"Pak Bayu ditunggu dokter di depan ruang operasi.""Bagaimana keadaan anak dan istri saya, Sus?""Dokter yang akan menyampaikan," ucapnya pelan. Perasaanku semakin tak, tapi aku tidak ingin berpikir buruk. Aku yakin mereka akan baik-baik saja. Aku melangkah mengikuti suster itu. Dari kejauhan sudah terlihat dokter yang duduk tepat di depan ruang operasi. Mendadak jantung dipacu lebih cepat. Perasaan semakin tak karuan. Ya Allah... Semoga ini bukan berita buruk. "Bagaimana keadaan anak dan istri saya, Dok? Mereka baik-baik saja, kan?" cecarku. Dokter yang menangani Hanin menghembuskan napas perlahan. Seakan ada beban berat yang masih ia tanggung di pundak. Ya Robb ... Jangan berikan aku cobaan yang berat. Aku tak akan sanggup kehilangan mereka. "Alhamdulillah Ibu Hanin dapat melewati operasi dengan baik. Saat ini beliau masih dalam pengaruh obat bius. Namun semuanya normal. Tinggal menunggu beliau sadarkan diri."Aku bernapas lega, seakan beban yang kutanggung di pundak jatuh di
Pov BayuEntah apa yang akan kukatakan kepada Hanin? Jujur pasti menyakitkan tapi aku tidak punya pilihan lain. Hanya rangkaian kata agar kebenaran yang akan aku sampaikan tak sampai menggores hatinya terlalu dalam. "Mas...," panggilnya lirih. Aku menoleh lalu tersenyum ke arahnya. "Anak-anak di mana?" "Mereka ada di kamar inap khusus anak-anak, ditemani Bunda dan Ayah."Aku sedikit heran dengan pertanyaannya. Biasanya ibu setelah melahirkan akan menanyakan bayi yang ia lahirkan. Namun tidak dengan Hanin. Dia justru menanyakan kabar anak-anak terlebih dahulu. "Kamu heran kenapa aku tak bertanya bayiku?" Aku mengangguk, Hanin seolah mampu membaca pikiranku. "Aku tahu bayi kita meninggal, Mas. Saat di sekap pergerakannya di dalam perut sudah berbeda. Ditambah saat membuka mata bayi mungil itu tak ada di kamar ini. Benar, kan, Mas tebakanku?" ucapnya dengan linangan air mata membasahi pipi. Tanpa diminta kupeluk dia. Kutenangkan tangisnya dalam dekapanku. Ini adalah kabar buruk ba
"Nisa," ucapku lirih. "Walailaikumsalam, sini duduk, Nis," jawaban Hanin membuat mereka tersentak. Terkejut atas kedatangan Nisa membuat kami lupa menjawab salam. Meski kami tahu wajib hukumnya. "Untuk apa kamu datang kemari, Nis? Gara-gara kamu Hanin jadi kehilangan anaknya."Mendadak wajah Nisa menjadi pias. Ucapan Mama bagai halilintar yang menyambar hingga ia terkapar tak sadarkan diri. "Nisa tak salah, Ma. Tanpa kehadiran Nisa, Natasya bisa berbuat nekat." Mama diam seketika. "Mbak Hanin sudah baik-baik saja?" Nisa mendekat lalu duduk di samping Hanin. Kedatangan Nisa disituasi seperti ini membuatku tidak tahu harus berbuat apa? Aku menjadi seba salah. Orang-orang yang hendak pergi justru kembali duduk dan berdiri di tempat masing-masing. Kedatangan Nisa bagai magnet yang menarik perhatian orang. "Aku baik-baik saja, Nis. Ini cewek atau cowok?" Hanin mengelus perut Hanin yang membukit. "Cowok, Mbak, seperti Kak Azha dan Kak Ali."Astagfirullah... Aku sampai tak tahu apa
Apa kamu bilang!" teriak Mas Bayu lantang. Kuatur napas yang terasa sesak. Seakan pasokan oksigen tak cukup mengalir ke seluruh pembuluh darah. "Menikahlah, Mas. Aku ikhlas," ucapku pelan. "Apa kamu gila? Ya Allah, apa yang ada di kepala kamu? Apa kamu tak mencintaiku lagi?" Suara Mas Bayu mulai melunak. Perlahan bulir bening mengalir dari sudut netranya. Apa aku gila dan tak waras karena mengizinkan suami yang sangat ku cintai menikah lagi? Mungkin bagi orang lain iya, tapi tidak bagiku. Ya, bukan tanpa alasan aku mengizinkan Mas Bayu menikah lagi. Semua sudah ku pikirkan matang-matang. Sangat matang malah. Mas Bayu duduk sambil mengacak rambutnya kasar. Dia seakan tak percaya dengan kalimat yang baru saja ku ucapkan. Kabar yang ia dengar bagai halilintar yang menyambar hingga akhirnya terkapar tak berdaya. "Aku ikhlas kamu menikah lagi, Mas. Sangat ikhlas," ucapku pelan. "Apa alasanmu memintaku menikah lagi?" tanyanya dengan dada bergemuruh hebat. Aku diam, bingung
Samar-samar terdengar azan subuh berkumandang. Aku menyibak selimut yang menempel di tubuh. Aku menoleh ke samping. Tak kulihat keberadaan Mas Bayu. Mungkin sedang di kamar mandi karena pintu kamar mandi masih tertutup rapat. Aku menggeser tubuh pelan. Takut Ali terbangun karena ranjang yang sedikit bergoyang. Sebenarnya ada box bayi dalam kamar. Namun putra bungsuku tak bisa tidur nyaman jika di letakkan di sana. Entah karena apa aku juga tidak tahu. Aku berjalan seraya mengikat rambut sekenanya. Lalu berhenti tepat saat Mas Bayu membuka pintu. Suamiku keluar hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya. Bahkan air masih membasahi dada bidangnya. Dulu pemandangan ini selalu membuatku bergetar. Namun tidak sekarang. Entah karena apa aku juga tidak tahu. "Mas tunggu, ya, kita shalat berjamaah." Aku mengangguk lalu segera masuk ke kamar mandi. Guyuran air dingin mampu membuka mata yang masih mengantuk. Semalam Ali terbangun sampai tiga kali. Dan hanya aku yang terbangun.
Aku duduk di kursi makan sambil menggendong Ali. Sejak bangun tidur hingga sekarang putra bungsuku tidak mau ditidurkan di kasur atau stroller. Dia selalu minta gendong. Mungkin karena badannya masih tak enak hingga ia selalu saja rewel. Untung Alma sudah kumandikan sebelum Ali terbangun. Kalau tidak pasti akan terjadi drama di pagi hari. Merawat anak tanpa babysitter tidaklah mudah. Apa lagi jarak anak yang terbilang dekat. Aku harus ekstra sabar dalam menghadapi ketiga anakku. Tak jarang mereka terkena omelan saat tubuh ini terasa lelah. Namun setelah itu aku akan merasa menyesal. “Alma makan sendiri,ya,” bujukku pada putri keduaku. Namun dia justru menggelengkan kepala. “Mau disuapin Bunda,” rengeknya sambil bergelayut di tangan kananku. “Sama Bi Leha, ya, Non,” rayu asisten rumah tanggaku lagi. “Gak mau ... ya, gak mau! Alma mau sama Bunda,” rengek Alma dengan mata berkaca-kaca. Aku menghembuskan napas perlahan seraya menetralisir rasa kesal yang tiba- tiba hadir. Aku tau Al
Aku terbangun saat mendengar ponsel menjerit-jerit berulang kali. Dengan cepat kuambil benda pipih yang ada di atas nakas lalu menggeser gambar telepon berwarna hijau ke atas. “Assalamualaikum,” salamku sambil mengumpulkan nyawa yang belum sepenuhnya kembali. “Wa’alaikumsalam. Bu Hanin sudah sampai mana? Alma sudah menunggu dari tadi,” ucap Ustadzah Fatimah dari sambungan telepon. “Astagfirulloh,maaf Ustadzah saya ketiduran. Tolong jaga Alma sebentar,saya akan segera ke sana.” Sambungan telepon segera kumatikan setelah mengucapkan salam. Dengan hati-hati kusambar outer hitam dan hijab lalu keluar kamar. Aku tak ingin membangunkan Ali yang masih terlelap. Akan timbul masalah besar jika Ali sampai terbangun. Bisa-bisa aku akan semakin terlambat menjemput Alma. Mobil kulajukan perlahan hingga keluar gerbang, setelah itu kecepatannya kunaikkan. Jiwa pembalapku mendadak muncul disaat-saat seperti ini. Apa seperti ini seorang ibu yang terlambat menjemput anaknya di sekolah? Mobil m
Pov Bayu Astagfirullah.... Berulang kali aku beristighfar dalam hati. Aku masih tak menyangka Hanin memiliki ide gila itu. Bagaimana bisa dia memintaku menikah lagi. Bagaimana bisa? Ya Allah .... Sudah dua hari kami saling diam, tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut masing-masing. Kami bagai orang asing yang tinggal dalam satu rumah. Kehangatan yang selalu ada seakan hilang. Memang benar kata orang istri pewarna keluarga dan marahnya istri adalah bencana. Namun bukannya aku yang marah di sini? Tapi kenapa terkesan aku yang salah? Ya Allah.... Apa aku suami yang tak peka? Hingga istriku lelah dan memintaku menikah lagi? Ali sudah terlelap di tengah-tengah ranjang kami. Dia bagai pembatas antara aku dan Hanin. Setelah selesai menyusui putra bungsu kami, ia segera membalikkan badan, memunggungiku. Hanin benar-benar marah padaku. Jarum jam sudah menunjukkan angka sebelas, aku masih duduk di sofa sambil memikirkan perkataan Hanin. Sejatinya poligami diperbolehkan, tapi suami ha