"Ibu kenapa, Mas, semalem?" Tak bisa kucegah rasa penasaranku saat suamiku pulang pagi itu dari rumah ibunya."Nggak tau tuh, nangis terus ngeluh sakit. Ditanya sakitnya dimana nggak dijawab. Besok deh kalau pas bawa kontrol coba sekalian aku tanyakan ke dokternya.""Obatnya sudah diminumkan belum?" tanyaku curiga jangan-jangan si Rita lupa belum ngasih obatnya karena kebiasaan anak itu sibuk mainan HP."Kata si Rita udah sih." Mas Daru menguap lebar. "Duuh padahal hari ini kerjaanku dari Wisnu numpuk, tapi malah ngantuk banget," keluhnya."Lha emang tadi nggak tidur di sana?""Mana bisa tidur, Ris. Ibu ngaduh terus kesakitan. Nggak bisa tidur aku jadinya.""Katanya mau gantian jaga sama Rita. Gimana sih?""Dia tidur, aku nggak tega mau bangunin."'Hmmm
Hari itu hari kelima Ibu telah berada di rumahnya, dan giliran Mas Daru dan aku yang menjaganya. Pagi pagi benar sudah kusiapkan beberapa pakaian untuk suami dan anak-anakku menginap disana. Bismillah, kutata hatiku untuk bisa menjalani ini dengan ikhlas.Kami langsung menuju rumah Ibu setelah mengantarkan Rendra dan Jody ke sekolah mereka terlebih dahulu. Dan alangkah terkejutnya kami saat tiba disana melihat Intan mondar mandir seperti setrikaan di teras rumah."Lama amat sih, Mas, Mbak. Aku harus buru-buru pulang nih," omelnya."Ini masih jam berapa to, Tan? Belum ada jam 7 juga kok udah dibilang telat," kataku membela diri."Ya sudah sana kalau mau pulang sekarang," kata Mas Daru setelah memarkirkan motornya di teras rumah. "Ibu sudah diberi sarapan kan?" tanya Mas Daru."Belum," sahut Intan."Lha ..
Aku sedang menunggui kedua anakku belajar di depan TV ruang tengah ketika Mas Daru menghampiri kami dan ikut duduk di karpet tempatku dan anak-anak berlesehan-ria."Apa sudah tidur? Kok ditinggal?""Sudah barusan. Tadinya nggak mau tidur, takut katanya.""Takut? Takut kenapa, Mas?" tanyaku keheranan."Nggak tau, orang cuma bilang takut, gitu aja. Ditanyain takut apa, diem aja.""Oooh." Aku manggut-manggut. Sejenak kemudian kurasa aku teringat sesuatu. "Eh Mas, jangan-jangan ibumu takut sama aku ya?" ujarku."Takut sama kamu? Memangnya kenapa?""Soalnya tadi tuh gini lho ... " Aku mulai nerocos menceritakan kejadian tadi siang ke suamiku saat dia sedang keluar menjemput anak-anak dari sekolah. Mas Daru kelihatan mengerutkan keningnya."Masa' gitu?" Reaks
"Lagi ngapain sih Mas Kok mondar mandir?"tanyaku keheranan saat kulihat Mas Daru siang itu hanya bolak balik dari kamar ibunya ke teras, ke kamar lagi, lalu ke dapur, ke kamar lagi, ke dapur lagi, ke teras hingga membuatku ikutan pusing."Duh, aku lupa, Ris. Gimana ya enaknya?" Dia malah balik bertanya padaku."Apanya yang gimana?" Dahiku mengernyit."Nanti sore waktunya kontrol Ibuk. Ini Rita aku hubungi malah HP nya nggak aktif," katanya. Dari ketiganya, memang hanya suami Rita yang saat ini memiliki mobil, mungkin maksud Mas Daru dia mau minta bantuan Iwan, suaminya Rita, untuk membawa Ibunya kontrol ke rumah sakit."Lha kan kemarin dia sudah bilang katanya ada acara keluarga," kataku mengingatkannya."Iya tapi kan barangkali nggak sampe sore acaranya. Jadi bisa kuminta tolong Iwan buat ngantar Ibuk ke rum
Menjalani hidup bersamanya selama lebih dari 8 tahun membuatku cukup bisa merasakan suasana hatinya saat itu. Sedih dan kecewa sudah pasti. Di usia 35 tahunnya bahkan dia baru mengetahui hal mengenai siapa dirinya yang sebenarnya tanpa sedikitpun dia tahu atau setidaknya ada tanda maupun sedikit petunjuk selama ini.Seharian aku hanya bisa menemaninya dalam diam di kontrakan kami tak berani mengajaknya bicara. Mas Daru pun nampak enggan mengeluarkan suara sejak kami pulang dari rumah ibunya. Bahkan pagi itu saat kami pulang, dia tidak sanggup mengucapkan pamit pada orang tua itu, wanita yang biasanya sangat dia hormati.Seolah ingin sedikit memberikan ruang untuknya sedikit bernafas, aku membiarkannya berdiam diri seharian di kamar. Kusiapkan makan, minum, dan segala kebutuhannya hari itu tanpa bersuara. Anak-anakku pun tak kuijinkan mendekati ayahnya agar dia bisa berpikir dengan tenang.
Di rumah Ibu mertuaku hari itu tak seperti minggu kemarin. Mas Daru terlihat sedikit canggung, lebih banyak diam dan justru banyak menghabiskan waktu dengan anak-anak dibanding menemani ibunya.Saat sampai disana pagi itu, tak seperti sebelumnya, Mas Daru juga tak langsung ke kamar ibunya. Dia malah memilih untuk berdiam diri di halaman belakang rumah menikmati rokoknya."Biasa aja to Mas, nggak usah begitu sikapnya," tegurku. "Nanti ibumu malah jadi bertanya-tanya," lanjutku."Aku nggak papa kok," katanya."Kuantar makanan ini dulu ke kamar ibu ya?" pamitku menunjukkan senampan bubur dan teh hangat di tanganku."Biar aku saja," cegahnya buru buru berdiri dari kursi kayu tua yang tadi didudukinya."Benar nggak papa?" tanyaku memastikan."Iya nggak papa, kamu
Wajah kami berempat terlihat tegang saat ibu mertuaku menjulurkan tangannya ke samping tempat tidur."Tolong ambilkan kunci di bawah kasur ibuk," katanya pada Mas Daru.Mas Daru berjalan lebih mendekat, lalu melakukan apa yang disuruh oleh ibunya. Sebuah kunci kecil berwarna perak yang disembunyikan ibu di bawah tempat tidurnya."Ini buk?" tanya Mas Daru. Ibu mengangguk."Iya, Ru. Kamu buka laci paling bawah di lemari itu. Ibu masih punya beberapa simpanan perhiasan disana."Mas Daru menurut, dia membuka laci lemari dan mengambil sekotak perhiasan yang ternyata disimpan ibu di laci kecil yang terletak tersembunyi di bagian paling bawah lemari pakaiannya.Diserahkannya kotak perhiasan itu pada ibunya. Aku, Intan dan Rita hanya bisa terdiam di tempat masing-masing. Hatiku masih sangat dongkol dengan
"Ada perlu apa dengan ibu saya?" kata pemuda yang sepertinya sepantaran dengan Mas Daru itu pada kami setelah mempersilahkan kami duduk di teras rumahnya yang kecil namun asri.Mas Daru nampak bingung. Mungkin dia tak tahu harus bicara apa."Gini, Mas, kami datang ingin menanyakan tentang panti asuhan Mutiara Bunda pada beliau," jelasku hati-hati."Tapi ibu saya sudah lama tidak bekerja disana, Bu.""Panggil saja saya Riris, Mas," ucapku padanya karena tidak nyaman dia memanggilku dengan sebutan 'Bu'. "Ini suami saya, Mas Daru." Aku memperkenalkan suamiku juga padanya."Oh ya, Saya Eko, Mbak, Mas," katanya memperkenalkan diri."Ngomong-ngomong saya sudah tahu, Mas, kalau Bu Dirga sudah tidak bekerja di panti lagi. Kemarin kami sempat ke alamat panti itu dan ternyata sekarang