Dhafa membawaku ke sebuah rumah yang cukup besar. Aku tak tahu itu rumah siapa. Aku hanya diam dan mengikutinya saja.
"Sementara tinggallah di sini. Aku akan memberitahumu apa yang harus kau lakukan besok," katanya sambil memberiku sejumlah uang. "Di dalam ada banyak bahan makanan. Anggap saja rumah sendiri."Aku tak langsung menjawab kata-katanya. Jujur aku masih takut, meskipun aku cukup mengenal Dhafa. Tiba-tiba Dhafa memberikan sebuah foto padaku. Aku tersentak saat melihatnya."Anakmu perempuan. Cantik sepertimu," katanya.Aku mengamati foto di tanganku dengan tubuh gemetar. Air mataku menganak sungai. Dalam foto itu bayiku terlihat cantik, putih dan bersih. Aku mendekap foto itu erat.Dhafa tampak menarik napas panjang."Istirahatlah. Aku harus segera kembali sebelum Johan curiga," katanya sambil beranjak pergi."Tunggu," kataku.Dhafa menghentikan langkah, lalu menoleh padaku."Bagaimana aku bisa menjadi kaya?" tanyaku.Dhafa tampak tersenyum."Istirahatlah dulu, pulihkan tenaga dan pikiranmu. Setelah kau pulih, akan kuberi tahu caranya," katanya kemudian."Terima kasih," kataku lirih, sambil menunduk.Dhafa mengangguk, lalu memasuki mobil dan berlalu pergi. Aku sesaat masih berdiri di luar sambil membelai foto puteriku. Ibu akan kembali, Nak. Ibu akan segera menjemputmu, gumanku dalam hati...."Menikahlah dengan Johan, Ayu," kata Bapak saat keluarga Baskara datang melamarku."Tapi, Pak, bagaimana mungkin gadis miskin sepertiku menikah dengan orang kaya-raya?" tanyaku penuh keraguan."Bapak berhutang banyak pada keluarga mereka. Rumah ini pun sudah Bapak gadaikan pada mereka. Jika mereka menginginkanmu, Bapak tidak akan bisa menolaknya."Aku terdiam. Bapak memang punya hutang banyak pada keluarga Baskara, untuk pengobatan Ibu sebelum meninggal. Hari ini mereka datang melamarku, untuk menjadikanku istri Johan Baskara, duda kaya raya dan satu-satunya pewaris tunggal keluarga itu.Sebagai seorang duda tajir, tentu dia bisa bebas memilih gadis manapun yang dia sukai. Tapi kenapa dia memilihku, yang hanya seorang tukang jahit miskin? Aku tak tahu maksud dan tujuan mereka, tapi tugasku adalah berbakti pada ayahku, satu-satunya orang yang kupunya di dunia ini.Pernikahan itu akhirnya terjadi, hanya dengan acara yang amat sangat sederhana, bahkan cenderung tertutup. Sikap mereka yang begitu baik padaku, akhirnya meruntuhkan prasangka burukku tentang mereka. Aku diperlakukan layaknya ratu, tapi tak pernah diperbolehkan pergi keluar rumah. Ah, mungkin memang itu peraturan dalam keluarga itu.Sampai aku akhirnya hamil anak pertama kami, Mas Johan dan ibunya tampak begitu bahagia. Mereka semakin memperlakukanku secara istimewa. Hingga suatu hari, tanpa sengaja kulihat Mas Johan bersama seorang wanita dalam mobil.Aku mengintip mereka dari balik kaca jendela. Hatiku bergetar ketika melihat mereka saling bercumbu di dalam mobil. Siapa wanita itu? Selingkuhan Mas Johan, kah?"Dia Safira, mantan istriku."Aku tak percaya Mas Johan sama sekali tak berbohong saat kutanyakan tentang wanita itu. Kejujuran itu sakit. Tapi tak ada alasan untuk marah padanya karena dia telah jujur. Mungkin dia khilaf, pikirku.Ternyata yang kupikirkan salah besar. Tepat setelah aku melahirkan, Mas Johan langsung menalakku saat itu juga."Aku belum bercerai dengan Shafira. Dia menyuruhku mencari wanita yang bisa memberiku keturunan, hal yang tak bisa Shafira berikan padaku. Karena itu aku memilih perempuan kampung yang miskin sepertimu, yang pasti akan dengan suka rela menyewakan rahimnya demi uang."...Aku tersentak bangun dari tidurku. Rupanya hanya mimpi dari masa lalu. Aku tak akan bisa melupakan kata-kata Mas Johan waktu itu. Dia benar-benar tidak menganggapku manusia.Aku bangkit dari tempat tidurku, lalu pergi ke kamar mandi. Aku mengambil air wudhu, lalu melakukan kewajibanku. Kuatkan Aku ya Allah. Aku harus kuat, demi anakku. Aku harus mengambil kembali darah dagingku dari mereka.Aku tersadar dari sujud panjangku ketika terdengar suara ketukan pintu.Aku bangkit dan melepas mukena, lalu berjalan ke arah pintu depan. Dhafa sudah di sana sambil membawa makanan.Aku mempersilahkan dia masuk, dan kami duduk di meja makan. Dhafa menyerahkan sebuah dokumen tebal padaku.Aku mengerutkan kening, seraya membukanya."Aku tahu dari kecil kau pandai menggambar dan mendesaign baju," katanya sambil memakan sarapannya.Aku tersentak kaget."Bagaimana kau tahu?""Aku pernah melihat hasil jahitanmu juga waktu masih di kampung."Lagi-lagi aku dibuatnya terkejut. Dhafa tersenyum, lalu menyuruhku mempelajari dokumen yang dia berikan padaku."Bisnis terbesar keluarga Baskara adalah di bidang Fashion. Aku berhasil mencuri data produk terbaru yang akan mereka luncurkan. Kalau kau bisa membuat desaign produk ini dalam waktu kurang dari sebulan, kita bisa menjegal mereka satu langkah."Aku terbengong-bengong mendengar kata-katanya. Dia terlalu cerdas sebagai seorang supir. Aku mengamati dokumen itu sekali lagi, kemudian menyanggupinya."Baiklah, aku harus segera berangkat ke rumah mereka untuk bekerja," katanya sambil berdiri dan bersiap pergi."Dhafa," panggilku.Dhafa urung membuka pintu, lalu menoleh padaku."Kenapa kau mau menolongku?"Dhafa tak langsung menjawab. Dia lagi-lagi tersenyum, tapi ada yang beda dari sorot matanya."Karena aku juga punya perhitungan dan dendam yang sama dengan keluarga itu," jawabnya kemudian.Aku masih mencoret-coret kertas dengan ujung pensilku. Memang benar, dari kecil aku suka sekali menggambar, terutama mendesaign pakaian. Makanya, meskipun hanya seorang penjahit kampung, aku selalu kebanjiran orderan setiap tahunnya dengan model pakaian hasil dari desaignku sendiri. Dari kalangan kelas bawah tentunya.Tapi, apa iya bisa mendapatkan uang hanya dengan membuat desaign baju, tas, sepatu dan lainnya seperti ini? Bukannya dia juga butuh pekerja untuk membuat semuanya? Dibutuhkan pabrik untuk membuat semua itu. Sedangkan Dhafa hanya seorang supir kepercayaan Mas Johan.Aku menggigit pensilku, seraya menatap luar jendela. Tiba-tiba teringat kata-katanya tadi pagi. Dendam apa yang dimiliki Dhafa pada keluarga Baskara? Setahuku dia sudah bekerja di sana selama lebih dari tujuh tahun. Dan selama itu, dia sangat setia pada Mas Johan dan keluarganya.Aku melirik kantong plastik besar yang dia berikan padaku tadi pagi. Rupanya dia tidak hanya membawa makanan, tapi juga sepaket ski
Aku berjalan memasuki rumah melalui pintu khusus para pelayan. Kubuat langkahku senatural mungkin, meskipun hatiku terus berdebar. Begitu sampai di ruangan yang terhubung ke dapur, aku mempercepat langkah. "Rina!" panggil seseorang.Awalnya aku terus berjalan, tapi tiba-tiba orang itu menepuk pundakku."Hei, Rina! Dipanggil kok cuek aja?" tanyanya, seorang pelayan yang bekerja di dapur.Ah, aku baru ingat kalau baby sitter yang kugantikan bernama Rina. Aku cepat berpura-pura bersikap biasa saja."Maaf, aku tidak dengar," jawabku.Karena mulutku tertutup masker, suaraku juga tak akan ketahuan. Lagipula, para pelayan di sini dilarang berbicara langsung dengan majikan."Ini sekalian bawa termos air panasnya ke ruang tengah untuk membuat susu," kata pelayan itu sambil menyerahkan termos padaku."Makasih, ya?" kataku sambil cepat pergi melanjutkan langkah.Ketika tiba di depan pintu ruang tengah, aku manarik napas dalam-dalam, lalu perlahan membukanya. Begitu masuk, aku langsung di sambut
Aku berhenti melangkah, masih diam tertunduk saat Mas Johan berjalan semakin dekat ke arahku. Aku mencoba bersikap biasa saja meskipun aku sangat ketakutan. Apalagi saat tangannya mengarah ke masker yang aku gunakan. Aku memejamkan mata, bersiap dengan apa yang akan terjadi.Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu yang masih terbuka. Mas Johan menurunkan tangannya, lalu melihat ke arah pintu. Dhafa tampak berdiri di sana."Maaf, Tuan. Ada sedikit masalah di pabrik. Asisten Tuan menyuruhku untuk menyampaikannya," katanya.Mas Johan terlihat mendesah, lalu pergi keluar ruangan itu. Dhafa sekilas menatapku, sebelum mengikuti Mas Johan di belakangnya. Aku membuang napas lega, lalu kembali mendorong kereta bayiku menuju taman. Aku ingin bersama anakku lebih lama, sebelum kembali fokus pada misiku."Mau kamu bawa kemana cucu saya?"Aku berhenti melangkah. Aku tahu betul suara siapa itu. Perlahan aku menoleh, seraya mengangguk memberi hormat. Nyonya Asmi berjalan ke arahku, lalu meraih ba
Hari itu Dhafa menyuruhku untuk berkemas, karena aku akan segera pindah ke apartemen dan tinggal di sana. Aku melihat sekeliling rumah yang sudah beberapa bulan kutempati itu. Aku suka rumah itu, meskipun tak tahu itu rumah siapa.Tiba-tiba aku ingat satu ruangan yang Dhafa melarangku untuk membukanya. Aku mengamati pintu ruangan yang terkunci itu. Kucoba membukanya, tapi tak bisa. Akhirnya aku mengintip di lubang kunci pintu. Terlihat sebuah kamar dengan banyak rak buku. Ah, aku penasaran ada apa di dalamnya.Aku langsung pergi ke belakang rumah dan berjalan ke samping ruangan itu. Ada jendela tinggi di sana. Aku segera pergi ke gudang dan mengambil tangga lipat. Perlahan kutaruh tangga itu tepat di bawah jendela, dan aku mulai memanjat.Kucoba membuka jendelanya, tapi terkunci juga. Karena kesal kugedor jendela itu dengan keras. Tak kusangka engselnya terbuka karena sudah tua dan berkarat. Aku melonjak gembira. Segera kubuka jendela itu dan aku memanjat masuk.Kamar itu terlihat r
"Nah, sudah selesai, Nona," kata Marta begitu selesai memoleskan make-up terakhir di wajahku.Perlahan aku membuka mata, dan melihat wajahku dalam cermin. Mataku membulat, seakan tak percaya dengan apa yang kulihat. Apa itu aku?"Sekarang Nona berganti pakaian dulu, ya?" kata Marta lagi sambil mengulurkan beberapa pakaian yang digantung.Aku mengangguk, lalu segera mengganti pakaian dan jilbab yang dipilihkan oleh Marta. Setelah memakainya, aku memandangi diriku sekali lagi di depan cermin.Ayu si gadis kampung itu telah tiada, menjelma menjadi wanita anggun dengan penampilan resminya. Aku menarik napas dalam-dalam. Hari ini aku harus menunjukkan pada mereka, bahwa aku bukan orang yang bisa mereka remehkan lagi."Supir sudah menunggu di bawah, Nona," kata Marta, sambil sedikit membenarkan jilbabku.Sesaat kemudian dia mengacungkan jempolnya sambil tersenyum, pertanda penampilanku sudah oke. Aku membalas senyumannya, seraya mengucapkan terima kasih. Aku segera turun ke bawah, dan melih
Semua hadirin saling berbicara satu sama lain dalam kegaduhan. Mereka heran ketika aku mengaku sebagai mantan istri dari Johan Baskara, karena tidak seorangpun mengetahuinya. Para wartawan langsung maju ke depan Johan dan Shafira, memberondong mereka dengan berbagai pertanyaan."Apa benar anda pernah menikah dengan Nona Ayu, Pak?""Kenapa pernikahan itu tidak ada yang mengetahui?""Apa kah Nyonya Shafira juga mengetahui pernikahan itu, Pak?"Mas Johan dan Shafira tampak kebingungan menjawab pertanyaan para wartawan. Aku turun dari panggung, karena melihat Syakila tampak menangis karena ketakutan. Aku berjalan ke arah mereka.Begitu melihatku, Shafira langsung memegang erat Syakila. Mas Johan juga menghalangiku mendekatinya. Aku menatap tajam pada mereka."Sekarang kalian bisa mengambil anakku dariku. Tapi suatu hari nanti aku akan mengambilnya kembali," kataku dengan nada suara yang sengaja kutinggikan.Kegaduhan kembali terjadi. Para wartawan menyerbu kami, dengan kamera yang terus m
Aku menatap Dhafa penuh ketegangan."Lalu bagaimana ini?" tanyaku sambil menggigit bibir.Dhafa tersenyum lalu mengambilkan makanan untukku."Jangan khawatir. Kita sudah menang selangkah. Skandal tentang kalian itu berpengaruh besar pada bisnis keluarga mereka. Artinya kita bisa dengan mudah menjegal pendapatan mereka."Perkataan Dhafa itu belum cukup menenangkanku. Aku belum pernah berurusan dengan hukum sebelumnya. Jadi wajar kalau ada sedikit rasa takut menyergapku. Dhafa sepertinya juga menyadarinya."Jangan terlalu banya berpikir," katanya sambil menyentil pelipisku.Aku mengaduh sambil mengusap pelipisku yang sakit, lalu menatapnya dengan kesal. Kebiasaan dia selalu melakukannya setiap aku sedang tegang."Kita hanya perlu mencari bukti bahwa kau pernah menikah dengan Johan, dan mengambil hak asuh puterimu," katanya lagi. "Apa kau ingat siapa saksi pernikahan kalian waktu itu?"Aku menggeleng. Pernikahan itu berlangsung begitu tertutup. Hanya orang dalam yang tahu terjadinya pern
Aku sudah bersiap-siap sejak pagi-pagi sekali. Sebelum berangkat, kupastikan bahwa aku sudah benar-benar mirip dengan Bik Inah. Bik Inah juga dari semalam sudah memberi tahuku apa saja tugas-tugasnya. Ternyata, dia masih ditugaskan untuk membersihkan kamarku. Artinya, misiku akan lebih mudah hari ini.Sebuah pesan masuk ke dalam gawaiku. Dari Dhafa.[ Jika ada kesempatan, ambil rambut anakmu sedikit saja. ]Aku mengerutkan kening. Untuk apa? Pikirku. Tapi aku tidak menanyakannya pada Dhafa. Sudah pasti dia akan menjawab, lakukan saja, jangan membantah! Aku tersenyum sendiri mengingat sikap-sikapnya yang kadang menyebalkan itu.Baiklah, aku harus fokus pada misiku hari ini. Aku segera memesan taksi online dan berangkat menuju rumah itu. Sesampainya di sana, aku memasukkan identitas yang kupinjam dari Bik Inah untuk membuka pintu gerbang.Aku langsung masuk dengan percaya diri. Mungkin karena ini bukan pertama kalinya menyamar, jadi rasa takutku sudah tidak ada lagi. Segera kulakukan tu