Share

KARMA - 09

Arzetta tidak pernah membayangkan akan melihat sisi lain Alva saat ini. Tadi saat dia masih menangis di bangku taman memikirkan Jason, Alva datang memberikan sapu tangan dan mengajaknya pergi tanpa sepatah katapun. Zetta hanya bisa diam dengan pikiran bertanya-tanya, bagaimana pertemuannya tadi dengan calon istrinya. Apa mereka sudah janjian menginap di hotel nanti malam merayakan kebersamaan. Meskipun Zetta tidak yakin kalau lelaki itu bersedia secara sukarela dijodohkan seperti ini.

Zetta duduk diam memandangi Alva lekat. Ada perasaan hangat saat melihat bagaimana sikap lembut dan tatapan ceria yang menular itu. Senyuman lelaki itu menghinotis Zetta. Sebelumnya dia tidak pernah menyadari kalau senyuman Alva bisa membuatnya tertegun lama dengan terkesima.

Tapi tahulah dia dengan jelas apa alasannya. Yang ada di hadapannya saat ini adalah sosok Alva Alexander sesungguhnya. Tanpa topeng. Tanpa kilatan jahil menggoda juga gombalannya. Alva Alexander yang lembut, baik dan hangat.

Zetta lalu teringat semua perkataan Gevan Angkasa dan Opa. Sosok seperti apa sebenarnya Alva. Semua kelakuannya ini hanyalah akibat dari kisah tragis cinta masa lalu. Pada sosok Amira yang masih memiliki hatinya bahkan sampai saat ini. Alva belum bisa menjauh bahkan dari bayangan wanita itu.

Setelah hari ini Zetta tidak akan pernah memandang Alva dengan cara yang sama lagi seperti sebelumnya.

"Om Alva, gendong Raline dong."

Seorang gadis cilik cantik yang keseluruhan rambutnya telah rontok akibat kanker ganas yang di deritanya yang sejak tadi berada di pangkuannya merengek manja ke Alva yang berada di depannya. Alva tersenyum lebar seraya berjalan mendekat, mencium puncak kepala gadis itu dan menggendongnya dengan tangkas di sebelah lengannya yang kekar.

"Raline belum dapat boneka ya. Om bawa Teddy Bear besar. Mau?"

Raline mengangguk bersemangat. Zetta berdiri dan mengambilkan satu boneka besar yang sebelumnya Alva beli dan menyerahkannya. Alva menerimanya dengan senyuman lebar, "Terima kasih Tante cantik."

Kali ini Zetta tertawa dan mengelus pipi Raline yang pucat saat mendapatkan beruang besar itu dari Alva.

Disekeliling mereka terdapat lebih dari 20 anak penderita kanker dengan tingkatan penyakit yang berbeda di salah satu pusat yayasan penderita kanker anak di Vancouver. Ternyata selama ini Alva Alexander tercatat sebagai penyumbang dana tetap yayasan kanker ini meskipun dulu dia menetap di Indonesia.

Ada yang bisa berjalan seperti anak normal lainnya tapi banyak juga yang hanya berbaring di tempat tidurnya memperhatikan Alva dan tertawa jika lelaki itu menggoda mereka. Interaksinya dengan anak-anak tanpa cela.

Alva Alexander penyuka anak-anak.  Bukankah seorang lelaki yang mampu berinteraksi baik dengan  anak-anak adalah pribadi yang lembut Arzetta.

Itu adalah perkataan Gevan Angkasa saat mereka pernah bertemu. Saat itu Zetta sama sekali tidak bisa membayangkan bagaimana Alva jika berhadapan dengan anak kecil. Dan hari ini dia bisa melihatnya dengan matanya sendiri.

"Oke semuanya, sudah dapat mainannya kan?"

Alva berdiri di tengah ruangan bangsal anak dan menatap mereka berkeliling dengan senyuman lebar. Mereka serempak meneriakkan kata sudah bersama-sama. Zetta duduk di ranjang Raline juga ikut memperhatikan. Banyak perawat wanita yang tidak menyiakan kesempatan ini untuk memandangi Alva.

"Maaf kalau Om sudah jarang ke sini lagi." Dipandanginya anak-anak itu dengan sorot mata sedih, "Setiap kunjunganku selalu saja ada yang berbeda. Ada yang tetap tinggal, ada yang sudah pergi dan ada yang datang. Selalu seperti itu. Om Alva selalu berdoa, kalian akan mendapatkan  kesempatan kedua untuk menjalani hidup. Jadilah pribadi yang ceria meskipun sakit ini menyiksa. Kalian harus sembuh."

Zetta mengangkat wajahnya ke atas mencoba untuk menahan air matanya yang ingin mengalir keluar. Di peluknya Raline dengan sayang dan mensyukuri segala hal yang dimilikinya saat ini. Hidup normal tanpa penyakit yang meronggoti tubuh perlahan dan menghitung jarak umur dan waktu untuk mencapai ke sana. Mereka hidup seperti itu, dibayangi kematian.

"Jangan sedih ya sayang. Om yakin kalian bisa melewati semuanya. Jadi, Om di sini akan menyanyikan sebuan lagu untuk kalian. Ada yang mau dengar?"

Semuanya bersorak begitu juga dengan Zetta dan Raline. Zetta pernah dengar kalau Alva dulu saat tinggal di Indonesia adalah seorang vokalis band. Dia penasaran. Seorang perawat membawakan kursi dan sebuah gitar akustik. Alva duduk di sana menjadi pusat dari semua orang.

"Kalian di cintai jadi berjuanglah untuk tetap hidup. Kalian harus percaya."

Alva terlihat menatap wajah-wajah malaikat itu satu persatu dengan tatapan sedih. Saat mata mereka bertemu, Zetta tersenyum tulus untuknya dan memberikan acungan jempol. Perlahan tapi pasti Alva memetik gitarnya. Zetta menahan napasnya. Mengalunlah lagu sendu penuh makna milik Lacrae ft Tory Kelly - I'll find you.

Just fight a little longer, my friend, It's all worth it in the end, But when you got nobody to turn to

Just hold on, and I'll find you, I'll find you, I'll find you

Suara Alva merdu tanpa cela. Zetta terpesona menatap Alva lekat. Semuanya terkesima.

Make you feel like you can't fight this on your own, You know I, I'll be there for you no matter where you go, You'll never be alone, no

Zetta menangis saat Alva menyanyikan bait lirik lagu terakhir dengan sempurna. Lelaki itu menjadi sosok yang berbeda. Tatapannya membuat Zetta terhenyak. Ada banyak cinta di sana.

Lalu tepuk tangan menggema diiringi dengan banyaknya air mata di sana. Alva tersenyum lebar dan menggemakan kalimat, "Aku menyayangi kalian semua. Berjuanglah untuk sembuh."

***

"Ini tidak ada obat tidurnya kan?" Bisik Zetta yang menerima sodoran minum dari Alva yang mendengkus.

"Buat apa aku lakuin itu. Memangnya aku mau gotong-gotong kau saat kita pulang nanti!"

Zetta mencibir, menegak minumannya yang ternyata tanpa alkohol. Saat ini mereka memang sedang berada di salah satu club malam yang terkenal di Vancouver. Sheila dan suaminya Romeo yang merupakan sepupu Alva mengajak mereka bersantai sebelum kembali ke New York besok.  Meskipun Zetta agak jengah dipandangin Sheila seakan-akan dia dan Alva memiliki hubungan.

"Hei pasangan, kalian tidak berdansa?" 

Zetta dan Alva yang duduk bersisian di sofa menoleh, melihat Romei yang baru kembali setelah menjawab telepon duduk dan merangkul istrinya. 

"Siapa yang kau panggil pasangan?" Tanya Alva sebelum meneguk minumannya sendiri. 

Romeo menaikkan alisnya dan menunjuknya, "Tentu saja kau dan dia. Tatapanmu tadi seperti ingin menerkam Zetta."

Zetta mendelik dan menggeser duduknya menjauh sedikit dari Alva. Gerakan itu disadari oleh Alva yang disikapi dengan tenang, "Aku potong gajimu jadi setengah kalau kau bergeser lebih menjauh lagi, Arzetta."

Zetta mendengkus sebal diam di tempatnya. Romeo dan Sheila tertawa.

"Ah, aku tahu. Jadi, Alva Alexander tidak mampu menggoda sekretarinya? Apanya yang playboy kalau begitu?"

Alva menoleh kesal, "Kau mau melihat bagaimana sangarnya sekretarisku?"

Zetta memutar bola mata, mengalihkan pandangan ke lantai dansa yang ramai saat tiba-tiba Alva menggeser duduknya lalu  melingkarkan lengannya di bahu. Sontak saja Zetta menoleh kaget dan menyikutkan lengannya ke perut Alva keras.

"Ah, Sial!" Desis Alva. Romeo dan Sheila tertawa terbahak. 

Zetta mendengkus sebal, "Jangan curi-curi kesempatan ya,Pak. Cari saja  wanita yang bisa kau peluk-peluk."

Alva yang nampak jengkel menghabiskan minumannya dalam sekali teguk. Sejak tadi Zetta padahal menyadari tatapan beberapa wanita-wanita seksi dan bahenol yang tersebar di seluruh penjuru club terarah ke Alva yang secara megejutkan diacuhkan oleh laki-laki itu. Padahal sebelum ini, dia pasti senang jika wanita-wanita itu mencuri perhatiannya.

"Kami ke dance floor dulu ya. Kalian bersenang-senanglah," kekeh Sheila mengejek sambil menarik suaminya.

Zetta sibuk dengan ponselnya pura-puta tidak tahu Alva yang mengacak rambutnya kesal. Para pengunjung club semakin ramai dan suasana semakin memanas. Zetta mengalihkan tatapannya ke samping sembari menahan senyuman melihat tingkah Alva saat dia melihat pasangan di kejauhan yang baru saja datang dan membaur dengan ramainya orang-orang di lantai dansa.

"Sial!" Umpat Zetta saat melihat keduanya naik ke atas mengarah ke tempat di mana mereka berada. Tanpa pikir panjang, Zetta langsung naik ke atas pangkuan Alva saling berhadapan membuat Alva jelas kaget dan shock melihat kelakuannya. Eliana tidak boleh melihatnya bersama Alva di sini.

"Apa-apan kau,Zetta?!" Tanya Alva bingung.

"Maaf Pak. Anggap saja saya lagi mabuk sekarang."

"Mak--"

Belum sempat dia menyelesaikan bicaranya, Zetta menangkup kedua pipinya dan menciumnya. Tubuhnya bergetar meski bibirnya hanya menempel saja. Zetta merasa Alva terkejut setengah mati karena tidak menduga dia akan melakukan hal ini lebih dulu.

Zetta kaget saat Alva mencoba melepaskan ciumannya, nampak menyeringai seperti pemangsa yang mendapatkan buruannya dan  menarik tubuh Zetta menempel pada tubuhnya membuat Zetta sempat memekik dan Alva menarik tengkuknya lalu menciumnya. Ini yang namanya tidak mensia-siakan kesempatan.

Ciuman yang panas dan menggelora.

Zetta yang sempat kaget langsung terhanyut dalam ciuman itu dan memeluk leher Alva menyembunyikan wajahnya dan Alva dari tatapan di sekitarnya. Alva menurunkan tangannya dari tengkuk Zetta ke punggung wanita itu dengan sensual. Erangan Zetta terdengar di sela ciuman mereka.

Alva bahkan tidak memberi kesempatan untuknya bernapas.

Mereka baru berhenti berciuman setelah kehabisan napas dan terengah bersama saling bertatapan. Alva tersenyum dan mengelus pipi Zetta lembut lalu mengusap bibir Zetta yang  sedikit bengkak dengan ibu jarinya akibat dari ciumannya tadi yang begitu menggebu-gebu.

"Zetta." Panggilnya lembut itu mengalahkan suara dentuman musik di sekitarnya. Tatapan mereka saling beradu.

"Please, be mine."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status