Share

Bab 4

Author: Angga Pratama
last update Last Updated: 2024-05-12 11:51:00

KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU #6

“Selain tidak becus mengurus suami dan anak, ternyata kau tukang fitnah. Ibu tahu dan paham seperti apa sifat Azzam atau pun Nuri, anak-anak ibu tidak ada yang memiliki pikiran kotor seperti apa yang kau tuduhkan.” Ibu mendelik sambil berkacak pinggang dan menyangkal apa yang telah aku ucapkan barusan.

Aku menatap ibu dengan senyum getir, lalu mengalihkannya pada Azkira dan Melisa yang sudah terlelap. Aku khawatir jika kedua putriku mendengar semua yang kami bicarakan.

“Risa, ucapan adalah doa. Jangan bicara yang tidak-tidak tentang suamimu, nak,” ucap bapak pelan, namun wajahnya sudah memerah. Karena bapak pernah melakukan kesalahan yang sama seperti yang mas Azzam lakukan sekarang.

“Kenapa pak? Apakah ibu dulu juga pernah melontarkan kalimat yang sama sepertiku?” tanyaku, aku mengulas senyum miris.

“Risa, jangan kurang ajar. Kau tahu apa tentang rumah tangga ibu dan bapak, jangan mengurusi rumah tangga kami. Lihat rumah tanggamu sekarang, bisa-bisa Azzam melakukan tuduhan yang kau ucapkan, karena dia merasa tidak betah memiliki istri yang dasteran dan keringat setiap hari seperti ini,” timpal ibu mengucapkan kalimat menghina yang begitu menohok sekali. Aku sangat geram sekali, segera aku beranjak bangkit menuju kamar dan keluar membawa ponselku.

“Bapak, ibu, bisa kita bicara di depan saja. Tidak enak kalau didengar Melisa dan Azkir.” Lirihku lalu melangkah menuju ruang tamu, dada bergemuruh hebat, kedua netra sudah memanas ingin menangis lagi. Aku segera duduk di atas sofa yang berseberangan dengan bapak dan ibu mertua yang saat ini menatap bingung, bengis dan sinis menjadi satu, terutama ibu. Ibu sepertinya tidak terima jika mas Azzam memiliki perilaku buruk sama seperti bapak.

“Apa yang mau kau bicarakan? Mau memburukkan Azzam lagi, istri macam apa kau ini, bisa-bisanya mem…”

Aku langsung saja menyodorkan ponsel yang sedang memutar video rekaman dimana mas Azzam yang sedang memunguti pakaiannya saat dia masih dalam keadaan polos tanpa sehelai benangpun. Video tersebut berhasil membungkam mulut ibu yang terus saja menyudutkan dan menyalahkan aku.

“Tidak mungkin, ini pasti hanya akal-akalan saja untuk menjelekkan Azzam. Zaman sudah canggih, jangan mempercayai video ini, pak. Risa ini memang licik sekali.” Ibu ingin meraih ponselku yang berada di atas meja, akan tetapi aku segera menyambarnya terlebih dahulu, karena aku tidak ingin kehilangan bukti-bukti perselingkuhan mas Azzam dan setelah ini aku akan segera menggugat cerai mas Azzam.

“Kenapa? Ibu selalu saja membenarkan semua yang dilakukan mas Azzam dan menyalahkan aku jika mas Azzam melakukan kesalahan. Tolong buka lebar-lebar mata ibu, aku memang hanya menantu ibu, tapi aku juga ibu dari cucu-cucu ibu dari mas Azzam.” Aku berdiri dengan dada yang sudah kembang kempis mengikuti ritme nafas yang sudah memburu penuh dengan amarah yang sudah menggelegak di kepala dan akan segera tumpah seperti lahar panas dari pegunungan.

“Sstt, sudah jangan ribut. Kita tunggu saja Azzam pulang, dan kita mintai penjelasannya,” ucap bapak menengahi pertengkaranku dengan ibu yang baru saja dimulai.

“Lagian sudah malam, malu sama tetangga.” Sambung bapak lagi sambil menarik tangan ibu agar kembali duduk di sebelahnya.

“Mana ada maling ngaku, pak. Yang ada mereka akan terus mencari alasan apapun untuk membela diri.” Jawabku sambil menghempaskan tubuhku pada sofa, nafas memburu sambil menatap bengis ke arah ibu mertua. Bapak memintaku untuk menemani Melisa dan Azkira, agar tidak berdebat kembali dengan ibu. Aku segera beranjak bangkit meninggalkan kedua orang tua mas Azzam di sana.

[Apa-apaan kau, Ris? Kenapa membawa warga ke rumah itu?]

Tiba-tiba saja pesan masuk dari mas Azzam, setelah membacanya aku menatap sekilas bapak dan ibu yang masih terlihat agak berdebat di ruang tamu. Aku berpikir kalimat apa yang tepat untuk membalas isi pesan mas Azzam.

[Aku melemparkan kotoran ke wajahku, Ris. Dimana sebenarnya otakmu?] pesan dari mas Azzam kembali masuk, aku meremas ponsel dengan geram ketika membaca isi pesannya, emosi semakin menggelegak.

[Apa?! Aku melempar kotoran ke wajahmu? Sadar, mas, kau sendiri yang sudah membuat dirimu malu. Terus aku harus membawa siapa ke rumah itu, MUA atau tuan kodi gitu? Kau pikir aku tidak tahu semua kebusukanmu selama ini. Pesan aneh dari nomor yang kau beri nama ‘pak ketua’, kau sering pulang terlambat dan sering berangkat kerja lebih awal, kau pikir aku tidak tahu kau kemana? Aku sudah tau semuanya Azzam. Hanya saja aku masih diam karena mengumpulkan semua bukti perselingkuhanmu.] Balasku lalu melemparkan dengan asal ponselku ke atas kasur tahu dimana kedua putriku tertidur, aku benar-benar emosi sekali.

Aku mengabaikan ponsel yang terus berdering dan berdenting notif pesan masuk. Aku sangat lelah, berusaha memejamkan kedua mata sambil memeluk kedua putriku dengan perasaan yang begitu sakit sekali. 10 tahun mengarungi biduk rumah tangga bersama dengan mas Azzam, aku tidak pernah menuntut apapun karena aku tahu sampai dimana kemampuan mas Azzam. Aku memilih untuk berusaha sendiri demi bisa mewujudkan istana impian kami. Deraian air mata mengiringi rasa kantuk dan lelah ini, entah berapa lama aku menangis dan pada akhirnya aku terlelap.

***

“Bangun kau, Risa! Bangun!” Bentak ibu sambil menendang bagian kaki menggunakan kakinya. Aku mengerjapkan kedua mata, silau karena cahaya matahari yang masuk melalui lubang ventilasi.

“Hem, ada apa, bu?” tanyaku dengan suara serak khas orang baru bangun tidur. Aku menoleh, tidak mendapati Melisa dan Azkira ada di sana.

“Loh, mana Meli dan Azki, bu?” Aku celingukan bingung, lalu beranjak bangkit berniat akan mencari kedua putriku, akan tetapi tiba-tiba saja ibu melayangkan tangannya pada pipiku.

Plaakk!

Aku langsung saja memegangi pipiku yan terasa panas dan kebas.

“Nenek, kenapa mukul ibu?!” Teriak Melisa yang berlari dari arah depan dan langsung memelukku. Aku menatap ke arah ibu dengan sengit.

“Karena ibumu sudah kurang ajar,” sahut ibu terlihat menghembuskan nafasnya dengan kasar. Sementara aku masih bingung apa kesalahan yang aku buat.

“Tolong bu, jangan bersikap seperti ini di depan anak-anak,” ucapku dengan nafas memburu.

“Kenapa? Kau sudah membuat malu ibu dan bapak, dengan menyebarkan video tidak senonoh Azzam. Mau diletakkan dimana wajah bapak dan ibu?” Bentak ibu sambil meraup wajahnya kasar dan memukul dadanya pelan, airmata berlinang dengan deras dari kedua netra tuanya.

Aku mengerutkan kening heran. “Menyebarkan video? Aku tidak tahu apa-apa, bu. Aku juga baru bangun,” mencoba menyangkal tuduhan ibu, karena aku memang tidak melakukan semua itu. Bahkan aku tidak ada niat seperti itu sama sekali, aku menyimpan video tersebut hanya untuk bukti nanti di pengadilan agama saat pengajuan gugatan cerai.

“Tidak perlu berpura-pura, Risa.” Jawab ibu sambil menunjuk ke arahku.

Siapa sebenarnya yang telah menyebarkan video itu? Apa mungkin salah satu warga yang ada saat penggerebekan itu? Akh, baguslah, aku juga ingin melihat kehancuran mas Azzam dengan ulahnya sendiri.

Brakk!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU   Bab 43. Tamat

    Di atas lemari kayu yang reyot, Risa berusaha menyeimbangkan tubuhnya sambil terus mencoba menghubungi seseorang dari ponsel Azki. Sayangnya, sinyal di tempat itu sangat lemah, membuat panggilannya tidak pernah tersambung.Dengan napas tersengal, ia menatap ke bawah. Azki dan Melisa bersembunyi di balik meja tua, berusaha menahan tangis mereka agar tidak menarik perhatian Claudia dan kedua temannya yang masih berada di ruangan sebelah.“Ya Tuhan, tolonglah...” gumam Risa pelan, jemarinya masih sibuk menekan layar ponsel, berharap sinyal kembali muncul. Ia mencoba menghubungi Pramudya, tapi tidak ada hasil.Sementara itu, di tempat lain, Pramudya dan Azzam melaju dengan kecepatan tinggi menuju lokasi yang dideteksi oleh pelacak cincin Risa. “Berapa lama lagi?” tanya Azzam dengan nada gelisah.“Sekitar lima belas menit,” jawab Pramudya sambil menatap peta di layar GPS.Di rumah kosong, Claudia mulai merasa tidak sabar. Ia mendekati ruangan tempat Risa dan anak-anaknya dikurung. “Kau pik

  • KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU   Bab 42

    Risa, Azki, dan Melisa dibawa ke sebuah rumah kosong yang terletak di pinggiran kota. Aroma lembab bercampur dengan bau kayu lapuk menyeruak begitu mereka memasuki tempat itu. Rumah tersebut terlihat tak terawat, dengan dinding yang penuh coretan dan lantai yang berdebu. Claudia berdiri di tengah ruangan dengan masker masih menutupi sebagian wajahnya, namun matanya yang penuh kebencian terlihat jelas."Jadi ini harga dirimu, Risa?" Claudia melepas maskernya, menampakkan senyuman sinis."Kau pikir bisa mengambil segalanya dariku dan mendekati Pram dengan seenaknya?" Sambungnya lagi dengan nada tidak senang, bahkan Claudia membuang salivanya asal ke arah Risa. Risa yang tangannya terikat di belakang tubuhnya menatap tajam ke arah Claudia."Aku tidak pernah ingin mengambil apapun darimu, Claudia. Semua ini hanya ada di kepalamu yang sakit. Kedekatanku dengan mas Pram juga berjalan begitu saja, kami juga tidak memiliki hubungan apapun. Hanya sebatas rekan kerja," teriak Risa, ia tidak mer

  • KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU   Bab 41

    Claudia menelan ludah, merasakan kepalanya berputar dengan beban pikiran yang kini menghantamnya. Risa, yang berdiri tidak jauh dari mereka, menatap dengan tatapan yang penuh kemenangan, seolah sudah memenangkan pertarungan tanpa berkeringat. Pram, dengan sikap dominannya, menatap Claudia dengan tegas, menuntut kepatuhan. “Baiklah, aku akan menyelesaikan ini,” ucap Claudia dengan suara serak, hatinya berkecamuk antara rasa malu dan keinginan untuk melawan. Namun, di hadapan Pram yang berwibawa dan Risa yang menyeringai, pilihan tampak begitu terbatas. Claudia berjalan ke arah rak yang berantakan, tangannya gemetar saat ia mulai merapikan barang-barang yang berserakan. Setiap gerakan yang ia lakukan seakan menandakan kekalahan. Pram mengikutinya, mengawasi setiap detail dengan mata elang, tidak memberi ruang untuk kesalahan sedikit pun. Risa, di sisi lain, berdiri dengan tangan terlipat, matanya berkilat dengan kepuasan yang nyata. Nuri sesekali memberikan komentar kecil yang menyaki

  • KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU   Bab 40

    Risa dan Nuri langsung saja keluar dari mobil berjalan dengan sedikit terhuyung, perut terasa mual dan kepala seperti sedang berputar-putar.“Hueek!” Risa mengeluarkan isi perutnya, kepalanya tiba-tiba saja terasa berdenyut, begitu juga Nuri, ia juga muntah-muntah. Karena selama ini mereka tidak pernah mengendarai mobil seugal-ugalan ini.“Kalian tidak apa-apa?” Panik Pram, ia mengusap punggung Risa dan Nuri secara bersamaan.“Tidak apa-apa bagaimana? Mas Pram bisa lihat sendirikan, kami hampir mati karena kamu ngebut bawa mobilnya. Untung saja jantung ini buatan Allah, kalau gak sudah tercecer di jalanan.” Sentak Risa merasa kesal sembari menepiskan tangan Pram, ia menyeka mulut menggunakan punggung tangannya. Namun Pram langsung saja menyodorkan sapu tangannya pada Risa. Sedang Nuri memilih untuk duduk, meraup oksigen dengan rakus, karena tadi, ia merasa berhenti bernafas ketika mobil melaju dengan kencang.“Maaf, saya hanya tidak ingin Claudia lepas. Saya ingin memberi peringatan p

  • KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU   Bab 39

    Claudia menyeringai puas ketika melihat mobil Risa keluar dari parkiran. Ia mendengus kesal, sepulangnya dari luar negeri berharap jika Pram mengatakan sangat merindukan dan tidak bisa hidup tanpanya, eh ternyata ia mendapatkan kabar dan kenyataan jika Pram, sang adik, ralat, Claudia dan Pram tidak memiliki hubungan darah sama sekali, hanya saudara angkat. Claudia mendapatkan kabar jika Pram sedang dekat dengan seorang wanita yang statusnya justru telah menjadi janda. Itu yang membuat amarah Claudia semakin membuncah. “Entah apa istimewanya perempuan itu,” dengus Claudia, lalu ia menutup dengan kasar kaca jendela ruangan tersebut setelah mobil Risa memasuki jalan raya. “Bagaimanapun caranya, Pram harus menjadi milikku.” Tukasnya dengan nada penuh amarah, giginya bergemeletuk kasar, kedua tinjunya mengepal. Lalu ia beranjak bangkit, ia ingin menemui seseorang dan akan mencari tahu lebih lanjut tentang Risa. Ia akan menguliknya hingga tuntas dan akan menyingkirkan Risa. “Lihat sa

  • KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU   Bab 38

    Risa berjalan menuju ruangannya dengan langkah cepat, berkas-berkas yang baru saja ditandatangani oleh Pram dalam genggamannya. Ia merasa puas dengan hasil kerjasama yang telah dicapai bersama grup Pramudya. Namun, kebahagiaan itu segera terganggu oleh getaran ponselnya. Drrt! Ponsel Risa bergetar di dalam saku blazernya. Ia segera merogohnya dan membaca pesan yang masuk dari Nuri, adik iparnya yang juga menekuni usaha jualan mereka hingga bekerja sama dengan grup Pramudya. [Mbak sedang sibuk tidak, kalau tidak, bisa ke toko sekarang juga,] bunyi pesan dari Nuri. [Seharusnya mbak harus menyelesaikan laporan akhir bulan ini dan akan menjemput Azki dan Meli. Memangnya ada apa?] Risa mengetik balasan dengan jari-jarinya yang lincah, rasa penasarannya mulai terpicu. [Sudah, yang penting mbak langsung saja ke toko, penting.] Nuri kembali membalas, kali ini dengan nada yang lebih mendesak. Risa mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Merasa cemas, Risa segera mengakhir

  • KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU   Bab 37

    Risa lalu mendekat pada Nuri, membisikkan suatu rencana yang menurutnya bisa membawa ibu mertuanya pulang ke rumahnya ini. Walau bagaimanapun, Risa masih menyayangi Hafsah, dia tidak pernah benci dengan mertuanya tersebut. Karena Risa sudah menganggap Hafsah seperti ibunya sendiri, itu sebabnya ia merasa tidak sakit hari meskipun Hafsah sudah kelewat batas memperlakukan dan memfitnahnya demi membela Azzam dan Imas.“Aduh, mbak, itu sudah tidak mempan. Aku sudah katakan tadi sama Ibu, tapi ibu tetap memilih hidup bersama mas Azzam dan pelakor itu. Kita lihat saja mbak, sebulan kedepan, ibu betah apa gak tinggal bareng mas Azzam di kontrakan sempit. Karena mas Azzam juga tidak punya uang sepeserpun, lalu mas Azzam juga sudah menjadi pengangguran besar-besaran,” papar Nuri setelah Risa membisikkan idenya, namun kenyataannya Hafsah tidak takut jika tabungannya habis ketika tinggal bersama dengan Azzam.“Kamu serius?” tanya Risa merasa lesu.“Benar mbak Risa, bu Hafsah dengan tegas memilih

  • KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU   Bab 36

    Nuri tersenyum lebar ketika mendengar tebakan Imas terbukti benar. Namun, ia tak menyangka bahwa Jenny dan Siska akan cukup membantu dalam rencananya. Akting keduanya terlihat sangat natural dan meyakinkan. Jenny sesenggukan sambil memeluk Siska erat-erat, seolah merasakan kesedihan yang sama."Jika ibu mau hidup tenang dan tak lagi terbebani, silahkan ikut denganku," ujar Nuri dengan lembut."Tapi jika ibu mau memulai hidup baru dari awal, silahkan ikut mas Azzam. Aku melakukan semua ini karena sayang pada ibu, dan ingin melindungi ibu dari bahaya yang mengancam, karena agunan yang tertulis di surat perjanjian yang telah bapak tandatangani akan segera diambil alih oleh para rentenir ini." Sambung Nuri sambil menunjuk kedua pria berpakaian safari tersebut, mereka duduk tidak jauh dengan Nuri, ekspresi wajah Hafsah tampak bimbang, tangannya gemetar saat menerima penawaran dari Nuri. Ia menatap ke arah Azzam yang duduk di seberangnya, mencari petunjuk dan kepastian. Azzam memandang Hafs

  • KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU   Bab 35

    Hafsah berdiri di tepi gundukan tanah merah, menatap nanar ke liang lahat yang baru saja ditutup. Di tangannya, ia menggenggam erat keranjang berisi bunga-bunga segar yang ia petik di kebun belakang rumahnya. Dalam hati, ia masih terisak dan tidak bisa menerima kenyataan bahwa suaminya, pak Harjo, telah pergi untuk selama-lamanya. Perlahan, Hafsah meraih bunga-bunga dari keranjang itu dan mulai menaburkannya di atas gundukan tanah merah. Setiap bunga yang jatuh seolah mewakili doa dan harapannya agar pak Harjo diberikan ketenangan di alam sana. Aroma bunga-bunga itu menggantikan bau tanah yang basah, namun tak mampu menghilangkan rasa sakit yang mendera hati Hafsah."Semoga Allah meringankan hukuman atas segala dosa-dosamu, pak." Lirih Hafsah sambil menyeka air yang masih mengalir dari pelupuk matanya.Di sebelah Hafsah, Imas berdiri dengan wajah penuh simpati."Ibu harus membalas rasa sakit ini pada Risa, jangan biarkan di bebas begitu saja, Bu." Imas semakin mengompori Hafsah, karen

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status