Part 9"Lebih baik kucel jadi pembantu, Pak. Dari pada kinclong tapi jadi benalu." "Tunggu-tunggu, kenapa suaramu mirip Devi ya?" tukas Reno. Lelaki itu berjalan mendekat. Ia melihat perempuan itu dari atas ke bawah."Benar, kamu ini mirip Devi. Postur tubuhmu, suaramu, atau jangan-jangan--""Maaf, Pak. Tolong jangan seperti ini, sikap anda membuat saya tidak nyaman," sahut Devi alias Aura sembari mundur beberapa langkah.Jantungnya berdegup kencang, takut jikalau dirinya ketahuan. Ia sudah menyusun rencana ini dengan matang, dirinya gak mau gagal lagi dan terperdaya oleh lelaki tak berhati ini. Rita pun ikut bingung bagaimana caranya agar Devi tak terpojok. "Maaf Pak, kami permisi dulu ya, pekerjaan kami masih banyak. Harus berkeliling menemui para calon investor yang lain," tukas Rita sembari menarik tangan Devi. Keduanya langsung berlalu masuk ke dalam mobil milik Reyhan.Reno hanya menatapnya tanpa berkedip, ia merasa wanita-wanita tadi seperti tak asing lagi baginya. Tapi siapa
Part 10"Eh anu Mas, ini---""Ini sudah zaman modern, kenapa paket kemenyan segala?" tanya Reno lagi."Biar aku jelaskan, Mas. Win, tolong bunganya taruh belakang saja ya.""Baik, Mbak."Reno masih ingin mendengar jawaban dari Sinta. "Mas, bunga-bunga itu buat ritualku mandi. Biar tubuhku wangi, jadi saat malam pengantin nanti kamu gak bakalan kecewa," sahut Sinta sembari memainkan netranya genit. Ia membenarkan krah kemeja Reno yang baik-baik saja.Reno tersenyum."Kalau kemenyan, aku gak tau persis mas, itu disuruh sesepuh disini, katanya sih biar gak ada yang ganggu kita saat pernikahan nanti.""Walah, kirain buat apaan. Zaman udah modern begini masih ada begituan.""Ya kita kan gak mungkin ngilangin adat begitu aja."Reno mengangguk, kemudian mencium pipi Sinta. "Ya sudah Sin, aku pulang dulu ya.""Iya, Masku sayang--"Reno pergi meninggalkan rumah Sinta. Wanita itu bisa bernafas lega, hampir saja topengnya terbongkar, beruntung ia bisa memberikan alibi yang pas untuk calon suamin
Part 11"De-devi?" "Iya, ini aku. Kenapa? Kaget ya?""Kok kamu ada disini, Dev? Kapan kamu pulang dari Taiwan? Bukannya semalam kamu telepon dan--" Ucapan Reno mengambang di udara saat melihat mimik wajah Devi. Ia terkesima, lama tak bertemu istrinya itu bertambah cantik. Wajahnya putih bersih dan begitu terawat. Sayangnya kini penampilannya berbeda, ada hijab pashmina yang membalut rambutnya. Bila dipandang sekilas, ia tak nampak seperti Devi yang dulu. Kali ini istrinya itu tampil begitu sempurna. Naluri kelelakiannya seketika muncul. Ia hendak memeluk Devi, tapi Devi menghindar."Jangan peluk aku!" seru Devi."Tapi, kenapa? Aku kan suamimu, Dev. Kita sudah lama gak ketemu. Masa kamu gak kangen?""Kangen?""Ya. Aku aja rindu sekali padamu, Dev.""Oh ya?"Reno mengangguk. Sementara Devi tersenyum masam, ia berjalan mengitari Reno. Tubuh Reno begitu tegang, apalagi dia belum mandi dan masih bertelanjang dada, hanya celana sebatas lutut yang membalut tubuhnya. Ekor matanya yang berge
Part 12"Memangnya mau kau bawa kemana, Dev? Kita bisa bicarakan ini baik-baik, Sayang.""Sayang? Hahaha, telingaku sampai gatal saat kamu memanggilku sayang!" Devi justru menimpali dengan nada mengejek. Sementara wajah Sinta sudah merah padam, baru saja semalam dia mereguk manisnya cinta bersama Mas Reno, tapi kini suaminya justru memanggil sayang pada wanita lain. Sinta yang awalnya hanya ingin bermain-main dengan Reno, tapi dia justru jatuh hati padanya."Dev, tolong jangan lakukan ini. Kita bisa bicarakan ini baik-baik, Dev. Tolonglah Dev, kita bisa hidup damai bertiga di rumah ini.""Hidup damai bertiga di rumah ini? Serius kamu ngomy gitu, Mas? Kamu suruh aku tinggal seatap dengan wanita itu? Gak level lah yaw! Aku ini bukan perebut suami orang, aku juga bukan benalu. Tidak seperti kalian-kalian ini! Aku yang sibuk bekerja membanting tulang, justru kalian yang menikmati hasilnya! Ckckck!""Cukup bicaramu, Devi!" teriak Bu Witi."Emang gitu kenyataannya kan, Bu? Kenapa gak terima
Part 13 "Bukankah ini tak adil bagiku dan juga bagimu, Dev?" Ini rumah kita! Kita bisa tinggal sama-sama di rumah kita! Kita bisa bicarakan ini baik-baik, Dev! Tolong hentikan ini, Dev. Jangan lakukan ini, aku mohon."Devi bergeming, ia tetap teguh pada pendiriannya. Tak sekalipun terlintas rasa kasihan padanya atau membatalkan pembongkaran rumah ini. Tidak. Amarah dan benci sudah menguasai hatinya. Baginya, dia sudah dikhianati, hatinya sudah hancur. Kalau dia tak bisa memiliki haknya sendiri, maka Reno pun tak bisa memilikinya. Kalau dia hancur, maka suaminya pun harus ikut hancur. Bara api dendam di hati Devi sudah terlanjur menyala dan tak bisa dipadamkan lagi."Kita bisa hidup damai bertiga, Dev. Aku janji akan bersikap adil pada kalian. Tolonglah jangan keras seperti batu. Kita perbaiki ini sama-sama ya, Dev. Jangan hancurkan rumah ini, Dev. Rumah ini tak ada hubungannya dengan masalah kita," lanjut Reno berusaha merayu Devi."Tidak!" sahut Devi singkat, padat dan jelas.Reno m
Part 14"Iya. Aku hutang di bank dengan menggadaikan sertifikat rumah ibu.""Apaaa?""Maka dari itu aku tak mungkin menceraikan Devi. Dia sumber uangku, Sinta.""Berapa, Mas?" "Dua ratus juta. Dengan bunga delapan persen.""Hah? Sebanyak itu? Untuk apa aja, Mas?""Untuk pernikahan kita kemarin dan juga investasi.""Memangnya kamu gak punya tabungan?""Tabunganku habis Sinta, makanya hutang di bank."Sinta tampak shock. Ia tak percaya, kalau ternyata lelaki yang ia nikahi punya banyak hutang bukannya tabungan."Terus itu investasi, investasi apaan? Berapa?""Seratus lima puluh juta, nanti akan kembali jadi tiga kali lipat dari modal awal.""Banyak amat, Mas. Apa kamu yakin? Itu bukan tipu-tipu atau investasi bodong?""Gak mungkin tipu-tipu lah, orang Devi yang merekomendasikan itu semua.""Apa kamu sudah pastikan sendiri Mas, kantornya dimana?""Belum sih, tapi aku percaya, mereka itu temannya Devi.""Teman?""Ya, teman SMP-nya.""Siapa namanya, Mas? Kalau teman SMP seharusnya aku j
Part 15Sesuai saran dari Sinta, Reno pergi untuk memastikan kantor investasi itu, Ia mengendarai motornya menuju tempat tujuan. Google map yang ia buka hanya menunjukan tanah kosong tanpa penghuni. Ia masih berkeliling menyusuri jalanan untuk memastikan dimana kantor investasi itu. Tapi sayangnya, berulang kali ia menyusur alamat itu, ia tak menemukan bangunan kantor investasi, yang berdiri di tanah kosong itu hanya ada rumah yang hampir roboh, sisi kanan dan kirinya adalah pekarangan yang ditumbuhi semak belukar. "Masa iya sih, kantor investasi di tempat seperti ini?" Batin Reno tak yakin. Tapi ia tetap memastikannya, turun dari motor dan bergegas ke rumah itu. Pelan-pelan ia melangkah, menginjak rumput ilalang yang tumbuh tinggi.Dilihat dari luar saja, rumah itu tampak angker, seketika bulu kuduknya berdiri saat mencapai pintu, akhirnya pria itu kembali ke tempat semula, dimana motornya berada.Jantungnya sudah berpacu dengan hebat, biarpun siang hari, tapi suasana jalanan begit
part 16"Bu, ibu! Bangunn ...!"Reno menggoyang-goyangkan tubuh Bu Witi. Namun ibunya tetap bergeming."Gimana nih, Mas? Ibu pasti shock banget.""Kita bawa ibu ke kamar.""Kamu sih, Mas. Mau ikut investasi gak dibaca dulu.""Udah ah diem, bawel.""Nanti ambilkan surat perjanjiannya, aku ingin baca. Kalau kita punya dokumen kuat, kita bisa menuntut mereka, Mas. Setidaknya biar mereka Ciampel.Usai membopong tubuh ibunya ke dalam kamar, lalu menyodorkan minyak kayu putih pada hidungnya, kiri Reno kembali menemui sang istri membawa dokumen investasi ini.Sinta membacanya dengan seksama."Gimana, Sin? Bisa dituntut?" tanya Reno penasaran."Kamu waktu dikasih kertas ini apa enggak dibaca dulu, Mas?""Memangnya kenapa?""Baca ini deh; *Bila ditengah jalan terdapat masalah, itu bukan tanggung jawab kami. Segala kerugian akan ditanggung oleh investor itu sendiri. Dan kami tidak bisa dituntut untuk ganti rugi.*"Reno terdiam, saat itu memang dia pikirannya terbagi, ia tidak fokus. Kecantikan