Share

KEMBALINYA, TUAN MUDA ALLEN
KEMBALINYA, TUAN MUDA ALLEN
Penulis: White Lies

1. KAMI MENEMUKANNYA

Seorang lelaki berusia lanjut duduk termangu di dekat kolam renang indoor yang ada di rumah mewahnya.

Tatapannya kosong.

Pikirannya entah kemana.

Lelaki itu sedang berduka. Putra pertamanya baru beberapa hari ini meninggal dunia.

Suara langkah mendekat membuyarkan lamunannya. Seorang pria yang mengenakan jas hitam berjalan mendekat ke arahnya. Dia adalah Ferdy, orang kepercayaan lelaki itu.

Ferdy kemudian membungkuk di hadapannya.

"Selamat pagi, Tuan." ucap lelaki itu dengan hormat.

"Ferdy, saya ada tugas penting untukmu." jawab lelaki itu tanpa berbasa basi.

"Baik, Tuan."

"Dua tugas yang harus kamu lakukan. Pertama, selidiki kecelakaan Jonathan. Temukan apa ini murni kecelakaan atau ada campur tangan seseorang," lelaki itu berhenti sejenak, ia beberapa kali terbatuk. Kesehatannya sudah menurun, kondisinya sudah tidak lagi prima.

"Dan yang kedua. Segera temukan Allen. Bawa dia ke sini. Kembalikan dia ke tempat yang seharusnya."

"Temukan siapa katamu?" teriak seorang wanita yang menyela pembicaraan mereka.

"Dasar brengsek! Anakku baru saja mati dan kau sudah mau menggantikannya dengan anak sialanmu itu?" ucap wanita itu lagi.

Tanpa melihat sosoknya pun lelaki itu sudah tahu suara siapa yang melengking-lengking itu.

Magdalena. Istri pertamanya yang juga merupakan ibu kandung Jonathan, putranya.

Benar saja, seorang wanita dengan penampilan yang terkesan berlebihan berjalan ke arahnya. Penampilan yang sesungguhnya tidak sesuai dengan usianya yang sudah tidak muda lagi itu. Tidak luput berbagai perhiasan mahal menghiasi tubuhnya.

"Kau memang brengsek, Ronald! Bahkan tanah di makam Jonathan masih basah!" ucap wanita itu di hadapan Ronald Adiguna, suaminya.

Ronald hanya mendesah, dia mengalihkan pandangan ke taman yang berada di sisi kolam renang.

"Cukup Magdalena. Aku sangat lelah mendengarmu selalu berteriak." jawab lelaki itu dengan suara lirih.

"Kau pikir hanya kau yang lelah ha? Aku juga lelah denganmu!" Magdalena merasa di atas angin. Ronald selama ini selalu mengalah kepadanya dan Jonathan, mendiang putranya.

Alasan Ronald sebenarnya karena ia tidak ingin ribut. Itu saja. Tapi hal tersebut nyatanya membuat Magdalena dan Jonathan semasa hidupnya menjadi bersikap seenaknya. Ronald telah gagal mendidik anak istrinya.

Magdalena yang melihat Ronald hanya terdiam terus melanjutkan makiannya. Dia yakin Ronald kali ini pun hanya akan mengalah kepadanya. Toh dia sedang berduka karena kepergian Jonathan.

"Awas saja kau ya! Awas saja kalau kau berani membawa anak sialanmu itu kemari! Aku akan ...."

Suara sebuah teko yang dibanting menghentikan kata-kata wanita tersebut. Teko itu telah terpecah menjadi banyak bagian di atas lantai marmer di hadapannya. Mata Magdalena membulat terkejut saat mendapati Ronald sudah berdiri dan sedang menatapnya dengan nyalang.

"Satu patah kata lagi dan aku akan merobek mulutmu, Magdalena!" ucap lelaki itu penuh penekanan.

Magdalena yang belum pernah melihat Ronald bertingkah seperti ini tidak mampu berkutik, dia merasa ketakutan.

"Kau dengar ya! Jangan pernah berani-beraninya menyebut Allen dengan panggilan-panggilan murahanmu itu. Dia adalah sah anakku! Dia lahir dari wanita yang aku cintai dan secara sah aku nikahi! Hanya saja cara licikmu dengan mempengaruhi ayahku telah membuatnya menceraikanku dan pergi bersama putraku. Kau dengar ya Magdalena, aku hanya rujuk denganmu karena perintah ayahku. Aku sesungguhnya sudah sangat muak denganmu!" Ronald menumpahkan amarahnya.

"Kau mengemis kepada ayahku untuk membuatku rujuk denganmu! Padahal kita bercerai karena kaulah yang melakukan kesalahan! Berapa kali kau meniduri selingkuhan-selingkuhanmu di rumahku hah?!"

Ronald kembali meluapkan emosinya. Dia sudah tidak sanggup menahan diri lagi. Berpuluh-puluh tahun sudah dia diam dan mengalah, tapi kini dia tidak akan melakukannya lagi.

"Ron-Ronald ... apa yang kau bicarakan?" Magdalena terbata-bata menjawabnya. Kedua tangannya bergetar.

"Kau pikir aku tidak tahu ha? Itu adalah salah satu alasanku menceraikanmu. Tentu saja selain karena kau yang memang membuatku muak. Seharusnya aku tidak bercerai dengan Jane. Seharusnya aku tidak berpisah dengannya dan Allen." Ronald tergugu.

"Ron-Ronald ... Sayang, hentikanlah." Magdalena mengubah tak tik dan berusaha mengambil hati Ronald.

Dia menyentuh lembut lengan Ronald.

"Jangan berani menyentuhku, Magdalena!" Ronald mengibas kasar tangan Magdalena.

"Ron-Ronald."

"Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk menutup mulut hah? Ferdy, segera laksanakan tugas yang aku berikan. Dan kau Magdalena, jika kau berani campur tangan dan menggangguku maupun putraku, aku tidak akan tinggal diam. Camkan itu!"

Magdalena masih merasa asing dengan lelaki di hadapannya tersebut. Ronald yang selama ini ia kenal, selalu diam dan mengalah. Tidak pernah membentaknya, tidak pernah berkata kasar kepadanya meskipun wanita tersebut selalu bertingkah dan menyakiti Ronald. Baginya Ronald hanya lelaki kaya raya yang lemah dan bisa dia injak-injak semaunya.

Tapi lelaki di hadapannya ini berbeda. Lelaki di hadapannya ini memiliki aura yang sangat menakutkan. Nyalinya seketika menciut.

"Magdalena, pergi kau dari sini! Aku tidak ingin melihatmu."

Magdalena yang masih kebingungan membalikkan tubuhnya dan bersiap pergi. Mereka memang sudah sejak lama tinggal terpisah.

Dia melangkah dengan cepat menuju pintu keluar rumah tiga lantai tersebut. Dia masih cukup waras untuk tidak menentang Ronald yang terlihat seperti sedang kesetanan tersebut.

Oke aku akan mengalah untuk saat ini, tapi tunggu saja, aku tidak akan tinggal diam Ronald, batinnya.

***

Setelah kepergian Magdalena dan Ferdy, suasana rumah kembali sepi. Ronald memanggil salah satu asisten di rumahnya untuk membersihkan pecahan teko di hadapannya.

Dia melangkah masuk ke dalam kamarnya. Sebuah kamar utama bernuansa putih yang berada di lantai dua rumah tersebut. Dia membatalkan niat awalnya untuk tidur dan berjalan menuju ke balkon kamarnya. Dari situ dia bisa melihat keadaan di sekeliling rumahnya.

Pekarangan rumahnya yang luas.

Barisan mobil mewah miliknya yang berjejer dengan rapi.

Sebuah motor gede hitam yang menjadi kendaraan kesayangannya saat muda.

Beberapa pekerjanya yang terlihat lalu lalang.

Semua kemewahan ini adalah hal yang diimpikan banyak orang. Kemewahan yang menurut orang-orang akan mendatangkan kebahagiaan.

Tapi nyatanya hal itu tidak sepenuhnya benar. Meskipun memiliki segalanya itu, saat ini Ronald merasa hatinya kosong. Dia merasa hampa.

Ronald yang merasa sendu meninggalkan balkon dan segera duduk di salah satu sofa di kamarnya. Air matanya tiba-tiba bercucuran. Dia menangis tersedu. Dia merasakan penyesalan yang teramat dalam atas kebodohannya selama ini. Kebodohan karena melepaskan dua orang yang sangat dia cintai.

Dia tidak tahu apa yang selama ini telah menutup mata dan hatinya untuk merelakan Jane dan Allen pergi begitu saja. Bahkan dia tidak membantah saat ayahnya dan juga Magdalena melarangnya untuk mencari mereka. Bahkan yang membuatnya lebih menyesal adalah karena dia juga tidak memberi nafkah pada putranya tersebut. Berbanding terbalik dengan kehidupan yang dia berikan pada Jonathan, mendiang putranya. Jonathan hidup bergelimang harta. Memikirkan Jane yang hidup sebatang kara banting tulang menghidupi putranya membuat tangisnya semakin menjadi.

"Maafkan aku, Jane ... Allen ... sungguh maafkan aku. Ijinkan aku menebus segalanya."

***

Tiga hari sudah berlalu. Tiga hari sejak Ronald memberikan tugas kepada Ferdy. Tugas untuk mencari tahu tentang kecelakaan yang merenggut nyawa Jonathan, dan tugas untuk menemukan putranya yang telah dua puluh tahun terpisah darinya.

Ronald tahu betul kedua tugas itu tidak mudah. Dia tahu akan memakan waktu untuk berhasil melaksanakan keduanya. Tapi hatinya tidak memahami itu. Hatinya tidak bisa diajak berkompromi dan terus membuatnya gelisah. Terlebih kegelisahannya untuk menemukan Allen dan Jane.

Puluhan tahun perpisahan belum mampu mengikis semua rasa yang dia miliki untuk Jane. Jane adalah sosok yang hangat dan penuh kasih sayang. Jane mengingatkan Ronald pada mendiang ibunya yang meninggal saat dia masih sekolah dasar. Ayahnya yang keras dan otoriter bukanlah sosok yang bisa mengisi peran ibunya selama ini.

Suara ketukan di pintu kamar membuyarkan lamunannya.

"Siapa?"

"Ini saya Tuan, Ferdy."

"Masuk," titah Ronald pada Ferdy.

Lelaki itu memasuki kamarnya dan membungkuk di hadapannya.

"Ada apa?"

"Maaf, Tuan. Untuk tugas pertama yang Tuan berikan masih membutuhkan waktu untuk dapat saya selesaikan ... "

Ronald mendengus mendengar perkataan Ferdy. Ia mengalihkan pandangan ke arah televisi kamarnya yang sedang menampilkan acara berita siang. Ia merasa kecewa karena bukan itu yang saat ini ingin didengarnya.

Melihat reaksi Ronald, Ferdy menjadi sedikit gelagapan.

"Ta-tapi, Tuan, untuk tugas kedua sudah berhasil saya selesaikan. Orang-orang saya berhasil menemukannya, Tuan."

Apa yang dikatakan Ferdy membuat Ronald terkejut. Dia segera mematikan televisi dan fokus kepada lelaki yang telah puluhan tahun bekerja padanya tersebut.

"Mak-maksudmu?" Ronald bertanya dengan sedikit terbata. Jantungnya berdebar-debar. Matanya berbinar penuh dengan harapan.

"Kami sudah berhasil menemukan keberadaan Tuan Muda Allen."

Mendengar itu Ronald tidak mampu berkata-kata.

Sebutir air mata mengalir di pipi kanannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status