaknya dia masih bisa bersama sebagai pasangan suami istri dan keluarga utuh.

Cinta yang begitu membara, membutakan akal sehatnya hingga ia turut berambisi memiliki Bara seutuhnya. Namun, semakin ia genggam, Bara semakin jauh. Perlahan demi perlahan, Bara tak lagi mampu ia jangkau akibat dari ulahnya sendiri yang terlalu kemaruk dan ambisius.

Air mata kian deras mengalir seiring dengan hancur hatinya. Ia tumpahkan tangis pilu bersama dinginnya lantai kamar yang menjadi saksi bisu hubungannya dengan Bara selama kurang dari 3 tahun itu.

Tak ia hiraukan dinginnya malam, tak ia hiraukan lagi penampilannya yang sudah tak berbentuk, ia abaikan rasa haus dan lapar hanya demi untuk meratapi nasib rumah tangganya.

Rumah tangga impiannya sedari masih gadis, segala cara ia lakukan untuk mendapatkan sang arjuna. Namun, rupanya usahanya sia-sia belaka. Segala yang ia dapatkan dengan kecurangan, nyatanya justru berbalik menjadi bumerang yang siap menghancurkannya kapan saja.

"Aku bahkan memiliki banyak video bej*tmu dengan banyak lelaki termasuk, skandalmu dengan Pak Mukti. Jika, sampai video itu menjadi konsumsi publik, bisa kau bayangkan bukan seperti apa akibatnya?"

Ucapan Bara sebelum meninggalkan rumah, terngiang-ngiang di telinganya. Ia dipaksa dihadapkan dengan pilihan sulit, bercerai dari Bara tapi tak mendapatkan apapun dari Aryo Wijaya sedangkan jika menolak bercerai ia tak mampu membayangkan apa yang akan terjadi bisa-bisa nyawanya akan melayang di tangan Aryo. Bara tak pernah main-main dengan ucapannya.

"Bangs*t!" umpatnya sembari melempar apa saja yang bisa ia raih.

Ia termenung, otaknya tak mampu diajak berpikir. Ia putus asa, tak bisa berpikir jernih. Ia bangkit berdiri, menatap pantulan dirinya pada cermin lemari besar, penampilannya begitu memprihatinkan. Ia meraih gunting besar yang tersimpan di laci meja riasnya. 

Dengan kilatan keputusasaan dari sorot matanya, ia berpikir pendek hendak mengakhiri hidupnya. Ia berpikir jika ia mati, itu akan lebih baik dari menanggung kemurkaan Aryo akibat video skandalnya dengan banyak lelaki juga ia tak siap hidup miskin jika Aryo tak jadi memberinya sepeserpun harta jika ia bercerai dari Bara.

Ia bersiap melayangkan gunting tajam itu pada tubuhnya. Namun, seketika gerakannya terhenti. Bayang celoteh dan tawa riang putrinya menari di pelupuk mata. Jika dirinya mati, bagaimana dengan Sofia? Dua sisi dalam hatinya berperang dengan dua hal yang bertolak belakang.

Ia menghela nafas besar berulang kali, berusaha meyakinkan hatinya jika keputusan yang ia ambil adalah keputusan yang tepat. Ia menepis segala bayang Sofia dalam ingatannya. Dengan air mata berderai, ia kembali melayangkan gunting tepat pada bagian vital tubuhnya.

Crash, 

Satu kali tusukan tepat di dada sebelah kiri, ia abaikan rasa sakitnya. Darah mulai mengalir ke tangan kanannya hingga gunting besar itu berlumuran darah.

"Arght!" 

Ia kembali menarik gunting yang menancap di dadanya, nafasnya mulai sesak tapi ia tak gentar. Kembali ia menancapkan dengan sekuat tenaga pada luka yang sama. 

Satu garis senyum putus asa ia ulas pada bibirnya dengan air mata yang masih terus mengalir, hingga ia terkapar di lantai dengan bersimbah darah dan gunting besar masih menancap di dada kirinya. Ia tak hanya gelap mata tapi juga gelap hati dan pikiran.

☘☘☘

"Pa, pokoknya apapun yang terjadi jangan sampai Aryo mengetahui kecurangan kita selama ini, sebelum semua aset ia balik menjadi nama Suci." tegas Ratna pada Dewa yang nampak kalut dan frustasi.

Sejak kejadian siang tadi di kantor, ia memutuskan untuk membicarakan masalah ini dengan Ratna di apartemennya. 

"Tapi gimana caranya, Ratna! Bahkan semua perusahan akan menggabungkan saham-saham milik mereka dengan PT. ANGKASA, itu sama saja dengan kekalahan telak buat ANGKASAJAYA. Ini simalakama untuk ANGKASAJAYA, Ratna!" Dewa menjelaskan perlahan dengan harapan Ratna akan mengerti posisinya yang serba salah.

"Kita memiliki 32% saham saja, Ratna. Dan ANGKASA memiliki 27% sisanya berada di perusahaan yang bernaung di bawah kekuasaan kita. Kalau kita lepas 2% lagi, itu artinya kita bahkan tidak bisa mengambil keputusan untuk mengatur keuangan, Ratna! Ayolah bantu aku berpikir untuk menyembunyikan ini dari Aryo! Jika berita ini sampai ke telinga Aryo, sudah dapat dipastikan kita akan membusuk di penjara! Apa kau mau, Hah?" bentak Dewa kalut.

"Wartini benar-benar serakah! Apa sih maunya dia? Bahkan tak ada gunanya kita menghabisi Satya, harusnya yang kita habisi itu Wartini saja!" cerocos Ratna kesal.

"Ini benar-benar diluar dugaan kita! Bagaimana bisa kenyamanan yang kita dapatkan puluhan tahun lamanya tiba-tiba terusik dengan masalah pelik seperti ini?" gumam Ratna putus asa.

"Coba cari investor lain yang mau membeli 2% saham ANGKASAJAYA, dong! Jangan cuma pasrah saja bisanya!" geram Ratna lagi.

"Sudahlah, bagaimana kalau kita lepas 2% saham itu pada Bank Central? Bukankah waktu itu mereka datang untuk menawar saham itu, bukan?" usul Dewa membuat Ratna mendongak.

"Bank Central? Indra Bakti maksudmu?" tanya Ratna menatap Dewa. Dewa mengangguk samar.

"Kau lupa apa gimana sih, Indra Bakti itu sepupu jauh Satya! Sudah jelas mereka akan berada di pihak ANGKASA!" Ratna bangkit berdiri dan berkacang pinggang di depan Dewa yang masih nampak menundukkan badan dengan kedua tangan menumpu kepalanya yang terasa mau pecah.

"Sial*n!" desis Dewa semakin kalut.

"Satu-satunya yang bisa menyelamatkan kita hanya, Mukti!" gumam Ratna pelan membuat Dewa menegakkan tubuhnya dan menatap Ratna penuh tanya.

"Mukti Prakoso, INDOKARYA?" tanyanya meyakinkan. Ratna mengangguk.

"Gila! Istri Mukti itu pun masih keluarga Wartini. Kamu mau Wartini menertawakan kita?" 

"Benar, tapi istrinya itu lumpuh! Dan kau tahu, Mukti itu ada main dengan Suci! Kita bisa menekannya dengan memakai Suci!" ucap Ratna dengan senyum licik di bibirnya.

Benar-benar manusia-manusia serakah yang gila harta, hingga melakukan segala cara termasuk menjual anak kandungnya sendiri. Dewa dan Ratna saling pandang dengan senyum menyeringai.

Dering ponsel milik Ratna mengalihkan perdebatan mereka. Segera ia meraihnya dan terpampang nomor sang putri kesayangan, tanpa menunggu ia segera menggeser tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telinganya.

"Ha-"

"Halo, Nya! Ini saya, Bik Isah! Non Suci, Nya! Non Suci-" suara panik bercampur tangis dari seberang sana memotong cepat suaranya.

"Suci kenapa, Bik?" tak pelak Ratna pun ikut panik mendengar nama anak semata wayangnya disebut dalam tangis asisten rumah tangga anaknya itu.

"Non Suci bunuh diri, Nya! Tadi sore bertengkar dengan Den Bara, lalu masuk ke kamar setelah Den Bara pergi. Tapi, waktu saya mau ambil pakaian kotor miliknya kamar dalam keadaan berantakan dan saya menemukan Non Suci terkapar dengan bersimbah darah di lantai." jelas Bik Isah cepat.

"Bod*h!" umpatnya tertahan. "Lalu sekarang bagaimana?"

"Ini saya bawa menuju rumah sakit Mitra Sehat, Nya! Sebentar lagi sampai!" 

"Baiklah, saya akan kesana sekarang juga!" Ratna mematikan panggilan sepihak dengan perasaan marah, kesal dan panik bersamaan.

"Kenapa dengan anak bod*h itu?" tanya Dewa sengit.

"Benar-benar bod*h anak kamu itu! Dia mencoba bunuh diri!" jelas Ratna kesal.

"Sh*t! Cepat kita selamatkan dia, jika dia mati masalah kita tambah runyam! Karena cuma dia satu-satunya alat untuk mengeruk harta Aryo!" ucapnya santai sembari bangkit berdiri.

Dengan segera mereka keluar dari apartemen Dewa menuju rumah sakit.

Sedangkan di perjalanan ke rumah sakit, Bik Isah dan juga Bara terlihat santai. Karena mereka sudah memastikan jika Suci masih dalam keadaan hidup.

Saat tak mendengar lagi suara dari dalam kamar Suci, gegas Bi Isah tergopoh memastikan keadaan majikannya itu. Rupanya tebakan Bara tepat sasaran, Suci mencoba mengakhiri hidupnya. 

Setelah melapor pada Bara, Bik Isah memastikan bahwa denyut nadi Suci masih ada. Tak lama kemudian Bara datang dan membawa Suci menuju rumah sakit terdekat. Bahkan, untuk berakting panik seperti tadi kala menghubungi Ratna, dilakukan Bik Isah atas komando Bara.

"Gimana?" tanya Bara ingin tahu karena telepon tadi tidak di loudspeaker.

"Sip, Den! Nyonya besar nampaknya panik, karena robotnya terkapar!" jawab Bik Isah terkekeh. 

"Kenapa juga Den Bara masih mau nolongin dia? Bukankah kalau Non Suci meninggal, Den Bara bisa segera menikahi Non Kanaya tanpa ada penghalang lagi?" tanya Bik Isah penasaran.

"Masalahnya tidak sesimple itu, Bik. Justru kalau dia mati sekarang masalahnya makin runyam!" jawab Bara sembari terus fokus pada jalanan. Bi Isah yang duduk di sebelah Bara nampak manggut-manggut, sedangkan mereka membiarkan Suci terkapar di bangku belakang sendirian masih dengan gunting yang menancap di dada kirinya.

"Masalah orang kaya rupanya lebih ruwet ketimbang orang miskin kek saya!" gumam Bik Isah, asisten rumah tangga sejak Bara masih usia belasan tahun itu dengan kening mengkerut. 

"Kalau orang miskin kayak kami, masalahnya teh hanya seputar perut dan perdapuran! Nah kalau orang kaya, duh menih liyer pisan!" lanjut Bi Isah dengan logat khas Sunda membuat Bara tertawa keras.

"Bibik bisa aja!" sahut Bara. Tak ada sedikitpun rasa simpatinya terhadap wanita yang masih sah sebagai istrinya itu, yang kini sedang bertaruh nyawa antara hidup dan mati.

Sejak Suci mengingkari perjanjian mereka, sejak saat itu pula simpati dan empatinya untuk wanita itu ia pupus sedemikian rupa, hingga yang tersisa hanyalah kebencian dan dendam yang mendarah daging.

Begitu sampai di IGD, Suci segera ditangani oleh tim dokter. Beruntung nyawanya masih bisa diselamatkan meski kondisinya lumayan parah. Tim dokter segera melakukan tindakan operasi. Bara dan Bik Isah menunggu diluar ruang operasi.

Tak lama kemudian, muncullah Ratna berjalan tergesa-gesa menyusuri lorong. 

"Bara, gimana Suci?" tanyanya begitu sampai di mana Bara dan Bik Isah duduk.

Bara tak segera menjawab, pandangannya justru terpaku pada sosok lelaki yang berdiri di belakang Ratna. Senyum simpul terbit di bibirnya, dengan santai dia berdiri dari duduk dan menatap tajam ke arah ibu mertuanya itu.

"Sudah go publik rupanya!" ucap Bara dengan senyum mengejek. Ratna menegang, reflek ia menoleh dan mendapati Dewa berada di belakang tubuhnya. Dalam hati ia merutuki kebodohannya dengan mengajak Dewa ke rumah sakit.

"Oh, putri anda baik-baik saja. Tepatnya masih bisa di selamatkan! Hanya saja, putri anda membutuhkan cadangan darah dari anda, Pak Dewa!" jelas Bara tenang masih dengan senyum jahatnya.

Ratna mematung di tempat mendengar penuturan Bara. Wajahnya berubah pucat, tenggorokannya terasa kering, dengan susah payah ia menelan salivanya untuk mengurangi kegugupan akan rahasianya di depan menantunya.

"A-apa maksudmu?" gagap Ratna pura-pura. Bara terkekeh melihat ekspresi wajah mertua dan juga lelaki di belakangnya.

"Bik, kita pulang saja! Biar orang tuanya yang menjaga!" ajak Bara pada Bik Isah dengan menekan kata orang tua di depan Ratna, masih dengan senyum mengejek di wajahnya.

"Apa maksudmu, Bara?" tanya Ratna sesaat setelah Bara melangkahkan kakinya beriringan dengan Bik Isah.

"Kau tentu tahu apa maksudku, Ibu Mertua! Bukan begitu, Bapak Mertua eh, Bapak Dewa!" kekeh Bara sembari menepuk pundak Dewa. Lantas ia pergi meninggalkan Ratna dan Dewa yang masih bergelut dengan perasaan takut yang mendera. Karena Bara pun nyatanya sudah mengetahui akan rahasia tentang putrinya.

🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status