Share

KARMA MERTUA
KARMA MERTUA
Penulis: Reinee

SAKITNYA IBU MERTUA

"Kenapa, Mas? Siapa yang nelpon?" Kuhampiri Mas Daru yang wajahnya nampak pucat usai menerima telpon dari seseorang.

 

"Ibu, Ris. Ibu masuk rumah sakit, jatuh di kamar mandi katanya. Doni tadi yang nelpon." Ada nada kekhawatiran dalam kalimatnya.

 

"Ooooh." Hanya itu yang ku ucapkan, tidak ingin tau lebih lanjut tentang hal itu. Sama sekali tidak ada perasaan cemas atau simpati di hatiku pada orang tua yang telah berkali-kali menorehkan luka di hati itu. 

 

"Aku mau ke rumah sakit. Kamu ikut nggak?" tanya suamiku.

 

"Nggak ah, aku di rumah aja, Mas, nemenin Rendra sama Jody. Kabari saja gimana kondisi ibumu nanti kalau sudah disana," kataku cuek, lalu kembali ke kesibukanku membereskan rumah.

 

Kulihat Mas Daru masih mondar mandir tak segera pergi. Bahasa tubuhnya manggambarkan kebingungan dalam hati.

 

"Kok belum berangkat juga?" tanyaku.

 

"Kamu beneran nggak mau ikut?" 

 

"Nggak usah lah, Mas. Nggak ada gunanya juga disana kalau aku ikut. Udah sana buruan!" kataku

 

Sama sekali tak ada sedikitpun kesedihan atau kecemasan dalam hatiku seperti suamiku. Aku tak mungkin lupa bagaimana perlakuan ibu mertuaku padaku dan pada anak-anakku waktu itu. 

 

Berawal saat usaha yang dirintis Mas Daru bangkrut 3 tahun yang lalu, hingga mau tak mau kami harus rela menjual semua aset kami untuk membayar hutang.  Semuanya habis, tak ada lagi rumah, tak ada mobil maupun motor. Yang kami miliki saat itu hanya barang-barang penting saja dan sedikit uang sisa dari melunasi hutang.

 

Di tengah keterpurukannya, suamiku merasa tak ada tempat lain yang bisa dituju selain rumah orang tuanya. Lagipula Ibunya hanya tinggal sendiri, ayah mertuaku sudah lama meninggal. 

 

"Kita tinggal disana sementara sambil nemenin Ibu, Ris. Beliau pasti juga senang rumahnya jadi rame karena ditemani cucu-cucunya," begitu kata suamiku waktu itu.

 

Aku sebenarnya lebih senang kalau kami menyewa sebuah kontrakan saja dibanding tinggal bersama mertua, tapi Mas Daru mengatakan bahwa sisa uangnya yang hanya sedikit itu mau dipakainya untuk membeli laptop untuk memulai pekerjaan online. Dengan sangat terpaksa akhirnya aku menurut.

 

Dan hari dimana suamiku membawaku untuk tinggal satu atap dengan ibunya itulah awal petakaku. Perlakuannya padaku dan anak-anakku benar-benar berubah 180 derajat dari ketika usaha Mas Daru masih jaya. 

 

Bersama kedua adik-adik suamiku yang masih sering datang berkunjung ke rumahnya itu, mereka selalu menjadikanku bahan gunjingan. Bahkan memperlakukanku seperti seorang pembantu, bukan menantu. Anak-anakku yang saat itu masih berumur 3 dan 5 tahun pun kerap menjadi bulan-bulanan omelan mereka. Sering dikatakan nakal lah, susah diatur lah, hanya menyusahkan saja seperti ibunya lah, dan masih banyak lagi kata-kata menyakitkan lainnya yang sering kudengar dari mulut mereka.

 

Tak ada yang bisa kulakukan saat itu selain sabar dan memendam luka kebencian yang teramat dalam. Sebenarnya tak hanya sekali dua kali aku meminta sama Mas Daru agar segera mencarikan rumah kontrakan saja untuk tempat tinggal kami, tapi jawaban Mas Daru selalu sama, masih belum cukup uangnya. 

 

Hari-hari berlalu dan rasanya cemoohan dan sindiran tak pernah berhenti menelanjangiku.

 

"Ris, jam segini kamu belum selesai masak? Mau kau kasih makan apa suamimu?" teriak ibu dari ruang makan. Sepagian aku mengurusi Jody, anak bungsuku yang sedang demam dan tidak mau ditinggal, jadi acara memasakku agak telat. Dan begitulah mertuaku, selalu mengomel dan tidak pernah merasa puas dengan apapun yang kulakukan.

 

"Maaf, Bu. Jody sakit nggak mau di tinggal. Jadi saya baru sempat masak," jawabku beralasan.

 

"Halah kebanyakan omong kamu, Ris. Bilang aja kamu tuh malas. Jadi istri kok nggak becus urus keluarga."

 

"Astaghfirullah, Bu. Kenapa bicara ibu selalu seperti itu sama saya?"

 

"Memangnya kenapa? Kamu nggak terima? Kamu disini kan cuma numpang, nggak bawa apa-apa. Coba kalau kamu tuh istri yang pandai nyari uang, pandai urus suami, pasti Daru hidupnya nggak akan keblangsak kayak sekarang ini. Ini semua kan gara-gara kamu yang nggak bisa jadi istri yang baik. Ya to?" katanya. 

 

Itu hanya sebagian kecil saja dari omelannya yang harus aku dengar setiap hari. Membuat kupingku selalu panas dan dadaku terasa sesak setiap kali mendengar dia mengomel. Dan parahnya, bukan cuma dia saja yang memperlakukanku seperti itu, kedua anak perempuannya pun yang seharusnya menghormatiku sebagai kakak ipar, sama sekali tidak menghargaiku semenjak aku tinggal di rumah orang tua mereka. 

 

"Mbak Riris ini ya, udah numpang aja belagu banget, bangun kesiangan. Jam segini cucian belum diapa-apain. Yang tau diri dong mbak," kata Intan ketus. Tak beda dengan Rita, adik bungsu Mas Daru yang nasibnya beruntung diperistri pejabat kecamatan di wilayah kami itu kerjaannya selalu hanya mengomeli anak-anakku jika datang. Seolah anak-anakku itu sampah yang layak untuk disingkirkan.

 

"Rendra, Jody, kalian ini anak tau aturan nggak sih? Kakinya kotor gitu main di dalam rumah. Ngotorin kursi tau? Sana keluar!" teriaknya seperti menyuruh pengemis untuk enyah dari rumah porcelainnya. 

 

Hatiku begitu sakit jika mengingat segala perlakuan mereka, terutama pada anak-anakku. Dan saat akhirnya aku sudah tak tahan lagi, diam-diam aku mencari penghasilan tambahan dari online. Setelah terkumpul sedikit uang aku memaksa Mas Daru mencari rumah kontrakan untuk kami tinggal. Kami memutuskan untuk keluar dari rumah terkutuk itu, pindah ke sebuah rumah kontrakan sangat kecil yang kami bayar bulanan yang bagiku justru seperti istana. Jauh dari tatapan-tatapan kebencian dan nyinyiran ibu dan kedua iparku.

 

***

 

"Aku nggak mau, Mas. Demi Allah aku nggak mau tinggal di rumah neraka itu lagi," kataku malam itu saat Mas Daru menyampaikan hasil berundingnya dengan adik-adiknya usai pulang dari rumah sakit. Dari hasil diagnosa, dikatakan bahwa kaki ibunya patah dan kemungkinan membutuhkan waktu yang lama untuk pulih dan bisa berjalan lagi. Itu artinya harus selalu ada yang menjaganya.

 

"Iya, aku ngerti, Ris. Tapi hanya kita yang bisa melakukan itu. Itu juga sudah jadi kewajibanku mengurus Ibu kan karena aku anak tertua. Sebelum meninggal juga bapak berwasiat padaku untuk mengurus Ibu di hari tuanya," jelasnya mencoba membujukku.

 

"Kenapa harus kita? Adik-adikmu itu gimana? Intan? Rita? Mereka kan anak perempuan, anak kesayangan ibumu. Harusnya mereka dong yang mengurusnya," protesku.

 

"Nggak bisa, Ris. Mereka harus ngurus keluarganya sendiri. Belum tentu juga suami-suami mereka mau menerima Ibu di rumah mereka. Hanya kita, Ris, yang bisa. Aku dan kamu punya banyak waktu luang. Kita bekerja di rumah, jadi bisa sekalian ngurus Ibu."

 

"Pokoknya aku nggak mau, Mas," aku bersikukuh. Sebenarnya dalam hatiku bersorak. Lihat sekarang siapa yang dia butuhkan di saat-saat seperti ini? Dia pikir dia bisa hidup selamanya sendirian di usia tuanya tanpa bantuan dari siapapun? Kalau sudah begini gimana? Nyatanya minta tolongnya ke Mas Daru dan aku juga kan? Ini pasti karma untuknya karena telah memperlakukanku dengan tidak baik. Diam-diam senyumku menyeringai. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status