Share

Bab 3

Author: Angga Pratama
last update Huling Na-update: 2024-05-12 11:50:17

KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU #3

“Risa, ini tidak seperti yang kau lihat, aku di jebak dengan perempuan itu. Kau dengar sendiri, dia sudah membuat resah warga kampung ini karena kelakuannya.” Mas Azzam melangkah mendekat, ia masih saja mengucapkan kalimat untuk membela diri dan menutupi kesalahannya.

“Halah, gak ada zamannya di jebak. Gak usah percaya, mbak,” seru salah satu seorang warga dari belakang.

“Bener, perempuan sama jantannya sama aja. Menjijikkan sekali,” sahut yang lainnya.

Aku masih berusaha setenang mungkin, tidak ingin memperlihatkan rasa cemburu dan amarah yang sudah menggelegak dan siap tumpah seperti lahar panas dari dalam kepala ini.

“Risa, jangan dengarkan mereka. Kau lebih mengenal aku, jangan percaya apa kata-kata mereka.” Mas Azzam berusaha meraih tanganku, akan tetapi aku segera menghindarinya. Sudah jelas terlihat nyata apa yang mereka lakukan masih saja ia mencari alasan.

“Sudah cukup, mas. Jangan sentuh aku.” Tegas, aku beringsut mundur menjauhinya, mengabaikan apa yang diucapkan mas Azzam. Namun dari kejauhan aku melihat senyum puas dari wanita bernama Imas itu.

“Pak RT dan warga, saya serahkan mereka pada kalian semua, terserah mau di apain. Saya sudah tidak peduli lagi,” ucapku dengan lantang, dadaku terasa begitu sakit sekali, dan terasa semakin sempit dan sesak.

“Risa! Clarissa! Tunggu aku, dengarkan penjelasanku, Ris!” Masih terdengar suara pekikan mas Azzam, akan tetapi aku tetap melangkah gontai menuju keluar rumah.

“Arak saja keliling kampung!”

“Ya betul, telanjangi.”

Suara para warga dan mas Azzam masih saja terdengar, aku rasanya sudah tidak lagi sanggup untuk berada di sini. Aku sengaja langsung menuju ke rumah pak RT.

“Mbak jangan menangisi laki-laki seperti itu, Allah sudah membuka jalan agar mbak mengetahui sifat buruk suami mbak, jika tidak. Maka mereka akan seperti ini terus, mencurangi mbak sepanjang pernikahan kalian.” Bu RT mengelus punggungku dengan lembut, wajar aku menangis. Selama dalam pernikahan, aku tidak pernah menuntut apapun pada mas Azzam. Tetapi dia tega menusukku dari belakang seperti ini, dan itu rasanya sakit sekali.

“Padahal kami tidak pernah ribut, aku selalu mengalah dan mengikuti apa kemauannya. Aku tidak suka ribut-ribut, apalagi anak-anak sudah mulai mengerti.” Aku tergugu, tidak bisa lagi menahan airmata yang kini sudah membanjiri kedua netra.

“Sabar mbak, menangislah, jika itu bisa membuat mbak tenang.” Bu RT beranjak bangkit, meninggalkan aku sendiri, mungkin beliau ingin memberikan ruang agar aku lebih leluasa untuk meluahkan semuanya. Aku meremas ponselku, dimana di dalam ponsel itu terdapat beberapa bukti perselingkuhan mas Azzam.

Drrt!

Tiba-tiba saja ponselku bergetar, panggilan masuk dari bapak mertua.

“Halo as…”

“Risa, kau ini dimana? Pamitnya jualan, tapi tadi bapak kesana lapakmu tutup. Atikah bilang juga kau tidak ada datang hari ini, kemana saja kau, hah?!” Belum juga sempat aku menjawab, sudah terdengar teriakan ibu dari seberang sana.

“A-aku…”

“Cepat pulang, Azkira demam tinggi, dia juga tadi sempat kejang-kejang.” Teriak ibu lagi dari seberang sana lalu memutuskan sambungan telepon sepihak, hatiku semakin sakit ketika mendengar ucapan ibu tentang Azkira. Aku segera bangkit, menemui bu RT dan pamit padanya. Aku memacu kecepatan motor agar segera sampai di rumah. Perasaanku saat ini begitu kalut sekali, kenapa harus bersamaan ketika mas Azzam berulah, sakitnya Azkira kambuh.

Sesampai dirumah aku langsung disambut dengan tatapan bengis ibu, tampak Azkira terbaring lemah diatas kasur tahu di depan televisi.

“Kau memang kelewatan Risa, mau bohongi bapak sama ibu? Pamit jualan, orang tua suruh momong anak, nyatanya kau keluyuran tidak jelas.” Omel ibu sambil meletakkan mangkuk berisi air hangat dan handuk kecil dengan kasar di lantai, hingga airnya tumpah sebagian.

“Maafkan aku, bu. Aku tidak keluyuran, tapi sedang ada urusan penting,” menjawab, langsung mengambil alih mengompres Azkira. Suhu tubuhnya begitu tinggi, aku menarik nafas panjang ketika kulitku bersentuhan dengannya, panas sekali.

“Sebaiknya kita bawa Azkira ke rumah sakit saja, bapak takut kejangnya kambuh. Lihat, lidahnya tadi berdarah karena tergigit.” Bapak membuka mulut Azkira, masih tersisa noda darah yang mulai mengering dan lidah Azkira juga terluka.

“Ibu, sakit.” Rengek Azkira sambil mengulurkan tangannya, Melisa membantu kakaknya dengan deraian airmata.

“Kak Azki tidak apa-apa kan, bu? Kakak pasti baik-baik saja kan?” Cecarnya dengan tatapan sendu, terlihat jelas jika ia sangat menyayangi Azkira.

“Ya, Azki pasti baik-baik saja kok. Meli sama nenek di rumah ya, ibu dan mbah akung akan ke rumah sakit.” Aku mengelus sekilas kepalanya, lalu menggendong Azkira, sedangkan bapak sudah berjalan keluar menuju motor.

“Kalau ada apa-apa sama Azki, ibu tidak akan memaafkanmu, Risa.” Teriak ibu lagi sambil mengikuti langkahku dan bapak keluar.

“Ibu sudah. Azki sakit bukan kemauan Risa, ibu jaga saja Meli di rumah,” sahut bapak masih dengan nada rendah, karena bapak memang paling sabar menghadapi ibu yang sifatnya sangat brutal.

“Azki sakit itu karena Risa tidak becus jadi seorang ibu, dia sibuk mengejar dunia dan urusan tidak pentingnya itu.” Tukas ibu lagi bersedekap, menatap bengis ke arahku.

“Sudah Risa, jangan digubris ibu, buruan naik,” ucap bapak yang sudah menyalakan motornya. Aku segera naik, dan motor perlahan melaju dengan cepat menuju bidan terdekat. Azkira sedari kecil memang memiliki penyakit tipes dan jika badannya panas dikit saja, maka tubuhnya akan mengalami kejang. Tetapi, ibu selalu saja menyalahkan aku dalam hal ini. Setelah diperiksa dan diberi obat kami langsung saja pulang, sepanjang perjalanan aku dan bapak tidak terlibat obrolan apapun, apalagi saat ini pikiranku benar-benar kacau, bercabang ke kampung sebelah dimana mas Azzam saat ini.

“Apa kata dokternya?” tanya ibu ketus membantuku membentangkan kasur busa di depan televisi, karena Azkira tidak mau tidur di kamar, katanya pengap.

“Tipesnya kambuh, bu,” jawabku singkat.

“Seharusnya kau itu fokus mengurus Azkira dan Melisa saja di rumah, tidak perlu lagi berjualan sampai tengah malam. Lagian gaji Azzam kan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan kalian.” Tukas ibu sambil membaringkan tubuhnya di atas sofa tidak jauh dariku dan Azkira.

“Gaji mas Azzam itu tidak cukup, bu. Hanya cukup untuk makan saja, sedangkan untuk bayar listrik dan lain-lain tidak cukup,” jawabku kesal, karena ibu selalu saja ikut campur masalah keuangan rumah tanggaku dan mas Azzam.

“Astaga Risa! Gaji Azzam itu besar, memangnya kalian makan apa sampai tidak cukup sebulan, jadi perempuan itu jangan boros,” sahut ibu menyalahkan aku lagi. Aku menoleh, menatap ibu dengan dada bergemuruh.

“Ibu mau tahu kenapa gaji mas Azzam tidak cukup, sebaiknya ibu tanyakan saja nanti sama dia sendiri. Berapa banyak yang telah ia berikan sama gundiknya.” Aku langsung berdiri, rasanya aku tidak perlu lagi menutupi apa yang telah dilakukan oleh mas Azzam.

“Jangan fitnah, Risa.” Bentak ibu juga kini sudah berdiri.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU   Bab 43. Tamat

    Di atas lemari kayu yang reyot, Risa berusaha menyeimbangkan tubuhnya sambil terus mencoba menghubungi seseorang dari ponsel Azki. Sayangnya, sinyal di tempat itu sangat lemah, membuat panggilannya tidak pernah tersambung.Dengan napas tersengal, ia menatap ke bawah. Azki dan Melisa bersembunyi di balik meja tua, berusaha menahan tangis mereka agar tidak menarik perhatian Claudia dan kedua temannya yang masih berada di ruangan sebelah.“Ya Tuhan, tolonglah...” gumam Risa pelan, jemarinya masih sibuk menekan layar ponsel, berharap sinyal kembali muncul. Ia mencoba menghubungi Pramudya, tapi tidak ada hasil.Sementara itu, di tempat lain, Pramudya dan Azzam melaju dengan kecepatan tinggi menuju lokasi yang dideteksi oleh pelacak cincin Risa. “Berapa lama lagi?” tanya Azzam dengan nada gelisah.“Sekitar lima belas menit,” jawab Pramudya sambil menatap peta di layar GPS.Di rumah kosong, Claudia mulai merasa tidak sabar. Ia mendekati ruangan tempat Risa dan anak-anaknya dikurung. “Kau pik

  • KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU   Bab 42

    Risa, Azki, dan Melisa dibawa ke sebuah rumah kosong yang terletak di pinggiran kota. Aroma lembab bercampur dengan bau kayu lapuk menyeruak begitu mereka memasuki tempat itu. Rumah tersebut terlihat tak terawat, dengan dinding yang penuh coretan dan lantai yang berdebu. Claudia berdiri di tengah ruangan dengan masker masih menutupi sebagian wajahnya, namun matanya yang penuh kebencian terlihat jelas."Jadi ini harga dirimu, Risa?" Claudia melepas maskernya, menampakkan senyuman sinis."Kau pikir bisa mengambil segalanya dariku dan mendekati Pram dengan seenaknya?" Sambungnya lagi dengan nada tidak senang, bahkan Claudia membuang salivanya asal ke arah Risa. Risa yang tangannya terikat di belakang tubuhnya menatap tajam ke arah Claudia."Aku tidak pernah ingin mengambil apapun darimu, Claudia. Semua ini hanya ada di kepalamu yang sakit. Kedekatanku dengan mas Pram juga berjalan begitu saja, kami juga tidak memiliki hubungan apapun. Hanya sebatas rekan kerja," teriak Risa, ia tidak mer

  • KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU   Bab 41

    Claudia menelan ludah, merasakan kepalanya berputar dengan beban pikiran yang kini menghantamnya. Risa, yang berdiri tidak jauh dari mereka, menatap dengan tatapan yang penuh kemenangan, seolah sudah memenangkan pertarungan tanpa berkeringat. Pram, dengan sikap dominannya, menatap Claudia dengan tegas, menuntut kepatuhan. “Baiklah, aku akan menyelesaikan ini,” ucap Claudia dengan suara serak, hatinya berkecamuk antara rasa malu dan keinginan untuk melawan. Namun, di hadapan Pram yang berwibawa dan Risa yang menyeringai, pilihan tampak begitu terbatas. Claudia berjalan ke arah rak yang berantakan, tangannya gemetar saat ia mulai merapikan barang-barang yang berserakan. Setiap gerakan yang ia lakukan seakan menandakan kekalahan. Pram mengikutinya, mengawasi setiap detail dengan mata elang, tidak memberi ruang untuk kesalahan sedikit pun. Risa, di sisi lain, berdiri dengan tangan terlipat, matanya berkilat dengan kepuasan yang nyata. Nuri sesekali memberikan komentar kecil yang menyaki

  • KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU   Bab 40

    Risa dan Nuri langsung saja keluar dari mobil berjalan dengan sedikit terhuyung, perut terasa mual dan kepala seperti sedang berputar-putar.“Hueek!” Risa mengeluarkan isi perutnya, kepalanya tiba-tiba saja terasa berdenyut, begitu juga Nuri, ia juga muntah-muntah. Karena selama ini mereka tidak pernah mengendarai mobil seugal-ugalan ini.“Kalian tidak apa-apa?” Panik Pram, ia mengusap punggung Risa dan Nuri secara bersamaan.“Tidak apa-apa bagaimana? Mas Pram bisa lihat sendirikan, kami hampir mati karena kamu ngebut bawa mobilnya. Untung saja jantung ini buatan Allah, kalau gak sudah tercecer di jalanan.” Sentak Risa merasa kesal sembari menepiskan tangan Pram, ia menyeka mulut menggunakan punggung tangannya. Namun Pram langsung saja menyodorkan sapu tangannya pada Risa. Sedang Nuri memilih untuk duduk, meraup oksigen dengan rakus, karena tadi, ia merasa berhenti bernafas ketika mobil melaju dengan kencang.“Maaf, saya hanya tidak ingin Claudia lepas. Saya ingin memberi peringatan p

  • KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU   Bab 39

    Claudia menyeringai puas ketika melihat mobil Risa keluar dari parkiran. Ia mendengus kesal, sepulangnya dari luar negeri berharap jika Pram mengatakan sangat merindukan dan tidak bisa hidup tanpanya, eh ternyata ia mendapatkan kabar dan kenyataan jika Pram, sang adik, ralat, Claudia dan Pram tidak memiliki hubungan darah sama sekali, hanya saudara angkat. Claudia mendapatkan kabar jika Pram sedang dekat dengan seorang wanita yang statusnya justru telah menjadi janda. Itu yang membuat amarah Claudia semakin membuncah. “Entah apa istimewanya perempuan itu,” dengus Claudia, lalu ia menutup dengan kasar kaca jendela ruangan tersebut setelah mobil Risa memasuki jalan raya. “Bagaimanapun caranya, Pram harus menjadi milikku.” Tukasnya dengan nada penuh amarah, giginya bergemeletuk kasar, kedua tinjunya mengepal. Lalu ia beranjak bangkit, ia ingin menemui seseorang dan akan mencari tahu lebih lanjut tentang Risa. Ia akan menguliknya hingga tuntas dan akan menyingkirkan Risa. “Lihat sa

  • KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU   Bab 38

    Risa berjalan menuju ruangannya dengan langkah cepat, berkas-berkas yang baru saja ditandatangani oleh Pram dalam genggamannya. Ia merasa puas dengan hasil kerjasama yang telah dicapai bersama grup Pramudya. Namun, kebahagiaan itu segera terganggu oleh getaran ponselnya. Drrt! Ponsel Risa bergetar di dalam saku blazernya. Ia segera merogohnya dan membaca pesan yang masuk dari Nuri, adik iparnya yang juga menekuni usaha jualan mereka hingga bekerja sama dengan grup Pramudya. [Mbak sedang sibuk tidak, kalau tidak, bisa ke toko sekarang juga,] bunyi pesan dari Nuri. [Seharusnya mbak harus menyelesaikan laporan akhir bulan ini dan akan menjemput Azki dan Meli. Memangnya ada apa?] Risa mengetik balasan dengan jari-jarinya yang lincah, rasa penasarannya mulai terpicu. [Sudah, yang penting mbak langsung saja ke toko, penting.] Nuri kembali membalas, kali ini dengan nada yang lebih mendesak. Risa mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Merasa cemas, Risa segera mengakhir

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status