Share

Bab 7

Penulis: Fatimah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-14 06:43:01

“Andai saja dulu Lo nikah sama Abang gue, Nai. Mungkin nasib Lo nggak semiris ini,“ katanya membuat tubuhku menegang seketika.

“Nggak usah berandai-andai, Meer. Karena dulu juga aku pernah memimpikannya,“ sahutku ketus.

Meera tersenyum nyengir, “bercanda, Nai.“

Aku hanya tersenyum pahit dan mengembuskan napas kasar. Makin sesak saja hatiku gegara Meera menyinggung kakaknya itu.

Dulu, lebih tepatnya saat kami masih duduk di kelas dua belas, Meera mengenalkan Abangnya pada kami—aku, Cantika dan Adila. Lelaki bernama Rio yang usianya enam tahun di atas kami.

Awalnya kukira hanya kenalan biasa, tapi ternyata tidak. Perkenalan kami berlanjut. Bang Rio meminta kontakku. Lalu kami selalu bertukar kabar, saling memberi perhatian dan sesekali mengobrol saat aku ke rumahnya. Hampir setiap malam, dia juga menelepon. Meski ... harus bisik-bisik, karena jika ketahuan, Bibi Tanti akan mengambil ponselku. Semua itu jelas menumbuhkan perasaan lebih di hati ini.

Tak ada istilah pacaran untuk hubungan kami. Bang Rio tak pernah mengutarakan perasaannya, aku sendiri tak berani bertanya dan lebih membiarkan hubungan kami mengalir apa adanya. Hingga tak terasa sudah satu tahun lebih hubungan kami dan usiaku hampir genap dua puluh tahun. Bibi Tanti yang memang tak menyukaiku, mulai mengusir, meski tak secara gamblang. Padahal selama lima tahun tinggal bersama mereka—Bibi Tanti, Paman Ismail dan Mbak Medina—selalunya aku yang mengerjakan tugas rumah. Sekalipun sudah lulus SMA dan bekerja di pabrik.

“Kamu kapan mau nikah, Ra?“ Suatu hari, sepulang bekerja dan langsung memasak untuk makan malam, Bibi Tanti bertanya dengan nada datar.

Aku jelas menggeleng karena memang hubunganku dengan Bang Rio, belum menjanjikan masa depan apapun.

“Ck ... Carilah calon suami. Bosan aku nampung kamu,“ katanya.

Aku hanya menunduk. Sebenarnya, aku juga lelah tinggal bersama mereka. Paman Ismail memang baik, tapi beliau jarang ada di rumah karena bekerja di luar kota. Bibi Tanti sendiri, dari saat ayah meninggal dan Paman Ismail memutuskan membawaku, tak menyambut dengan ramah. Dia lebih sering marah-marah, da mengomel dan hanya baik saat sawah warisan milikku dipanen.

Sementara Mbak Medina, walau baik dan kami cukup dekat, tapi bukan berarti dia mau membantu meringankan pekerjaan rumah. Sehari-hari dia sibuk bekerja dan berkencan dengan kekasihnya di akhir pekan. Bahkan sering menyuruhku seenaknya.

“Kalau kamu nggak ada calon, biar Bibi carikan,“ pungkas Bibi Tanti sambil melenggang, meninggalkanku yang mematung.

Malamnya, ketika Bang Rio menelepon, aku memberanikan diri. Menanyakan kelanjutan hubungan kami. Berharap dia memberi kepastian tapi ternyata ...

“Maaf banget, Nai. Aku memang nyaman sama kamu, tapi untuk menikah ... Aku belum siap. Aku masih ingin bebas dan kamu juga terlalu muda untuk dijadikan istri.“

Tubuhku menegang mendengar penuturannya.

Jangan tanya bagaimana perasaanku saat itu. Kecewa dan marah melebur jadi satu.

“Nai, kamu dengar aku kan?“

“Ya, Bang?“

“Maaf, ya. Untuk saat ini aku nyaman seperti ini,“ katanya.

“Tidak apa-apa, Bang,“ balasku lesu walau hati jelas tak terima.

Setelah pengakuannya itu, hubungan kami masih tetap berlanjut. Hanya saja aku membatasi komunikasi. Tak pernah lagi menjawab telepon dan membalas pesan darinya pun, hanya singkat.

Hingga akhirnya tiga bulan berlalu dan aku bertemu dengan Mas Hangga di halaman masjid, setelah menunaikan shalat ashar.

Kepribadian yang sopan, caranya menjaga pandangan, membuatku tak ragu saat dia meminta kontak. Kehadirannya pun perlahan menggeser posisi Bang Rio di hati ini. Terlebih saat dengan gentelnya, Mas Hangga datang menghadap Paman Ismail. Meminta restu meminangku.

Aku yang memang cukup tertarik padanya, lalu dukungan Paman Ismail dan desakan Bibi Tanti, membuatku gegas mengambil keputusan. Menerimanya dan menikah tepat dua bulan dari perkenalan kami.

“Mana Dila, Meer? Eh Nai, kamu kenapa? Masih mikirin suamimu?“

Suara Cantika menarikku dari lamunan. Aku menggeleng cepat, lalu beranjak untuk mencuci tangan.

“Naira kenapa?“ Samar aku mendengar Cantika bertanya pada Meera. Tapi gadis tomboy itu tak menjawab.

.

“Tambah lagi, Nai. Aku lihat badanmu makin kurus dari terakhir kita ketemu,“ ucap Adila saat kami baru selesai menikmati makan malam.

“Iya, Nai, makan yang banyak. Kamu harus punya banyak tenaga untuk melawan mereka,“ tambah Cantika.

“Emang mau dilawan? Enggak mundur saja?“ tanya Meera, membuat Cantika sontak tersedak.

“Jangan langsung mundur dong. Rugi banget,“ protesnya. Adila pun mengangguk.

“Kenapa enggak? Menurut gue, mending lepaskan saja lelaki kek dia. Daripada makan hati,“ ujar Meera. Adila menatapnya.

“Kayak Bunda kamu gitu?“ tanyanya. Meera mengangguk.

Bundanya Meera memang korban perselingkuhan sepertiku. Ayahnya Meera mendua, di saat usia pernikahan mereka sudah lebih dari dua puluh tahun. Kalau tak salah ingat, saat Meera berusia enam belas tahun. Bunda yang tak terima pun akhirnya memilih mundur, membiarkan Ayah Meera menikahi selingkuhannya itu.

“Nggak, Meer ... Naira nggak bisa kek Bunda Lo,“ kata Cantika.

“Setuju!“ Adila menimpali tegas.

“Kenapa nggak?“ Meera mengerutkan dahi.

“Ada beberapa faktor, Meer. Sekarang kita beresin dulu makanannya, terus bebersih diri lanjut shalat isya. Setelah itu kita cari solusinya bareng-bareng,“ jawab Adila sambil membereskan bekas makanan kami.

“Kamu nggak mau makan lagi, Nai?“ Adila menatapku dengan bibir mencebik. Aku menggeleng. Bisa makan seporsi saja sudah cukup melelahkan. Sepanjang makan aku harus menahan mual yang terus menyerang.

“Yaudah, aku simpen ya?“ Adila menatapku, Meera dan Cantika bergantian.

“Ya.“

.

Setelah membersihkan diri dan shalat isya, kami berempat duduk melingkar di kamar Meera yang tampak jauh berbeda dari terakhir aku ke sini.

“Sekarang gini ... aku mau kita kasih pendapat masing-masing untuk masalah sahabat kita ini.“ Adila membuka obrolan dengan raut wajah serius.

“Dimulai dari kamu, Can,“ lanjutnya sambil menatap Cantika. Membuat gadis penyuka warna pink dan ungu itu, menopang dagu.

“Kalau menurut gue sih ...“ Cantika beralih menatapku, “menurut gue, Naira harus bertahan dulu. Jangan gegabah.“

“Kenapa?“ Meera menyahut, tampak tak terima. Tapi begitu Adila menggelengkan kepala, mulutnya pun langsung mengatup.

“Soalnya rugi banget kalau Lo langsung pilih pisah, Nai. Maaf banget ya, Lo kan belum ada anak, belum ada kerjaan juga. Gue takutnya nanti Si Vedebah itu nggak ngasih apa-apa sama Lo,“ terang Cantika.

“Jadi, intinya?“ Meera memicingkan mata.

“Ya bertahan dulu. Minimal sampai Lo dapat sebagian hartanya. Enak banget si Valak kalau Lo langsung gugat gitu aja. Dia dapat plus-plus, ya laki Lo, ya harta hak Lo juga,“ jawab Cantika.

Aku terdiam sejenak. Apa yang dikatakannya memang benar. Rugi besar jika langsung memilih mundur, sementara aku lah yang menemani perjalanan kesuksesan Mas Hangga. Aku ikut mengencangan ikat pinggang saat ekonomi Mas Hangga sedang drop. Aku juga yang ikut berkorban, menjual sawah warisan untuk menyokong usahanya. Hingga akhirnya bisa berkembang . Mas Hangga punya tiga grosir di lokasi berbeda.

“Oke, kita tampung dulu. Sekarang giliran kamu, Meer,“ kata Adila. Tapi Meera langsung menggeleng.

“Lo aja duluan,“ sahutnya. Adila berdecak pelan, tapi kemudian menatapku.

“Saran aku sama kek Cantika, Nai. Aku mendukungmu bertahan dan mengambil dulu apa yang jadi hakmu. Terus ada baiknya kamu bekerja, biar nanti nggak dianggap gila harta,“ katanya. Meera hanya geleng-geleng kepala sambil tertawa menyeringai.

“Kenapa Lo, Meer? Kesambet?“ tanya Cantika dengan alis terangkat. Meera hanya menggelengkan kepala, lalu diam saat Cantika menepuk bibirnya pelan.

“Nah sekarang, gimana menurut kamu, Meer?“ tanya Adila. Meera mendengkus kasar. Lalu menatapku lekat-lekat.

“Menurut gue ...“ ucapnya menggantung. Kami menatapnya penasaran. Terlebih melihat raut wajah seriusnya.

“Menurut gue ... Lo harus berubah, Nai. Lo harus mandiri, glow up dan se-ling-kuh.“

Jawabannya membuat bola mata kami membulat sempurna.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
untung Naira punya sahabat2 yg mendukung ny
goodnovel comment avatar
Elma Sukmala
jangan nai kalau selingkuh disa zina itu.cari kerja aja sambil cari peluang mibdahin aset berharga.
goodnovel comment avatar
Novilyly Erniyani
next author yang cantik dan baik hati
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 161

    Naira tertawa geli sambil geleng-geleng kepala. “Bulan madu kita sudah berakhir, Sayang. Saatnya kembali ke kehidupan yang sebenarnya.” Aric langsung mengerucutkan bibir. Lalu melangkah keluar kamar. Sedangkan Naira lantas membersihkan tubuhnya yang terasa lengket. Sebelum membuka pintu, Aric mengintip dari jendela. Tapi sayang, yang bertamu tak terlihat. Aric pun akhirnya langsung membuka pintu untuk tamu yang tak diundangnya itu. “Assalamualaikum, Bu Hajah Naira!“ Aric disambut suara riang ketiga sahabat Naira. Meera, Cantika dan Adila. “Waalaikumussalam,“ jawab Aric, kikuk sambil tersenyum nyengir. “Eh, sorry, Ric. Kirain kita Naira,“ kata Cantika. “Its oke, no problem. Silahkan duduk dan anggap saja rumah sendiri,“ ujar Aric. “Thanks, Ric.“ Meera, Cantika dan Adila menyahut kompak. “Nairanya mana, Ric?“ tanya Meera sambil menatap interior rumah Aric yang benar-benar berkelas. “Nyonya lagi mandi. Kalian tunggu saja, ya. Kalau mau minum, ambil saja di kulkas,“

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 160

    Aric menoleh, menatap istrinya dengan lembut. “Aku juga nggak akan pernah melupakannya, Khai. Semoga perjalanan ini jadi awal yang baik untuk kita.” Naira tersenyum, merasa hatinya penuh dengan cinta dan syukur. Perjalanan itu tidak hanya mendekatkan mereka kepada Allah, tetapi juga semakin menguatkan cinta mereka sebagai suami istri. Tiba di rumah Aric, si kembar langsung dijemput Hangga. Lelaki itu akan melamar calon istrinya, dan menginginkan si kembar turut hadir di momen itu. Naira dan Aric tak keberatan. Justru Aric merasa inilah waktunya berduaan dengan Naira. Malam pun tiba. Suasana terasa sepi tanpa kehadiran si kembar. Di dapur, Naira berdiri sibuk memanaskan makanan untuk makan malam. Aric sendiri duduk di ruang makan, matanya sesekali melirik ke arah istrinya. Dia merasakan sesuatu yang berbeda malam itu. Udara terasa lebih dingin dari biasanya. Membangunkan sisi kelelakiannya. “Babe,” panggilnya lembut. “Ya, Sayang?” jawab Naira tanpa menoleh, fokus pada pa

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 159

    Aric memperhatikan mereka dari jarak dekat. Dalam diamnya dia merasa bersyukur bisa membawa keluarganya ke Tanah Suci. Bagi Aric, perjalanan ini bukan hanya ibadah, tetapi juga hadiah yang sengaja dipersembahkan untuk istrinya, sebagai bentuk cinta dan pengabdian. Di dalam pesawat, si kembar tertidur di pangkuan Aric. Naira yang duduk di sebelah mereka, memandangi Aric. Melihat wajah Aric yang terlihat damai, Naira lantas melangitkan doa. Memohon agar perjalanan ini membawa keberkahan bagi mereka sekeluarga. ** Tiba di Mekkah, tubuh Naira terasa membeku. Melihat Masjidil Haram dengan segala kemegahannya, dia merasa seperti berada di dunia lain. Tapi saat melihat Ka’bah untuk pertama kalinya, air matanya langsung mengalir deras. “Masya Allah… Aric, ini benar-benar indah. Apa ini nyata? Aku tidak sedang bermimpi kan?” tanyanya dengan suara bergetar. Aric berdiri di sampingnya, mengangguk pelan. “Ini nyata, Khai. Alhamdulillah, kita sampai di sini.” Mereka berjalan me

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 158

    “Ric … ini ….“ Netra Naira berkaca-kaca saat membaca isi surat yang diberikan Aric. Seakan masih tak percaya dengan apa yang baru saja dibacanya. Naira pun beranjak duduk. Lalu memeluk surat itu erat. “Masya Allah … Alhamdulillah,” gumamnya, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tangannya sedikit bergetar saatmenatap Aric. “Kita … akan umrah?” Aric mengangguk, senyumnya semakin melebar. Lalu memeluk pinggang Naira. “Aku sudah mendaftarkan kita. Kamu, aku, dan si kembar. Semuanya sudah aku atur.” Air mata Naira mengalir perlahan. Hatinya penuh haru dan syukur. Dia kembali mendekap surat itu sambil menatap suaminya dengan pandangan mengabur. “Kenapa kamu selalu tahu cara membuatku bahagia, Ric?” Aric mengusap kepala Naira lembut. “Karena sudah lama aku mencintaimu. Jadi jangan heran kalau aku tahu segalanya. Dan sekarang aku suamimu, Khai. Bahagiamu adalah tugasku.” * “Yang bener Lo, Nai?“ tanya Meera saat Naira mengabari tentang rencana keberangkatan umr

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 157

    “Sudah dulu mesra-mesraannya. Tuh lihat, mereka dari tadi pengen foto bareng kalian,” kata Bu Hania. Naira pun langsung melepaskan tangan Aric dari pinggangnya. Lalu beranjak berdiri. Sementara Aric hanya menghela napas panjang. Lalu ikut berdiri, dan melayani orang-orang yang ingin berfoto dengan mereka. ** Naira berdiri di depan jendela besar yang menghadap langsung ke pantai. Malam begitu tenang, hanya suara deburan ombak yang terdengar, bersenandung lembut seperti ingin menenangkan setiap hati yang mendengarnya. Angin malam pun seakan tak mau kalah menebarkan pesonanya, membawa aroma khas laut, bercampur wangi bunga-bunga tropis yang tumbuh di sekitarnya. Gaun merah panjang Naira bergoyang pelan ditiup angin dari jendela yang sedikit terbuka. Matanya menatap langit bertabur bintang, sesekali bibirnya tersenyum samar, mengingat hari bahagia yang baru saja mereka lalui. “Masih betah menatap laut?” Suara berat nan lembut itu membuat Naira sedikit tersentak. Naira menol

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 156

    “Ya Allah … cantik banget Lo, Nai!” pekik Meera. Dia langsung menghampiri Naira. Menatap penampilan sahabatnya itu dengan takjub. “Iya. Kamu cantik banget, Nai. Nggak heran Aric klepek-klepek sama kamu,“ sahut Adila. “Bener. Mana bodymu oke banget. Enggak kek gue,“ timpal Cantika sambil menatap badannya sendiri. Sejak ikut program KB, tubuhnya memang mengembang tak karuan. “Oh iya, keluarga kamu udah sampai Nai. Mereka pengen ketemu kamu,” kata Bu Anya mengalihkan perhatian Naira dan ketiga sahabatnya. “Keluarga?“ Meera menyahut heran. “Maksudnya Omnya Naira, Bun?“ tanyanya. Bu Anya mengangguk. “Kan dia yang mau jadi walinya Naira. Iya kan, Nai?“ ujarnya. Naira mengangguk. “Kalau gitu, bunda suruh masuk saja ya?“ tanya Bu Anya. “Iya silahkan, Bun.“ Bu Anya pun keluar dari ruang khusus rias itu. Setelah Bu Anya tak ada, Meera langsung menanyai Naira. “Serius Lo undang mereka, Nai?“ tanyanya. “Bukan aku, Meer. Tapi Aric. Kata Aric bagaimanapun, mereka keluarga a

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 155

    “Kalau Om mau melamar jadi Papi kalian … kira-kira bakalan kalian terima nggak?“ Mendengar pertanyaan Aric, Shaka dan Razka sontak saling pandang. Lalu keduanya menatap Aric lekat-lekat. “Om Dokter beneran mau jadi Papi kita?“ tanya Razka. “Ya.“ Aric tersenyum. “Aku sih setuju, Om. Yang penting Om nggak pisahkan kita dari Mommy,“ kata Shaka. Dalam benaknya masih tercetak jelas bagaimana upaya Sean memisahkan mereka dari Naira. “Mana bisa begitu. Kalau Om jadi Papi kalian, ya kita harus sama-sama. Dimanapun, kapanpun, dengan kondisi apapun, Om harus selalu sama kalian,“ jawab Aric. Shaka tersenyum samar. “Jadi gimana?“ lanjut Aric. “Aku setuju. Asalkan Om bisa bikin Mommy cantik setiap hari,” jawab Razka. Aric mengernyit tak paham. “Mommy itu cantik kalau tersenyum, Om. Jadi Om harus bisa bikin Mommy tersenyum setiap hari,“ ujar Shaka, seakan tahu arti kerutan di wajah Aric. “Oh … begitu ya?“ Aric mangut-mangut. “Kalau begitu, bantu Om bikin Mommy kalian selalu ter

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 154

    Setelah resepsi pernikahan Hilma selesai, Aric pun lantas mengantar Naira pulang. Mobil yang mereka tumpangi, meluncur perlahan di jalanan yang ramai lancar. “Kamu lelah, Babe?“ tanya Aric sambil melirik Naira yang bersandar di kursi dengan mata terpejam. “Lumayan. Tapi aku happy, kok,“ jawab Naira sambil membuka matanya dan tersenyum tipis. Aric ikut tersenyum. “Aku lebih bahagia darimu, Babe. Karena akhirnya aku bisa mengenalkan perempuan yang kucintai pada Daddy, Ibu, dan semua keluarga,“ katanya. Naira menatapnya beberapa saat tanpa mengerjap. “Kamu tahu? Sudah lama sekali aku menantikan momen ini. Mengenalkanmu pada seluruh keluarga, dan mengatakan pada mereka kalau kamu lah satu-satunya perempuan yang tak lekang menempati hati ini,“ ujar Aric lagi. Mata Naira memanas seketika. Walau terasa berlebihan, tapi ucapan Aric benar-benar membuatnya terharu. “Kamu lebay ih,“ kelakarnya sambil pura-pura tertawa. Menyamarkan genangan air yang menggantung di pelupuk matanya. Aric i

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 153

    “Hah? Serius?“ pekik Hilma hampir berteriak, suaranya cukup menarik perhatian tamu terdekat.“Kenapa?“ Aric terkekeh melihat reaksi Hilma. Hilma menggeleng. Lalu menatap Pak Frans dan Bu Hania yang ikut bahagia melihat Aric akhirnya mendapatkan cintanya.“Apapun yang terjadi di antara kalian, ibu sama Daddy ikut senang karena akhirnya kalian bisa bersama,“ ujar Bu Hania.“Iya kan, Mas?“ Dia menatap Pak Frans yang langsung mengangguk.“Aku juga ikut senang, Bu. Tapi—“Ucap Hilma, tapi terhenti saat tiba-tiba saja Aric membisikkan sesuatu padanya. Hilma sesekali melirik pada Naira, lalu mengangguk.“Makasih, Bocil!“ seru Aric sambil beranjak ke sisi Naira.“Kamu tunggu dulu di sini, ya!“ serunya.“Memangnya kamu mau ke mana?“ Naira menatapnya penasaran.“Ada perlu sebentar,“ jawab Aric. Naira mengangguk ragu. Sambil menunggu Aric, dia pun lantas menyalami Hilma. Tak lupa mendoakan yang terbaik untuk calon iparnya itu. Setelah itu dia menyalami Pak Frans dan Bu Hania, yang langsung meme

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status