Home / Rumah Tangga / KARMA MERTUA / KEKERASAN HATI

Share

KEKERASAN HATI

Author: Reinee
last update Last Updated: 2021-07-04 18:45:30

"Harusnya kamu nggak ngomong seperti itu sama mereka, Ris," protes Mas Daru saat dia mengantarkanku kembali kerumah.

 

 

"Tapi itu demi kebaikan semua, Mas. Aku nggak mau beban merawat ibu hanya dilimpahkan padamu saja, sedangkan kedua adikmu bisa bebas seenaknya. Itu nggak adil," ujarku.

 

 

Kulihat Mas Daru mendesah. Entahlah, mungkin dia sekarang berpikir menyesal telah memperistriku, aku tidak peduli. Aku hanya tidak ingin lagi diinjak injak oleh adik-adiknya.

 

 

"Sudahlah aku pusing. Aku balik ke rumah sakit dulu ya. Kita pikirkan lagi besok," katanya dengan muka masam dan ditekuk. Aku tak mau ambil pusing dengan sikap Mas Daru. Biarlah apa kata orang, yang penting mertua dan ipar-iparku tak bisa lagi menindasku.

 

***

 

Pagi itu Mas Daru pulang dengan wajah masih muram. Sepertinya dia belum bisa menerima penolakanku untuk pindah ke rumah ibunya.

 

"Kopi, Mas?" Kutawarkan secangkir kopi untuknya seperti biasa.

 

"Nggak usah lah, aku mau tidur aja, capek." Kudengar nada bicaranya sedikit ketus. Kulirik dia berjalan gontai ke dalam kamar. Aku menduga dia marah, karena tidak biasanya menolak kopi yang sudah kubuatkan. 

 

"Kamu marah sama aku, Mas?" Dia terlihat kaget saat menyadari aku sudah ada di belakangnya. 

 

"Enggak," jawabnya singkat.

 

"Kalau nggak marah kenapa ngomongnya kayak gitu?" Dia mendudukkan dirinya dengan malas di tepi tempat tidur sambil melepas kaosnya.

 

"Aku hanya sedikit kecewa. Ternyata kamu belum bisa memaafkan ibu, Ris." Kuhela nafas dan tersenyum berat mendengar perkataannya.

 

"Mas, ini bukan masalah memaafkan atau tidak. Tentu saja aku harus memaafkan, dia ibuku juga. Aku cuma ingin semuanya ikut andil merawat ibumu. Bukan semuanya dilimpahkan ke kita," protesku.

 

"Tapi aku kan nggak enak, Ris, sama adik-adikku. Aku ini anak tertua. Harusnya aku bisa menyelesaikan masalah ini sendiri, tidak perlu merepotkan mereka."

 

"Tapi itu ibu mereka juga lho, Mas. Apa salahnya mereka ikut merawat? Bukannya mereka juga punya kewajiban untuk itu?"

 

"Ah sudahlah, Ris. Males aku bahas itu. Capek, aku mau tidur dulu." 

 

Hmmmm, baiklah, aku tahu kenapa suamiku bersikap seperti ini. Sepulangnya dari rumah sakit kemarin sore, pastilah kedua adiknya yang manja itu merengek pada kakaknya.

 

***

 

Hari menjelang siang ketika Mas Daru bangun dengan tergesa, pergi ke kamar mandi dan bersiap pergi.

 

"Lhoh, mau kemana, Mas?" tanyaku.

 

"Ke Kantor Pos, Ris."

 

"Ngapain?"

 

"Mau nanyain masalah gaji pensiun Bapak bulan besok itu gimana, soalnya ibu kan lagi sakit, jadi nggak bisa ngambil sendiri kesana."

 

"Oooh ... ya Mas. Makan dulu aja kalau gitu, udah aku siapin," kataku.

 

"Iya nanti aja pulangnya aku makan. Takut kesiangan."

 

Mas Daru segera berlalu keluar. Aku baru ingat soal itu. Iya benar, bapak mertuaku memang dulunya berprofesi sebagai PNS. Dan sepeninggalan suaminya, ibu mertuaku hidup dari pensiunannya. Syukurlah, setidaknya kebutuhan hidup ibunya selama dia sakit tidak akan terlalu membebani suamiku. Apalagi kondisi kami saat ini sedang juga sedang kesulitan seperti ini. Bahkan untuk membayar kontrakan saja terkadang kami telat.

 

***

 

Malam itu tidur lelapku terganggu dengan dering ponsel di samping Mas Daru yang berbunyi lumayan keras. 'Duuh siapa sih malam buta gini nelpon?' gerutuku. Kuraih ponsel itu dengan mata masih setengah terpejam. 

 

"Halo"

 

"Mas Daru mana, Mbak?" suara dari seberang tanpa salam. Astaghfirullah, itu si Rita, ngapain malam-malam gini nelpon?

 

"Mas, Mas ..." Kubangunkan suamiku yang masih terlelap.

 

"Hmmm."

 

"Rita nih nelpon," kataku menunjuk ponsel yang sedang kupegang.

 

"Ngapain?" tanyanya.

 

"Nggak tau." Aku menggeleng. Kuulurkan ponsel padanya yang masih berusaha mengumpulkan segenap kesadaran dari tidur lelap.

 

"Kenapa, Rit? Hah?? Ya disuruh tidur to. Haduuuuh kamu itu ... ya udah tunggu bentar Mas kesana." Mas Daru buru-buru bangkit dari tempat tidur setelah menutup telepon dan bergegas memakai pakaiannya.

 

"Kenapa, Mas?" 

 

"Itu si Rita, katanya ibu ngeluh sakit terus nggak mau tidur. Si Rita jadi nggak bisa tidur."

 

"Lha trus?"

 

"Ya aku mau kesana ini, gantian jaga Ibu sama Rita?"

 

"???" Aku melongo.

 

"Tolong kamu kunci pintu depan ya, Ris. Mungkin aku pulangnya sekalian besok pagi aja." 

 

'Haduuh anak manja itu, baru juga jagain ibunya sehari aja udah begitu' batinku.

 

Tadi siang ibu mertuaku memang sudah pulang dari rumah sakit. Dan karena aku bersikukuh untuk tetap tidak mau tinggal disana, akhirnya mau tidak mau semua menyetujui solusi yang kutawarkan kemarin. Meskipun dengan muka-muka masam mereka saat tadi kami bertemu di rumah sakit menjemput ibu pulang. Sepertinya mereka masih belum terima keputusan yang kubuat. Aku yakin mereka pasti makin membenciku dengan ulahku seperti ini. Biarlah, yang penting aku tetap nyaman dengan kehidupanku yang sekarang, tidak menumpang di rumah mertua lagi, tidak dianggap sebagai benalu, apalagi pembantu. Sudah cukup masa-masa itu bagiku. 

 

Dan hari pertama giliran Rita yang bertugas mengurus ibu. Tapi lihatlah, bahkan masih tengah malam buta pun dia sudah teriak-teriak memanggil kakaknya untuk datang membantunya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KARMA MERTUA   PART 25 (ENDING)

    "Udah dulu ya Kak Daru, Kak Riris. Hari minggu besok kita kesitu, Papa kangen pengen ketemu Rendra sama Jody katanya. See you ..." Shinta melambaikan tangannya pada kami. Lalu perlahan layar laptop Mas Daru menampilkan wajah beberapa orang; Shinta, Dewo, dan anak perempuan semata wayang mereka yang baru berusia 4 tahun, Livia, serta Papa. Kami saling melambaikan tangan mengucapkan salam perpisahan.Saat wajah-wajah itu menghilang dari layar, aku dan Mas Daru saling pandang, lalu direngkuhnya tubuhku ke dalam pelukannya. Senyum bahagianya mengembang. Sementara anak-anak kami, Rendra dan Jody segera berlari menjauhi kami."Yah, Bu, kita main lagi di belakang ya?" kata Rendra sambil berlari menuju kolam renang kecil di belakang rumah kami."Iya, Sayang. Hati-hati lho, jaga adik!" sahut suamiku.

  • KARMA MERTUA   PART 24

    Jody, anak bungsuku menghambur ke pelukanku ketakutan. Sementara Rendra, kakaknya, cepat-cepat merapatkan tubuhnya ke tubuhku."Takut, Bu," rengek si kecil Jody."Nggak papa, Sayang. Itu cuma petir," kataku mencoba menenangkannya."Ayah kenapa belum pulang, Bu?" tanya Rendra sambil mempererat pegangan tangannya pada selimut tebal kami.Malam itu hujan turun sangat lebat, seingatku yang terlebat sepanjang beberapa bulan terakhir. Suara gelegar petir juga seolah ingin memporak-porandakan seisi bumi. Berulang kali kupandangi jam dinding di kamar kami. Ini sudah lewat jam 10 malam dan Mas Daru belum juga sampai di rumah. Ponselnya tak bisa dihubungi sejak pesan terakhirnya sebelum maghrib tadi, dia bilang bahwa sudah dalam perjalanan pulang.

  • KARMA MERTUA   PART 23

    "Sepertinya waktunya nggak tepat, Mas," kataku sambil kusenggol bahu suamiku saat kami memasuki gang ke rumah Bu Dirga."Nggak tepat gimana?" Nampaknya dia belum menyadari, tapi segera kutunjuk beberapa orang sedang bergerombol di sepanjang gang menuju rumah Bu Dirga itu."Kayaknya lagi ada acara di rumah Bu Dirga," kataku menebak-nebak."Iya ya?" Mas Daru segera menyuruhku turun dari motornya, dan dia sendiri mematikan mesin motor lalu mendorongnya perlahan menuju segerombol orang yang kami temui pertama kali."Assalamu'alaikum ... Maaf Pak, ada acara apa ya?" tanya mas Daru pada salah satu lelaki dalam kelompok itu."Ooh, santunan anak yatim piatu di rumah Bu Dirga, Mas," jawabnya."Oh." Ak

  • KARMA MERTUA   PART 22

    "Apa-apaan ini? Ngapain kalian dirumah ini?!!" Teriakan Intan yang sudah beberapa meter di depanku ke arah orang-orang itu sangat keras hingga aku menghentikan langkah. Aku berusaha mengenali orang-orang yang sedang diteriaki Intan itu, tapi tidak berhasil. Tak pernah kulihat salah satu pun dari mereka sebelumnya."Kamu ini siapa?" Si wanita paruh baya yang tadinya berdiri membelakangi Intan itu menoleh. Wajahnya nampak garang, mungkin dia marah ada orang datang yang tiba-tiba meneriakinya seperti itu."Harusnya aku yang nanya, kalian ini siapa dan ngapain di rumah ibuku?!" teriak Intan lagi tak kalah garang."Ooooo ... kamu pasti Intan kan?" Wanita itu terdengar terkekeh kecil mengulurkan tangannya ke arah Intan. "Kenapa tidak bilang dari tadi? Kalau mau ambil barang-barang ibumu silahkan saja, santai saja, rumah ini belum mau ditempat

  • KARMA MERTUA   PART 21 (FIVE PARTS TO END)

    Pagi itu kususul Mas Daru ke rumah sakit setelah kutitipkan kedua bocahku ke budhe Endar, tetangga kontrakanku. Beruntungnya hari ini adalah hari minggu, jadi mereka libur sekolah. Dia mengirimiku pesan semalam dan bilang kalau aku harus kesana pagi-pagi, ada hal penting yang harus dibicarakannya, dan aku mengira itu pasti tentang ibunya.Saat tiba disana, kulihat Mas Daru sedang duduk menghadapi Intan yang sedang menangis sesenggukan. Mata wanita itu terlihat sangat merah, sepertinya menangisnya sudah lumayan lama. Sementara wajah suamiku terlihat sangat lelah, matanya pun memerah seperti dia tidak tidur semalaman. Kuhampiri Mereka yang duduk di sudut ruangan tunggu tak jauh dari ruang ICU."Ada apa?"Aku meletakkan goodie bag yang kubawa dari rumah untuk menaruh bekal. Pagi tadi kusempatkan memasakkan sarapan untuk suamiku dan a

  • KARMA MERTUA   IBU BUNUH DIRI (DARU P.O.V)

    Tak pernah kurasakan kegelisahan dan kesedihan yang sebesar ini selama hidupku, bahkan tidak saat aku menunggui bapak sakaratul maut beberapa tahun yang lalu. Melihat ibu terbaring kritis di ruang ICU membuatku merasa sepertinya dia akan pergi meninggalkanku. Dia memang bukan ibu kandungku, tapi takkan bisa kupungkiri bahwa aku mencintainya lebih dari diriku sendiri.Walaupun dia bukan wanita yang sempurna, karena memang tak ada manusia sempurna di dunia ini. Namun pengorbanan dan kasih sayangnya telah membawaku tumbuh menjadi sebesar ini tanpa kekurangan membuatku tak bisa menutup mata dengan kondisinya saat ini.Dia mungkin tak memiliki kesempurnaan cinta seorang ibu, tapi setidaknya sepanjang hidupku sebelum aku bertemu dengan Riris, istriku, dialah wanita pertama yang mencintai segala kekurangan dan kelebihanku.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status