Share

KEKERASAN HATI

"Harusnya kamu nggak ngomong seperti itu sama mereka, Ris," protes Mas Daru saat dia mengantarkanku kembali kerumah.

 

 

"Tapi itu demi kebaikan semua, Mas. Aku nggak mau beban merawat ibu hanya dilimpahkan padamu saja, sedangkan kedua adikmu bisa bebas seenaknya. Itu nggak adil," ujarku.

 

 

Kulihat Mas Daru mendesah. Entahlah, mungkin dia sekarang berpikir menyesal telah memperistriku, aku tidak peduli. Aku hanya tidak ingin lagi diinjak injak oleh adik-adiknya.

 

 

"Sudahlah aku pusing. Aku balik ke rumah sakit dulu ya. Kita pikirkan lagi besok," katanya dengan muka masam dan ditekuk. Aku tak mau ambil pusing dengan sikap Mas Daru. Biarlah apa kata orang, yang penting mertua dan ipar-iparku tak bisa lagi menindasku.

 

***

 

Pagi itu Mas Daru pulang dengan wajah masih muram. Sepertinya dia belum bisa menerima penolakanku untuk pindah ke rumah ibunya.

 

"Kopi, Mas?" Kutawarkan secangkir kopi untuknya seperti biasa.

 

"Nggak usah lah, aku mau tidur aja, capek." Kudengar nada bicaranya sedikit ketus. Kulirik dia berjalan gontai ke dalam kamar. Aku menduga dia marah, karena tidak biasanya menolak kopi yang sudah kubuatkan. 

 

"Kamu marah sama aku, Mas?" Dia terlihat kaget saat menyadari aku sudah ada di belakangnya. 

 

"Enggak," jawabnya singkat.

 

"Kalau nggak marah kenapa ngomongnya kayak gitu?" Dia mendudukkan dirinya dengan malas di tepi tempat tidur sambil melepas kaosnya.

 

"Aku hanya sedikit kecewa. Ternyata kamu belum bisa memaafkan ibu, Ris." Kuhela nafas dan tersenyum berat mendengar perkataannya.

 

"Mas, ini bukan masalah memaafkan atau tidak. Tentu saja aku harus memaafkan, dia ibuku juga. Aku cuma ingin semuanya ikut andil merawat ibumu. Bukan semuanya dilimpahkan ke kita," protesku.

 

"Tapi aku kan nggak enak, Ris, sama adik-adikku. Aku ini anak tertua. Harusnya aku bisa menyelesaikan masalah ini sendiri, tidak perlu merepotkan mereka."

 

"Tapi itu ibu mereka juga lho, Mas. Apa salahnya mereka ikut merawat? Bukannya mereka juga punya kewajiban untuk itu?"

 

"Ah sudahlah, Ris. Males aku bahas itu. Capek, aku mau tidur dulu." 

 

Hmmmm, baiklah, aku tahu kenapa suamiku bersikap seperti ini. Sepulangnya dari rumah sakit kemarin sore, pastilah kedua adiknya yang manja itu merengek pada kakaknya.

 

***

 

Hari menjelang siang ketika Mas Daru bangun dengan tergesa, pergi ke kamar mandi dan bersiap pergi.

 

"Lhoh, mau kemana, Mas?" tanyaku.

 

"Ke Kantor Pos, Ris."

 

"Ngapain?"

 

"Mau nanyain masalah gaji pensiun Bapak bulan besok itu gimana, soalnya ibu kan lagi sakit, jadi nggak bisa ngambil sendiri kesana."

 

"Oooh ... ya Mas. Makan dulu aja kalau gitu, udah aku siapin," kataku.

 

"Iya nanti aja pulangnya aku makan. Takut kesiangan."

 

Mas Daru segera berlalu keluar. Aku baru ingat soal itu. Iya benar, bapak mertuaku memang dulunya berprofesi sebagai PNS. Dan sepeninggalan suaminya, ibu mertuaku hidup dari pensiunannya. Syukurlah, setidaknya kebutuhan hidup ibunya selama dia sakit tidak akan terlalu membebani suamiku. Apalagi kondisi kami saat ini sedang juga sedang kesulitan seperti ini. Bahkan untuk membayar kontrakan saja terkadang kami telat.

 

***

 

Malam itu tidur lelapku terganggu dengan dering ponsel di samping Mas Daru yang berbunyi lumayan keras. 'Duuh siapa sih malam buta gini nelpon?' gerutuku. Kuraih ponsel itu dengan mata masih setengah terpejam. 

 

"Halo"

 

"Mas Daru mana, Mbak?" suara dari seberang tanpa salam. Astaghfirullah, itu si Rita, ngapain malam-malam gini nelpon?

 

"Mas, Mas ..." Kubangunkan suamiku yang masih terlelap.

 

"Hmmm."

 

"Rita nih nelpon," kataku menunjuk ponsel yang sedang kupegang.

 

"Ngapain?" tanyanya.

 

"Nggak tau." Aku menggeleng. Kuulurkan ponsel padanya yang masih berusaha mengumpulkan segenap kesadaran dari tidur lelap.

 

"Kenapa, Rit? Hah?? Ya disuruh tidur to. Haduuuuh kamu itu ... ya udah tunggu bentar Mas kesana." Mas Daru buru-buru bangkit dari tempat tidur setelah menutup telepon dan bergegas memakai pakaiannya.

 

"Kenapa, Mas?" 

 

"Itu si Rita, katanya ibu ngeluh sakit terus nggak mau tidur. Si Rita jadi nggak bisa tidur."

 

"Lha trus?"

 

"Ya aku mau kesana ini, gantian jaga Ibu sama Rita?"

 

"???" Aku melongo.

 

"Tolong kamu kunci pintu depan ya, Ris. Mungkin aku pulangnya sekalian besok pagi aja." 

 

'Haduuh anak manja itu, baru juga jagain ibunya sehari aja udah begitu' batinku.

 

Tadi siang ibu mertuaku memang sudah pulang dari rumah sakit. Dan karena aku bersikukuh untuk tetap tidak mau tinggal disana, akhirnya mau tidak mau semua menyetujui solusi yang kutawarkan kemarin. Meskipun dengan muka-muka masam mereka saat tadi kami bertemu di rumah sakit menjemput ibu pulang. Sepertinya mereka masih belum terima keputusan yang kubuat. Aku yakin mereka pasti makin membenciku dengan ulahku seperti ini. Biarlah, yang penting aku tetap nyaman dengan kehidupanku yang sekarang, tidak menumpang di rumah mertua lagi, tidak dianggap sebagai benalu, apalagi pembantu. Sudah cukup masa-masa itu bagiku. 

 

Dan hari pertama giliran Rita yang bertugas mengurus ibu. Tapi lihatlah, bahkan masih tengah malam buta pun dia sudah teriak-teriak memanggil kakaknya untuk datang membantunya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status