Share

BAGI ADIL

Author: Reinee
last update Last Updated: 2021-07-04 18:44:48

Seminggu berlalu sejak ibu mertuaku di rawat di rumah sakit. Walaupun rasanya malas, aku ikut menengoknya juga beberapa kali. Sedangkan Mas Daru setiap hari lebih dari 2 kali bolak-balik ke rumah sakit.

 

Siang itu selepas sholat dhuhur, Mas Daru kembali mengajakku bicara tentang ibunya.

 

"Kalau kondisi ibu membaik, dua atau tiga hari lagi sudah boleh pulang, Ris."

 

"Syukurlah," jawabku singkat.

 

"Jadi gimana?"

 

"Gimana apanya, Mas?"

 

"Masalah yang tempo hari kita bicarakan itu, Ris. Nggak papa kan kalau kita pindah ke rumah ibu? Cuma sementara aja kok, Ris, sampai ibu bisa jalan lagi," katanya. Aku mendesah, kenapa Itu lagi - itu lagi yang dibicarakan?

 

"Coba deh kamu rundingin lagi sama adek-adekmu, Mas. Aku sudah terlanjur nyaman dengan hidup seperti ini saja. Kalau aku serumah lagi sama ibumu pasti nanti akan ada masalah kayak dulu," kataku mencoba meyakinkannya.

 

"Inshaallah enggak, Ris. Kondisi ibu sekarang kayak gitu. Nggak mungkin dia akan bersikap buruk sama kamu. Siapa tahu juga dengan ini, ibu bisa lebih bisa menerima kita, bisa lebih baik sikapnya sama kamu, sama anak-anak." 

 

Suamiku memang sungguh berhati lembut, tapi sayangnya tidak begitu saja kuiyakan keinginannya. Aku masih tidak yakin dengan semua yang dia katakan. Rasa traumaku berada di rumah itu pun seolah belum bisa hilang sampai sekarang. 

 

"Gimana?" tanyanya lagi. Aku terdiam, menghela nafas panjang.

 

"Sebelum aku kasih jawaban, aku mau bertemu kedua adikmu dulu, Mas," kataku.

 

"Mau apa, Ris?"

 

"Nanti kamu juga akan tau," kataku.

 

"Baiklah kalau itu maumu. Sekalian saja nanti sore kamu ikut aku ke rumah sakit, Intan sama Rita aku suruh kesana juga nanti."

 

"Ya sudah, oke," jawabku.

 

***

 

Setelah menitipkan Rendra dan Jody ke tetangga kontrakan, Mas Daru mengajakku ke rumah sakit sore harinya. Dan benar saja, Intan dan Rita sudah berada disana dengan suami masing-masing. 

 

Mas Daru meminta suami Intan dan Rita menjaga ibunya, sedangkan dia mengajakku dan adik-adik perempuannya keluar dari kamar perawatan. Kami duduk melingkar di meja taman tak jauh dari kamar mertuaku dirawat. 

 

"Tan, Rit ... Riris belum bisa memberikan jawaban apakah dia mau aku ajak pindah ke rumah ibu atau tidak. Dia bilang ingin bicara dengan kalian berdua dulu," kata Mas Daru membuka pembicaraan.

 

"Mau bicara apa, Mbak?" tanya Intan. Matanya menatapku tajam.

 

"Begini ya, aku bukannya nggak mau merawat ibu kalian," kataku tegas. "Tapi jujur saja, aku nggak mau tinggal di rumah itu lagi. Kalian juga tahu kan bagaimana sikap ibu kalian itu padaku waktu dulu aku pernah tinggal disana? Jika kalian jadi aku, kira-kira apa yang akan kalian lakukan? Apa kalian akan menerima tanggung jawab ini?" tanyaku.

 

Kutatap kedua adik iparku itu bergantian. Kali ini mereka hanya saling pandang dan menunduk.

 

"Dibanding aku, bukankah kalian lebih mampu mengurus ibu? Misalnya kamu Intan, kamu belum memiliki anak, juga tidak bekerja, waktumu sangat banyak di rumah. Sedangkan aku harus mengurus dua anakku. Apa tidak lebih baik jika kamu saja yang merawat ibu?" Kutata hatiku agar kuat mengatakan itu. Aku tidak ingin terlihat lemah di hadapan mereka.

 

"Tapi, Mbak." Intan bermaksud protes, tapi tanganku segera memberi isyarat padanya untuk diam.

 

"Sebentar, aku belum selesai bicara," kataku lugas.

 

"Lalu kamu, Rita. Suami kamu orang berada, ekonomi kalian kecukupan. Sementara Aku dan Mas Daru bahkan hanya sekedar untuk makan saja susah." Aku menatap Rita tajam. Dia juga hanya tertunduk. "Apakah kondisi kami yang seperti itu masih akan ditambah dengan harus merawat Ibu? Kenapa tidak kamu saja?" lanjutku sinis.

 

Ya Allah, sebenarnya rasa hatiku ingin menangis mengatakan hal seperti ini. Aku tahu betapa mulia merawat mertuaku. Tapi aku bukan orang suci yang bisa begitu saja melupakan sakit hatiku. Bukan maksudku untuk menolak merawat orang tua suamiku, aku hanya ingin memberikan pelajaran lebih dulu untuk semua orang yang pernah merendahkanku. 

 

Dadaku terasa sesak, mencoba untuk tidak menangis. Berulang kali kuhela nafas dalam agar tak keluar air mata yang sudah sangat mengganjal di pelupuk mata. Teringat perlakuan-perlakuan mereka yang sungguh sangat keterlaluan membuatku mendadak lebih kuat.

 

"Ris, jangan kelewatan!" Mas Daru memegang tanganku seolah ingin menahanku berbicara lebih lanjut.

 

"Jangan mencegahku, Mas. Aku harus mengeluarkan semua apa yang kupendam selama ini," kataku. 

 

"Lalu mbak Riris maunya gimana? Nggak mau pindah ke tempat ibu?" Kali ini Intan angkat bicara. Nada bicaranya agak ketus. Sepertinya dia marah dengan kata-kataku tadi.

 

"Tentu saja!" ujarku tegas. "Aku tidak akan pindah ke rumah ibu lagi, itu hanya akan menyakitkan untukku. Tapi meskipun begitu aku juga tidak akan melarang Mas Daru untuk merawat ibunya." Semuanya terdiam, sepertinya kaget dengan kalimat berani yang baru saja ku ucapkan. 

 

"Maksud Mbak gimana sih? Nggak ngerti aku," tanya Rita. "Kalau Mbak suruh aku yang merawat ibu sendirian, terus terang aku nggak sanggup. Aku punya suami dan anak yang juga harus ku urus. Aku nggak mungkin tinggal di rumah Ibu," kata Rita membela diri. Kutatap adik ipar bungsuku itu dengan senyuman sinis. Sudah kuduga kamu akan bicara seperti itu, batinku. 

 

"Aku juga enggak bisa. Aku memang belum punya anak, tapi aku harus urus suamiku, Mbak. Aku sudah pernah bilang ke Mas Doni untuk tinggal di rumah ibu. Tapi mas Doni melarang kalau aku harus menginap disana." Intan juga mencoba mencari alasan untuk dirinya sendiri.

 

"Ris, tolonglah, mengertilah kondisi adik-adikku." ucap Mas Daru memelas mencoba membujukku. "Aku lihat kita yang paling mampu merawat ibu. Setidaknya kita juga diuntungkan kalau tinggal di rumah ibu, Ris." Aku terkejut. Kutatap suamiku dengan tidak mengerti.

 

"Maksud Mas apa?" tanyaku.

 

"Anggap saja kita bisa berhemat dana kontrakan kalau kita tinggal dirumah ibu. Sebagai gantinya, kita gunakan tenaga kita untuk merawat beliau," katanya menjelaskan.

 

Apa?? Aku tidak menyangka Mas Daru mengatakan itu. Aku tertawa keras sampai aku lupa kalau saat itu sedang berada di rumah sakit. 

 

"Ya Allah, Mas ... lucu sekali perkataanmu. Jadi dalam pikiranmu, aku mengharapkan imbalan untuk merawat ibumu, begitu ya?" Aku kembali terkekeh, kali ini lebih pelan. 

 

Kulihat ketiganya saling pandang bingung. Mungkin saat itu mereka menganggapku gila karena tertawa sendiri, tapi aku tidak peduli, yang kumau hanya semua berjalan sesuai keinginanku. 

 

"Kalian bertiga ini sangat lucu. Selalu menilai semua hal dengan uang, dengan materi. Apa kalian benar benar tidak mengerti dengan maksud ucapanku dari tadi?"

 

"Bicara intinya saja lah Mbak, jangan berbelit-belit." Intan mulai ketus dan tidak sabar.

 

"Oke gini ya, tolong dengarkan baik baik! Dari awal aku sudah bilang, aku bukannya nggak mau merawat ibu, Aku mau tapi dengan syarat."

 

"Syarat apa maksud Mbak?" tanya Rita. Sepertinya dia mulai curiga.

 

"Kalian juga harus ikut merawatnya. Ibu kan punya 3 anak. Jadi kita berbagi tugas biar semuanya adil. Satu orang masing-masing memiliki jatah 2 hari dalam seminggu dan harus menginap disana karena kalian tahu sendiri kan ibu nggak mungkin di tinggalkan sendirian? Sedangkan untuk 1 hari sisanya kita bagi bergiliran. Dengan begini, semuanya jadi adil kan?" jelasku dengan rinci.

 

"Tapi Mbak ..."

 

"Tapi Mbak ..." 

 

Kedua adik iparku itu berucap hampir bersamaan. Wajah mereka berubah sedikit pucat. Nah kan protes? Aku sudah menduganya. Senyum sinisku mengembang

 

"Kalau kalian tidak mau, ya sudah tidak apa-apa, silahkan kalian pikirkan sendiri solusinya karena aku juga tidak mau tinggal di rumah itu lagi." Perlahan bibirku menyunggingkan senyum saat kulihat suamiku dan kedua adiknya benar-benar tak bisa bicara.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KARMA MERTUA   PART 25 (ENDING)

    "Udah dulu ya Kak Daru, Kak Riris. Hari minggu besok kita kesitu, Papa kangen pengen ketemu Rendra sama Jody katanya. See you ..." Shinta melambaikan tangannya pada kami. Lalu perlahan layar laptop Mas Daru menampilkan wajah beberapa orang; Shinta, Dewo, dan anak perempuan semata wayang mereka yang baru berusia 4 tahun, Livia, serta Papa. Kami saling melambaikan tangan mengucapkan salam perpisahan.Saat wajah-wajah itu menghilang dari layar, aku dan Mas Daru saling pandang, lalu direngkuhnya tubuhku ke dalam pelukannya. Senyum bahagianya mengembang. Sementara anak-anak kami, Rendra dan Jody segera berlari menjauhi kami."Yah, Bu, kita main lagi di belakang ya?" kata Rendra sambil berlari menuju kolam renang kecil di belakang rumah kami."Iya, Sayang. Hati-hati lho, jaga adik!" sahut suamiku.

  • KARMA MERTUA   PART 24

    Jody, anak bungsuku menghambur ke pelukanku ketakutan. Sementara Rendra, kakaknya, cepat-cepat merapatkan tubuhnya ke tubuhku."Takut, Bu," rengek si kecil Jody."Nggak papa, Sayang. Itu cuma petir," kataku mencoba menenangkannya."Ayah kenapa belum pulang, Bu?" tanya Rendra sambil mempererat pegangan tangannya pada selimut tebal kami.Malam itu hujan turun sangat lebat, seingatku yang terlebat sepanjang beberapa bulan terakhir. Suara gelegar petir juga seolah ingin memporak-porandakan seisi bumi. Berulang kali kupandangi jam dinding di kamar kami. Ini sudah lewat jam 10 malam dan Mas Daru belum juga sampai di rumah. Ponselnya tak bisa dihubungi sejak pesan terakhirnya sebelum maghrib tadi, dia bilang bahwa sudah dalam perjalanan pulang.

  • KARMA MERTUA   PART 23

    "Sepertinya waktunya nggak tepat, Mas," kataku sambil kusenggol bahu suamiku saat kami memasuki gang ke rumah Bu Dirga."Nggak tepat gimana?" Nampaknya dia belum menyadari, tapi segera kutunjuk beberapa orang sedang bergerombol di sepanjang gang menuju rumah Bu Dirga itu."Kayaknya lagi ada acara di rumah Bu Dirga," kataku menebak-nebak."Iya ya?" Mas Daru segera menyuruhku turun dari motornya, dan dia sendiri mematikan mesin motor lalu mendorongnya perlahan menuju segerombol orang yang kami temui pertama kali."Assalamu'alaikum ... Maaf Pak, ada acara apa ya?" tanya mas Daru pada salah satu lelaki dalam kelompok itu."Ooh, santunan anak yatim piatu di rumah Bu Dirga, Mas," jawabnya."Oh." Ak

  • KARMA MERTUA   PART 22

    "Apa-apaan ini? Ngapain kalian dirumah ini?!!" Teriakan Intan yang sudah beberapa meter di depanku ke arah orang-orang itu sangat keras hingga aku menghentikan langkah. Aku berusaha mengenali orang-orang yang sedang diteriaki Intan itu, tapi tidak berhasil. Tak pernah kulihat salah satu pun dari mereka sebelumnya."Kamu ini siapa?" Si wanita paruh baya yang tadinya berdiri membelakangi Intan itu menoleh. Wajahnya nampak garang, mungkin dia marah ada orang datang yang tiba-tiba meneriakinya seperti itu."Harusnya aku yang nanya, kalian ini siapa dan ngapain di rumah ibuku?!" teriak Intan lagi tak kalah garang."Ooooo ... kamu pasti Intan kan?" Wanita itu terdengar terkekeh kecil mengulurkan tangannya ke arah Intan. "Kenapa tidak bilang dari tadi? Kalau mau ambil barang-barang ibumu silahkan saja, santai saja, rumah ini belum mau ditempat

  • KARMA MERTUA   PART 21 (FIVE PARTS TO END)

    Pagi itu kususul Mas Daru ke rumah sakit setelah kutitipkan kedua bocahku ke budhe Endar, tetangga kontrakanku. Beruntungnya hari ini adalah hari minggu, jadi mereka libur sekolah. Dia mengirimiku pesan semalam dan bilang kalau aku harus kesana pagi-pagi, ada hal penting yang harus dibicarakannya, dan aku mengira itu pasti tentang ibunya.Saat tiba disana, kulihat Mas Daru sedang duduk menghadapi Intan yang sedang menangis sesenggukan. Mata wanita itu terlihat sangat merah, sepertinya menangisnya sudah lumayan lama. Sementara wajah suamiku terlihat sangat lelah, matanya pun memerah seperti dia tidak tidur semalaman. Kuhampiri Mereka yang duduk di sudut ruangan tunggu tak jauh dari ruang ICU."Ada apa?"Aku meletakkan goodie bag yang kubawa dari rumah untuk menaruh bekal. Pagi tadi kusempatkan memasakkan sarapan untuk suamiku dan a

  • KARMA MERTUA   IBU BUNUH DIRI (DARU P.O.V)

    Tak pernah kurasakan kegelisahan dan kesedihan yang sebesar ini selama hidupku, bahkan tidak saat aku menunggui bapak sakaratul maut beberapa tahun yang lalu. Melihat ibu terbaring kritis di ruang ICU membuatku merasa sepertinya dia akan pergi meninggalkanku. Dia memang bukan ibu kandungku, tapi takkan bisa kupungkiri bahwa aku mencintainya lebih dari diriku sendiri.Walaupun dia bukan wanita yang sempurna, karena memang tak ada manusia sempurna di dunia ini. Namun pengorbanan dan kasih sayangnya telah membawaku tumbuh menjadi sebesar ini tanpa kekurangan membuatku tak bisa menutup mata dengan kondisinya saat ini.Dia mungkin tak memiliki kesempurnaan cinta seorang ibu, tapi setidaknya sepanjang hidupku sebelum aku bertemu dengan Riris, istriku, dialah wanita pertama yang mencintai segala kekurangan dan kelebihanku.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status