Sore harinya, setelah pemeriksaan lengkap, akhirnya, Rita diperbolehkan pulang oleh dokter dan beristirahat di rumah.
Reyhan datang menjemputnya. "Bagaimana kalau pulang ke rumah kami saja?" usul lelaki itu.Rita menggeleng pelan. "Aku ingin istirahat di rumah saja.""Bener kamu gak apa-apa ketemu laki-laki sialan itu?""Aku gak apa-apa, Mas."Reyhan menghela napas. "Ya sudah, kalau itu keinginanmu, tapi kamu harus istirahat yang cukup ya. Jangan diporsir, kamu kan masih dalam tahap pemulihan."Rita mengangguk pasrah.Mobil keluar dari lingkungan rumah sakit, dan pulang menuju rumah. Satu jam lebih waktu yang ditempuh untuk bisa sampai di rumah.Sepanjang jalan, Rita terdiam. Sesekali hanya melihat pemandangan dari jendela mobil.Semangat Rita segera terhenti ketika dia memasuki rumahnya yang sunyi. Suasana yang biasanya hangat dan penuh cinta sekarang terasa dingin dan hampa.***Di sebuah rumah kecil, ibunda Reno duduk di kursi roda di ruang tamu yang redup. Wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca, dan tangannya gemetar. Selembar surat terbuka di pangkuannya, dan isinya membuatnya tak percaya pada apa yang baru saja dia baca."Bagaimana mungkin?" gumamnya, suaranya hampir tidak terdengar di antara keheningan ruangan. Dia mengenang saat-saat indah bersama putrinya, Ristha, yang selalu menjadi anak kebanggaannya.Kenangan masa lalu membawanya pada waktu-waktu ketika Ristha masih kecil, ketika dia memeluknya erat-erat setiap kali dia pulang dari sekolah. Dia selalu bercerita tentang impian masa depannya, tentang bagaimana dia ingin menjadi seseorang yang sukses, memberi kebahagiaan pada ibunya.Namun, kini, semua itu terasa seperti mimpi buruk. Surat di pangkuannya memberitahu bahwa Ristha telah ditangkap karena kasus penipuan. Ibu merasa seolah-olah dunianya runtuh seketika.Pikirannya berkecamuk dengan pertanyaan yang tak terjawab. Apakah dia tidak mendidik Rist
Reno duduk di kursi plastik biru di ruang tunggu Rumah Sakit Umum, meremas-remas ujung bajunya. Suara mesin ventilator dan dengung alat-alat medis mengiringi kegelisahannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang, tapi dia masih setia menemani ibunya yang tengah terbaring di ruang ICU. Di sampingnya, seorang dokter tengah memeriksa laporan medis. Sementara itu, perawat terus mondar-mandir membawa alat dan obat-obatan.“Ibu masih bisa sembuh, kan, Dok?” tanya Reno pelan, suaranya serak menahan kekhawatiran.Dokter menatap Reno dengan tatapan penuh empati. “Kami akan berusaha sebaik mungkin, Pak. Tetapi, kita harus bersiap untuk segala kemungkinan.”Reno hanya mengangguk. Kata-kata dokter itu bagai angin lalu, tidak terlalu ia cerna dengan baik. Pikirannya melayang-layang. "Maafkan aku, Ibu. Sungguh aku anak yang tidak berguna karena tak bisa melindungimu, Bu. Kenapa harus ibu yang menanggung semua ini," bisiknya sambil menggenggam tangan ibunya. Butiran bening sudah menitik di pipinya
Satu tahun kemudian .... Devi bangun lebih awal. Ia bersiap membuatkan sarapan dan susu untuk keponakannya yang masih berusia 4 bulan lebih. Bayi mungil perempuan yang diberi nama Mentari oleh Rita itu beberapa hari terakhir dititipkan dan tinggal bersamanya, karena Rita harus melakukan perjalanan dinas ke luar kota selama beberapa hari. Sebagai single parent dan mengalami ujian yang berat, Rita bekerja keras dengan menjadi wanita karir untuk dia dan juga putrinya. Devi dan Reyhan tak merasa keberatan mengasuh bayi lucu yang sedang aktif-aktifnya itu. Kebersamaan mereka justru lebih berwarna dengan kehadiran Mentari. Hari-hari biasanya pun, ketika Rita kerja, Mentari diasuh oleh baby sitter, tapi hampir setiap hari Devi datang menemui Mentari. Hanya saja pagi ini, Devi merasa ada yang berbeda dengan tubuhnya. Ada rasa mual yang tak biasa dan lelah yang sangat. Devi mencoba mengabaikannya, tetapi intuisi seorang wanita seringkali lebih tajam daripada yang lain. "Hueeek ... hueee
Ting!Sebuah notifikasi masuk ke gawai Reno, notifikasi transferan dan chat dari istrinya.[Mas, aku sudah kirim ya 3 juta untuk kebutuhan makan sehari-hari kalian]Senyuman Reno berubah masam, melihat nominal yang dikirimkan oleh Devi. [Kok jatahnya berkurang, sayang? Biasanya kirim 7 juta] balas Reno.[Iya Mas, aku ada banyak keperluan disini]Reno berusaha menelepon, tapi Devi tak menyahut.Padahal biasanya, Devi mengirimkan uang 7 juta tiap bulan. Istrinya itu bilang, 3 juta untuk makan sehari-hari, 1 juta untuk keperluan tak terduga dan 3 juta lagi ditabung untuk pembangunan rumah. Tak sia-sia istrinya bekerja diluar negeri. Ia tak perlu susah payah lagi menjadi kuli panggul di pasar. Hanya okang-okang kaki di rumah. Menikmati jerih payah sang istri. Memang hidupnya sekarang sangat menyenangkan. Tidak seperti dulu lagi, yang harus kekurangan uang dan beras tiap hari.[Makasih ya sayang, kamu memang istri yang terbaik. Mmuach mmuach] --balas Reno disertai emoticon cium. Ia berpur
Part 2Reno mengacak-acak rambutnya dengan kesal. Uang di rekening hanya tersisa dua juta saja. Belum buat makan dan yang lainnya. Kemarin pun ia berbohong pada Sinta kalau satu set perhiasannya sudah siap. Lalu bagaimana? "Kamu kenapa pagi-pagi dah kayak orang stress?" tegur sang ibu.Reno hanya terdiam. Hatinya sungguh dibuat bingung."Reno?""Eh i-iya Bu," jawabnya gugup."Kamu kenapa sih? Kamu udah ambil uang kan? Sini ibu minta buat beli perhiasan.""Belum, Bu.""Kamu ini gimana sih?!"Tak menanggapi ucapan ibunya, Reno pergi begitu saja. Ia tak mau mendengar suara ibunya yang merepet tiada henti.Kepalanya terasa begitu cenat-cenut, karena semalam semenjak Reno mentransfer kembali uang Devi, istrinya itu tidak bisa dihubungi. Ponselnya tidak aktif. Apakah wanita itu baik-baik saja? Atau tetap ditangkap polisi?Haaaah! Ia mengembuskan nafas panjangnya, tak tahu kepada siapa dia harus bicara tentang keadaan Devi. Ibunya sendiri saja tak mau mengerti apalagi orang lain.Ia mengend
Part 3"Apaa? Dasar istri tidak berguna, bisanya nyusahin suami aja!!""Sudahlah Bu, selama ini kan Devi yang menjamin kebutuhan kita. Sekarang dia lagi ada masalah, kalau kita tidak membantunya siapa lagi? Lagian kalau dia ditangkap siapa yang akan mengirimi kita uang lagi?"Bu Witi terdiam, ia pun membenarkan ucapan anaknya."Bu, aku pinjam uangnya lima juta. Ibu ada kan?""Hah? Ibu gak punya. Uang aja kan kamu yang kasih.""Kalau gitu aku pinjam perhiasan ibu, mau aku jual dulu. Nanti kalau Devi udah transfer lagi aku ganti, Bu.""Perhiasan yang tadi pagi kamu kasih?""Oh jangan yang itu Bu, sayang masih baru, yang udah lama aja.""Tapi kan ...""Bu, Reno mohon Bu.""Ya sudah, tunggu disini. Ibu ambilkan dulu. Baru tadi pagi ibu lepas, sekarang mau kamu jual. Hmmmhh," gerutu ibu kesal. "Nanti kamu yang jual sendiri ya. Tapi janji, kalau Devi transfer kamu harus ganti!""Iya, iya Bu. Bawel!"Reno pergi ke toko Mas, menjual perhiasan ibunya. Beruntung totalnya empat juta delapan ratu
Part 4"Apa rencanamu?""Aku ingin sewa ruko buat memulai usahaku.""Wah, bagus dong. Kamu mau usaha apaan, Dev?""Pengennya sih salon rias pengantin. Aku memang belum punya perlengkapan yang banyak, tapi aku ingin mencobanya. Selama di luar negeri aku ikut kursus makeup dan ingin kusalurkan ketika pulang. Jadi ilmuku tidak sia-sia. Dan aku juga ingin punya penghasilan sendiri saat di Indonesia, tidak melulu harus pergi jadi TKW.""Wah, keren banget. Jadi sekarang kamu jago dandan dong. Nanti kalau aku nikah, kamu yang jadi MUA-nya ya!""Bereeeeess, siapa takut."Lalu keduanya tertawa tanpa ada beban. Sekian lama baru bertemu lagi, membuatnya ingin sekali melepas rindu, ngobrol santai dan mengingat masa sekolah yang seru dulu."Apa kamu tidak akan menggugat cerai suamimu itu?" tanya Rita dengan nada serius."Ya pasti aku akan menggugat cerai. Tapi itu nanti, aku masih belum puas untuk bermain-main dengannya. Aku ingin mengambil hakku kembali.""Jadi kau akan membuat dia dan keluargan
Part 5"Sayang?" pekik Devi, netranya berkaca-kaca, bertemu dengan putri kecilnya tak terduga seperti ini. Sudah lama ia tak melihatnya langsung, sesekali hanya melihatnya lewat foto. Reno, sang suami jarang sekali mau mengangkat panggilan videonya."Tante siapa?" tanya gadis kecil itu lugu. Sekian lama tak bertemu membuatnya kebingungan. Apalagi sekarang, Devi memutuskan untuk memakai jilbab."Ini ibu, Nak. Ini ibu," sahut Devi, tanpa kompromi lagi air matanya jatuh membasahi pipi."Ibu?" tanyanya sembari memperhatikan wajah Devi dengan seksama.Devi mengangguk dan langsung memeluk tubuh kecil itu ke dalam dekapannya. "Ibuuuu, aku kangen ibu ..." sahut Silvi, gadis kecil itu membalas pelukan ibunya dengan erat seakan tak mau lepas. Keduanya hanyut dalam rasa rindu yang begitu membuncah, mereka tumpahkan dalam tangis haru."Sayang, kamu kenapa ada disini?" tanya Devi sembari membelai rambut putrinya. "Ini kan jauh dari rumah. Kamu sama siapa? Sama bapak?" tanya Devi lagi.Silvi mengg