"Jum'at kemarin, Halim menyampaikan idenya pada tim kami, kemudian langsung kami usulkan pada atasan dan sudah disetujui. Kalau Mbak Hanin tidak keberatan, kami bermaksud ingin menjadi penyumbang tetap untuk kegiatan yang biasa Mbak Hanin lakukan." Sambungnya."Masya Allah." Hanin menutup mulutnya karena terkejut."Kalau mbak Hanin setuju, setiap rabu kami akan mengantarkan biayanya agar kamis Mbak Hanin bisa berbelanja kebutuhan. Dari kami berencana menyumbang dua juta lima ratus setiap minggunya." Halim ikut membantu Arni memberikan penjelasan. Hanin hanya mengangguk-angguk. Antara terkejut dan bersyukur, wanita itu masih berusaha mencerna semua informasi. "Kira-kira bagaimana, Mbak Hanin?" tanya lelaki itu."Alhamdulillah Mbak Arni dan Mas Halim. Tentu saja saya setuju." Hanin tersenyum menanggapi pertanyaan dari Halim."Perihal apa yang membuat saya harus menolak orang yang ingin berbuat baik?"Ucapan Hanin disambut dengan tawa oleh kedua tamunya. "Untuk menyumbang kami member
Sita membanting pintu kamar dengan keras kemudian meletakkan laptop dan tas tangannya di atas meja.Wanita cantik itu terlihat sangat kesal.Dimas yang sedang duduk di kasur hanya melirik Sita dengan ujung mata. Lelaki itu menarik napas panjang. Kemudian kembali sibuk dengan ponselnya."Mana Rindu?""Sudah tidur.""Sudah kubilang jangan tidurkan dulu dia sebelum aku pulang! Harus berapa kali kukatakan, Mas?!"Dimas mendengus. Sedikit enggan dia mengalihkan pandangan dari ponselnya. Lelaki itu kemudian menatap istrinya yang sedang berdiri sambil berkacak pinggang."Kau lihat sekarang sudah jam berapa, Ta?" Dimas menunjuk pada jam dinding berwarna silver dengan bentuk yang sangat unik."Ini sudah hampir jam sepuluh malam! Besok Rindu harus masuk sekolah pagi. Bukankah kita sudah sepakat paling malam waktu tidur Rindu adalah jam sembilan?" sambung Dimas."Lagi pula, apa saja yang kau kerjakan di kantor? Sudah hampir satu minggu ini kau selalu pulang menjelang jam sepuluh malam." Dimas ak
Sejak saat itulah Sita selalu meributkan hal-hal yang kadang dianggap sepele oleh Dimas. Bahkan wanita itu kadang mengabaikannya tanpa sebab. Apakah luka yang dibuatnya terlalu dalam? Sebesar itukah kesalahannya hingga Sita pantas tak menghormatinya?Bunyi pintu kamar mandi ditutup membuat Dimas membuka mata. Pikirannya yang tadi melayang-layang ke banyak hal telah kembali seutuhnya."Kau sudah makan, Ta?""Sudah. Tadi aku makan di kantor. Delivery." Sita mulai menyalakan pengering rambut. Wajahnya terlihat lebih segar setelah keramas.Dimas menarik napas panjang. Kapan lagi dia bisa menikmati masakan rumahan? Dulu hampir setiap hari dia menikmati masakan Hanin. Wanita itu benar-benar pintar meracik bahan makanan. Lidah Dimas selalu dimanjakan oleh masakan Hanin yang pasti enak.Lelaki itu menatap Sita yang tengah duduk di meja rias. Dia paham, dari dulu Sita tidak bisa memasak, bahkan dari dulu juga sikap Sita kadang sulit dikendalikan. Semua itu terasa ringan saja baginya. Tetapi m
"Mbak Hanin, ini ayam bakarnya kurang lima. Tadi saya hitung jumlahnya seratus lima belas potong." Lili, gadis manis yang baru saja putus sekolah karena kekurangan biaya itu melapor pada Hanin.Hanin yang sedang menumis sayur kangkung menoleh pada Lili. Keningnya berkerut. Bukannya semalam saat Saldi membantu mengungkep ayam jumlahnya sudah pas? Atau adik laki-lakinya itu salah hitung karena sudah mengantuk? Hanin sibuk menduga-duga dalam hatinya."Hen, coba ini dipegang sebentar. Mbak mau lihat ayam bakar." Hanin meminta tolong pada Henti yang sedang memotong sayuran untuk lalap."Mbak, kotaknya dimana? Biar saya lipet-lipet sekarang saja. Saya sudah selesai mengaron nasi." Salma menunjuk kukusan besar dari bambu berisi nasi yang masih mengepul."Coba lihat di depan, tanya Lina. Kalau tidak salah kemarin Mbak taruh di dekat meja prasmanan warung." Hanin menjawab sambil berjalan ke tempat Lili.Ini hari pertama Hanin menyiapkan makanan untuk katering harian di kantor Arni dan Halim. A
"Sudah beres semua ya ini? Bisa Mbak tinggal?" Tanya Hanin pada ketiga gadis yang sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing itu."Sudah, Mbak. Ini tumis kangkung juga sudah matang. Setelah ayam bakar Lili matang, kami bisa mulai memasukkan semua dalam kotak yang sedang dilipat Salma." Henti menjawab pertanyaan Hanin.Hanin mengangguk. Wanita itu menyeka keringat dipelipisnya menggunakan sapu tangan yang sengaja dia kantongi."Baiklah kalau begitu. Mbak tinggal ke depan dulu ya? Mau mengecek persiapan warung yang sedang dikerjakan Lina."Lili, Henti dan Salma kompak menggangguk bersamaan. Hanin terkekeh kecil melihat gerakan kepala mereka yang seragam.'Ya Allah, berkahilah semua pekerjaan kami hari ini. Semoga kegiatan ini menjadi jalan rezeki bagi kami semua. Bantu hamba agar bisa meneruskan rezeki darimu pada yang lain melalui hamba.' Hanin membatin sambil menatap ketiga gadis yang sedang bekerja dengan cekatan itu.Wanita itu berhenti sebentar di kamar Dipta saat akan menuju ruang
"Permisi, Mas. Saya mau bayar." Salah satu pembeli yang baru saja selesai makan menyapa Dimas."Oh, iya, maaf. Silahkan." Dimas sedikit gelagapan mempersilahkan. "Pakai lauk apa tadi, Mbak?" Hanin tersenyum ramah."Biasa." Wanita berbaju kantoran itu tersenyum lebar."Kalau begitu harganya juga biasa." Hanin ikut tersenyum.Pembeli ini salah satu langganan tetapnya. Sejak dia membuka warung enam bulan yang lalu, hampir setiap hari kerja dia makan di warungnya."Ini kembaliannya, Mbak."Pembeli itu mengangguk kemudian berlalu.Hanin sedikit kaku menoleh pada Dimas yang masih berdiri di sebelah meja kasir. Beruntung sebelum kekakuan di antara mereka bertambah, salah satu rekan kerja Dimas menghampiri."Bos, ambil di sana makannya." Lelaki berbaju kemeja warna biru itu memegang pundak Dimas."Maaf ya, Mbak. Teman saya ini biasa makan di resto mahal. Sekalinya kami ajak makan di sini, dia sepertinya agak bingung cara memesan menu." Rekan kerja Dimas terkekeh, yang disambut senyum oleh Ha
"Kamu kenapa, Dim? Begitu mendengar janda langsung merah begitu wajahmu." Reno tertawa lebar."Bro! Tidak mungkinlah Dimas tergoda. Kurang sempurna apa lagi si Sita? Cantik, badannya bagus, pintar, karirnya sukses. Beuh …." Helpin terkekeh menanggapi ucapan Reno."Ah …." Reno melambaikan tangan."Akuilah. Kita-kita ini, sebagai lelaki yang sibuk seharian di kantor, membutuhkan tempat beristirahat saat pulang. Kurang apa si Dimas? Jabatan bagus, gaji besar. Apakah harus Sita bekerja juga?" tanya Reno yang hanya dijawab Dimas dengan mengangkat bahu."Jujurlah, Dim. Pasti istri cantikmu itu tidak bisa melayanimu dengan sepenuh hati, kan? Karena begitu pulang ke rumah, dia juga dalam keadaan lelah," sambung Reno.Dimas hanya diam. Tidak menanggapi omongan Reno. Pura-pura sibuk dengan isi piringnya. Dalam hati dia membenarkan semua omongan rekan kerjanya itu. Dia butuh tempat pulang.Dulu saat pulang dari kantor, ada yang menyambutnya dengan senyuman, menatap penuh kerinduan. Makan malam
"Baiklah, rapat hari ini kita cukupkan sampai di sini. Masih ada pertanyaan?" Hadyan, General Manager perusahaan Langkah Berjaya mengedarkan pandangan."Pak …." Rani, General Affair perusahaan mengangkat tangan."Ya, Ran?" Hadyan mengangguk."Untuk perwakilan berangkat ke Lombok minggu depan siapa yang dikirim dari perusahaan, Pak? Biar saya siapkan dari sekarang. khawatir penuh penginapan di sana, karena kasus pandemi sudah mulai berkurang. Apalagi acaranya akhir pekan.""Dalam rangka apa itu?" Hadyan mengerutkan kening."Oh, iya." Sedetik kemudian lelaki itu memukul keningnya pelan."Presentasi penawaran ekspor dengan perwakilan cabang luar negeri ya?" Hadyan tertawa kecil.Rani mengangguk sambil tersenyum. Sementara karyawan wanita yang lain "mesem-mesem" melihat Hadyan tertawa.Lelaki itu memang tampan. dia seorang duda yang ditinggal meninggal oleh istrinya tiga tahun lalu. Sejak saat itu Hadyan seolah menutup hati dari lawan jenis. Dia trauma kehilangan. Rasa sakit ditinggalkan