Share

PART 5

Author: Reinee
last update Last Updated: 2021-07-04 19:03:48

"Mas Bondan?"

 

Lelaki bertubuh atletis di depanku itu tersenyum sedikit aneh.

 

"Kamu di sini rupanya, Liv?" tanyanya seperti sedang berpura-pura, karena kulihat kedua matanya seperti mengisyaratkan sesuatu padaku. "Apa memangnya yang dilakukan bos kamu tengah malam gini di kamar hotel?" tanyanya lagi sambil terkekeh pelan dan berjalan memasuki ruangan. 

 

"Jangan bikin gosip. Kemarilah, Dan!" ujar Mas Adjie dari sofanya. Perlahan akupun menutup pintu kamar dan bergabung bersama mereka. 

 

"Kupikir penyakitmu udah sembuh, Ji. Ternyata belum." Mas Bondan nampak kembali terkekeh. Kini lebih keras.

 

"Ngomong apa sih kamu?" Wajah Mas Adjie kulihat bersemu merah. Aku tahu kelakar apa yang sedang diucapkan Mas Bondan itu. Dia pasti sedang menyindir Mas Adjie karena ternyata sampai sekarang masih saja bermain-main dengan para sekretaris di belakang istrinya. 

 

"Livia, tolong ambilkan satu minuman lagi!" perintahnya kemudian padaku. 

 

"Baik, Pak!" Aku bermaksud bangkit dari tempatku duduk, namun tiba-tiba tangan Mas Bondan segera mencekal lenganku. 

 

"Tidak perlu, Sayang. Duduk saja di situ. Aku pesankan supper untuk kita. Gimana, Ji?" Matanya menatap ke arah Mas Adjie. Dan aneh sekali karena kulihat ada kesan tak senang di mata suamiku itu. 

 

"Supper? Oke, pesan saja kalau gitu." Kalimat Mas Adjie seperti nada keterpaksaan. 

 

"Oke sippp." Mas Bondan pun segera bangkit lalu berjalan ke arah balkon dan mulai melakukan panggilan telepon ke room service hotel. Aku sendiri duduk dengan kikuk di depan Mas adjie yang tiba-tiba berulang kali memandangiku dengan tatapan aneh. 

 

"Bukannya kalian berdua saudara?" tanyanya tiba-tiba. Perlu waktu beberapa saat untukku bisa mencerna apa yang sedang ditanyakannya itu. Hingga akhirnya aku mengerti bahwa yang dimaksudkannya adalah sikap Mas Bondan barusan terhadapku. Memegang lenganku dan memanggilku dengan kata "Sayang". Dan aku sangat yakin, lelaki itu memang dengan sengaja melakukannya di depan Mas Adjie. Dalam hati aku tertawa geli.

 

"Ee, iya Pak. Kami memang saudara. Kami saudara jauh," jawabku dengan sedikit senyum yang kubuat tak enak hati. Mas Adjie hanya hanya melirikku sekilas saat kuberikan jawaban itu. Sepertinya sedang berpura-pura cuek. Lalu kembali fokus pada layar laptop di depannya tepat pada saat Mas Bondan kembali. 

 

"Done, satu jam lagi makanan kita siap. Kita bisa mulai meeting kita dulu, Ji?"

 

"Oke, duduklah," ujar Mas Adjie.

 

Mas Bondan pun segera mendudukkan kembali dirinya di sofa sebelahku. 

 

"Sekretarismu kayaknya capek, Ji. Nggak disuruh istirahat aja dulu? Kita bisa bahas ini berdua saja kan?" kata Mas Bondan. Tak hanya membuatku sedikit kaget, tapi Mas Adjie pun sepertinya sama terkejutnya denganku. 

 

"Aku mau dia di sini. Dan itu urusanku. Kamu nggak usah ikut campur," sahut Mas Adjie. Nada bicaranya seperti sedikit tersinggung meskipun bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Nampak adanya nada persaingan di dalam kalimatnya. Berbeda dengan Mas Bondan yang kulihat justru tersenyum puas. 

 

"Jangan gitu lah, Bro. Dia saudaraku. Aku nggak mau kamu biarkan kerja rodi semalaman." Lalu terdengar gelakan tawa lelaki itu. 

 

"Semoga saja dia memang benar-benar saudaramu. Karena kalau tidak ..." Mas Adjie menghentikan kalimatnya. 

 

"Kalau tidak kenapa?" Mas Bondan memicingkan mata ke arahnya.

 

"Kamu akan berurusan denganku nanti!" ancam Mas Adjie. Namun kalimat itu justru membuat keduanya terbahak-bahak. Entahlah. Aku tak begitu mengerti perbincangan antar dua lelaki dewasa macam itu. Tapi yang jelas, yang kuyakini Mas Bondan hanya ingin memancing rasa cemburu Mas Adjie padaku. Dan sepertinya itu berhasil. Secepat itukah suamiku jatuh cinta pada seorang wanita? Dia bahkan baru bertemu denganku tadi pagi. Namun sikap posesifnya sudah mulai tampak malam ini. Atau dia hanya ingin menunjukkan betapa berkuasanya dia terhadap apa yang dimilikinya?

 

Saat kemudian mereka sibuk membahas proyek baru yang akan segera dierjakan bersama, aku hanya berusaha mendengarkan dan mencoba memahami. Mas Bondan memang benar, seharusnya aku tidak begitu dibutuhkan di tempat ini. Mas Bondan sepertinya hanya ingin membuatku semakin mengerti bagaimana sebenarnya kelakuan suamiku itu di belakangku dulu. Seperti inilah waktu itu. 

 

Satu jam kemudian pembahasaan dua sahabat itu pun terhenti oleh kedatangan dua petugas room service hotel yang mendorong trolley pembawa menu-menu 'makan tengah malam' kami. 

 

"Akhirnyaaa, makan juga," celetuk Mas Bondan saat kedua pelayan itu pergi setelah menata hidangan di meja makan. "Ayo, Liv. Kamu butuh makan banyak mengingat bos mu yang akan selalu memberimu banyak kerjaan ini." Lelaki itu berkelakar lagi. Tapi nampaknya kali ini Mas Adjie sudah bisa begitu santai menanggapinya. 

 

Dua lelaki itu nampak begitu antusias mengobrol sambil menikmati makanan mereka. Hingga saat kemudian terdengar suara ponsel berbunyi, Mas Adjie pun bangkit dari kursinya.

 

"Sori, sebentar ya," pamitnya pada kami setelah menerima panggilan sambil berjalan ke arah balkon. 

 

"Ya, Ma? Enggak, ini masih meeting sama Bondan. Iya, Bondan. Ngga usah aneh-aneh lah mikirnya. Mau ngomong sama dia? ..."

 

Jarak antara meja makan dan balkon tidak begitu jauh hingga aku dan Mas Bondan bisa dengan jelas mendengar pembicaraan telepon itu. Mata Mas Bondan sesekali melirik ke arahku sambil mengulum senyum. Sementara pikiranku sendiri malah berkecamuk dengan peristiwa di masa lalu. 

 

Dulu aku pun sering menelponnya tengah malam jika dia belum pulang, sekedar untuk bertanya apa dia sudah makan, sedang dimana, atau pulang jam berapa. Tapi seingatku, saat itu Mas Adjie tidak pernah sekalipun menawariku untuk berbicara pada orang yang ditemuinya saat itu. 

 

Aku sedikit heran karena ternyata dengan Afika sikap Mas Adjie bisa lain seperti ini. Dia bahkan tidak segan menawarinya berbicara dengan Mas Bondan. Aku benar-benar baru menyadari betapa aku begitu lugu waktu itu hingga apapun yang dia katakan begitu saja kupercaya dan kutelan mentah-mentah. Aku benar-benar sangat bodoh waktu itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KEMBALINYA ISTRI YANG TERBUANG   PART 25

    Aku baru saja turun dari mobil yang membawaku pulang malam itu. Seperti biasa, sopir pribadiku, pak Hilman, langsung kusuruh membawa mobil itu pulang ke rumahnya."Besok jangan lupa ke sini pagi-pagi ya, Pak. Saya ada meeting lebih awal," ujarku mengingatkannya. Lelaki paruh baya itu pun mengangguk paham."Baik, Bu Ana. Siap," katanya patuh.Hari ini adalah tepat satu tahun setelah putusan hukuman 18 tahun penjara untuk mas Adjie dan Afika. Sebulan setelah sidang keputusan itu, mas Bondan pun seperti hilang ditelan bumi.Terakhir kami bertemu saat Joe berulang berulang tahun ke 7. Waktu itu dia datang dengan setelan celana abu dan kemeja linen warna putih yang membuatnya terlihat begitu gagah. Dia menghadiahi Joe sebuah jam tangan branded dengan harga fantastis.Berbulan-bulan kemudian Joe bahkan tak pernah m

  • KEMBALINYA ISTRI YANG TERBUANG   PART 24

    Beberapa hari setelah penangkapan mas Adjie dan Afika, mas Bondan membuktikan janjinya. Dia datang ke apartemen siang itu menemuiku dan anakku dengan membawa banyak kabar baik, tentang perusahaan dan juga tentang kabar terbaru kasus mas Adjie dan Afika."Aku sudah menunjuk pengacara untuk mengurus pemindahtanganan kekayaanmu dari suamimu, An. Juga masalah perceraian kalian.""Perceraian?" Aku mengerutkam dahi mendengar kata perceraian. Aku ingat, sebagai istri mas Adjie, statusku memang bukan janda, tapi meninggal."Iya, karena identitas kamu nantinya akan kembali ke identitasmu yang dulu. Bagaimanapun kamu tetap masih istri dari Adjie. Surat kematianmu waktu itu juga akan dihapuskan. Tapi kamu tenang saja, semua sudah ada yang mengurusnya. Aku sudah menunjuk beberapa orang untuk mengurus semuanya.""Terima kasih, Mas. Maaf aku selalu merepotkanmu."

  • KEMBALINYA ISTRI YANG TERBUANG   PART 23 (AUTHOR'S P.O.V)

    "Bu, Pak Adjie dan Bu Afika dibawa polisi," suara wanita di seberang sana dengan nada tergesa. Bondan yang menerima panggilan telepon itu pun menghela nafas lega."Ini aku, Bondan. Sebentar lagi aku dan Ana akan ke sana, Bi," kata lelaki itu pada wanita di seberang telepon."Oh Pak Bondan, maaf pak saya kira bu Ana, eh maksud saya bu Livia," wanita itu mendadak gugup saat menyadari salah menyebutkan nama.Bondan pun terkekeh kecil mendengarnya."It's okay. Nggak apa-apa, Bi. Ana atau Livia sama saja," kata lelaki itu, masih dengan kekehannya yang khas."Jadi pak Bondan juga sudah tau kalau bu Livia itu ..." Murni tak segera melanjutkan kalimatnya."Tentu saja aku tau. Ya sudah, tunggu ya, kami segera datang.""Baik, terima kasih, Pak." 

  • KEMBALINYA ISTRI YANG TERBUANG   PART 22 (AUTHOR'S P.O.V)

    "Semua bukti sudah lengkap, Pak Bondan. Para tersangka juga sudah mengakui siapa dalang dibalik semua ini. Kita akan segera limpahkan ke pengadilan setelah kita memeriksa Pak Adjie dan Istrinya."Itu kalimat terakhir yang terus terngiang di telinga Livia. Bahkan sampai dia kembali ke apartemen lagi setelah menyelesaikan semua urusannya di kantor polisi.Merebahkan tubuh lelahnya di sofa usai menyelesaikan rutinitas mandi malamnya, Livia dikejutkan dengan ketukan di pintu apartemen. Dengan gerakan refleks, wanita itu bangkit dengan kewaspadaan tinggi. Nampaknya rasa takutnya dengan peristiwa yang baru saja dialaminya bersama bondan beberapa jam yang lalu masih begitu membekas dalam dirinya.Masih dengan sikap waspada, Livia mendekat ke arah pintu, mengintip sebentar dari layar kamera, dan segera bernafas lega saat dilihatnya wajah lelaki yang sangat dikenalnya itu ternyata yang

  • KEMBALINYA ISTRI YANG TERBUANG   PART 21 (AUTHOR'S P.O.V)

    Entah kenapa Livia merasa dirinya sedang diawasi malam itu. Di pusat perbelanjaan dimana dia berencana membeli beberapa potong pakaian, sedari tadi gerakannya terlihat tidak tenang. Ada beberapa orang yang seperti mengikutinya terus kemana pun dia melangkah.Berhenti sejenak di salah satu stand pakaian dalam, diliriknya arloji mungil di pergelangan tangannya. Tepat jam 9 malam. Dia menarik nafas sebentar sebelum akhirnya memutuskan untuk menghubungi seseorang di ponselnya."Mas Bondan dimana?" ucapnya lirih di telepon."Ada apa?" Suara berat Bondan dari seberang nampak sedikit khawatir."Bisa jemput aku di mall nggak? Aku agak takut, kayak ada yang ngikutin aku dari tadi, Mas," ucapnya lirih sambil menutup mulutnya yang menempel di ponselnya."Oke, kalau gitu kamu tetap di dalam mall saja, An. Jangan keluar dulu, aku dat

  • KEMBALINYA ISTRI YANG TERBUANG   PART 20 ( AUTHOR'S P.O.V )

    Dengan bantuan salah satu orang kepercayaannya, Adjie berhasil membuat kesepakatan dengan orang bayaran yang lumayan bernama besar di kota itu."Serahkan semuanya pada kami, anda tidak perlu khawatir, Pak Adjie. Semua perkembangan akan Kami laporkan sesegera mungkin pada anda," kata lelaki tinggi besar yang baru saja menerima sejumlah uang dengan nominal tak main-main dari Adjie itu."Oke, tapi jangan terlalu sering menghubungiku jika itu bukan kabar yang terlalu penting. Kamu tahu kan maksudku?" ujar Adjie."Tentu, Pak. Anda jangan ragukan kerja kami. Semuanya akan beres tanpa jejak," ujar lelaki itu dengan sombongnya."Oke kalau begitu aku tunggu kabar baik dari kalian secepatnya."Usai berkata seperti itu, Adjie pun segera meninggalkan tempat bertemunya dia dengan orang bayarannya itu. Kini dia bisa sedikit bernafas lega te

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status