"Permisi, Mas. Saya mau bayar." Salah satu pembeli yang baru saja selesai makan menyapa Dimas."Oh, iya, maaf. Silahkan." Dimas sedikit gelagapan mempersilahkan. "Pakai lauk apa tadi, Mbak?" Hanin tersenyum ramah."Biasa." Wanita berbaju kantoran itu tersenyum lebar."Kalau begitu harganya juga biasa." Hanin ikut tersenyum.Pembeli ini salah satu langganan tetapnya. Sejak dia membuka warung enam bulan yang lalu, hampir setiap hari kerja dia makan di warungnya."Ini kembaliannya, Mbak."Pembeli itu mengangguk kemudian berlalu.Hanin sedikit kaku menoleh pada Dimas yang masih berdiri di sebelah meja kasir. Beruntung sebelum kekakuan di antara mereka bertambah, salah satu rekan kerja Dimas menghampiri."Bos, ambil di sana makannya." Lelaki berbaju kemeja warna biru itu memegang pundak Dimas."Maaf ya, Mbak. Teman saya ini biasa makan di resto mahal. Sekalinya kami ajak makan di sini, dia sepertinya agak bingung cara memesan menu." Rekan kerja Dimas terkekeh, yang disambut senyum oleh Ha
"Kamu kenapa, Dim? Begitu mendengar janda langsung merah begitu wajahmu." Reno tertawa lebar."Bro! Tidak mungkinlah Dimas tergoda. Kurang sempurna apa lagi si Sita? Cantik, badannya bagus, pintar, karirnya sukses. Beuh …." Helpin terkekeh menanggapi ucapan Reno."Ah …." Reno melambaikan tangan."Akuilah. Kita-kita ini, sebagai lelaki yang sibuk seharian di kantor, membutuhkan tempat beristirahat saat pulang. Kurang apa si Dimas? Jabatan bagus, gaji besar. Apakah harus Sita bekerja juga?" tanya Reno yang hanya dijawab Dimas dengan mengangkat bahu."Jujurlah, Dim. Pasti istri cantikmu itu tidak bisa melayanimu dengan sepenuh hati, kan? Karena begitu pulang ke rumah, dia juga dalam keadaan lelah," sambung Reno.Dimas hanya diam. Tidak menanggapi omongan Reno. Pura-pura sibuk dengan isi piringnya. Dalam hati dia membenarkan semua omongan rekan kerjanya itu. Dia butuh tempat pulang.Dulu saat pulang dari kantor, ada yang menyambutnya dengan senyuman, menatap penuh kerinduan. Makan malam
"Baiklah, rapat hari ini kita cukupkan sampai di sini. Masih ada pertanyaan?" Hadyan, General Manager perusahaan Langkah Berjaya mengedarkan pandangan."Pak …." Rani, General Affair perusahaan mengangkat tangan."Ya, Ran?" Hadyan mengangguk."Untuk perwakilan berangkat ke Lombok minggu depan siapa yang dikirim dari perusahaan, Pak? Biar saya siapkan dari sekarang. khawatir penuh penginapan di sana, karena kasus pandemi sudah mulai berkurang. Apalagi acaranya akhir pekan.""Dalam rangka apa itu?" Hadyan mengerutkan kening."Oh, iya." Sedetik kemudian lelaki itu memukul keningnya pelan."Presentasi penawaran ekspor dengan perwakilan cabang luar negeri ya?" Hadyan tertawa kecil.Rani mengangguk sambil tersenyum. Sementara karyawan wanita yang lain "mesem-mesem" melihat Hadyan tertawa.Lelaki itu memang tampan. dia seorang duda yang ditinggal meninggal oleh istrinya tiga tahun lalu. Sejak saat itu Hadyan seolah menutup hati dari lawan jenis. Dia trauma kehilangan. Rasa sakit ditinggalkan
"Ada cerita apa?" Reni langsung pindah tempat duduk."Iiih si Ibu mah luwes banget kalo masalah dunia perghibahan." Levy meledek Reni."Ya itu, Bu Sita kan kabarnya tidak mau jadi yang kedua. Jadi suaminya yang sekarang itu menceraikan istrinya dalam kondisi hamil besar.""Yeee, itu mah berita lama keleus. Semua orang juga sudah pada tahu kali." Reni menyenderkan tubuhnya kecewa."Ada nih, gosip terbaru." Bella mengeluarkan ponsel dari tasnya.Semua kepala langsung tertoleh pada Bella."Lihat saja di sini. Beberapa waktu yang lalu aku sempat merekam adegan Sita sedang melabrak mantan istri suaminya.""Hah?!" Wajah-wajah kaget dan ingin tahu memenuhi ruangan itu. Seperti dikomando mereka bergegas mengerumuni ponsel Bella."G*la! Bu Sita benar-benar tidak punya otak! Bisa-bisanya dia membuat keributan di warung istri si mantan.""Heh, Rani! Kasih tahu tuh sahabat kamu. Hati itu digunakan, jangan cuma otak saja yang dipakai. Ya mending otaknya jalan, ini otaknya juga jadi mampet gara-gar
"Mas. Sepertinya aku lelah dengan pernikahan ini. Maukah kau mencoba kembali?""Maksudmu?" Hadyan mengerutkan kening."Bisakah kita kembali dekat seperti dulu walaupun aku sudah terikat pernikahan?"Hadyan terpana. Tidak menyangka wanita yang pernah hampir menjadi tempatnya berlabuh bisa berkata sedemikian rupa.Jauh di dalam hatinya Hadyan mengakui bahwa Sita memiliki daya tarik yang luar biasa. Wajahnya yang cantik, berasal dari keluarga terdidik dan mempunyai progres karir yang baik. Tak dapat dipungkiri, sebagai seorang wanita, sosoknya sempurna secara fisik. Ada godaan yang sangat kuat saat Sita menawarkan kembali. Bagaimana tidak? Dia wanita pertama yang bisa membuat hatinya kembali mengenal cinta, setelah kematian mendiang istrinya. Namun saat cinta itu mulai berbunga, Sita pergi begitu saja. Sebelum bunga sempat menjadi buah, wanita cantik itu meninggalkannya tanpa rasa bersalah.Hadyan terluka untuk kedua kalinya. Belum sembuh trauma kehilangan orang yang dia cinta untuk sel
Sita memang sempat sangat dekat dengan Ibu Hadyan. Orangtua itu mendukung penuh hubungan mereka dulu. Siapa yang tidak menyukai Sita? Cantik, sopan dan wawasannya luas. Sehingga diajak membicarakan apapun akan langsung nyambung. Mengalir begitu saja."Kenapa kau tidak mengunjungi mertuamu saja, Ta?" Hadyan menatap Sita putus asa."Aku tidak suka mereka.""Maksudmu?"Sita hanya mengangkat bahu."Kau ini aneh sekali. Menikah tetapi merasa tidak bahagia, selain itu kau juga tidak menyukai mertuamu. Lalu kenapa kau memilih rujuk kembali?" Hadyan gemas sekali dengan wanita di sampingnya. "Dulu mereka tidak begitu. Entahlah. Sekarang rasanya tidak nyaman dengan mereka." Sita enggan menjelaskan pada Hadyan bahwa dia jadi tidak menyukai mertuanya karena mereka masih dekat dengan Hanin."Keluarlah, Ta. Jam istirahat setelah rapat lima menit lagi selesai. Ada banyak tugas yang harus dibereskan." Hadyan berdiri menuju pintu keluar.Sita berjalan cepat mensejajari langkah Hadyan. Wanita cantik i
"Assalamualaikum.""Waalaikumussalam." Mbok Ti dan Hanin kompak menjawab salam Saldi."Sore sekali pulangnya, Sal?" tanya Hanin sambil melirik jam di dinding. Jam setengah lima sore. Warungnya bahkan sudah tutup dari dua jam yang lalu."Iya, Kak. Sekarang kan Saldi sudah SMA. Sekolah Menengah Atas. Banyak kegiatan ekstrakulikuler yang harus diikuti. Selain itu, ya biar tambah banyak teman." Saldi mejawab sambil sedikit cengar-cengir. "Yaaaah." Dipta menggapai-gapai ke arah Saldi, minta digendong. Jalannya yang masih belum terlalu seimbang terlihat sangat lucu.Saldi langsung mengangkat Dipta tinggi-tinggi. Membuat anak itu tertawa terbahak-bahak."Jangan tinggi-tinggi!" Bergegas Hanin mengambil Dipta dari gendongan Saldi."Lah anaknya yang minta, Kak." Saldi menjawab tanpa rasa bersalah. Anak laki-laki itu kemudian menyalami Mbok Ti dan Hanin."Mana ada dia minta? Ngomong juga baru bisa beberapa kata." Hanin mencebik. Adik laki-lakinya ini kadang memang suka ngeyel."Loh, ituloh, pa
"Bagaimana hasil pertemuan dengan bos perusahaan kemarin, Nin?" Mbok Ti bertanya pada Hanin.Mereka baru sempat ngobrol, dari kemarin sampai siang tadi Hanin sibuk mengurus warung. Walaupun sudah ada empat gadis tanggung yang membantu, Hanin tetap turun tangan langsung."Ooh, kemarin itu Pak Hadyan hanya ingin berkenalan dengan pemilik katering yang kerjasama dengan mereka, Bu. Kata Mas Halim memang dari dulu seperti itu. Pimpinan mereka ingin tahu langsung apa-apa yang berhubungan dengan kantor." Cerita Hanin terhenti karena Dipta sudah berjalan hampir keluar rumah.Hanin segera menggendong Dipta, membawanya masuk kembali ke dalam."Selain itu, Pak Hadyan juga minta untuk berlangganan katering harian di rumahnya, Bu. Dia hanya tinggal berdua dengan ibunya. Kata Pak Hadyan, dia cocok dengan masakan Hanin. Jadi mau sekalian berlangganan."Mbok Ti mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan Hanin. Dalam hati wanita itu sangat bersyukur usaha anaknya mulai mengalami kemajuan. Bahkan Han