Beranda / Rumah Tangga / KARMA MERTUA / SAKITNYA IBU MERTUA

Share

KARMA MERTUA
KARMA MERTUA
Penulis: Reinee

SAKITNYA IBU MERTUA

Penulis: Reinee
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-04 18:43:50

"Kenapa, Mas? Siapa yang nelpon?" Kuhampiri Mas Daru yang wajahnya nampak pucat usai menerima telpon dari seseorang.

 

"Ibu, Ris. Ibu masuk rumah sakit, jatuh di kamar mandi katanya. Doni tadi yang nelpon." Ada nada kekhawatiran dalam kalimatnya.

 

"Ooooh." Hanya itu yang ku ucapkan, tidak ingin tau lebih lanjut tentang hal itu. Sama sekali tidak ada perasaan cemas atau simpati di hatiku pada orang tua yang telah berkali-kali menorehkan luka di hati itu. 

 

"Aku mau ke rumah sakit. Kamu ikut nggak?" tanya suamiku.

 

"Nggak ah, aku di rumah aja, Mas, nemenin Rendra sama Jody. Kabari saja gimana kondisi ibumu nanti kalau sudah disana," kataku cuek, lalu kembali ke kesibukanku membereskan rumah.

 

Kulihat Mas Daru masih mondar mandir tak segera pergi. Bahasa tubuhnya manggambarkan kebingungan dalam hati.

 

"Kok belum berangkat juga?" tanyaku.

 

"Kamu beneran nggak mau ikut?" 

 

"Nggak usah lah, Mas. Nggak ada gunanya juga disana kalau aku ikut. Udah sana buruan!" kataku

 

Sama sekali tak ada sedikitpun kesedihan atau kecemasan dalam hatiku seperti suamiku. Aku tak mungkin lupa bagaimana perlakuan ibu mertuaku padaku dan pada anak-anakku waktu itu. 

 

Berawal saat usaha yang dirintis Mas Daru bangkrut 3 tahun yang lalu, hingga mau tak mau kami harus rela menjual semua aset kami untuk membayar hutang.  Semuanya habis, tak ada lagi rumah, tak ada mobil maupun motor. Yang kami miliki saat itu hanya barang-barang penting saja dan sedikit uang sisa dari melunasi hutang.

 

Di tengah keterpurukannya, suamiku merasa tak ada tempat lain yang bisa dituju selain rumah orang tuanya. Lagipula Ibunya hanya tinggal sendiri, ayah mertuaku sudah lama meninggal. 

 

"Kita tinggal disana sementara sambil nemenin Ibu, Ris. Beliau pasti juga senang rumahnya jadi rame karena ditemani cucu-cucunya," begitu kata suamiku waktu itu.

 

Aku sebenarnya lebih senang kalau kami menyewa sebuah kontrakan saja dibanding tinggal bersama mertua, tapi Mas Daru mengatakan bahwa sisa uangnya yang hanya sedikit itu mau dipakainya untuk membeli laptop untuk memulai pekerjaan online. Dengan sangat terpaksa akhirnya aku menurut.

 

Dan hari dimana suamiku membawaku untuk tinggal satu atap dengan ibunya itulah awal petakaku. Perlakuannya padaku dan anak-anakku benar-benar berubah 180 derajat dari ketika usaha Mas Daru masih jaya. 

 

Bersama kedua adik-adik suamiku yang masih sering datang berkunjung ke rumahnya itu, mereka selalu menjadikanku bahan gunjingan. Bahkan memperlakukanku seperti seorang pembantu, bukan menantu. Anak-anakku yang saat itu masih berumur 3 dan 5 tahun pun kerap menjadi bulan-bulanan omelan mereka. Sering dikatakan nakal lah, susah diatur lah, hanya menyusahkan saja seperti ibunya lah, dan masih banyak lagi kata-kata menyakitkan lainnya yang sering kudengar dari mulut mereka.

 

Tak ada yang bisa kulakukan saat itu selain sabar dan memendam luka kebencian yang teramat dalam. Sebenarnya tak hanya sekali dua kali aku meminta sama Mas Daru agar segera mencarikan rumah kontrakan saja untuk tempat tinggal kami, tapi jawaban Mas Daru selalu sama, masih belum cukup uangnya. 

 

Hari-hari berlalu dan rasanya cemoohan dan sindiran tak pernah berhenti menelanjangiku.

 

"Ris, jam segini kamu belum selesai masak? Mau kau kasih makan apa suamimu?" teriak ibu dari ruang makan. Sepagian aku mengurusi Jody, anak bungsuku yang sedang demam dan tidak mau ditinggal, jadi acara memasakku agak telat. Dan begitulah mertuaku, selalu mengomel dan tidak pernah merasa puas dengan apapun yang kulakukan.

 

"Maaf, Bu. Jody sakit nggak mau di tinggal. Jadi saya baru sempat masak," jawabku beralasan.

 

"Halah kebanyakan omong kamu, Ris. Bilang aja kamu tuh malas. Jadi istri kok nggak becus urus keluarga."

 

"Astaghfirullah, Bu. Kenapa bicara ibu selalu seperti itu sama saya?"

 

"Memangnya kenapa? Kamu nggak terima? Kamu disini kan cuma numpang, nggak bawa apa-apa. Coba kalau kamu tuh istri yang pandai nyari uang, pandai urus suami, pasti Daru hidupnya nggak akan keblangsak kayak sekarang ini. Ini semua kan gara-gara kamu yang nggak bisa jadi istri yang baik. Ya to?" katanya. 

 

Itu hanya sebagian kecil saja dari omelannya yang harus aku dengar setiap hari. Membuat kupingku selalu panas dan dadaku terasa sesak setiap kali mendengar dia mengomel. Dan parahnya, bukan cuma dia saja yang memperlakukanku seperti itu, kedua anak perempuannya pun yang seharusnya menghormatiku sebagai kakak ipar, sama sekali tidak menghargaiku semenjak aku tinggal di rumah orang tua mereka. 

 

"Mbak Riris ini ya, udah numpang aja belagu banget, bangun kesiangan. Jam segini cucian belum diapa-apain. Yang tau diri dong mbak," kata Intan ketus. Tak beda dengan Rita, adik bungsu Mas Daru yang nasibnya beruntung diperistri pejabat kecamatan di wilayah kami itu kerjaannya selalu hanya mengomeli anak-anakku jika datang. Seolah anak-anakku itu sampah yang layak untuk disingkirkan.

 

"Rendra, Jody, kalian ini anak tau aturan nggak sih? Kakinya kotor gitu main di dalam rumah. Ngotorin kursi tau? Sana keluar!" teriaknya seperti menyuruh pengemis untuk enyah dari rumah porcelainnya. 

 

Hatiku begitu sakit jika mengingat segala perlakuan mereka, terutama pada anak-anakku. Dan saat akhirnya aku sudah tak tahan lagi, diam-diam aku mencari penghasilan tambahan dari online. Setelah terkumpul sedikit uang aku memaksa Mas Daru mencari rumah kontrakan untuk kami tinggal. Kami memutuskan untuk keluar dari rumah terkutuk itu, pindah ke sebuah rumah kontrakan sangat kecil yang kami bayar bulanan yang bagiku justru seperti istana. Jauh dari tatapan-tatapan kebencian dan nyinyiran ibu dan kedua iparku.

 

***

 

"Aku nggak mau, Mas. Demi Allah aku nggak mau tinggal di rumah neraka itu lagi," kataku malam itu saat Mas Daru menyampaikan hasil berundingnya dengan adik-adiknya usai pulang dari rumah sakit. Dari hasil diagnosa, dikatakan bahwa kaki ibunya patah dan kemungkinan membutuhkan waktu yang lama untuk pulih dan bisa berjalan lagi. Itu artinya harus selalu ada yang menjaganya.

 

"Iya, aku ngerti, Ris. Tapi hanya kita yang bisa melakukan itu. Itu juga sudah jadi kewajibanku mengurus Ibu kan karena aku anak tertua. Sebelum meninggal juga bapak berwasiat padaku untuk mengurus Ibu di hari tuanya," jelasnya mencoba membujukku.

 

"Kenapa harus kita? Adik-adikmu itu gimana? Intan? Rita? Mereka kan anak perempuan, anak kesayangan ibumu. Harusnya mereka dong yang mengurusnya," protesku.

 

"Nggak bisa, Ris. Mereka harus ngurus keluarganya sendiri. Belum tentu juga suami-suami mereka mau menerima Ibu di rumah mereka. Hanya kita, Ris, yang bisa. Aku dan kamu punya banyak waktu luang. Kita bekerja di rumah, jadi bisa sekalian ngurus Ibu."

 

"Pokoknya aku nggak mau, Mas," aku bersikukuh. Sebenarnya dalam hatiku bersorak. Lihat sekarang siapa yang dia butuhkan di saat-saat seperti ini? Dia pikir dia bisa hidup selamanya sendirian di usia tuanya tanpa bantuan dari siapapun? Kalau sudah begini gimana? Nyatanya minta tolongnya ke Mas Daru dan aku juga kan? Ini pasti karma untuknya karena telah memperlakukanku dengan tidak baik. Diam-diam senyumku menyeringai. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • KARMA MERTUA   PART 25 (ENDING)

    "Udah dulu ya Kak Daru, Kak Riris. Hari minggu besok kita kesitu, Papa kangen pengen ketemu Rendra sama Jody katanya. See you ..." Shinta melambaikan tangannya pada kami. Lalu perlahan layar laptop Mas Daru menampilkan wajah beberapa orang; Shinta, Dewo, dan anak perempuan semata wayang mereka yang baru berusia 4 tahun, Livia, serta Papa. Kami saling melambaikan tangan mengucapkan salam perpisahan.Saat wajah-wajah itu menghilang dari layar, aku dan Mas Daru saling pandang, lalu direngkuhnya tubuhku ke dalam pelukannya. Senyum bahagianya mengembang. Sementara anak-anak kami, Rendra dan Jody segera berlari menjauhi kami."Yah, Bu, kita main lagi di belakang ya?" kata Rendra sambil berlari menuju kolam renang kecil di belakang rumah kami."Iya, Sayang. Hati-hati lho, jaga adik!" sahut suamiku.

  • KARMA MERTUA   PART 24

    Jody, anak bungsuku menghambur ke pelukanku ketakutan. Sementara Rendra, kakaknya, cepat-cepat merapatkan tubuhnya ke tubuhku."Takut, Bu," rengek si kecil Jody."Nggak papa, Sayang. Itu cuma petir," kataku mencoba menenangkannya."Ayah kenapa belum pulang, Bu?" tanya Rendra sambil mempererat pegangan tangannya pada selimut tebal kami.Malam itu hujan turun sangat lebat, seingatku yang terlebat sepanjang beberapa bulan terakhir. Suara gelegar petir juga seolah ingin memporak-porandakan seisi bumi. Berulang kali kupandangi jam dinding di kamar kami. Ini sudah lewat jam 10 malam dan Mas Daru belum juga sampai di rumah. Ponselnya tak bisa dihubungi sejak pesan terakhirnya sebelum maghrib tadi, dia bilang bahwa sudah dalam perjalanan pulang.

  • KARMA MERTUA   PART 23

    "Sepertinya waktunya nggak tepat, Mas," kataku sambil kusenggol bahu suamiku saat kami memasuki gang ke rumah Bu Dirga."Nggak tepat gimana?" Nampaknya dia belum menyadari, tapi segera kutunjuk beberapa orang sedang bergerombol di sepanjang gang menuju rumah Bu Dirga itu."Kayaknya lagi ada acara di rumah Bu Dirga," kataku menebak-nebak."Iya ya?" Mas Daru segera menyuruhku turun dari motornya, dan dia sendiri mematikan mesin motor lalu mendorongnya perlahan menuju segerombol orang yang kami temui pertama kali."Assalamu'alaikum ... Maaf Pak, ada acara apa ya?" tanya mas Daru pada salah satu lelaki dalam kelompok itu."Ooh, santunan anak yatim piatu di rumah Bu Dirga, Mas," jawabnya."Oh." Ak

  • KARMA MERTUA   PART 22

    "Apa-apaan ini? Ngapain kalian dirumah ini?!!" Teriakan Intan yang sudah beberapa meter di depanku ke arah orang-orang itu sangat keras hingga aku menghentikan langkah. Aku berusaha mengenali orang-orang yang sedang diteriaki Intan itu, tapi tidak berhasil. Tak pernah kulihat salah satu pun dari mereka sebelumnya."Kamu ini siapa?" Si wanita paruh baya yang tadinya berdiri membelakangi Intan itu menoleh. Wajahnya nampak garang, mungkin dia marah ada orang datang yang tiba-tiba meneriakinya seperti itu."Harusnya aku yang nanya, kalian ini siapa dan ngapain di rumah ibuku?!" teriak Intan lagi tak kalah garang."Ooooo ... kamu pasti Intan kan?" Wanita itu terdengar terkekeh kecil mengulurkan tangannya ke arah Intan. "Kenapa tidak bilang dari tadi? Kalau mau ambil barang-barang ibumu silahkan saja, santai saja, rumah ini belum mau ditempat

  • KARMA MERTUA   PART 21 (FIVE PARTS TO END)

    Pagi itu kususul Mas Daru ke rumah sakit setelah kutitipkan kedua bocahku ke budhe Endar, tetangga kontrakanku. Beruntungnya hari ini adalah hari minggu, jadi mereka libur sekolah. Dia mengirimiku pesan semalam dan bilang kalau aku harus kesana pagi-pagi, ada hal penting yang harus dibicarakannya, dan aku mengira itu pasti tentang ibunya.Saat tiba disana, kulihat Mas Daru sedang duduk menghadapi Intan yang sedang menangis sesenggukan. Mata wanita itu terlihat sangat merah, sepertinya menangisnya sudah lumayan lama. Sementara wajah suamiku terlihat sangat lelah, matanya pun memerah seperti dia tidak tidur semalaman. Kuhampiri Mereka yang duduk di sudut ruangan tunggu tak jauh dari ruang ICU."Ada apa?"Aku meletakkan goodie bag yang kubawa dari rumah untuk menaruh bekal. Pagi tadi kusempatkan memasakkan sarapan untuk suamiku dan a

  • KARMA MERTUA   IBU BUNUH DIRI (DARU P.O.V)

    Tak pernah kurasakan kegelisahan dan kesedihan yang sebesar ini selama hidupku, bahkan tidak saat aku menunggui bapak sakaratul maut beberapa tahun yang lalu. Melihat ibu terbaring kritis di ruang ICU membuatku merasa sepertinya dia akan pergi meninggalkanku. Dia memang bukan ibu kandungku, tapi takkan bisa kupungkiri bahwa aku mencintainya lebih dari diriku sendiri.Walaupun dia bukan wanita yang sempurna, karena memang tak ada manusia sempurna di dunia ini. Namun pengorbanan dan kasih sayangnya telah membawaku tumbuh menjadi sebesar ini tanpa kekurangan membuatku tak bisa menutup mata dengan kondisinya saat ini.Dia mungkin tak memiliki kesempurnaan cinta seorang ibu, tapi setidaknya sepanjang hidupku sebelum aku bertemu dengan Riris, istriku, dialah wanita pertama yang mencintai segala kekurangan dan kelebihanku.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status