Malam semakin renta. Kutegakkan punggung yang terasa pegal karena terlalu lama duduk. Setelah kejutan bertubi-tubi yang diberikan Mas Hangga, aku kesulitan memejamkan mata. Hingga akhirnya menghabiskan berjam-jam lamanya di depan laptop, menonton drama Korea romantis. Berharap bisa membuatku agak lupa dengan kenyataan yang tengah dihadapi.
Mas Hangga sendiri sepertinya takkan pulang. Tadi aku sempat membuka ponsel, tapi tak ada satu pun pesan maupun panggilan darinya. Namun pemberitahuan status Mbak Madina, menguatkan pradugaku kalau Mas Hangga takkan pulang. [Malam terindah bersamanya. Makasih Abi Sayang.] Begitulah caption yang dibubuhkannya pada sebuah foto Mas Hangga yang tengah menunggu di dekat angkringan pecel lele. Melihatnya membuat dada seakan terbakar dan air mata kembali tumpah, hingga akhirnya kuputuskan mematikan ponsel dan menyimpannya di dalam laci. Aku menghela napas dalam-dalam, saat samar terdengar suara azan awal. Kumatikan laptop dan menyeret langkah ke luar. Ke taman kecil di samping rumah. Memeluk diri, menikmati keheningan seraya memejamkan mata, membiarkan desau angin menusuk tubuh yang hanya dibalut home dress selutut tanpa lengan. Setelah cukup puas, aku pun kembali masuk dan mengambil wudhu. * Aku terbangun saat sinar matahari mendesak masuk melalui jendela yang entah sejak kapan terbuka. Pelan, aku melangkah ke luar kamar, masih dengan mengenakan mukena. Lalu langkah kaki terhenti di pintu penghubung dapur saat melihat Mas Hangga berdiri di depan kompor sambil menggoreng yang entah apa. “Kamu sudah bangun, Ra?“ tanyanya sambil membalikkan tubuh. Rupanya dia menyadari kehadiranku. “Naira ...“ Dia menghampiri, tapi aku buru-buru menjauh dari jangkauannya. “Kenapa pulang?“ tanyaku ketus. Dahinya langsung berkerut seakan bingung. “Maksud kamu?“ tanyanya tampak seperti orang bodoh, “kamu kenapa?“ lanjutnya sambil menahan lenganku. “Kenapa nggak aja sekalian pergi dari sini dan tinggal sama dia?“ tanyaku kesal. “Ra ... kamu bicara apa sih? Semalam kan Mas ada di sini,“ jawabnya dengan mata bergerak gusar. Aku tersenyum kecut. Ucapannya menyadarku dari kebodohan dan ketololan diri selama ini, yang selalu percaya saat dia meminta izin menginap di rumah Ibu. Sepertinya selama ini dia menggunakan waktu itu untuk Mbak Medina. “Masa sih? Kamu pikir aku bodoh, Mas? Bukannya semalam kamu makan-makan sama Sayangmu itu? Sejak kapan sih, Mas? Sejak kapan kamu berbohong begini?“ tanyaku membuat tubuhnya menegang dan wajah memucat seketika. “Ka-kamu tau dari mana?“ tanyanya terbata yang terdengar menggelikan. “Dari status istri kesayanganmu itu,“ jawabku datar sambil bersidekap. Mas Hangga membuang napas kasar, lalu mematikan kompor dan meninggalkanku begitu saja. Buru-buru aku mengekorinya yang ternyata tengah menelepon. “Kenapa kamu posting-posting gitu sih, Sayang? Ini Naira marah. Kalau sampai dia marah, nanti pernikahan kita nggak bakalan bisa didaftarkan ke KUA,“ katanya. “...“ “Iya ... tapi kamu harus menjaga hatinya dong, Sayang. Emosinya kan belum stabil.“ “...“ “Bukan begitu, Sayang. Yasudah, lupakan saja. Kamu jangan lupa sarapan dan minum susu sama vitaminnya.“ “...“ “Iya, Sayang. Sudah dulu, ya. Love you too.“ Aku mengepalkan tangan dengan bibir terkatup mendengar tutur katanya pada Mbak Medina yang begitu lembut. Sesuatu yang tak pernah dilakukannya padaku. Selama ini Mas Hangga selalu bertutur kata datar dan lebih sering tegas. Seingatku hanya saat aku menjalani kuretase saja, dia memperlakukanku agak lembut. “Loh, Na-naira ... se-sejak kapan kamu di situ?“ Pertanyaannya menyentakku dari lamunan. Aku menggeleng cepat dan buru-buru masuk kamar. Mengunci dan kembali menangis, meratapi nasib buruk yang kini membalut diri. "Ra ... Naira ... buka pintunya. Aku mau bicara.“ Suara Mas Hangga disertai ketukan pintu membuatku semakin tergugu dalam tangis. Apa lagi yang dia inginkan? Tidakkah puas sudah membuat fisik dan psikisku terguncang? “Ra ... Maafkan aku. Aku khilaf tadi.“ Kuusap air mata dengan kasar dan mengambil ponsel di dalam laci. Mengacuhkan suaranya yang terus menyebut namaku. Aku butuh teman curhat supaya hati ini agak tenang. “Naira ... Buka, Ra!“ Aku menggeleng cepat walau jelas takkan terlihat olehnya dan segera mengirim pesan di WA grup true best friend. [Help me, Please.] Tulisku di kolom komentar dan tak lama Meera, Cantika dan Adila—ketiga sahabatku—tampak sedang mengetik. [Whats wrong, Nai?] balas Adila diakhir emot terbelalak. [Ada apa, Zheyeng?] Cantika juga membalas. [Ada apa, Nairaku Cantik?] Meera ikut membalas. Baru melihat pesan mereka saja, mata langsung memanas. Tiba-tiba aku merasa ragu. Bisakah menceritakan permasalahan ini dengan lancar? [Naira ... kamu baik-baik saja kan?] Pesan dari Adila membuatku lagi-lagi menangis. [Gue yakin ada yang gak beres sama Naira. Kuy, kita ke rumahnya] tulis Meera. [Janganlah. Kita ketemuan di luar saja, males gue ketemu wajah ketus suaminya.] balas Cantika. [Iya sih. Tapi masalahnya, ini si Naira kemana? Kok nggak bales-bales? Bales dong, Nai! Jangan bikin kita panik.] Meera membalas. Di saat aku kembali tergugu dalam tangis, tiba-tiba ponsel berdering. Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan mengembuskan napas kasar saat melihat nama yang terpampang di layar benda pipih itu. “Ha-halo ...“ ucapku parau. “Halo, Nai? Kamu baik-baik saja kan?“ Suara Adila yang terdengar khawatir langsung menyahut. “I-iya, Dil. Aku baik, kok.“ Aku menjawab seraya menggigit bibir. “Oh ya? Lalu kenapa ngirim pesan gitu di grup?“ Nada bicaranya terdengar tak percaya. “Nai ... Kamu lagi ada masalah serius kan?“ tanyanya saat aku tak kunjung menjawab. “En-nggak, Dil. A-aku hanya bercanda.“ Sekuat tenaga aku menjawab. Terdengar tawaan sinisnya dari jauh sana. “Nggak usah bohong, Naira! Kita sudah bersahabat sangat lama. Bicaralah! Tak usah mengelak,“ ujarnya. Tubuhku berguncang seketika, menahan tangis yang bersiap kembali meledak. “Kita ketemua saja, ya, di kafe Vanilla?“ “Atau kami ke rumahmu?“ lanjutnya. Aku menggeleng cepat. “Nanti sore sepulang kalian kerja, aku ke kafe Vanilla, Dil. Insya Allah,“ jawabku pelan, setelah cukup bisa mengontrol emosi. "Baiklah, Nai. Sekarang sarapanlah dulu. Jangan sampai maag-mu kambuh,“ katanya. “Oke, Dil. Makasih,“ ucapku. “Sip. Aku kerja dulu, ya. Sampai ketemu nanti,“ katanya. Aku mengangguk dan merebahkan badan sesaat setelah panggilan berakhir. . Aku menyeduh coklat dan membawanya ke kamar. Lalu duduk di ranjang sambil menatap laptop yang tengah memutar adegan romantis sebuah drama Korea. Sudah jam sebelas siang, tapi sama sekali tak berminat mengisi perut. Padahal di meja sudah tersedia nasi goreng dan telur dadar yang dibuat Mas Hangga. Setelah bosan terpekur menatap layar laptop, aku bergegas menghabiskan coklat yang tinggal setengah dan dingin. Lalu bergegas ke kamar mandi. Berendam di bath up sambil menikmati wangi aroma terapi. Tapi kegiatan yang menenangkan itu harus terganggu oleh ketukan di pintu. Mau tak mau aku beranjak dan membilas diri. Walaupun marah, tetap saja, aku harus meminta izinnya saat keluar nanti. “Ada apa?“ tanyaku ketus setelah membuka pintu dan mendapatinya berdiri dengan tatapan penuh selidik. “Kamu nggak apa-apa kan, Ra?“ Mas Hangga memindaiku dari atas hingga bawah. “Kamu masih berani nanya begitu setelah menyakitiku?“ Aku terkekeh pelan. Mas Hangga langsung menarik tanganku. “Maafkan aku, Ra. Aku mohon ... jangan seperti ini. Maafkan aku dan bersikaplah seperti biasanya,“ katanya. Aku tertawa menyeringai. Rasanya ingin sekali mengumpat kasar. Tak habis pikir dengan pemikirannya. Bisa-bisanya dia memintaku bersikap seperti biasanya, sementara keadaannya sudah sangat berubah. “Aku mohon maafkan aku, Ra ...“ Mas Hangga meraih tanganku dan tiba-tiba percakapannya dengan Mbak Medina tadi di telepon, melintas di angan-angan. Membuat dada sontak terasa sesak, menyadari kalau permintaan maafnya hanya sebuah formalitas saja supaya bisa mendapatkan tanda tanganku. “Kamu minta maaf karena mau tanda tanganku kan, Mas? Kalau benar begitu, maaf sekali ... aku takkan pernah memberikannya!“ seruku membuat matanya membulat sempurna.Naira tertawa geli sambil geleng-geleng kepala. “Bulan madu kita sudah berakhir, Sayang. Saatnya kembali ke kehidupan yang sebenarnya.” Aric langsung mengerucutkan bibir. Lalu melangkah keluar kamar. Sedangkan Naira lantas membersihkan tubuhnya yang terasa lengket. Sebelum membuka pintu, Aric mengintip dari jendela. Tapi sayang, yang bertamu tak terlihat. Aric pun akhirnya langsung membuka pintu untuk tamu yang tak diundangnya itu. “Assalamualaikum, Bu Hajah Naira!“ Aric disambut suara riang ketiga sahabat Naira. Meera, Cantika dan Adila. “Waalaikumussalam,“ jawab Aric, kikuk sambil tersenyum nyengir. “Eh, sorry, Ric. Kirain kita Naira,“ kata Cantika. “Its oke, no problem. Silahkan duduk dan anggap saja rumah sendiri,“ ujar Aric. “Thanks, Ric.“ Meera, Cantika dan Adila menyahut kompak. “Nairanya mana, Ric?“ tanya Meera sambil menatap interior rumah Aric yang benar-benar berkelas. “Nyonya lagi mandi. Kalian tunggu saja, ya. Kalau mau minum, ambil saja di kulkas,“
Aric menoleh, menatap istrinya dengan lembut. “Aku juga nggak akan pernah melupakannya, Khai. Semoga perjalanan ini jadi awal yang baik untuk kita.” Naira tersenyum, merasa hatinya penuh dengan cinta dan syukur. Perjalanan itu tidak hanya mendekatkan mereka kepada Allah, tetapi juga semakin menguatkan cinta mereka sebagai suami istri. Tiba di rumah Aric, si kembar langsung dijemput Hangga. Lelaki itu akan melamar calon istrinya, dan menginginkan si kembar turut hadir di momen itu. Naira dan Aric tak keberatan. Justru Aric merasa inilah waktunya berduaan dengan Naira. Malam pun tiba. Suasana terasa sepi tanpa kehadiran si kembar. Di dapur, Naira berdiri sibuk memanaskan makanan untuk makan malam. Aric sendiri duduk di ruang makan, matanya sesekali melirik ke arah istrinya. Dia merasakan sesuatu yang berbeda malam itu. Udara terasa lebih dingin dari biasanya. Membangunkan sisi kelelakiannya. “Babe,” panggilnya lembut. “Ya, Sayang?” jawab Naira tanpa menoleh, fokus pada pa
Aric memperhatikan mereka dari jarak dekat. Dalam diamnya dia merasa bersyukur bisa membawa keluarganya ke Tanah Suci. Bagi Aric, perjalanan ini bukan hanya ibadah, tetapi juga hadiah yang sengaja dipersembahkan untuk istrinya, sebagai bentuk cinta dan pengabdian. Di dalam pesawat, si kembar tertidur di pangkuan Aric. Naira yang duduk di sebelah mereka, memandangi Aric. Melihat wajah Aric yang terlihat damai, Naira lantas melangitkan doa. Memohon agar perjalanan ini membawa keberkahan bagi mereka sekeluarga. ** Tiba di Mekkah, tubuh Naira terasa membeku. Melihat Masjidil Haram dengan segala kemegahannya, dia merasa seperti berada di dunia lain. Tapi saat melihat Ka’bah untuk pertama kalinya, air matanya langsung mengalir deras. “Masya Allah… Aric, ini benar-benar indah. Apa ini nyata? Aku tidak sedang bermimpi kan?” tanyanya dengan suara bergetar. Aric berdiri di sampingnya, mengangguk pelan. “Ini nyata, Khai. Alhamdulillah, kita sampai di sini.” Mereka berjalan me
“Ric … ini ….“ Netra Naira berkaca-kaca saat membaca isi surat yang diberikan Aric. Seakan masih tak percaya dengan apa yang baru saja dibacanya. Naira pun beranjak duduk. Lalu memeluk surat itu erat. “Masya Allah … Alhamdulillah,” gumamnya, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tangannya sedikit bergetar saatmenatap Aric. “Kita … akan umrah?” Aric mengangguk, senyumnya semakin melebar. Lalu memeluk pinggang Naira. “Aku sudah mendaftarkan kita. Kamu, aku, dan si kembar. Semuanya sudah aku atur.” Air mata Naira mengalir perlahan. Hatinya penuh haru dan syukur. Dia kembali mendekap surat itu sambil menatap suaminya dengan pandangan mengabur. “Kenapa kamu selalu tahu cara membuatku bahagia, Ric?” Aric mengusap kepala Naira lembut. “Karena sudah lama aku mencintaimu. Jadi jangan heran kalau aku tahu segalanya. Dan sekarang aku suamimu, Khai. Bahagiamu adalah tugasku.” * “Yang bener Lo, Nai?“ tanya Meera saat Naira mengabari tentang rencana keberangkatan umr
“Sudah dulu mesra-mesraannya. Tuh lihat, mereka dari tadi pengen foto bareng kalian,” kata Bu Hania. Naira pun langsung melepaskan tangan Aric dari pinggangnya. Lalu beranjak berdiri. Sementara Aric hanya menghela napas panjang. Lalu ikut berdiri, dan melayani orang-orang yang ingin berfoto dengan mereka. ** Naira berdiri di depan jendela besar yang menghadap langsung ke pantai. Malam begitu tenang, hanya suara deburan ombak yang terdengar, bersenandung lembut seperti ingin menenangkan setiap hati yang mendengarnya. Angin malam pun seakan tak mau kalah menebarkan pesonanya, membawa aroma khas laut, bercampur wangi bunga-bunga tropis yang tumbuh di sekitarnya. Gaun merah panjang Naira bergoyang pelan ditiup angin dari jendela yang sedikit terbuka. Matanya menatap langit bertabur bintang, sesekali bibirnya tersenyum samar, mengingat hari bahagia yang baru saja mereka lalui. “Masih betah menatap laut?” Suara berat nan lembut itu membuat Naira sedikit tersentak. Naira menol
“Ya Allah … cantik banget Lo, Nai!” pekik Meera. Dia langsung menghampiri Naira. Menatap penampilan sahabatnya itu dengan takjub. “Iya. Kamu cantik banget, Nai. Nggak heran Aric klepek-klepek sama kamu,“ sahut Adila. “Bener. Mana bodymu oke banget. Enggak kek gue,“ timpal Cantika sambil menatap badannya sendiri. Sejak ikut program KB, tubuhnya memang mengembang tak karuan. “Oh iya, keluarga kamu udah sampai Nai. Mereka pengen ketemu kamu,” kata Bu Anya mengalihkan perhatian Naira dan ketiga sahabatnya. “Keluarga?“ Meera menyahut heran. “Maksudnya Omnya Naira, Bun?“ tanyanya. Bu Anya mengangguk. “Kan dia yang mau jadi walinya Naira. Iya kan, Nai?“ ujarnya. Naira mengangguk. “Kalau gitu, bunda suruh masuk saja ya?“ tanya Bu Anya. “Iya silahkan, Bun.“ Bu Anya pun keluar dari ruang khusus rias itu. Setelah Bu Anya tak ada, Meera langsung menanyai Naira. “Serius Lo undang mereka, Nai?“ tanyanya. “Bukan aku, Meer. Tapi Aric. Kata Aric bagaimanapun, mereka keluarga a