Share

BAGI ADIL

Seminggu berlalu sejak ibu mertuaku di rawat di rumah sakit. Walaupun rasanya malas, aku ikut menengoknya juga beberapa kali. Sedangkan Mas Daru setiap hari lebih dari 2 kali bolak-balik ke rumah sakit.

 

Siang itu selepas sholat dhuhur, Mas Daru kembali mengajakku bicara tentang ibunya.

 

"Kalau kondisi ibu membaik, dua atau tiga hari lagi sudah boleh pulang, Ris."

 

"Syukurlah," jawabku singkat.

 

"Jadi gimana?"

 

"Gimana apanya, Mas?"

 

"Masalah yang tempo hari kita bicarakan itu, Ris. Nggak papa kan kalau kita pindah ke rumah ibu? Cuma sementara aja kok, Ris, sampai ibu bisa jalan lagi," katanya. Aku mendesah, kenapa Itu lagi - itu lagi yang dibicarakan?

 

"Coba deh kamu rundingin lagi sama adek-adekmu, Mas. Aku sudah terlanjur nyaman dengan hidup seperti ini saja. Kalau aku serumah lagi sama ibumu pasti nanti akan ada masalah kayak dulu," kataku mencoba meyakinkannya.

 

"Inshaallah enggak, Ris. Kondisi ibu sekarang kayak gitu. Nggak mungkin dia akan bersikap buruk sama kamu. Siapa tahu juga dengan ini, ibu bisa lebih bisa menerima kita, bisa lebih baik sikapnya sama kamu, sama anak-anak." 

 

Suamiku memang sungguh berhati lembut, tapi sayangnya tidak begitu saja kuiyakan keinginannya. Aku masih tidak yakin dengan semua yang dia katakan. Rasa traumaku berada di rumah itu pun seolah belum bisa hilang sampai sekarang. 

 

"Gimana?" tanyanya lagi. Aku terdiam, menghela nafas panjang.

 

"Sebelum aku kasih jawaban, aku mau bertemu kedua adikmu dulu, Mas," kataku.

 

"Mau apa, Ris?"

 

"Nanti kamu juga akan tau," kataku.

 

"Baiklah kalau itu maumu. Sekalian saja nanti sore kamu ikut aku ke rumah sakit, Intan sama Rita aku suruh kesana juga nanti."

 

"Ya sudah, oke," jawabku.

 

***

 

Setelah menitipkan Rendra dan Jody ke tetangga kontrakan, Mas Daru mengajakku ke rumah sakit sore harinya. Dan benar saja, Intan dan Rita sudah berada disana dengan suami masing-masing. 

 

Mas Daru meminta suami Intan dan Rita menjaga ibunya, sedangkan dia mengajakku dan adik-adik perempuannya keluar dari kamar perawatan. Kami duduk melingkar di meja taman tak jauh dari kamar mertuaku dirawat. 

 

"Tan, Rit ... Riris belum bisa memberikan jawaban apakah dia mau aku ajak pindah ke rumah ibu atau tidak. Dia bilang ingin bicara dengan kalian berdua dulu," kata Mas Daru membuka pembicaraan.

 

"Mau bicara apa, Mbak?" tanya Intan. Matanya menatapku tajam.

 

"Begini ya, aku bukannya nggak mau merawat ibu kalian," kataku tegas. "Tapi jujur saja, aku nggak mau tinggal di rumah itu lagi. Kalian juga tahu kan bagaimana sikap ibu kalian itu padaku waktu dulu aku pernah tinggal disana? Jika kalian jadi aku, kira-kira apa yang akan kalian lakukan? Apa kalian akan menerima tanggung jawab ini?" tanyaku.

 

Kutatap kedua adik iparku itu bergantian. Kali ini mereka hanya saling pandang dan menunduk.

 

"Dibanding aku, bukankah kalian lebih mampu mengurus ibu? Misalnya kamu Intan, kamu belum memiliki anak, juga tidak bekerja, waktumu sangat banyak di rumah. Sedangkan aku harus mengurus dua anakku. Apa tidak lebih baik jika kamu saja yang merawat ibu?" Kutata hatiku agar kuat mengatakan itu. Aku tidak ingin terlihat lemah di hadapan mereka.

 

"Tapi, Mbak." Intan bermaksud protes, tapi tanganku segera memberi isyarat padanya untuk diam.

 

"Sebentar, aku belum selesai bicara," kataku lugas.

 

"Lalu kamu, Rita. Suami kamu orang berada, ekonomi kalian kecukupan. Sementara Aku dan Mas Daru bahkan hanya sekedar untuk makan saja susah." Aku menatap Rita tajam. Dia juga hanya tertunduk. "Apakah kondisi kami yang seperti itu masih akan ditambah dengan harus merawat Ibu? Kenapa tidak kamu saja?" lanjutku sinis.

 

Ya Allah, sebenarnya rasa hatiku ingin menangis mengatakan hal seperti ini. Aku tahu betapa mulia merawat mertuaku. Tapi aku bukan orang suci yang bisa begitu saja melupakan sakit hatiku. Bukan maksudku untuk menolak merawat orang tua suamiku, aku hanya ingin memberikan pelajaran lebih dulu untuk semua orang yang pernah merendahkanku. 

 

Dadaku terasa sesak, mencoba untuk tidak menangis. Berulang kali kuhela nafas dalam agar tak keluar air mata yang sudah sangat mengganjal di pelupuk mata. Teringat perlakuan-perlakuan mereka yang sungguh sangat keterlaluan membuatku mendadak lebih kuat.

 

"Ris, jangan kelewatan!" Mas Daru memegang tanganku seolah ingin menahanku berbicara lebih lanjut.

 

"Jangan mencegahku, Mas. Aku harus mengeluarkan semua apa yang kupendam selama ini," kataku. 

 

"Lalu mbak Riris maunya gimana? Nggak mau pindah ke tempat ibu?" Kali ini Intan angkat bicara. Nada bicaranya agak ketus. Sepertinya dia marah dengan kata-kataku tadi.

 

"Tentu saja!" ujarku tegas. "Aku tidak akan pindah ke rumah ibu lagi, itu hanya akan menyakitkan untukku. Tapi meskipun begitu aku juga tidak akan melarang Mas Daru untuk merawat ibunya." Semuanya terdiam, sepertinya kaget dengan kalimat berani yang baru saja ku ucapkan. 

 

"Maksud Mbak gimana sih? Nggak ngerti aku," tanya Rita. "Kalau Mbak suruh aku yang merawat ibu sendirian, terus terang aku nggak sanggup. Aku punya suami dan anak yang juga harus ku urus. Aku nggak mungkin tinggal di rumah Ibu," kata Rita membela diri. Kutatap adik ipar bungsuku itu dengan senyuman sinis. Sudah kuduga kamu akan bicara seperti itu, batinku. 

 

"Aku juga enggak bisa. Aku memang belum punya anak, tapi aku harus urus suamiku, Mbak. Aku sudah pernah bilang ke Mas Doni untuk tinggal di rumah ibu. Tapi mas Doni melarang kalau aku harus menginap disana." Intan juga mencoba mencari alasan untuk dirinya sendiri.

 

"Ris, tolonglah, mengertilah kondisi adik-adikku." ucap Mas Daru memelas mencoba membujukku. "Aku lihat kita yang paling mampu merawat ibu. Setidaknya kita juga diuntungkan kalau tinggal di rumah ibu, Ris." Aku terkejut. Kutatap suamiku dengan tidak mengerti.

 

"Maksud Mas apa?" tanyaku.

 

"Anggap saja kita bisa berhemat dana kontrakan kalau kita tinggal dirumah ibu. Sebagai gantinya, kita gunakan tenaga kita untuk merawat beliau," katanya menjelaskan.

 

Apa?? Aku tidak menyangka Mas Daru mengatakan itu. Aku tertawa keras sampai aku lupa kalau saat itu sedang berada di rumah sakit. 

 

"Ya Allah, Mas ... lucu sekali perkataanmu. Jadi dalam pikiranmu, aku mengharapkan imbalan untuk merawat ibumu, begitu ya?" Aku kembali terkekeh, kali ini lebih pelan. 

 

Kulihat ketiganya saling pandang bingung. Mungkin saat itu mereka menganggapku gila karena tertawa sendiri, tapi aku tidak peduli, yang kumau hanya semua berjalan sesuai keinginanku. 

 

"Kalian bertiga ini sangat lucu. Selalu menilai semua hal dengan uang, dengan materi. Apa kalian benar benar tidak mengerti dengan maksud ucapanku dari tadi?"

 

"Bicara intinya saja lah Mbak, jangan berbelit-belit." Intan mulai ketus dan tidak sabar.

 

"Oke gini ya, tolong dengarkan baik baik! Dari awal aku sudah bilang, aku bukannya nggak mau merawat ibu, Aku mau tapi dengan syarat."

 

"Syarat apa maksud Mbak?" tanya Rita. Sepertinya dia mulai curiga.

 

"Kalian juga harus ikut merawatnya. Ibu kan punya 3 anak. Jadi kita berbagi tugas biar semuanya adil. Satu orang masing-masing memiliki jatah 2 hari dalam seminggu dan harus menginap disana karena kalian tahu sendiri kan ibu nggak mungkin di tinggalkan sendirian? Sedangkan untuk 1 hari sisanya kita bagi bergiliran. Dengan begini, semuanya jadi adil kan?" jelasku dengan rinci.

 

"Tapi Mbak ..."

 

"Tapi Mbak ..." 

 

Kedua adik iparku itu berucap hampir bersamaan. Wajah mereka berubah sedikit pucat. Nah kan protes? Aku sudah menduganya. Senyum sinisku mengembang

 

"Kalau kalian tidak mau, ya sudah tidak apa-apa, silahkan kalian pikirkan sendiri solusinya karena aku juga tidak mau tinggal di rumah itu lagi." Perlahan bibirku menyunggingkan senyum saat kulihat suamiku dan kedua adiknya benar-benar tak bisa bicara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status