PlakplakplakTamparan demi tamparan penuh emosi mendarat tepat di pipi Suci oleh Aryo Wijaya. Suci tersungkur, darah segar mengalir di sudut bibir dan hidungnya. Aryo gelap mata, kembali ia menjambak rambut panjang Suci yang sudah acak-acakan hingga Suci mendongak."Kau! Anak tak tahu diuntung! Setelah apa yang kau inginkan kami penuhi, kini kau lempar kotoran ke wajah kami, HAH!" lagi, tamparan keras dari Aryo mendarat di wajahnya. Suci menangis tergugu, gemetar tubuhnya melihat kemarahan Aryo. Ia sempat menghindar dan berniat melarikan diri. Namun, anak buah Aryo lebih cepat bertindak, hingga ia dibawa dengan paksa ke hadapan Aryo.Ratna hanya menangis tergugu melihat putrinya diperlakukan demikian oleh Aryo. Ia tak dapat berbuat apa-apa lagi, karena ia pun takut jika Aryo sudah diliputi emosi demikian."Apa maumu sekarang?" tanya Aryo yang masih terengah-engah menetralkan gejolak emosi di dadanya."Pa ... ampuni Suci, Pa!" lirihnya masih tersungkur tanpa ada satupun yang bernia
"Apa-apaan ini?" berang Aryo dengan membanting map biru yang baru saja ia baca. Panji menunduk tanpa sepatah katapun. "Sejak kapan perusahaan kacau seperti ini?" tanya Aryo kian meradang."Sejak awal bulan lalu, Pak." jawab Panji takut-takut.Brak!"Apa? Awal bulan lalu? Dan kamu baru kasih tahu saya sekarang?" Aryo menggebrak meja membuat Panji berjingkat."Maaf, Pak. Tapi, Pak Dewa mengancam kami jika kami melaporkan ini pada Bapak!" "Direktur utama perusahaan ini saya, bukan Dewa! Sekarang kemana bajing*n itu?" bentak Aryo lagi."Sudah tiga hari ini Pak Dewa dan Bu Marsya tidak masuk ke kantor Pak. Tepatnya setelah melepas 3% saham kita untuk PT. JASAKO." jelas Panji lagi.Aryo meraup wajahnya frustasi, masalah demi masalah harus ia hadapi sendiri. Ia menjatuhkan bobot di kursi kebesarannya, memijit pelipisnya yang kian berdenyut nyeri."Hari ini, hampir seluruh perusahaan yang berada di bawah naungan ANGKASAJAYA melepaskan diri dan bergabung dengan PT. ANGKASA, Pak! Karena tengg
"Apa Anda sedang bercanda, Pak Aryo?" kekeh Wahono mendengar permintaan Aryo untuk melelang seluruh aset milik keluarga Sutedja, mertuanya."Apa aku terlihat tengah bercanda, Pak Wahono?" geramnya dengan menatap tajam mata Wahono. Wahono menyandarkan punggung pada sandaran kursi dan menaikkan satu kaki ke atas satu kaki lainnya. Ia menghela nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan."Apa alasan yang tepat untuk saya melelang aset milik Ibu Rinjani?" tanyanya datar.Aryo mencebik mendengar pertanyaan Wahono, pengacara keluarga Sutedja."Wanita itu sampai sekarang tidak waras. Bagaimana dia menghandle seluruh kekayaan keluarganya?" geram Aryo. Wahono kembali terkekeh dengan jawaban Aryo."Iya, kita semua tahu bahwa sudah lebih dari 25 tahun Ibu Rinjani mengalami gangguan kejiwaannya. Akan tetapi, hampir 60% staf dan karyawan PT. PURAJAYA mengetahui jika Ibu Rinjani memiliki seorang putra yang akan menjadi ahli waris yang sah dari seluruh aset Sutedja." Aryo gelagapan mendengar
Pagi ini Suci keluar dari kamarnya setelah 3 hari ia sama sekali tak keluar dari kamar. Dengan tubuh gemetar karena kelaparan ia menuruni anak tangga perlahan-lahan menuju ruang makan.Begitu sampai ia segera menjatuhkan tubuhnya di salah satu dari 4 kursi yang mengitari meja makan berbentuk persegi empat itu. Ia meraih susu dan menuangnya dalam gelas, ia menghabiskan satu gelas susu hanya dalam beberapa kali tenggak saja.Ia menghela nafas besar, berkali-kali ia menetralkan perasaannya yang masih kacau. Sembari meraih roti dan mengoles selai kacang kesukaannya, ia celingukan mencari Bik Isah dan Wulan, pengasuh Sofia yang tak terlihat keberadaannya.Ia menghabiskan rotinya dalam keadaan hening. Ia cukup merasa heran sebab tak biasanya rumah dalam keadaan sepi begini. Lantas ia memutuskan untuk mencari kedua pembantunya itu.Ia berjalan menuju kamar Sofia, tapi kosong tak sesiapapun ia dapati berada di sana. Ia kemudian melangkahkan kaki menuju halaman belakang, kosong juga tak ada or
Ada yang berbeda pagi ini kala aku terbangun dari tidurku. Mengerjapkan mata sesaat mengumpulkan sisa kesadaran yang masih tertinggal di alam mimpi. Hari ini, hari ke 2 setelah surat kepemilikan semua aset Mama beralih menjadi namaku. Masih seperti mimpi akhirnya aku berada di titik sekarang ini. Segala lara yang aku rasakan sedari aku bayi merah kembali menari-nari di pelupuk mata. Dering ponsel di sela bantal mengalihkan perhatianku. Bik Rum, wanita hebatku."Ya, Bik!" jawabku setelah menyandarkan punggung pada sandaran ranjang."Neng, Naya! Bibik sudah sampai. Sekarang teh lagi jalan ketemu Mamah," suara cempreng nan khas itu berhasil membuat senyumku kian lebar. "Siapa yang jemput, Bik?" "Den Arkan, Neng!" girangnya. Tak terasa, mata ini berkabut mendengar suara riangnya. Ya, telah hampir 30 tahun beliau meninggalkan kota ini. Untuk merawat bayi merah yang ia pungut dari tong sampah, yang bahkan tali pusarnyapun masih menempel di perutnya. Dan bayi merah itu adalah aku. Deng
Di sebuah rumah yang sangat terpencil itu kini Dewa dan Ratna dikurung oleh Bara dengan penjagaan yang sangat ketat. Ratna dan Dewa ditempatkan di kamar yang berbeda. Kamar kecil yang hanya berukuran 2x3, dengan pencahayaan yang minim dan vetilasi kecil hanya seukuran kepalan tangan di beberapa titik. Tidak ada celah untuk bisa kabur dari tempat ini. Anak buah Bara hanya bungkam saat mengantarkan makanan ataupun membantu keduanya ke kamar mandi. Ratna tergugu dalam isak tangis, ia menyandarkan diri di tembok yang bahkan belum diplester. Ia menetap jijik akan tempat itu. Kamar kecil nan pengap, kasur busa tipis beserta selimut tipis yang tersedia di sana. Sangat berbeda jauh dengan kamar di rumah yang selama ini ia tempati, bahkan kamar ini tak sebanding dengan kamar mandinya di rumah Aryo, Rinjani lebih tepatnya. Dalam hatinya ia mengumpati Aryo yang tak mencarinya sama sekali. Namun, akhirnya ia sadar akan satu hal bahwa selama apapun ia pergi memang Aryo tak pernah mencarinya, ia
"Kamu!"Mata Aryo melotot dengan raut wajah yang merah padam, menandakan amarah tengah menguasainya.Kanaya berjalan pelan namun elegan masuk ke dalam ruangan meeting yang kacau itu. Seluruh kepala staft dan komisaris seketika diam tanpa kata melihat kedatangan Kanaya beserta dua bodyguard di belakangnya. Wahono bangkit berdiri, lantas mempersilahkan Kanaya untuk duduk di kursi yang tadi ia duduki. Aryo menatap tajam Kanaya yang seolah enggan menatapnya. Hanya senyum tipis yang ia lempar membuat amarah Aryo kian meluap."Apa-apaan ini? Kenapa wanita ini bisa masuk ke perusahaan?" Tanyanya dengan nada membentak yang entah ia tujukan untuk siapa.Tak ada siapapun yang menjawab pertanyaan Aryo, semua orang sibuk dengan pikiran masing-masing melihat Kanaya diperlakukan istimewa oleh Wahono yang mereka tahu adalah pengacara keluarga Sutedja.Hening sesaat menyelimuti ruangan ini. Hingga akhirnya Wahono membuka suara."Perkenalkan, pemilik resmi PT. PURAJAYA, ibu KANAYA INDAH SUTEDJA!" T
Meledak sudah bom yang selama ini aku simpan rapat-rapat dari lelaki berhati iblis itu. Entah apa yang kini ada di otaknya? Aku sudah tidak peduli lagi. Bahkan ketika ia berlutut merengek memohon ampun, hatiku tak sedikitpun tersentuh. Dengan entengnya ia mengucapkan maaf setelah apa yang ia lakukan terhadapku dan Mamaku. Tidak, tidak semudah itu Aryo! Kau pun harus merasakan sakit yang kami rasakan. Bukan 1 tahun 2 tahun kami menderita akibat keserakahanmu dan dengan tanpa tahu malu kau berucap maaf? Pintu maafku sudah tertutup rapat semenjak aku tahu akan kisah hidupku. Pikiranku terlempar pada kejadian 13 tahun yang lalu. Dimana itulah kali pertama aku mengetahui siapa diriku."Neng, kenapa teh pulang-pulang nangis sesenggukan begitu? Ada apa?" tanya wanita sepuh yang aku panggil Bibik itu kala aku pulang dari sekolah dengan bersimbah air mata. Tanpa kata aku merangsek ke dalam pelukan wanita renta itu. Beliau membelai kepalaku dengan ketulusan."Apa benar aku anak pungut, Bik?" t