"Di mana mereka?" desis Alva dengan tangan terkepal saat menemukan Gevan, Zafier dan Jeremy di lobby hotel."Wuih cepet banget kamu—""DI MANA MEREKA?" bentak Alva seraya menarik kerah kemeja Zafier dengan amarah."Oke. Tenangkan dirimu, Bung," sela Gevan."Bagaimana aku bisa tenang kalau ada lelaki lain yang mengganggu Istriku?" ucapnya seraya melepaskan cekalannya dan mengacak rambutnya sendiri.Gevan berdecak, "Mungkin dia client-nya Zetta.""Ah, bodoh amat! Aku harus naik ke atas dan mencari tahu.""Kita temani," ucap Jeremy yang langsung menekan tombol lift, "Supaya kamu nggak ngamuk seperti singa.""Ahh brengsek! Makin runyam aja. Ini tuh gara-gara kalian!" Alva memukul perut Zaf, melepak kepala Gevan dan menendang kaki Jeremy dengan kesal di dalam lift yang membawa mereka ke lantai atas."Shit!" umpat Gevan sementara Jeremy mengertakkan giginya."Orang sabar di sayang Tuhan, Bung," gumam Zafier seraya memegangi perutnya yang langsung mendapat kepalan tangan Alva.Hari sudah ha
London, Enam tahun kemudian,Arzetta duduk memandangi megahnya London Eye yang bercahaya biru indah di kejauhan dengan senyuman mengembang di wajah. Terpaan angin malam musim semi menerbangkan helaian rambut panjangnya yang kemudian dia rapikan dengan tangan. Diedarkannya pandangan ke sekelilingnya yang ramai seraya menunggu.Semenjak menikah dan memiliki seorang putri, Arzetta tidak habis-habisnya merasa bersyukur karena bisa merasakan perasaan bahagia tidak terkira dengan berkah yang diberikan padanya. Mengingat perjuangan panjang mereka yang tidak mudah di lalui untuk bisa bersama sampai akhirnya menikah.Masa lalu sebentuk kenangan yang akan tetap terpatri di dalam ingatannya sampai kapanpun. Kadang di saat malam ketika dia terbangun dan mendapati Alva sedang tertidur pulas sambil memeluk putri kecilnya yang tidur di antara mereka membuatnya meneteskan air mata bahagia. Tidak ada hal lain yang diinginkan Zetta selain kebahagiaan suami dan putrinya.Alva Alexander sendiri sudah ber
"Selamat siang, Pak Alva Alexander.” Setelah keterdiaman beberapa menit, wanita itu membuka suara lebih dulu. “Perkenalkan, saya Nadine Arzetta. Sekretaris baru yang akan bekerja mulai hari ini. Mohon bantuan dan bimbingannya.”Zetta mengeryit ketika calon bosnya—Alva, tidak menanggapi sapaannya malah nampak menikmati menyesap kopi di tangannya.Rumor buruk perihal bosnya sudah khatam dia pelajari. Siapa yang tak mengenal Alva Alexander—CEO yang wajahnya hilir mudik di majalah-majalah gosip dan bisnis. Tentang ketampanan, kepintaran dan pengangkatannya menjadi CEO muda menggantikan Papinya. Zetta muak melihat sosoknya yang terlihat begitu sombong, semaunya sendiri dan merasa dirinya adalah pusat dunia.Bahkan, beberapa hari lalu skandalnya mencuat dan menjadi bahan omongan dan incaran paparazi karena dia kedapatan menggoda sekretarisnya sendiri yang sudah bersuami. Itulah asal usul keberadaan Zetta di sini, menggantikan posisi kosong sekretaris. Itupun dia lakukan setelah ada tawaran
"Biar kutebak, pasti dari laki-laki playboy itu!"Zetta yang baru saja keluar dari kamar setelah bersiap untuk hari pertamanya bekerja melihat sahabatnya, Elliana, duduk di sofa sembari memeluk sebuket bunga mawar merah. "Siapa yang kau sebut playboy?" tanyanya balik sembari cemberut."Siapa lagi kalau bukan Alva Alexander," jawabnya seraya memutar bola mata. Berjalan mengarah ke dapur melewati Eliana yang terus menciumi bunga mawar itu dengan mata berbinar. "Bayangkan, sudah berapa banyak wanita yang dia berikan bunga seperti itu!""Yang penting saat ini dia sedang fokus denganku."Zetta berdecak, mengambil sebotol susu dan menuangkannya ke gelas. Kemudian mengambil roti tawar dan mengoleskan selai coklat untuk sarapannya pagi ini. "Jadi, kalian akhirnya bertemu tadi malam?" tanya Zetta seraya duduk di samping Eliana sembari menghabiskan sarapannya."Ya, dia menggodaku. Tentu saja aku menyambut godaannya itu.” Mata Eliana semakin berbinar, seolah begitu terpana oleh pesona Alva. “Te
"Pak, satu jam lagi ada rapat manajemen."Setelah tragedi menendang tumit bosnya, Zetta tetap berusaha bersikap professional. Sebagai seorang sekretaris, sudah sewajibnya dia mengingatkan Alva mengenai jadwal kerja. Dia pun mulai membacakan agenda Alva."Siang nanti ada undangan makan siang dengan perwakilan Ratser Corp., bertemu dengan Ibu Diana Raster.""Diana?"Alva menatap Zetta yang mengangguk. "Iya, Pak. Bapak kenal?" tanya Zetta sok ingin tahu.Alva tersenyum miring, "Dia salah satu wanita paling liar di ranjang yang pernah aku taklukan."Zetta langsung mencelos dan ingin muntah mendengarnya, tapi cepat-cepat dia ganti ekspresinya dengan lebih ceria. "Wah bagus itu Pak, bisa sekalian reunian atau mau saya sewakan hotel sekalian?"Alva menatap tajam dengan tangan mengambil black coffee lalu menyeruput pelan. ‘Sok ganteng!’ Zetta jengah. "Tentu saja tidak. kita hanya makan siang.""Syukurlah kalau hari ini Pak Alva lagi sehat. Pasti tadi malam habis dapat belaian ya, Pak?""Apa
"Berhenti kalian berdua!"Zetta dan Jason berhenti dan berbalik lalu kaget melihat Alva Alexander."Kenapa, Pak? Saya mau pulang."Alva mendekat dan berhenti tepat di depan Jason. Tinggi dan postur tubuh mereka hampir sama."Jadi, kau pacarnya Arzetta seperti yang dikatakan Jeremy?"Zetta tersentak kaget, sementara Jason mengerutkan kening lalu kembali menatap Alva ."Kalau iya memangnya kenapa?"Alva nampak mengamati tautan tangan mereka lalu menggertakkan giginya kesal, membuat Zetta bingung."Aku hanya mau memastikan saja. Kenalkan, Aku Alva Alexander bos—""Yeah, aku tahu. Kau yang ketahuan mesum sama mantan sekretarismu di restoranku."Alva menatap tajam Jason, "Restoranmu?""Ya. Terus maumu apa? Kalau tidak ada kami mau pulang!"Alva berdecak, "Ada satu hal yang mau aku minta dari kalian berdua supaya aku yakin. Dan kalian tidak boleh pulang sebelum melakukannya."Zetta mengerjapkan matanya, "Pak, jangan aneh-aneh deh. Saya capek mau pulang. Besok aja ya dramanya."Zetta kesal sa
‘Dasar bodoh kau, Zetta!’Hubungannya dengan Jason memasuki fase canggung. Bukan hanya karena sikap Jason malam itu, tapi karena Zetta telah meyakini kalau Jason bukanlah gay. Beberapa tahun ini Zetta hidup dengan bayangan Austin dan Jason yang selalu berada di dalam kamar berdua walaupun dia sama sekali tidak tahu apa yang sedang mereka berdua lakukan. Jika selama ini dia berbohong, Zetta sangat tidak bisa menerima hal itu.Zetta duduk di balik meja kerjanya menunggu Alva Alexander yang sedang rapat. Keadaan laki-laki itu cukup kacau beberapa hari ini. Paparazi sepertinya mengikuti Alva diam-diam sejak skandal dengan sekretarisnya terungkap, ditambah skandal terbaru di mana Alva terlihat masuk ke kamar bersama Eliana.Zetta memijit pelipisnya dengan kedua tangan di kepala sembari memejamkan mata. Setelah foto skandal itu terungkap, Eliana malah menghilang entah ke mana hingga saat ini, membuatnya gila.‘Bisa-bisanya dia—’"Kau sakit?" Zetta membuka mata dan bertemu tatap dengan mat
"Jason, aku sedang berada di Vancouver. Ada beberapa kunjungan bisnis dan urusan pribadi Alva." Zetta mengigit ujung kukunya mendengarkan setiap kalimat yang dilontarkan Jason di ujung sana."Kau pergi begitu saja tanpa memberitahuku?!" Nada suara Jason meninggi.Zetta memijit pelipisnya, "Maaf. Aku pikir tidak ada masalah jika memberitahumu belakangan dan juga—""Jadi, sekarang aku bukan lagi orang pertama yang penting bagimu, Arzetta?!""Bukan. Bukan seperti itu maksudku, Jason." Zetta mulai panik. Ini salahnya karena tidak memberitahukan kepergiannya lebih awal ke Jason. Laki-laki itu pasti mencemaskannya."Lalu, kenapa kau tidak meminta izin lebih dulu padaku? Apa kau lupa, selain Jeremy segala hal terkait urusanmu di New York menjadi tanggung jawabku. Setidaknya hargai aku dengan memberitahuku bukannya asal pergi. Apa kau menghindar?"Zetta menatap laut di kejauhan yang berwarna biru sempurna seraya merapikan riak anak rambutnya yang tertiup angin, "Ada yang harus kita bicarakan