KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU #2
Aku segera memarkirkan motorku dengan asal di badan jalan, dengan langkah mantap menuju rumah warga tersebut. Memperhatikan dengan seksama motor tersebut, dan benar saja itu motor yang sama yang dipakai mas Azzam ketika berangkat bekerja tadi.
“Tidak salah lagi, ini benar motorku.” Lirih, lalu aku berniat akan mengetuk pintu, tetapi dari dalam terdengar suara derap kaki dan orang sedang mengobrol.
“Dadah, ayah berangkat kerja dulu ya, nanti ayah datang lagi. Janji, besok ayah akan menginap di sini,” suara pria yang sangat aku kenal. Dengan cepat aku berlari menuju motorku, menyembunyikan di balik rumah warga yang lain, lalu memperhatikan rumah tersebut. Jantung rasanya seperti akan melompat, ketika mendengar suara mas Azzam, apalagi dia menyebut dirinya dengan sebutan ayah, itu berarti…, ahk, otakku rasanya agak ngeblank sedikit.
Tidak lama pintu terbuka, hampir saja tubuhku limbung, tangan segera berpegangan pada motor dan tubuh bersandar ke dinding rumah warga.
“Mas Azzam,”
“Ya sudah, aku berangkat kerja dulu. Nanti aku akan datang lagi pas makan siang, masak yang enak,” masih terdengar obrolan mereka di telingaku, dada bergemuruh hebat.
“Iya, tapi janji loh. Besok nginap di sini, Alya juga kan mau tidur sama ayahnya. Bukan hanya Melisa dan Azkira saja, lagian, istrimu itukan sibuk ngurusin dagangannya,” ucap perempuan berdaster merah muda itu sambil mencium dengan takzim tangan mas Azzam.
“Iya, nanti aku akan cari alasannya agar bisa nginap di sini.” Jawab mas Azzam mengecup kening wanita tersebut lalu mencium wajah bocah imut itu, mungkin usianya sekitar satu tahun lebih. Aku mengeluarkan ponsel, merekam dengan kondisi tangan gemetaran.
“Terus saja seperti itu, lalu kapan kita bisa seperti orang-orang. Aku juga mau jalan-jalan bareng kamu, mas. Tanpa harus sembunyi-sembunyi seperti ini. Lagian kamu itu punya hak untuk memiliki istri lebih dari satu. Kamu juga kapan akan menikahiku secara sah,” omel wanita tersebut sambil bersungut.
“Sstt, jangan keras-keras. Nanti bisa didengar orang lain, kamu tahu sendirikan, saat ini semua yang aku punya milik Clarisa, jadi jangan bawel. Yang penting 60 persen gajiku sudah untukmu,” sahut mas Azzam dengan nada penuh dengan penekanan.
“Iya sih, tapi kan…”
“Sudahlah jangan cerewet. Kau paham kalau aku itu tidak suka dibantah. Aku berangkat kerja dulu, tenang-tenang saja dirumah, paham?!” Sentak mas Azzam lalu ia menyalakan motornya dan pergi dari rumah itu. Aku masih sempat melihatnya semakin menjauh dan wanita itu dengan mimik wajah kesal masuk kembali ke rumahnya.
Tubuhku merosot ketika melihat pemandangan tersebut, membekap mulut agar tangisku tidak terdengar oleh siapapun.
“Mas Azzam memiliki anak dan istri lagi? Dia bermain serong di belakangku, setelah apa yang telah aku berikan padanya.” Membatin, aku menangis tanpa nada. Entah sampai berapa lama aku menangis, setelah puas aku belanja dan bertanya tentang wanita itu, setelah mendapatkan info aku langsung pulang.
“Aku akan mengumpulkan bukti perselingkuhan mas Azzam. Setelah itu aku akan mengurus perceraian kami,” aku sudah mempersiapkan segalanya untuk menggerebek mas Azzam nanti malam. Aku sudah mencari informasi dari tetangga wanita tadi, bahwa di kampung itu ia terkenal sebagai wanita penggoda suami orang. Memiliki 3 orang anak dengan bapak yang tidak jelas.
***
Mas Azzam pulang agak cepat, mungkin dia akan mempersiapkan segalanya untuk menginap di rumah gundiknya. Aku membuatkan teh hangat untuknya, berusaha bersikap biasa saja seperti tidak terjadi apapun.
“Tumben pulang cepat, mas?” tanyaku sambil meletakkan gelas berisi teh di dekatnya.
“Iya, ini pak Masrial ngajak keluar kota. Ada kerjaan, mau survei masalah lahan sengketa. Ada warga yang minta tolong uruskan. Mungkin mas akan menginap nanti, dek.” Jawabnya jelas berbohong, karena aku sudah tahu apa rencananya, itu hanya alasan saja.
“Oo, cuma berdua aja?” tanyaku, berusaha tidak memperlihatkan gelagat mencurigakan.
“Iya, cuma berdua. Kalau kau gak berani dirumah sama anak-anak, aku bisa minta tolong ibu tidur di sini,” ucap mas Azzam lagi.
Wah, ide bagus. Karena nanti malam aku juga akan beraksi, kalau membawa Melisa dan Azkira itu pasti akan payah.
“Boleh. Apa yang harus aku persiapkan, baju atau apa?” tanyaku lagi berusaha menahan amarah yang sudah menggelegak ini, padahal rasanya sudah ingin mencabik-cabik daging Mas Azzam, tetapi harus ditahan.
“Tidak usah, semalam doang juga.” Mas Azzam beranjak bangkit, ia menuju kamar mandi.
“Lihat saja nanti, mas. Aku akan buat kau juga hancur, sama seperti perasaanku saat ini.” Bergumam dalam hati, mengepalkan kedua tinju geram.
***
“Loh, Ayah mau kemana? Bukannya sudah janji sama aku dan Meli kalau mau jalan ke taman malam kota malam ini?” tegur Azkira ketika melihat Mas Azzam sudah bersiap.
“Ayah harus kerja malam ini, tidak bisa menemani kalian. Lagian, kalian itu bukan anak kecil lagi, sebentar lagi juga akan ujian, lebih baik kalian berdua belajar,” pungkas mas Azzam terlihat tidak senang. Aku masih bisa menahan tidak mengucapkan apapun dengan apa yang telah aku lihat siang tadi.
“Ayah benar, nanti kalau sudah selesai ujian baru kita akan jalan-jalan,” ucapku berusaha menengahi agar anak-anak tidak menggagalkan rencanaku malam ini.
“Lagian ayah itu kerja bukan rekreasi, jangan manja.” Sambung mas Azzam lagi sambil bersiap. Aku mencoba menenangkan kedua putriku agar mereka tidak lagi bawel untuk menagih janji mas Azzam.
“Ibu janji, nanti kalau sudah selesai ujian, terserah kalian mau pilih kemana jalan-jalannya. Oke, sekarang kalian masuk ke kamar belajar,” ucapku lirih pada Melisa dan Azkira. Mereka menurut, aku mengikuti mas Azzam hingga ke teras depan.
“Kamu jualan?” tanyanya.
“Rencana iya,” menjawab sambil memperhatikan dia yang menyemprotkan parfum ke jaketnya.
“Tunggu ibu datang dulu, kata ibu nanti abis magrib baru bisa kesini, biar ada yang menemani Melisa dan Azkira.” Pesannya lalu menyalakan motornya, ralat, motorku yang suka rela dipakai oleh mas Azzam semenjak kami menikah. Motor dua tak dengan suara knalpot yang bising menjadi pilihanku ketika masih melajang.
“Ya,” aku mengangguk mengiyakan agar ia segera pergi dan aku segera beraksi.
Mas Azzam semakin menjauh dan menghilang di ujung gang. Tidak lama ibu mertua datang diantar dengan bapak, sedangkan aku bersiap akan berangkat jualan, tentu saja itu hanya alasan. Aku hanya ingin memberi pelajaran pada mas Azzam dan wanita simpanannya. Karena menurut info, wanita itu tidak pernah menikah dengan pria manapun.
“Sudah malam begini masih mau jualan, Ris?” tanya bapak ikut membantuku menaikkan beberapa kursi plastik ke atas gerobak.
“Iya, pak. Sayang, ini malam Minggu, pasti rame, pak. Paling nanti jam 10 aku sudah pulang,” alibiku, meskipun memang faktanya seperti itu.
“Ya sudah, hati-hati,” pesan bapak, aku segera berpamitan dengan Melisa dan Azkira, dan bertanya mereka ingin jajan apa nanti kalau aku pulang.
Aku segera memacu kecepatan motorku, menuju kampung sebelah. Sengaja aku langsung menuju rumah RT, dan dengan uang, aku bisa meminta mereka untuk menggerebek rumah itu. Mereka tidak terlalu banyak tanya, karena wanita itu memang sudah meresahkan warga, terutama para ibu-ibu yang sering kali suaminya digoda sama gundiknya mas Azzam.
Setibanya di sana rumah tersebut segera dibongkar paksa pintunya. Apalagi warga semakin bersemangat karena terdengar suara-suara menjijikkan dari dalam sana. Dadaku terasa sesak dan sempit sekali, aku berdiri bersandarkan tiang di teras, kaki terasa tidak sanggup untuk digerakkan.
“Mbak yang sabar ya. Mereka akan mendapatkan balasannya nanti.” Ucap salah satu warga mencoba menenangkanku.
“Mbak yang kuat, jangan seperti ini. Yang ada mereka akan merasa bangga jika mbaknya lemah,” sahut yang lainnya.
“Iya bener banget itu, jangan terlihat lemah didepan manusia-manusia tidak tahu seperti mereka. Lawan dan terlihat tegar agar mental mereka juga kenak,” ucap seseibu yang terlihat begitu antusias sekali, ia membawa sebuah spatula, katanya untuk mengorek memew si gundik agar tidak gatel lagi. Lucu, namun rasa sakit itu lebih besar, aku meraup oksigen sebanyak mungkin, dada naik turun mengikuti ritme nafas yang tidak beraturan.
Brak!
Setelah kunci dicongkel, lalu pintu ditendang dengan paksa oleh pak RT. Warga berduyun-duyun masuk ke dalam, dan terdengar suara pekikan seorang wanita dari dalam sana, lalu tangisan anaknya.
“Kalian benar-benar sudah mengotori kampung ini, bermaksiat!” Seru pak RT dengan lantang. Tampak mas Azzam memunguti pakaiannya di lantai dan mengenakannya. Begitu juga dengan wanita tersebut yang hanya menarik selimut dan menutupi tubuhnya sebatas dada.
“Heh Imas, kau ini memang tidak jera juga. Tidak dapat laki-laki di kampung ini, tapi laki-laki dari kampung sebelah. Dasar jal-ang!” Cerca seorang warga dengan penuh amarah, tangannya berkacak pinggang.
“Bener jal-ang, kok senengnya kumpul keb-o. Bisa-bisa nanti kampung ini kenak azab hanya karena ulahmu yang mur-ahan itu!” Teriak yang lainnya.
“Maaf bapak-bapak, ibu-ibu, ini ada apa ya?” Terdengar suara mas Azzam yang membuatku semakin sakit, aku sengaja melangkah lebih kedepan meskipun lutut terasa lemas.
“Masih bertanya ada apa?” Bentak pak RT geram sambil melotot ke arah Imas yang masih dalam keadaan polos, ketika begitu banyaknya pasang mata yang memperhatikannya, justru wanita bernama Imas itu terlihat santai, tidak berniat ingin menutupi tubuhnya dengan rapat.
Menurutku, dia sengaja.
Mas Azzam menatap Imas, lalu ia memungut pakaian wanita itu dan menyerahkannya.
“Apa salahnya? Kami sepasang suami istri, kenapa anda dan yang lainnya begitu lancang masuk ke dalam rumah saya. Mengganggu ketenangan orang saja,” suara mas Azzam meninggi, aku yang sedari tadi diam dan menunduk, kini semakin berani maju dan menunjukkan wajahku.
“Sudah sampai tujuan ke luar kotanya dengan pak Masrial, mas? Apakah pekerjaan ini yang kamu maksud?” tanyaku berusaha setenang mungkin setelah memergoki suamiku sendiri sedang berbagi peluh dengan wanita lain di ranjang. Wajah mas Azzam berubah pias ketika melihatku, seketika pucat. Aku tersenyum miris ketika melihat ada gurat senyum puas dari bibir Imas.
Kurang ajar!
Di atas lemari kayu yang reyot, Risa berusaha menyeimbangkan tubuhnya sambil terus mencoba menghubungi seseorang dari ponsel Azki. Sayangnya, sinyal di tempat itu sangat lemah, membuat panggilannya tidak pernah tersambung.Dengan napas tersengal, ia menatap ke bawah. Azki dan Melisa bersembunyi di balik meja tua, berusaha menahan tangis mereka agar tidak menarik perhatian Claudia dan kedua temannya yang masih berada di ruangan sebelah.“Ya Tuhan, tolonglah...” gumam Risa pelan, jemarinya masih sibuk menekan layar ponsel, berharap sinyal kembali muncul. Ia mencoba menghubungi Pramudya, tapi tidak ada hasil.Sementara itu, di tempat lain, Pramudya dan Azzam melaju dengan kecepatan tinggi menuju lokasi yang dideteksi oleh pelacak cincin Risa. “Berapa lama lagi?” tanya Azzam dengan nada gelisah.“Sekitar lima belas menit,” jawab Pramudya sambil menatap peta di layar GPS.Di rumah kosong, Claudia mulai merasa tidak sabar. Ia mendekati ruangan tempat Risa dan anak-anaknya dikurung. “Kau pik
Risa, Azki, dan Melisa dibawa ke sebuah rumah kosong yang terletak di pinggiran kota. Aroma lembab bercampur dengan bau kayu lapuk menyeruak begitu mereka memasuki tempat itu. Rumah tersebut terlihat tak terawat, dengan dinding yang penuh coretan dan lantai yang berdebu. Claudia berdiri di tengah ruangan dengan masker masih menutupi sebagian wajahnya, namun matanya yang penuh kebencian terlihat jelas."Jadi ini harga dirimu, Risa?" Claudia melepas maskernya, menampakkan senyuman sinis."Kau pikir bisa mengambil segalanya dariku dan mendekati Pram dengan seenaknya?" Sambungnya lagi dengan nada tidak senang, bahkan Claudia membuang salivanya asal ke arah Risa. Risa yang tangannya terikat di belakang tubuhnya menatap tajam ke arah Claudia."Aku tidak pernah ingin mengambil apapun darimu, Claudia. Semua ini hanya ada di kepalamu yang sakit. Kedekatanku dengan mas Pram juga berjalan begitu saja, kami juga tidak memiliki hubungan apapun. Hanya sebatas rekan kerja," teriak Risa, ia tidak mer
Claudia menelan ludah, merasakan kepalanya berputar dengan beban pikiran yang kini menghantamnya. Risa, yang berdiri tidak jauh dari mereka, menatap dengan tatapan yang penuh kemenangan, seolah sudah memenangkan pertarungan tanpa berkeringat. Pram, dengan sikap dominannya, menatap Claudia dengan tegas, menuntut kepatuhan. “Baiklah, aku akan menyelesaikan ini,” ucap Claudia dengan suara serak, hatinya berkecamuk antara rasa malu dan keinginan untuk melawan. Namun, di hadapan Pram yang berwibawa dan Risa yang menyeringai, pilihan tampak begitu terbatas. Claudia berjalan ke arah rak yang berantakan, tangannya gemetar saat ia mulai merapikan barang-barang yang berserakan. Setiap gerakan yang ia lakukan seakan menandakan kekalahan. Pram mengikutinya, mengawasi setiap detail dengan mata elang, tidak memberi ruang untuk kesalahan sedikit pun. Risa, di sisi lain, berdiri dengan tangan terlipat, matanya berkilat dengan kepuasan yang nyata. Nuri sesekali memberikan komentar kecil yang menyaki
Risa dan Nuri langsung saja keluar dari mobil berjalan dengan sedikit terhuyung, perut terasa mual dan kepala seperti sedang berputar-putar.“Hueek!” Risa mengeluarkan isi perutnya, kepalanya tiba-tiba saja terasa berdenyut, begitu juga Nuri, ia juga muntah-muntah. Karena selama ini mereka tidak pernah mengendarai mobil seugal-ugalan ini.“Kalian tidak apa-apa?” Panik Pram, ia mengusap punggung Risa dan Nuri secara bersamaan.“Tidak apa-apa bagaimana? Mas Pram bisa lihat sendirikan, kami hampir mati karena kamu ngebut bawa mobilnya. Untung saja jantung ini buatan Allah, kalau gak sudah tercecer di jalanan.” Sentak Risa merasa kesal sembari menepiskan tangan Pram, ia menyeka mulut menggunakan punggung tangannya. Namun Pram langsung saja menyodorkan sapu tangannya pada Risa. Sedang Nuri memilih untuk duduk, meraup oksigen dengan rakus, karena tadi, ia merasa berhenti bernafas ketika mobil melaju dengan kencang.“Maaf, saya hanya tidak ingin Claudia lepas. Saya ingin memberi peringatan p
Claudia menyeringai puas ketika melihat mobil Risa keluar dari parkiran. Ia mendengus kesal, sepulangnya dari luar negeri berharap jika Pram mengatakan sangat merindukan dan tidak bisa hidup tanpanya, eh ternyata ia mendapatkan kabar dan kenyataan jika Pram, sang adik, ralat, Claudia dan Pram tidak memiliki hubungan darah sama sekali, hanya saudara angkat. Claudia mendapatkan kabar jika Pram sedang dekat dengan seorang wanita yang statusnya justru telah menjadi janda. Itu yang membuat amarah Claudia semakin membuncah. “Entah apa istimewanya perempuan itu,” dengus Claudia, lalu ia menutup dengan kasar kaca jendela ruangan tersebut setelah mobil Risa memasuki jalan raya. “Bagaimanapun caranya, Pram harus menjadi milikku.” Tukasnya dengan nada penuh amarah, giginya bergemeletuk kasar, kedua tinjunya mengepal. Lalu ia beranjak bangkit, ia ingin menemui seseorang dan akan mencari tahu lebih lanjut tentang Risa. Ia akan menguliknya hingga tuntas dan akan menyingkirkan Risa. “Lihat sa
Risa berjalan menuju ruangannya dengan langkah cepat, berkas-berkas yang baru saja ditandatangani oleh Pram dalam genggamannya. Ia merasa puas dengan hasil kerjasama yang telah dicapai bersama grup Pramudya. Namun, kebahagiaan itu segera terganggu oleh getaran ponselnya. Drrt! Ponsel Risa bergetar di dalam saku blazernya. Ia segera merogohnya dan membaca pesan yang masuk dari Nuri, adik iparnya yang juga menekuni usaha jualan mereka hingga bekerja sama dengan grup Pramudya. [Mbak sedang sibuk tidak, kalau tidak, bisa ke toko sekarang juga,] bunyi pesan dari Nuri. [Seharusnya mbak harus menyelesaikan laporan akhir bulan ini dan akan menjemput Azki dan Meli. Memangnya ada apa?] Risa mengetik balasan dengan jari-jarinya yang lincah, rasa penasarannya mulai terpicu. [Sudah, yang penting mbak langsung saja ke toko, penting.] Nuri kembali membalas, kali ini dengan nada yang lebih mendesak. Risa mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Merasa cemas, Risa segera mengakhir