Pagi itu kususul Mas Daru ke rumah sakit setelah kutitipkan kedua bocahku ke budhe Endar, tetangga kontrakanku. Beruntungnya hari ini adalah hari minggu, jadi mereka libur sekolah. Dia mengirimiku pesan semalam dan bilang kalau aku harus kesana pagi-pagi, ada hal penting yang harus dibicarakannya, dan aku mengira itu pasti tentang ibunya.Saat tiba disana, kulihat Mas Daru sedang duduk menghadapi Intan yang sedang menangis sesenggukan. Mata wanita itu terlihat sangat merah, sepertinya menangisnya sudah lumayan lama. Sementara wajah suamiku terlihat sangat lelah, matanya pun memerah seperti dia tidak tidur semalaman. Kuhampiri Mereka yang duduk di sudut ruangan tunggu tak jauh dari ruang ICU."Ada apa?"Aku meletakkan goodie bag yang kubawa dari rumah untuk menaruh bekal. Pagi tadi kusempatkan memasakkan sarapan untuk suamiku dan a
"Apa-apaan ini? Ngapain kalian dirumah ini?!!" Teriakan Intan yang sudah beberapa meter di depanku ke arah orang-orang itu sangat keras hingga aku menghentikan langkah. Aku berusaha mengenali orang-orang yang sedang diteriaki Intan itu, tapi tidak berhasil. Tak pernah kulihat salah satu pun dari mereka sebelumnya."Kamu ini siapa?" Si wanita paruh baya yang tadinya berdiri membelakangi Intan itu menoleh. Wajahnya nampak garang, mungkin dia marah ada orang datang yang tiba-tiba meneriakinya seperti itu."Harusnya aku yang nanya, kalian ini siapa dan ngapain di rumah ibuku?!" teriak Intan lagi tak kalah garang."Ooooo ... kamu pasti Intan kan?" Wanita itu terdengar terkekeh kecil mengulurkan tangannya ke arah Intan. "Kenapa tidak bilang dari tadi? Kalau mau ambil barang-barang ibumu silahkan saja, santai saja, rumah ini belum mau ditempat
"Sepertinya waktunya nggak tepat, Mas," kataku sambil kusenggol bahu suamiku saat kami memasuki gang ke rumah Bu Dirga."Nggak tepat gimana?" Nampaknya dia belum menyadari, tapi segera kutunjuk beberapa orang sedang bergerombol di sepanjang gang menuju rumah Bu Dirga itu."Kayaknya lagi ada acara di rumah Bu Dirga," kataku menebak-nebak."Iya ya?" Mas Daru segera menyuruhku turun dari motornya, dan dia sendiri mematikan mesin motor lalu mendorongnya perlahan menuju segerombol orang yang kami temui pertama kali."Assalamu'alaikum ... Maaf Pak, ada acara apa ya?" tanya mas Daru pada salah satu lelaki dalam kelompok itu."Ooh, santunan anak yatim piatu di rumah Bu Dirga, Mas," jawabnya."Oh." Ak
Jody, anak bungsuku menghambur ke pelukanku ketakutan. Sementara Rendra, kakaknya, cepat-cepat merapatkan tubuhnya ke tubuhku."Takut, Bu," rengek si kecil Jody."Nggak papa, Sayang. Itu cuma petir," kataku mencoba menenangkannya."Ayah kenapa belum pulang, Bu?" tanya Rendra sambil mempererat pegangan tangannya pada selimut tebal kami.Malam itu hujan turun sangat lebat, seingatku yang terlebat sepanjang beberapa bulan terakhir. Suara gelegar petir juga seolah ingin memporak-porandakan seisi bumi. Berulang kali kupandangi jam dinding di kamar kami. Ini sudah lewat jam 10 malam dan Mas Daru belum juga sampai di rumah. Ponselnya tak bisa dihubungi sejak pesan terakhirnya sebelum maghrib tadi, dia bilang bahwa sudah dalam perjalanan pulang.
"Udah dulu ya Kak Daru, Kak Riris. Hari minggu besok kita kesitu, Papa kangen pengen ketemu Rendra sama Jody katanya. See you ..." Shinta melambaikan tangannya pada kami. Lalu perlahan layar laptop Mas Daru menampilkan wajah beberapa orang; Shinta, Dewo, dan anak perempuan semata wayang mereka yang baru berusia 4 tahun, Livia, serta Papa. Kami saling melambaikan tangan mengucapkan salam perpisahan.Saat wajah-wajah itu menghilang dari layar, aku dan Mas Daru saling pandang, lalu direngkuhnya tubuhku ke dalam pelukannya. Senyum bahagianya mengembang. Sementara anak-anak kami, Rendra dan Jody segera berlari menjauhi kami."Yah, Bu, kita main lagi di belakang ya?" kata Rendra sambil berlari menuju kolam renang kecil di belakang rumah kami."Iya, Sayang. Hati-hati lho, jaga adik!" sahut suamiku.
"Kenapa, Mas? Siapa yang nelpon?" Kuhampiri Mas Daru yang wajahnya nampak pucat usai menerima telpon dari seseorang."Ibu, Ris. Ibu masuk rumah sakit, jatuh di kamar mandi katanya. Doni tadi yang nelpon." Ada nada kekhawatiran dalam kalimatnya."Ooooh." Hanya itu yang ku ucapkan, tidak ingin tau lebih lanjut tentang hal itu. Sama sekali tidak ada perasaan cemas atau simpati di hatiku pada orang tua yang telah berkali-kali menorehkan luka di hati itu."Aku mau ke rumah sakit. Kamu ikut nggak?" tanya suamiku."Nggak ah, aku di rumah aja, Mas, nemenin Rendra sama Jody. Kabari saja gimana kondisi ibumu nanti kalau sudah disana," kataku cuek, lalu kembali ke kesibukanku membereskan rumah.Kulihat Mas Daru masih mondar mandir tak segera pergi. Bahasa tubuhnya manggambarkan kebingungan dalam hati."Kok belum be
Seminggu berlalu sejak ibu mertuaku di rawat di rumah sakit. Walaupun rasanya malas, aku ikut menengoknya juga beberapa kali. Sedangkan Mas Daru setiap hari lebih dari 2 kali bolak-balik ke rumah sakit.Siang itu selepas sholat dhuhur, Mas Daru kembali mengajakku bicara tentang ibunya."Kalau kondisi ibu membaik, dua atau tiga hari lagi sudah boleh pulang, Ris.""Syukurlah," jawabku singkat."Jadi gimana?""Gimana apanya, Mas?""Masalah yang tempo hari kita bicarakan itu, Ris. Nggak papa kan kalau kita pindah ke rumah ibu? Cuma sementara aja kok, Ris, sampai ibu bisa jalan lagi," katanya. Aku mendesah, kenapa Itu lagi - itu lagi yang dibicarakan?"Coba deh kamu rundingin lagi sama adek-adekmu, Mas. Aku sudah terlanjur nyaman dengan hidup seperti ini saja. Kalau aku serumah lagi sam
"Harusnya kamu nggak ngomong seperti itu sama mereka, Ris," protes Mas Daru saat dia mengantarkanku kembali kerumah."Tapi itu demi kebaikan semua, Mas. Aku nggak mau beban merawat ibu hanya dilimpahkan padamu saja, sedangkan kedua adikmu bisa bebas seenaknya. Itu nggak adil," ujarku.Kulihat Mas Daru mendesah. Entahlah, mungkin dia sekarang berpikir menyesal telah memperistriku, aku tidak peduli. Aku hanya tidak ingin lagi diinjak injak oleh adik-adiknya."Sudahlah aku pusing. Aku balik ke rumah sakit dulu ya. Kita pikirkan lagi besok," katanya dengan muka masam dan ditekuk. Aku tak mau ambil pusing dengan sikap Mas Daru. Biarlah apa kata orang, yang penting mertua dan ipar-iparku tak bisa lagi menindasku.***Pagi itu Mas Daru pulang dengan wajah masih muram. Sepertinya dia belum bis