Share

KAYA RAYA SETELAH MENJANDA
KAYA RAYA SETELAH MENJANDA
Penulis: Ariesa Yudistira

Dibuang setelah melahirkan

Bagai pedang yang menusuk tepat di jantungku, kata talak itu keluar dari mulut Mas Johan, suamiku.

"Kau menalakku, Mas? Apa salahku?" tanyaku, tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.

Aku masih terbaring lemah di rumah sakit, karena baru saja melahirkan beberapa jam yang lalu. Tapi ternyata, kebahagiaanku mempunyai anak yang pertama hanya berlangsung sesaat saja, saat Mas Johan tiba-tiba mengucap talak padaku.

"Aku menikah denganmu hanya untuk mendapatkan seorang anak," kata Mas Johan. "Tidak lebih."

Aku tersentak mendengar kata-katanya.

"Maksud Mas, aku hanya wanita yang dipinjam rahimnya? Bukan istri yang sesungguhnya?" tanyaku dengan suara bergetar.

"Benar, aku sebenarnya jijik sama perempuan kampung sepertimu. Tapi apa boleh buat, aku hanya menuruti permintaan istri pertamaku untuk mendapatkan keturunan dari wanita lain."

"Maksudmu apa, Mas? Kamu dan Mbak Safira ternyata memang belum bercerai?"

"Safira istriku, dan akan jadi istriku. Selamanya, dan hanya satu-satunya!" katanya sambil menatapku tajam.

Aku seketika menggigit bibir. Dadaku terasa sesak. Kecurigaanku selama ini ternyata benar adanya. Mereka  memanfaatkan gadis miskin sepertiku hanya untuk mewujudkan ambisi mereka.

"Ya Allah, Mas. Kenapa kalian tega sekali padaku? Aku bahkan sampai rela jadi burung dalam sangkar, sampai ayahku meninggal pun kau tak membolehkanku pulang. Sekarang kalian mau membuangku?"

"Sudah kubilang kan, sekarang kau sudah tak berguna lagi untukku. Akan segera kukirim uang ke rekeningmu. Mulai sekarang, jangan muncul lagi dihadapanku," katanya sambil beranjak pergi.

Aku seketika meraih tangannya, menahannya pergi.

"Aku tak butuh uangmu, Mas! Kau boleh menceraikanku. Kau juga boleh kembali pada Mbak Safira. Tapi tolong jangan ambil anakku. Cuma dia satu-satunya yang kumiliki di dunia ini!" 

Dia mengibaskan tanganku, lalu pergi tanpa mempedulikanku lagi. Aku seketika mencabut jarum infus yang menancap di pergelangan tanganku dan mencoba berjalan. Perutku masih teramat sakit paska operasi, tapi aku tidak peduli.

Aku berjalan tertatih menuju ruangan tempat bayiku berada. Dari jauh, kulihat Mbak Safira menggendongnya dan membawanya pergi bersama Mas Johan.

"Mas, jangan bawa anakku! Tolong, Mas!" teriakku.

Mas Johan dan Mbak Safira mempercepat langkah mereka. Aku pun tetap mengejar mereka sambil menahan rasa sakit. Aku bahkan belum sempat melihat wajah bayiku. Aku juga tak tahu dia laki-laki atau perempuan. Kenapa mereka tega mengambilnya dariku?

Mas Johan dan Mbak Safira membawanya masuk ke dalam mobil. Aku terjatuh di pelataran rumah sakit. Beberapa orang menolongku. Tapi mobil itu tetap membawa bayiku pergi. Aku menangis sejadinya, sampai tubuhku melemas dan tidak ingat apa-apa lagi.

.

.

.

Sudah seharian aku menggedor-gedor pintu gerbang besar keluarga Baskara, tapi tak seorangpun keluar untuk menemuiku. Aku hampir putus asa. Tapi ketika pintu gerbang itu bergerak terbuka, aku tersentak gembira.

Mobil lamborghini mewah keluar dari dalam gerbang dan berhenti di depanku. Saat kaca mobilnya diturunkan, aku melihat Nyonya Azmi, ibu mertuaku.

"Mama," panggilku dengan senyum yang mengembang.

Selama ini dia baik padaku sebagai menantunya. Dia pasti mau menolongku.

"Jangan panggil aku Mama. Jijik aku mendengarnya."

Senyum di wajahku seketika menghilang. Inikah wujud dari keluarga Baskara yang sebenarnya? Nyonya Azmi merogoh tasnya, lalu mengambil segepok uang, dan dilemparnya tepat ke mukaku. Uang berhamburan jatuh ke bawah, seperti harga diriku yang ikut dijatuhkan juga.

"Kamu sudah bukan istri Johan lagi. Jadi enyah dari sini!" katanya, sambil menutup kembali kaca mobil dan berlalu pergi.

Aku masih berdiri di tempatku, sebelum akhirnya jatuh lunglai di antara uang yang tersebar. Kenapa mereka tega sekali memperlakukanku seperti ini? Ternyata semua kebaikan mereka hanya sandiwara untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Hujan deras disertai petir mengguyur tubuh kurusku. Aku berjalan tertatih di sepanjang jembatan besar. Aku putus asa.Aku tak tahu harus kemana. Aku bahkan sudah tak punya siapa-siapa lagi. Aku menghentikan langkah, tepat di sisi jembatan yang sungainya mengalir dengan deras.

"Bapak, maafin Ayu. Ayu kangen sama Bapak," rintihku dengan tubuh menggigil kedinginan.

"Ayu pengen nyusul Bapak," kataku lagi, sambil bersiap terjun ke dalam sungai.

Tiba-tiba seseorang menarik tubuhku ke tepi. Aku meronta sambil menangis histeris.

"Lepaskan! Biarkan aku nyusul Bapak!" teriakku.

"Bod*h kamu! Jadi perempuan jangan lemah seperti itu!"

"Lepaskan!" teriakku lagi, sambil terus meronta.

Orang itu akhirnya melepaskanku dengan kesal.

"Ya sudah, mati saja sana! Memangnya kalau mati masalahmu selesai? Kalau kau mati orang yang menyakitimu akan bahagia!"

Aku seketika terdiam. Tiba-tiba aku teringat anakku. Benar, masih ada yang harus kuperjuangkan. Segera kuusap air mataku. Benar, aku tak boleh mati konyol tanpa mendapatkan apa-apa.

Aku menatap orang yang menolongku tadi. Aku sedikit tersentak kaget. Rupanya dia Dhafa, supir pribadi Mas Johan.

Aku menelan saliva, lalu mengepalkan kedua tangan.

"Aku harus gimana?" tanyaku lirih.

"Jadilah kaya, lalu balas perbuatan mereka!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status