Share

Bab 4

Author: Fatimah
last update Last Updated: 2024-10-20 18:10:58

“Kamu mendengarnya, Naira?“ tanyanya tampak terkejut.

Aku hanya tersenyum tipis dan segera menghalau tubuhnya yang menghalangi langkahku. Lalu beranjak membuka lemari, memilih outfit yang cocok dikenakan sore nanti.

“Apa yang kamu dengar, tak sesuai dengan apa yang kamu bayangkan, Ra.“

Gerakan tanganku terhenti mendengar ucapannya yang sungguh menggelitik. Aku memang tak tahu isi hatinya tapi ucapannya sudah cukup membuatku mengerti.

“Memangnya apa yang kubayangkan?“ tanyaku geli.

Mas Hangga terdiam.

“Tak usah berbohong untuk menutup kebohonganmu yang lain, Mas. Karena semua itu hanya membuatku semakin tak mempercayaimu dan membuat keadaan semakin rumit,“ sahutku sambil menarik tunik baby blue dan celana jeans navy.

“Loh kamu mau kemana?“ tanyanya seakan mengalihkan pembicaraan sebelumnya.

“Aku mau hang out sama Meera, Cantika dan Adila,“ jawabku sambil menoleh padanya.

“Tidak, Ra. Aku tidak mengizinkan,“ katanya sambil menggelengkan kepala.

“Kenapa memangnya? Karena mereka nggak berhijab dan hanya akan membawa pengaruh buruk?“ tanyaku dongkol, karena tiap aku ingin bertemu mereka, selalu saja Mas Hangga melarang dengan alasan itu. Meera, Cantika dan Adila memang belum berhijab, tapi mereka baik. Bahkan mungkin lebih baik dariku yang sudah lama berhijab.

Mas Hangga terdiam seketika, tapi tangannya mengepal.

“Jangan menilai orang hanya dari penampilannya saja, Mas. Karena apa yang kita lihat terkadang tak sama dengan kenyataan yang ada,“ lanjutku. Membuatnya mendelik tajam.

“Kamu menyindirku?“ semburnya.

Aku tersenyum miring dan menggeleng, “tidak ... Sama sekali tidak. Bukankah yang tadi kuucapkan itu sebuah pepatah? Dont judge the a book by its cover.“

“Apapun itu, aku tetap takkan mengizinkanmu,“ katanya. Aku mengembuskan napas kasar lalu menatapnya tajam.

“Kamu tidak mengizinkanku pergi bersama mereka, tapi kenapa kamu tidak meminta izinku dulu saat menikahi Mbak Medina?“ tanyaku datar.

“Kan sudah aku bilang, kamu pasti takkan mengizinkan. Makanya aku—“

“Nah ini juga yang akan kulakukan sekarang. Aku akan tetap pergi walau tanpa izinmu, seperti kamu yang menikah lagi tanpa izin dariku,“ potongku.

“Naira!“

Lengkingan suaranya disertai cengkraman eratnya di pergelangan tangan ini, membuatku meringis seketika. Dalam hati bertanya-tanya, kenapa sikapnya berubah-ubah seperti ini? Delapan tahun menikah, dia memang datar lebih sering tegas, tapi tak pernah membentak atau berteriak seperti sekarang.

“Jangan berani-berani pergi tanpa izin dariku, Naira. Karena bagaimanapun aku ini suamimu, yang titahnya wajib kamu patuhi,“ desisnya dengan mata memerah. Setelah itu satu tangannya yang menganggur menarik tengkukku, menyatukan bibir kami.

Aku yang jelas tak terima, mencoba berontak mendorong dada tapi tubuh yang terasa lemah membuat pertahanan langsung tergerus habis. Lalu hanya bisa menatapnya nanar saat dia merebahkanku dan melepas jubah mandi yang membelit tubuh ini.

“Dengar aku, Naira! Aku nggak akan lepasin kamu apapun yang terjadi. Sekalipun Medina yang meminta,“ katanya sebelum menyatukan bibir kami berdua. Setelah itu aku hanya bisa pasrah, membiarkannya mengeksplor tubuh ini dan terpejam saat dia sudah mencapai puncaknya.

*

Suara azan terdengar begitu nyaring saat aku membuka mata. Rasa pusing yang belum enyah, membuatku memijit pelipis sambil mengingat potongan-potongan kejadian tadi siang.

Astagfirullah! Aku buru-buru bangun begitu ingat belum shalat zuhur dan akan bertemu Meera, Cantika dan Adila.

Pelan-pelan, aku turun dari ranjang dan mendapati jarum jam menunjuk ke angka tiga. Sudah azan asar rupanya dan Mas Hangga entah pergi kemana.

Buru-buru kubersihkan diri dan menunaikan shalat asar juga menqadha shalat zuhur. Lalu bersiap pergi ke kafe Vanilla. Tapi tepat di saat aku memoles liptint, pintu terbuka. Mas Hangga masuk dengan wajah keruh.

“Mau kemana kamu?“ tanyanya tajam.

“Kan aku sudah bilang, aku mau ketem—“

“Tidak! Aku tidak mengizinkanmu!“ potongnya dengan nada tinggi. Aku membalikkan badan, menatapnya kesal.

“Kenapa tidak? Aku sudah melayanimu, jadi—“

“Kalau aku bilang tidak, ya tidak, Naira. Diam saja di rumah atau kamu akan menyesal!“ bentaknya dengan napas memburu. Aku terbelalak tak percaya. Dia tidak sedang kesurupan kan? Aku menggigit bibir, menahan mata yang tiba-tiba memanas.

“M-mas ... Kamu ...“

Belum sempat aku bicara, Mas Hangga melenggang keluar. Lalu aku kembali terbelalak saat dia mencabut anak kunci.

“Mas!“ Aku memekik dan buru-buru menyusulnya. Tapi terlambat karena pintu sudah ditutup lalu terdengar suara anak kunci.

“Mas! Buka, Mas!“ Aku menggedor-gedor pintu tapi tak ada sahutan apapun, yang terdengar justru derap langkah menjauh.

Tubuhku merosot seketika dan air mata lagi-lagi mengalir. Ada apa dengannya? Setan apa yang merasukinya hingga membuatnya berubah drastis?

*

[Iya gpp, Nai. Gws, ya. Jangan lupa makan dan minum obat.]

[Iya, Nai. Syafakillah.]

[Gws ya, Nai.]

Aku membaca pesan dari Adila, Cantika dan Meera dengan perasaan tak karuan. Setelah dikunci dari luar, aku terpaksa mengirim pesan dusta pada mereka bertiga. Mengatakan kalau tiba-tiba tak enak badan dan dengan terpaksa membatalkan rencana bertemu sore ini.

[Aamiin. Makasih ya, Girls.]

Setelah mengembuskan napas kasar, aku membalasnya. Lalu memasukkan ponsel ke dalam nakas dan membuka laptop. Untuk saat ini hanya benda itulah yang bisa menghiburku.

Namun belum sempat kupilih drama terbaru, ponsel berdering nyaring. Nama Meera terpampang di layar dan sontak membuatku dilanda gelisah. Karena dari ketiga sahabat, dia sudah seperti detektif. Mampu membuat lawan bicara tak berkutik.

[Angkat, Nai. Ada yang mau gue bicarain]

Ragu, aku menggeser ikon telepon hijau. Lalu tubuh seakan membeku mendengar suaranya yang datar.

“Nggak usah bohong, Nai. Lo nggak ada bakat jadi tukang tipu. Gue tau, Lo lagi ada masalah kan sama si Hangga?“

Aku menelan ludah susah payah. Bingung harus menjawab apa. Berbohong pun percuma, karena dia selalu punya bukti atas ucapannya.

“Nai, Lu denger gue kan?“

Aku memejamkan mata. Lalu mengembuskan napas dalam-dalam.

“I-iya, Meer ...“ Hanya itu yang kuucapkan.

“Suami Lo selingkuh kan?“ tanyanya terdengar sinis. Akhirnya aku terisak karena sesak yang kembali menyerang dada.

“Nangis, Nai ... Nangis aja, nggak usah ditahan,“ katanya. Tak tahan, isakku pun semakin menjadi, lalu tak lama terdengar suara Adila dan Cantika.

“Kamu nggak apa-apa kan, Nai?“ tanya mereka berbarengan.

“Yang namanya diselingkuhi, nggak ada yang baik-baik saja, Woy.“ Meera menyahuti dengan suara kesal.

“Nai, kita ke rumah kamu, ya?“ Suara Adila membuatku tersentak.

“Ja-jangan ...“ tolakku.

“Kenapa?“ Mereka bertiga bertanya kompak. Aku menggaruk kepala.

“Si Hangga nggak kdrt kan, Nai?“ tanya Meera.

“Ah iya, si Hangga nggak kdrt kan?“ Cantika ikut bertanya.

Aku menggeleng walau jelas takkan terlihat, “nggak kok.“

“Tapi beneran selingkuh?“ sahut Adila. Lagi-lagi aku menangis.

“Ya Allah ...“ Cantika menyahut sendu.

“Tuh kan bener yang gue lihat seminggu lalu,“ timpal Meera. Dahiku langsung mengerut mendengarnya.

“Emang kamu lihat apa, Meer?“ tanyaku parau.

“Gue lihat si Hangga lagi jalan sama Mbak Lu ... Si Medina. Mereka jalan sambil pegangan tangan, beli perhiasan terus beli hape,“ jawabnya terdengar kesal dan sontak membuat tangisku kembali pecah.

“Nai ... Aduh, Nai ... So-sorry,“ kata Meera.

Aku menarik napas dalam-dalam.

“Enggak apa-apa, Meer. Aku malah makasih banget udah dikasih tau,“ sahutku pilu di sela-sela tangis yang semakin deras.

“Ya Allah, Nai ... yang sabar, ya,“ ucap Cantika.

“Iya, Nai. Sabar, ya. Peluk jauh,“ timpal Adila.

“Sabar, Nai. Sabar dan balas mereka, Nai. Tuman!“ Meera menambahi.

“Balas ...“ ucapku lirih karena ternyata pintu terbuka dan Mas Hangga berdiri di sana dengan sorot mata tajam.

“Mas ...?“

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
lawan aja nai qm pasti bisa lepas dr Hangga nai
goodnovel comment avatar
Elma Sukmala
ayo nai kamu harus tegar juga tegas.balas mereka dengan yg lebih pedih dari yg kau rasakan.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 161

    Naira tertawa geli sambil geleng-geleng kepala. “Bulan madu kita sudah berakhir, Sayang. Saatnya kembali ke kehidupan yang sebenarnya.” Aric langsung mengerucutkan bibir. Lalu melangkah keluar kamar. Sedangkan Naira lantas membersihkan tubuhnya yang terasa lengket. Sebelum membuka pintu, Aric mengintip dari jendela. Tapi sayang, yang bertamu tak terlihat. Aric pun akhirnya langsung membuka pintu untuk tamu yang tak diundangnya itu. “Assalamualaikum, Bu Hajah Naira!“ Aric disambut suara riang ketiga sahabat Naira. Meera, Cantika dan Adila. “Waalaikumussalam,“ jawab Aric, kikuk sambil tersenyum nyengir. “Eh, sorry, Ric. Kirain kita Naira,“ kata Cantika. “Its oke, no problem. Silahkan duduk dan anggap saja rumah sendiri,“ ujar Aric. “Thanks, Ric.“ Meera, Cantika dan Adila menyahut kompak. “Nairanya mana, Ric?“ tanya Meera sambil menatap interior rumah Aric yang benar-benar berkelas. “Nyonya lagi mandi. Kalian tunggu saja, ya. Kalau mau minum, ambil saja di kulkas,“

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 160

    Aric menoleh, menatap istrinya dengan lembut. “Aku juga nggak akan pernah melupakannya, Khai. Semoga perjalanan ini jadi awal yang baik untuk kita.” Naira tersenyum, merasa hatinya penuh dengan cinta dan syukur. Perjalanan itu tidak hanya mendekatkan mereka kepada Allah, tetapi juga semakin menguatkan cinta mereka sebagai suami istri. Tiba di rumah Aric, si kembar langsung dijemput Hangga. Lelaki itu akan melamar calon istrinya, dan menginginkan si kembar turut hadir di momen itu. Naira dan Aric tak keberatan. Justru Aric merasa inilah waktunya berduaan dengan Naira. Malam pun tiba. Suasana terasa sepi tanpa kehadiran si kembar. Di dapur, Naira berdiri sibuk memanaskan makanan untuk makan malam. Aric sendiri duduk di ruang makan, matanya sesekali melirik ke arah istrinya. Dia merasakan sesuatu yang berbeda malam itu. Udara terasa lebih dingin dari biasanya. Membangunkan sisi kelelakiannya. “Babe,” panggilnya lembut. “Ya, Sayang?” jawab Naira tanpa menoleh, fokus pada pa

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 159

    Aric memperhatikan mereka dari jarak dekat. Dalam diamnya dia merasa bersyukur bisa membawa keluarganya ke Tanah Suci. Bagi Aric, perjalanan ini bukan hanya ibadah, tetapi juga hadiah yang sengaja dipersembahkan untuk istrinya, sebagai bentuk cinta dan pengabdian. Di dalam pesawat, si kembar tertidur di pangkuan Aric. Naira yang duduk di sebelah mereka, memandangi Aric. Melihat wajah Aric yang terlihat damai, Naira lantas melangitkan doa. Memohon agar perjalanan ini membawa keberkahan bagi mereka sekeluarga. ** Tiba di Mekkah, tubuh Naira terasa membeku. Melihat Masjidil Haram dengan segala kemegahannya, dia merasa seperti berada di dunia lain. Tapi saat melihat Ka’bah untuk pertama kalinya, air matanya langsung mengalir deras. “Masya Allah… Aric, ini benar-benar indah. Apa ini nyata? Aku tidak sedang bermimpi kan?” tanyanya dengan suara bergetar. Aric berdiri di sampingnya, mengangguk pelan. “Ini nyata, Khai. Alhamdulillah, kita sampai di sini.” Mereka berjalan me

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 158

    “Ric … ini ….“ Netra Naira berkaca-kaca saat membaca isi surat yang diberikan Aric. Seakan masih tak percaya dengan apa yang baru saja dibacanya. Naira pun beranjak duduk. Lalu memeluk surat itu erat. “Masya Allah … Alhamdulillah,” gumamnya, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tangannya sedikit bergetar saatmenatap Aric. “Kita … akan umrah?” Aric mengangguk, senyumnya semakin melebar. Lalu memeluk pinggang Naira. “Aku sudah mendaftarkan kita. Kamu, aku, dan si kembar. Semuanya sudah aku atur.” Air mata Naira mengalir perlahan. Hatinya penuh haru dan syukur. Dia kembali mendekap surat itu sambil menatap suaminya dengan pandangan mengabur. “Kenapa kamu selalu tahu cara membuatku bahagia, Ric?” Aric mengusap kepala Naira lembut. “Karena sudah lama aku mencintaimu. Jadi jangan heran kalau aku tahu segalanya. Dan sekarang aku suamimu, Khai. Bahagiamu adalah tugasku.” * “Yang bener Lo, Nai?“ tanya Meera saat Naira mengabari tentang rencana keberangkatan umr

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 157

    “Sudah dulu mesra-mesraannya. Tuh lihat, mereka dari tadi pengen foto bareng kalian,” kata Bu Hania. Naira pun langsung melepaskan tangan Aric dari pinggangnya. Lalu beranjak berdiri. Sementara Aric hanya menghela napas panjang. Lalu ikut berdiri, dan melayani orang-orang yang ingin berfoto dengan mereka. ** Naira berdiri di depan jendela besar yang menghadap langsung ke pantai. Malam begitu tenang, hanya suara deburan ombak yang terdengar, bersenandung lembut seperti ingin menenangkan setiap hati yang mendengarnya. Angin malam pun seakan tak mau kalah menebarkan pesonanya, membawa aroma khas laut, bercampur wangi bunga-bunga tropis yang tumbuh di sekitarnya. Gaun merah panjang Naira bergoyang pelan ditiup angin dari jendela yang sedikit terbuka. Matanya menatap langit bertabur bintang, sesekali bibirnya tersenyum samar, mengingat hari bahagia yang baru saja mereka lalui. “Masih betah menatap laut?” Suara berat nan lembut itu membuat Naira sedikit tersentak. Naira menol

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 156

    “Ya Allah … cantik banget Lo, Nai!” pekik Meera. Dia langsung menghampiri Naira. Menatap penampilan sahabatnya itu dengan takjub. “Iya. Kamu cantik banget, Nai. Nggak heran Aric klepek-klepek sama kamu,“ sahut Adila. “Bener. Mana bodymu oke banget. Enggak kek gue,“ timpal Cantika sambil menatap badannya sendiri. Sejak ikut program KB, tubuhnya memang mengembang tak karuan. “Oh iya, keluarga kamu udah sampai Nai. Mereka pengen ketemu kamu,” kata Bu Anya mengalihkan perhatian Naira dan ketiga sahabatnya. “Keluarga?“ Meera menyahut heran. “Maksudnya Omnya Naira, Bun?“ tanyanya. Bu Anya mengangguk. “Kan dia yang mau jadi walinya Naira. Iya kan, Nai?“ ujarnya. Naira mengangguk. “Kalau gitu, bunda suruh masuk saja ya?“ tanya Bu Anya. “Iya silahkan, Bun.“ Bu Anya pun keluar dari ruang khusus rias itu. Setelah Bu Anya tak ada, Meera langsung menanyai Naira. “Serius Lo undang mereka, Nai?“ tanyanya. “Bukan aku, Meer. Tapi Aric. Kata Aric bagaimanapun, mereka keluarga a

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status