"Ini undangan resepsi pernikahan kami, Nin. Sekitar dua minggu lagi. Datanglah." Sita mengulurkan undangan itu pada Hanin."Sita.""Kenapa, Mas?""Kau terlalu berlebihan. Ini masih di ruang persidangan." Dimas menatap tajam wanita cantik itu."Apanya yang berlebihan?" Sita tertawa kecil. Kembali mengulurkan undangan itu pada Hanin.Hanin mengernyit. Enggan menerima undangan berwarna merah dengan pita emas sebagai pengikatnya itu.Sita tersenyum. Tentu wanita di hadapannya ini merasa tertekan. Dia harus menunjukan Dimas sekarang miliknya. Dia lah pemenangnya."Datanglah, seperti dulu aku datang di pernikahan kalian." Sita meletakkan undangan itu di pangkuan Hanin."Maaf, aku tidak bisa datang." Hanin mengangkat kepala. Menatap wanita cantik yang tersenyum lebar di hadapannya.."Kau harus datang, Nin! Kar ….""Kenapa harus?" Cepat saja Hanin memotong ucapan Sita."Agar semua baik-baik saja di antara kita.""Aku tidak merasa perlu baik-baik saja denganmu, Ta. Lagi pula kenapa aku harus b
"Kau menyakitiku, Mas." Mata Sita berkaca-kaca. Baru sekali ini Dimas berlaku kasar padanya. Benarkah lelaki ini telah jatuh cinta pada Hanin?Hanin! Semua ini gara-gara wanita lulusan SMA itu! Dua tahun membina rumah tangga, membuat selera Dimas turun jauh. Dimas tidak boleh menyadari perasaannya pada Hanin, setidaknya sampai pernikahan mereka dua minggu lagi.Apa kata teman-temannya kalau dia sampai dikalahkan oleh wanita biasa-biasa saja itu?! Memalukan!"Sudahlah, Ta. Tidak pantas menyerahkan surat undangan di ruang persidangan seperti ini. Setidaknya sedikit berempati lah dengan perasaan Hanin." Dimas akhirnya melepaskan tangan Sita."Kau membelanya?" Sita menatap Dimas tajam."Apa yang kubela? Aku tidak membela siapa-siapa, Ta. Aku hanya mengatakan hal yang pantas dan tidak pantas untuk dilakukan. Mengertilah." Dimas terduduk di bangku depan ruang sidang.Wajah lelaki tampan itu terlihat kusut. Emosi mantan istri pertamanya ini memang kadang meledak-ledak. Dimas sebenarnya sudah
"Kau tahu? Aku yang lebih dulu bersamamu. Dia hanya seseorang yang numpang lewat dalam cerita kita. Wanita biasa-biasa saja itu. Hanin. Ya, Hanin. Kehadirannya membuat seolah aku yang jahat." Sita menyandarkan punggungnya pada dinding."Kau yakin hatimu masih sama, Mas? Apakah perasaanmu benar masih utuh untukku?"Dimas mengusap wajah. Lidahnya kelu. Sejujurnya, Dimas pun bingung dengan perasaannya saat ini. Satu sisi dia sadar hatinya masih berat pada Sita. Namun, satu sisi lain di hatinya mendadak resah karena kehilangan Hanin."Pikirkanlah. Dulu, kita berhasil melewati tiga tahun pernikahan yang berat karena perasaan kita yang kuat. Kita bukan berpisah karena keinginan, tapi kita berpisah karena keadaan." Sita menghapus ujung matanya yang mendadak basah."Kau tahu? Sebelum dan setelah kau menikah lagi, doaku masih sama. Selalu ada namamu dalam setiap harapku. Bukankah kau juga begitu?"Dimas mengangguk pelan. Sita benar. Dia pun sama. Dalam setiap sujudnya, masih selalu ada nama Si
"Ini resepsi lagi, Ta?" Rani, teman sekantor sekaligus sahabat Sita mengernyitkan kening saat membaca undangan yang baru saja diberikan Sita."He'em.""Apa tidak berlebihan?""Apanya yang berlebihan?""Dimas setuju?"Sita mengangguk sambil menggoyangkan bahunya."Kapan pula lelaki itu tidak setuju denganmu ya, Ta." Rani menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil tertawa kecil.Sita hanya menanggapi sambil tertawa renyah."Tunggu! Mau kemana?" Rani menahan tangan Sita yang terlihat akan berdiri."Memberikan undangan pada yang lain." Sita menggoyangkan undangan di tangannya."Ta." Rani menarik napas, wanita yang menggunakan setelan merah muda itu menatap Sita."Duduklah dulu," sambungnya.Sita menatap Rani tidak mengerti, tetapi karena wajah Rani terlihat serius tak urung Sita menurutinya.Rani adalah sahabat Sita. Pada Rani lah wanita cantik itu sering berkeluh kesah. Saat memutuskan bercerai dengan Dimas dulu, Rani adalah pelariannya.Rani ingat sekali, malam sebelum pembacaan ikrar
Rani menghela napas mengingat kejadian lima tahun yang lalu. Bahkan bayangan Sita pingsan di ruang persidangan hari itu masih terlihat jelas.Teriakan terkejut dan tangisan berbaur menjadi satu.Pengap.Sita akhirnya dilarikan segera ke Rumah Sakit terdekat karena suhu tubuhnya mendadak turun. Dingin. Saat itu badan Sita terasa sangat dingin.Dimas hanya menatap dengan mata basah kepergian Sita. Mantan Ayah mertuanya tegas melarang saat akan membantu Sita."Ran?"Rani tersadar dari ingatan lima tahun yang lalu mendengar suara Sita."Ada apa? Katanya mau bicara?""Ta, aku tahu kau sangat menginginkan hari ini. Hari saat kau dan Dimas bisa bersama lagi. Tapi, bisakah kau sedikit mengurangi euforia?" Rani berkata hati-hati."Maksudmu?""Ta, Dimas baru saja bercerai minggu lalu. Apa kata teman-teman yang lain kalau kau membagikan undangan ini? Tidak masalah kalau hanya selamatan kecil, tapi ini sengaja menyewa gedung, Ta.""Memangnya apa kata mereka?""Ta ….""Aku tahu, Ran. Tapi aku bisa
"Nin, istirahat dulu." Mbok Ti melongok dari pintu, melihat Hanin yang sedang sibuk berkutat di dapur."Sedikit lagi, Bu." Hanin mengelap keringat yang mengucur di dahinya.Dari selepas waktu Isya' tadi wanita itu sudah sibuk di dapur. Sudah hampir lima jam dia menyiapkan bumbu-bumbu dan bahan masakan. Sesekali dia ke kamar, mengecek dan memberi Dipta ASI. Bayi yang belum genap berusia enam bulan itu seperti paham ibunya sedang sibuk. Dia hanya menangis sedikit kalau lapar atau popoknya basah. Setelah diberi ASI dan popoknya diganti, cepat saja bayi laki-laki itu kembali terlelap."Ayamnya dipindahkan ke wadah atau dibiarkan saja di kukusan, Kak?" Saldi yang sedari tadi sibuk memasak ayam ungkep bertanya."Biarkan saja disana di sana, Sal. Tutupnya dibuka, terus kasih alas kain bersih di atas meja itu di tutupnya. Baru kau tutupkan lagi. Jangan terlalu rapat menutupnya."Saldi mengangguk. Segera melakukan perintah kakaknya."Selesai itu tidurlah. Besok kau sekolah. Sudah hampir jam s
Siang itu, satu mobil mewah berhenti tepat di depan warung Hanin. Terlihat seorang wanita cantik dengan pakaian modis keluar dari mobil. Terik matahari membuat wanita itu mengernyitkan kening. Wanita itu berjalan cepat menuju warung sambil melindungi wajahnya dengan tas yang dia bawa."Hanin."Hanin yang sedang sibuk mengisi ulang lauk dan sayuran di meja prasmanan menoleh. Sita. Wanita cantik itu berdiri menatapnya. Mau apa dia kemari? Hanin menghela napas panjang.Bergegas Hanin menemui Sita setelah pekerjaannya selesai."Ya, Ta? Mau makan di sini?" Hanin bertanya sambil menunjuk salah satu meja yang kosong. Tadi dia meminta Mbok Ti menggantikannya sebentar di meja kasir."Lumayan juga ya tempat usahamu ini." Sita mengangguk-angguk sambil melihat sekeliling."Alhamdulillah." Hanin tersenyum."Banyak juga rupanya uang yang diberikan Dimas untuk menebus harga dirimu ya." Sita tersenyum sinis menatap Hanin yang memasang wajah datar."Seharusnya kau berterima kasih pada Dimas, Nin. Kare
"Kau terlalu jumawa, Nin. Tempat usahamu ini baru saja mulai. Wajar jika masih ramai. Karena orang sedang coba-coba. Tunggu saja sebulanan lagi, pasti sudah sepi.""Jodoh, maut, rezeki, itu semua mutlak kuasa Allah, Ta. Siapa dirimu bisa memastikan rezekiku?" Hanin tersenyum menatap Sita."Kalau aku terlalu jumawa, lalu dirimu apa? Seolah yakin kau akan menjadi istri Mas Dimas kembali? Bahkan esok hari masih terlalu lama, untuk setiap detik, bagi takdir yang Allah gariskan untuk kita lalui."Sita membisu."Ngomong-ngomong. Kau masih kerja, Ta? Tidak ambil cuti? Pagi kan akad nikah lanjut resepsi? Tidak ada persiapan khusus kah?" Hanin menatap Sita bingung.Sita menarik napas panjang. Dia sebenarnya mau saja mengajukan cuti, namun keadaan di kantor tidak kondusif. Rumor tentang dia yang menjadi orang ketiga dalam rumah tangga mantan suaminya santer terdengar.Bahkan beberapa hari yang lalu, wanita cantik itu dipanggil oleh atasannya untuk meredam rumor yang beredar. Bukan Sita namanya