Part 15Sesuai saran dari Sinta, Reno pergi untuk memastikan kantor investasi itu, Ia mengendarai motornya menuju tempat tujuan. Google map yang ia buka hanya menunjukan tanah kosong tanpa penghuni. Ia masih berkeliling menyusuri jalanan untuk memastikan dimana kantor investasi itu. Tapi sayangnya, berulang kali ia menyusur alamat itu, ia tak menemukan bangunan kantor investasi, yang berdiri di tanah kosong itu hanya ada rumah yang hampir roboh, sisi kanan dan kirinya adalah pekarangan yang ditumbuhi semak belukar. "Masa iya sih, kantor investasi di tempat seperti ini?" Batin Reno tak yakin. Tapi ia tetap memastikannya, turun dari motor dan bergegas ke rumah itu. Pelan-pelan ia melangkah, menginjak rumput ilalang yang tumbuh tinggi.Dilihat dari luar saja, rumah itu tampak angker, seketika bulu kuduknya berdiri saat mencapai pintu, akhirnya pria itu kembali ke tempat semula, dimana motornya berada.Jantungnya sudah berpacu dengan hebat, biarpun siang hari, tapi suasana jalanan begit
part 16"Bu, ibu! Bangunn ...!"Reno menggoyang-goyangkan tubuh Bu Witi. Namun ibunya tetap bergeming."Gimana nih, Mas? Ibu pasti shock banget.""Kita bawa ibu ke kamar.""Kamu sih, Mas. Mau ikut investasi gak dibaca dulu.""Udah ah diem, bawel.""Nanti ambilkan surat perjanjiannya, aku ingin baca. Kalau kita punya dokumen kuat, kita bisa menuntut mereka, Mas. Setidaknya biar mereka Ciampel.Usai membopong tubuh ibunya ke dalam kamar, lalu menyodorkan minyak kayu putih pada hidungnya, kiri Reno kembali menemui sang istri membawa dokumen investasi ini.Sinta membacanya dengan seksama."Gimana, Sin? Bisa dituntut?" tanya Reno penasaran."Kamu waktu dikasih kertas ini apa enggak dibaca dulu, Mas?""Memangnya kenapa?""Baca ini deh; *Bila ditengah jalan terdapat masalah, itu bukan tanggung jawab kami. Segala kerugian akan ditanggung oleh investor itu sendiri. Dan kami tidak bisa dituntut untuk ganti rugi.*"Reno terdiam, saat itu memang dia pikirannya terbagi, ia tidak fokus. Kecantikan
Part 17Devi mendongak, ia melihat pria itu tengah menyodorkan tangannya."Mari kubantu," ucapnya lagi.Tak menanggapi ucapan pria itu, Devi bangkit sendiri."Lho, kamu bukannya Devi?"Devi menoleh lagi, sembari mengerutkan keningnya sebagai tanda mengingat seseorang."Aku Akbar, teman SMP kamu. Kamu masih ingat kan?""Oh, Mas Akbar? Iya-iya aku ingat. Sudah lama gak ketemu jadi pangling.""Iya. Kamu juga pangling, makin cantik.""Gak usah memujiku, Mas.""Aku gak memuji, memang kenyataannya begitu. Kamu sekarang tinggal dimana?""Aku nyewa ruko di sebelah sana, Mas.""Ruko? Bukannya kamu udah nikah ya?""Iya, memang. Ya sudah, aku pulang dulu, Mas. Takut anakku khawatir."."Eh, tunggu dulu, Dev!" cegah Akbar sembari meraih tangan Devi. Devi segera mengibaskannya."Bisa minta nomor teleponmu, Dev?""Tapi buat apa?""Ya, aku sebenarnya masih ingin mengobrol denganmu, kita kan udah lama gak ketemu, gimana kalau lanjut chatting atau telepon? Boleh kan? Buat menyambung tali silaturahim lh
Part 18Silvi mengangguk sembari mendekap bantal ke dalam pelukannya. Devi kembali melangkah, ia tak mendengar Reno berisik lagi. Hampir saja akan membuka pintu, tiba-tiba terdengar seperti orang yang sedang berkelahi."Keluar kamu!! Jangan ganggu Devi lagi.""Hei, jangan ikut campur urusan keluargaku. Kamu hanyalah orang asing! Harusnya kamu yang keluar dari sini! Devi itu masih istri sahku!! Dia milikku.""Istri sah?""Ya, aku ini suaminya!""Suami apaan yang tingkahnya macam perampok kayak gitu!"Buugg ... Buugg ...! Suara pukulan demi pukulan menghiasi malam itu. Akhirnya Devi keluar, untuk melihat siapa yang berkelahi. Ia tak menyangka ternyata Reno dan Akbar terlibat perkelahian. Suasana rukonya menjadi kacau berantakan. Barang-barang penunjang untuk usahanya berserakan di lantai."Mas, Mas, hentikan, Mas!" lerai Devi, ia berlari ke arah keduanya. "Hentikan!" teriak Devi lagi. Keduanya yang sama-sama mencengkeram krah kemeja, lalu melepaskan satu sama lain."Mas Akbar, kenapa
Part 19Devi bisa bernafas lega, usai mendaftarkan putrinya ke sekolah yang baru. Beruntung, letaknya tak jauh dari ruko tempat tinggalnya, jadi bisa ditempuh dengan jalan kaki."Sayang, belajar yang rajin ya disini. Jadi anak yang baik ya!" "Siap, Bu."Setelah menitipkan putrinya ke pihak sekolah, Devi bertolak ke pasar untuk membeli sayuran dan lauk. Mulai hari ini dia harus masak sendiri agar tak terlalu boros. Sebenarnya dia merasa sangsi, takutnya Reno mengganggu lagi seperti tadi malam. Ia sudah tak nyaman dengan pria itu. Namun segera ditepis perasaan itu, kalau dia takut, maka Reno akan makin berani mengganggunya. Hari ini banyak agenda yang ingin dia lakukan, selain berbelanja perlengkapan make-up yang semalam hancur berantakan, ia pun harus segera mengurus surat perceraiannya dengan Reno.."Bismillah, semoga setiap langkahku dipermudah dan dilindungi oleh Allah. Aamiin," doanya dalam hati. Kali ini dia hanya sendirian, karena Rita pun sudah kembali bekerja dengan kakaknya.
Part 20"Ya sudah kamu hati-hati di jalan ya. Kabari kalau dah sampai sana.""Iya, Rita, terima kasih. Aku berangkat dulu ya. Assalamualaikum.""Waalaikum salam."Devi tersenyum, kemudian berpamitan dengan semuanya. Wanita itu melajukan motornya dengan kecepatan sedang, ia harus tetap berkonsentrasi walaupun udara dinginnya pagi masih menerpa kulit. Jalanan pagi yang masih lengang, membuat dia leluasa, berbekal google map, Devi nekad memberanikan diri menembus angin pagi di jalanan.Diam-diam Reyhan mendengar percakapan antara adiknya dan juga Devi. Yang ia tangkap, Devi akan pergi ke Desa Kertasari, karena ada orderan rias pengantin pertamanya. Untuk sesaat Reyhan berpikir, desa itu terletak jauh dari sini, apalagi harus melewati areal persawahan dan juga pohon jati di hampir sepanjang jalan. Sangat jarang menemukan permukiman di area situ. Kecuali kalau sudah sampai di perbatasan desa. Entah kenapa, mendadak hatinya menjadi khawatir, apakah tidak apa-apa kalau dia pulang pergi sendi
Part 21Sesuai permintaan Sinta di ujung telepon, Akbar mengikuti kemanapun Devi pergi. Lelaki itupun menyewa mata-mata untuk mengetahui gerak-geriknya. Akbar menyeringai, banyak rencana yang sudah ia susun bersama dengan Sinta."Bos, dia lagi jalan sendiri," ucap suara anak buahnya di seberang telepon."Kau urus dia, sesuai rencana kita.""Beres, Bos!"Lelaki itu menutup panggilan teleponnya, kemudian kembali menatap wanita yang ada di hadapannya."Gimana kamu puas?" Sinta tersenyum. "Belum puas, kan belum beraksi.""Ya, tunggu saja. Mereka juga butuh timing yang tepat. Oh iya kenapa sih kamu dendam banget sama Devi?""Ada lah, Mas. Ini dendam masa lalu. Gara-gara Devi, aku berpisah dengan Angga.""Hanya karena itu?""Iya, tapi itu membuatku sangat sakit.""Kamu tenang saja, kan ada aku. Aku takkan pernah meninggalkanmu.""Halaaah gombal!""Aku serius.""Buktikan dulu kalau kau bisa menghancurkan Devi, baru aku percaya."Akbar tersenyum simpul, mendengar nada cemburu pada ucapan Sin
Part 22"Aku harus turun ke sana. Mencari Devi, Bertahanlah Dev," tekad Reyhan dalam hatinya. "Deeev ... Deviiii ...!" Lelaki itu terus berteriak, sembari membawa center di tangannya. Langkahnya perlahan turun dengan hati-hati. Ia takut kalau justru ia akan terjatuh dan tak bisa menemukan Devi.Ponselnya berkali-kali berdering, sebuah panggilan dari Rita, sang adik."Kak, share lokasinya, biar aku bisa kesana," ucap suara di seberang telepon sesaat setelah ia menggeser tombol panggilan.Reyhan masih terdiam, matanya masih sibuk mencari dimana Devi."Kak! Aku akan langsung cari bantuan sama teman-temanku nih, mereka banyak yang anggota Pecinta Alam.""Iya, nanti kukirim," sahut Reyhan. Setelah menutup panggilan itu dan mengirimkan titik lokasinya saat ini pada sang adik, Reyhan kembali memasukkan handphonenya ke dalam saku celana. Dengan langkah pelan dan hati-hati, dan berpegangan pada tanaman yang tumbuh di sekitar, Reyhan berusaha terus turun mencari sosok Devi. Cahaya lampu sente