“M-mas ...“
“Nelepon siapa kamu?“ tanyanya sambil berjalan tergesa menghampiri. Lalu di detik berikutnya, dia merebut ponsel di tanganku. “Jangan pengaruhi istriku.“ Dia berkata tajam, membuat atmosfer kamar berubah mencekam. Aku menelan ludah dengan payah saat telepon diputus dan pandangan kami bersirobok. “Kamu bilang apa sama mereka?“ tanyanya. Aku menggeleng, “ti-dak. Aku tidak bilang apa—“ “Bohong!“ sentaknya membuatku spontan meremas sprei. Lalu memejamkan mata saat merasakan jemari panjangnya menyentuh daguku. “Jangan berani membohongiku, Naira,“ ujarnya dingin. Aku membuka mata dan sontak membeliak saat ponsel milikku dibanting dengan kasar. “Mas!“ teriakku tak terima. Kutepis tangannya dan buru-buru memunguti benda pipih yang layarnya sudah pecah. Gegas, kutekan tombol power, berharap masih menyala. Tapi hingga beberapa menit menunggu, layarnya tetap saja gelap. Aku pun bangkit berdiri. Menatapnya nyalang sambil meremas ponsel. “Puas kamu, Mas? Puas?“ teriakku. Mas Hangga hanya tersenyum menyeringai, lalu dengan santainya merangkul bahuku. “Kan sudah aku bilang, jangan macam-macam. Itu baru ponsel, Naira. Kalau kamu macam-macam lagi, tubuhmu yang kubanting,“ bisiknya membuat tubuhku meremang dan benak semakin dipenuhi tanya. Ada apa dengannya? Kenapa sikapnya semakin sulit kumengerti? “Sekarang ganti bajumu. Kita ke rumah ibu,“ katanya. Aku menggeleng cepat sambil melepaskan bahunya dari pundak ini. “Jangan membantah, Naira!“ tegasnya sambil meremas lenganku. Aku berdesis pelan dan memberanikan diri menatapnya dari dekat. “Apa yang terjadi sama kamu, Mas? Kenapa kamu berubah? Kamu tak seperti Mas Hangga yang kukenal,“ ujarku bingung. Mengingat selama ini, dia tak pernah melakukan hal yang seperti tadi. Walau tak romantis, tapi Mas Hangga tak berperangai kasar. Pantang baginya bermain tangan.Tapi kini kenapa aku merasa, dia bukan Mas Hangga. Bahkan sorot matanya pun seperti .... “Jangan berburuk sangka, Naira. Aku berubah karena sudah seharusnya. Kamu mulai berani membantah, makanya aku berubah,“ terangnya sambil melumat bibirku dengan kasar. “Sepertinya aku harus sering melumat bibirmu, supaya mulutmu tak pongah,“ lanjutnya sambil berjalan ke arah pintu dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam celana. “Cepat ganti. Aku tunggu di bawah.“ Aku mengembuskan napas kasar. Dengan malas membuka lemari dan mengganti baju rumahan dengan set gamis syari. * Suasana rumah ibu tampak tak seperti biasa. Tak ada keempat ipar yang biasanya berkumpul sambil berghibah. Saat aku masuk ke ruang tengah, mataku mendapati ibu duduk di sofa ditemani ... Mbak Medina. Mereka tampak akrab dan entah membahas apa. Melihat pemandangan itu mendadak hatiku jadi kerdil. Karena selama ini, aku tak begitu dekat dengan Ibu. Bahkan lebih sering berselisih paham. “Assalamualaikum.“ Suara Mas Hangga membuat mereka sontak menoleh. “Waalaikumussalam,“ jawab mereka kompak. Mas Hangga langsung melangkah menghampiri, sementara aku masih berdiri dekat lemari penghalang antara ruang tamu dan ruang tengah. Entahlah kenapa tiba-tiba aku jadi tak enak hati. “Kamu mau berdiri di situ saja, Naira?“ Suara sinis Ibu, mau tak mau membuatku kembali melangkah. Lalu duduk di samping Mas Hangga. Mengabaikan Mbak Medina yang wajahnya agak ditekuk. “Hangga, bukannya kamu mau ke toko lagi?“ tanya Ibu. Aku mengerutkan dahi. Kenapa aku disuruh ke sini, kalau ujung-ujungnya ditinggal pergi Mas Hangga? “Oh iya, Bu.“ Mas Hangga langsung berdiri. “Aku mau ke toko lagi. Nanti ada yang mau ibu dan Medina sampaikan padamu,“ lanjutnya. Ingin sekali memprotes, tapi melihat tatapan tajamnya, seketika nyaliku tenggelam. “Mas ke toko dulu ya, Sayang.“ Mas Hangga mengulurkan tangannya pada Mbak Medina. “Iya, Mas. Malam ini Mas nginap di aku kan?“ tanya Medina. “Iyalah. Naira kan sudah tahu, jadi kita tak perlu sembunyi-sembunyi lagi,“ jawab Mas Hangga sambil melirikku sekilas. Gelombang amarah dan cemburu seketika menerjang dadaku. Bagaimana tidak, caranya memperlakukan kami sangat jauh berbeda. Bukan hanya tutur katanya yang lembut, sikap Mas Hangga juga sangat romantis. Selain mengusap perut Mbak Medina, dia juga memeluk sepupuku itu cukup lama hingga akhirnya diurai setelah aku berdehem keras. “Maaf, Ra ... Mbak lupa kalau ada kamu di sini,“ ucap Mbak Medina yang terdengar seperti ledekan. “Nggak usah minta maaf. Kamu sedang mengandung darah daging Hangga, jadi sangat wajar diperlakukan seperti itu,“ sahut Ibu sambil melirikku sinis. Aku bergeming. Muak sekali melihat ekspresi kedua betina itu. Hijab syari yang dikenakan mereka, nyatanya hanya sebuah topeng untuk menutupi kejulidan yang mendarah daging. “Sudahlah, Bu.“ Mas Hangga menyentuh pundak ibu lalu mencium tangan berhias gelang itu takzim. “Aku pergi. Nanti kamu pulang sendiri saja, aku mau pulang ke Madina,“ lanjutnya tanpa mengulurkan tangan padaku. Aku menatapnya nanar. Rasa kecewa jelas berkelindan di dada. Kemana janjinya yang katanya akan adil? Baru sehari setelah pengakuannya, jangankan adil, dia justru membuat lukaku semakin menganga. * “Ibu rasa tak ada yang perlu dijelaskan. Kamu pasti sudah paham, kenapa Ibu menyuruh Hangga menikah lagi,“ ujar Ibu. Setelah sebelumnya hanya hening yang menemani kami. “Iya, Bu.“ Aku menjawab malas. “Kenapa jawabnya singkat gitu? Biasanya juga kamu kan suka mendebat,“ ujar Ibu dengan dahi agak mengerut. “Terus aku harus jawab apa, Bu? Protes juga percuma kan? Nggak akan mengubah keadaan,“ jawabku pasrah. Lebih tepatnya tak berminat dan ingin segera menyudahi pembicaraan ini, walau tak dipungkiri agak penasaran juga sejak kapan mereka menikah siri. “Baguslah kalau kamu sadar diri,“ cetus Ibu diakhiri seringai tipis. Aku mengalihkan pandangan pada Mbak Medina yang ternyata juga tersenyum tipis. “Ada yang mau dibicarakan lagi nggak?“ tanyaku. Membuat senyumnya langsung sirna, “kalau tidak ada, aku mau pulang. Sudah mau magrib,“ lanjutku. Mbak Medina terdiam. Perempuan berusia tiga puluh empat tahun itu melirik pada Ibu sebelum menatapku sekilas. “Kamu mau bicara berdua saja, Din? Kalau iya, Ibu kau ke rumah Mbak Hanin,“ ujar Ibu. “I-iya, Bu. Maaf ya, Bu,“ jawab Mbak Medina sambil menganggukan kepala. “Yasudah, Ibu ke rumah Mbak Hani dulu Nanti kalau mau makan, kasih tahu Ibu, ya.“ Ibu langsung beranjak, meninggalkan kami berdua. “Iya, Bu.“ Mbak Medina menyahut pelan. Lalu menatapku lekat-lekat, tepat di saat punggung Ibu tertelan pintu. “Apa kamu tidak penasaran, ingin tau sejak kapan kami menikah?“ tanyanya seakan tahu isi pikiranku. Dengan nada yang terdengar sinis. “Bagaimana kalau aku tidak penasaran, Mba?“ tanyaku balik. Mbak Medina langsung membeliak. Persis sepuluh tahun lalu, saat .... “Kami menikah tiga bulan lalu—“ “Oh.“ Aku menyela segera dan berusaha bersikap datar meski hati panas luar biasa. Mbak Medina langsung terbelalak. Lalu bola matanya bergerak gusar. “Sudah tidak ada lagi yang dibicarakan kan? Aku mau pulang,“ ujarku. Tapi Mbak Medina langsung memegang tangan ini. “Sebentar, Ra. Tunggu dulu di sini,“ katanya, lalu melangkah masuk ke kamar tamu dan kembali dengan map di tangannya. “Aku mau minta tandatanganmu, Ra. Aku mengandung anak Mas Hangga dan nanti pasti membutuhkan buku nikah dan kartu keluarga untuk mengurus dokumen negara anak kami,“ tuturnya enteng tanpa tendeng eling. “Kenapa tak sekalian saja minta aku menggugat Mas Hangga? Biar nanti kamu dicap ... Pe-la-kor!“ seruku sinis dan membuat tubuhnya menegang seketika.Naira tertawa geli sambil geleng-geleng kepala. “Bulan madu kita sudah berakhir, Sayang. Saatnya kembali ke kehidupan yang sebenarnya.” Aric langsung mengerucutkan bibir. Lalu melangkah keluar kamar. Sedangkan Naira lantas membersihkan tubuhnya yang terasa lengket. Sebelum membuka pintu, Aric mengintip dari jendela. Tapi sayang, yang bertamu tak terlihat. Aric pun akhirnya langsung membuka pintu untuk tamu yang tak diundangnya itu. “Assalamualaikum, Bu Hajah Naira!“ Aric disambut suara riang ketiga sahabat Naira. Meera, Cantika dan Adila. “Waalaikumussalam,“ jawab Aric, kikuk sambil tersenyum nyengir. “Eh, sorry, Ric. Kirain kita Naira,“ kata Cantika. “Its oke, no problem. Silahkan duduk dan anggap saja rumah sendiri,“ ujar Aric. “Thanks, Ric.“ Meera, Cantika dan Adila menyahut kompak. “Nairanya mana, Ric?“ tanya Meera sambil menatap interior rumah Aric yang benar-benar berkelas. “Nyonya lagi mandi. Kalian tunggu saja, ya. Kalau mau minum, ambil saja di kulkas,“
Aric menoleh, menatap istrinya dengan lembut. “Aku juga nggak akan pernah melupakannya, Khai. Semoga perjalanan ini jadi awal yang baik untuk kita.” Naira tersenyum, merasa hatinya penuh dengan cinta dan syukur. Perjalanan itu tidak hanya mendekatkan mereka kepada Allah, tetapi juga semakin menguatkan cinta mereka sebagai suami istri. Tiba di rumah Aric, si kembar langsung dijemput Hangga. Lelaki itu akan melamar calon istrinya, dan menginginkan si kembar turut hadir di momen itu. Naira dan Aric tak keberatan. Justru Aric merasa inilah waktunya berduaan dengan Naira. Malam pun tiba. Suasana terasa sepi tanpa kehadiran si kembar. Di dapur, Naira berdiri sibuk memanaskan makanan untuk makan malam. Aric sendiri duduk di ruang makan, matanya sesekali melirik ke arah istrinya. Dia merasakan sesuatu yang berbeda malam itu. Udara terasa lebih dingin dari biasanya. Membangunkan sisi kelelakiannya. “Babe,” panggilnya lembut. “Ya, Sayang?” jawab Naira tanpa menoleh, fokus pada pa
Aric memperhatikan mereka dari jarak dekat. Dalam diamnya dia merasa bersyukur bisa membawa keluarganya ke Tanah Suci. Bagi Aric, perjalanan ini bukan hanya ibadah, tetapi juga hadiah yang sengaja dipersembahkan untuk istrinya, sebagai bentuk cinta dan pengabdian. Di dalam pesawat, si kembar tertidur di pangkuan Aric. Naira yang duduk di sebelah mereka, memandangi Aric. Melihat wajah Aric yang terlihat damai, Naira lantas melangitkan doa. Memohon agar perjalanan ini membawa keberkahan bagi mereka sekeluarga. ** Tiba di Mekkah, tubuh Naira terasa membeku. Melihat Masjidil Haram dengan segala kemegahannya, dia merasa seperti berada di dunia lain. Tapi saat melihat Ka’bah untuk pertama kalinya, air matanya langsung mengalir deras. “Masya Allah… Aric, ini benar-benar indah. Apa ini nyata? Aku tidak sedang bermimpi kan?” tanyanya dengan suara bergetar. Aric berdiri di sampingnya, mengangguk pelan. “Ini nyata, Khai. Alhamdulillah, kita sampai di sini.” Mereka berjalan me
“Ric … ini ….“ Netra Naira berkaca-kaca saat membaca isi surat yang diberikan Aric. Seakan masih tak percaya dengan apa yang baru saja dibacanya. Naira pun beranjak duduk. Lalu memeluk surat itu erat. “Masya Allah … Alhamdulillah,” gumamnya, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tangannya sedikit bergetar saatmenatap Aric. “Kita … akan umrah?” Aric mengangguk, senyumnya semakin melebar. Lalu memeluk pinggang Naira. “Aku sudah mendaftarkan kita. Kamu, aku, dan si kembar. Semuanya sudah aku atur.” Air mata Naira mengalir perlahan. Hatinya penuh haru dan syukur. Dia kembali mendekap surat itu sambil menatap suaminya dengan pandangan mengabur. “Kenapa kamu selalu tahu cara membuatku bahagia, Ric?” Aric mengusap kepala Naira lembut. “Karena sudah lama aku mencintaimu. Jadi jangan heran kalau aku tahu segalanya. Dan sekarang aku suamimu, Khai. Bahagiamu adalah tugasku.” * “Yang bener Lo, Nai?“ tanya Meera saat Naira mengabari tentang rencana keberangkatan umr
“Sudah dulu mesra-mesraannya. Tuh lihat, mereka dari tadi pengen foto bareng kalian,” kata Bu Hania. Naira pun langsung melepaskan tangan Aric dari pinggangnya. Lalu beranjak berdiri. Sementara Aric hanya menghela napas panjang. Lalu ikut berdiri, dan melayani orang-orang yang ingin berfoto dengan mereka. ** Naira berdiri di depan jendela besar yang menghadap langsung ke pantai. Malam begitu tenang, hanya suara deburan ombak yang terdengar, bersenandung lembut seperti ingin menenangkan setiap hati yang mendengarnya. Angin malam pun seakan tak mau kalah menebarkan pesonanya, membawa aroma khas laut, bercampur wangi bunga-bunga tropis yang tumbuh di sekitarnya. Gaun merah panjang Naira bergoyang pelan ditiup angin dari jendela yang sedikit terbuka. Matanya menatap langit bertabur bintang, sesekali bibirnya tersenyum samar, mengingat hari bahagia yang baru saja mereka lalui. “Masih betah menatap laut?” Suara berat nan lembut itu membuat Naira sedikit tersentak. Naira menol
“Ya Allah … cantik banget Lo, Nai!” pekik Meera. Dia langsung menghampiri Naira. Menatap penampilan sahabatnya itu dengan takjub. “Iya. Kamu cantik banget, Nai. Nggak heran Aric klepek-klepek sama kamu,“ sahut Adila. “Bener. Mana bodymu oke banget. Enggak kek gue,“ timpal Cantika sambil menatap badannya sendiri. Sejak ikut program KB, tubuhnya memang mengembang tak karuan. “Oh iya, keluarga kamu udah sampai Nai. Mereka pengen ketemu kamu,” kata Bu Anya mengalihkan perhatian Naira dan ketiga sahabatnya. “Keluarga?“ Meera menyahut heran. “Maksudnya Omnya Naira, Bun?“ tanyanya. Bu Anya mengangguk. “Kan dia yang mau jadi walinya Naira. Iya kan, Nai?“ ujarnya. Naira mengangguk. “Kalau gitu, bunda suruh masuk saja ya?“ tanya Bu Anya. “Iya silahkan, Bun.“ Bu Anya pun keluar dari ruang khusus rias itu. Setelah Bu Anya tak ada, Meera langsung menanyai Naira. “Serius Lo undang mereka, Nai?“ tanyanya. “Bukan aku, Meer. Tapi Aric. Kata Aric bagaimanapun, mereka keluarga a