Seorang pria jatuh tersungkur di atas tanah.
"Dasar brengsek! Kau pikir kau siapa, hah? Berani-beraninya kau melaporkan aku ke atasan! Kau pikir kau siapa, hah!" ucap seorang lelaki yang sedang menendangi tubuh pria yang tersungkur itu. Wajah lelaki itu merah padam penuh kemarahan."Sekali lagi kau bertingkah akan kuhabisi kau! Ingat itu!" Lelaki itu kembali melayangkan beberapa tendangan sebelum akhirnya pergi bersama dua orang lainnya. Napasnya terlihat masih tersengal-sengal karena emosinya yang membara.Pria yang tersungkur tersebut terdiam cukup lama di posisinya. Terdapat bercak darah di beberapa bagian kemeja putih yang sedang dipakainya. Pria itu terbatuk-batuk beberapa kali lalu mengubah posisinya menjadi terlentang. Ia menatap langit malam yang gelap di hadapannya. Ia mengatur napasnya yang berat. Dadanya terasa sedikit sesak setelah benturan berkali-kali yang ia terima.Matanya yang berat hampir terpejam ketika suara sepatu heels terdengar dari kejauhan. Mendengar suara ketukan heels yang semakin mendekatinya, pria tersebut pun menoleh."Bangunlah. Kau terlihat seperti pecundang jika terus berbaring seperti itu." ucap seorang wanita yang kini sudah berdiri di hadapannya.Wanita itu mengenakan dress selutut berwarna hitam yang dipadukan dengan heels berwarna senada. Rambut hitam panjangnya melambai-lambai perlahan tertiup angin malam, menambah penampilannya menjadi semakin memesona.Pria itu memandang ke arah wanita tersebut. Wanita itu menyilangkan kedua tangannya di dadanya. Dia berdecak beberapa kali dengan tidak sabar."Cepatlah bangun! Sebentar lagi sepertinya akan hujan. Jalanan akan semakin macet." ucap wanita itu lalu mulai melangkah menjauhi pria tersebut. Setelah beberapa langkah dan pria itu belum juga beranjak, ia kembali menghentikan langkahnya."Apakah sesakit itu?" tanya wanita itu dengan lirih."Tidak. Aku hanya sedang melihat bintang-bintang." jawab pria itu sekenanya. Ia perlahan beranjak dari posisinya. Tidak bisa dipungkiri tubuhnya serasa remuk."Pukulan dan tendangan pria brengsek itu boleh juga." pria itu terkekeh.Wanita itu hanya menatapnya dalam dan segera melangkah menjauh lagi."Cepat atau aku akan meninggalkanmu.""Baiklah baiklah." Pria itu berjalan perlahan mengikutinya. Beberapa kali ia mengaduh kesakitan saat tubuhnya digerakkan."Aku yang menyetir saja." Pria itu hendak masuk ke bagian kemudi mobil sedan merah di hadapan keduanya.Wanita itu tidak menggubrisnya dan langsung ke bagian kemudi. Pria itu berdecak kesal dan segera masuk ke kursi penumpang di samping wanita itu."Pakai seat belt Allen. Hih udah berkali-kali dibilangin juga." ucap wanita itu dengan kesal. Ia lalu mendekat dan memasangkan seat belt ke tubuh pria bernama Allen tersebut. Allen terlihat beberapa kali meringis kesakitan.Setelah memasangkan seat belt mata wanita itu tertuju ke bercak darah yang ada di kemeja Allen. Ia langsung memalingkan wajahnya. Jari-jemari tangannya menggengam erat setir di hadapannya."Kamu tahu betul ini akan terjadi bukan?" wanita itu bertanya sambil menatap lurus ke depan. Sorot matanya terlihat penuh amarah."Tahu sih. Tapi enggak nyangka dia bakal ngamuk kayak gitu. Tadi sumpah dia kayak kesetanan banget.""Aku kan sudah bilang kamu ini jangan gegabah! Harus susun rencana dahulu. Kumpulkan bukti-dulu. Cari pihak yang bisa dipercaya dulu. Bukannya langsung ke ruang atasan menggebu-gebu bilang kalau Anggoro korup! Tanpa persiapan apapun pula! Dasar bodoh!""Ya aku tidak menyangka kalau ternyata atasan itu juga ada di lingkaran setan yang sama dengan dia. Anggoro sialan! Dia bahkan membanting handphone yang baru kubeli." Allen membolak balik gawai yang ada di tangannya. Terlihat layarnya yang sudah retak dari tengah ke ujung."Allen. Dia tidak mungkin melakukan hal seperti ini sendirian. Dia pasti melakukannya dengan orang lain. Makanya kamu jangan asal saja melakukan tanpa berpikir!""Tapi dia benar-benar membuatku muak Alessia!" Allen meninggikan suaranya. Ia tetap tidak mau kalah."Apa gara-gara aku?" Tanya Alessia setelah ia terdiam cukup lama.Allen menyadari betul jawaban atas pertanyaan Alessia adalah 'ya'. Ada faktor pendorong lain yang membuat Allen melakukan hal gegabah seperti ini. Anggoro tidak hanya korup, dia juga terkenal sebagai lelaki hidung belang sejati.Suatu hari saat mereka lembur di ruangan masing-masing Allen hendak menghampiri Alessia dan menawarinya makan malam. Tapi pemandangan di depannya sungguh membuatnya naik darah. Anggoro menghampiri Alessia di mejanya dan menggodanya. Ia mengucapkan kata-kata yang tidak pantas diucapkan oleh seorang atasan yang sudah beristri kepada bawahan yang terpaut usia dua puluh tahun di bawahnya. Ia bahkan beberapa kali berusaha menyentuh Alessia. Alessia hanya diam dan menghindarinya.Allen yang menyaksikannya saat itu langsung masuk dan menarik tangan Alessia. Dia menatap nyalang pada Anggoro dan mendorong tubuhnya. Anggoro yang tidak terima diperlakukan seperti itu nyaris melayangkan pukulannya pada Allen. Alessia segera menarik tangan Allen pergi.Semenjak itulah perang dingin antara Anggoro dan Allen dimulai. Tidak sekali dua kali Anggoro berusaha menjatuhkannya di kantor. Pekerjaannya dipersulit dan dia dikucilkan oleh rekan-rekannya."Bukan." Allen mengelak.Allen kini merasa bersalah sudah meninggikan suaranya pada Alessia. Ia tahu betul bahwa wanita di sampingnya itu peduli kepadanya.Keduanya kini hanya terdiam. Mobil mereka melaju dengan kencang hingga sampai di depan sebuah rumah berlantai dua."Turun." Alessia berkata pada Allen. Matanya menatap lurus ke depan. Ia masih merasa jengkel kepada Allen. Bagaimana pun dia merasa hal yang dilakukan Allen sangatlah bodoh dan ia jadi rugi sendiri. Dan ini bukanlah kali pertama ia melakukan hal-hal gegabah seperti ini.Allen hanya diam. Dia belum mau beranjak dari kursinya. Entah kenapa hatinya merasa sangat tidak nyaman ketika Alessia marah kepadanya."Kak, maaf. Jangan marah dong." Allen merajuk kepada wanita yang terpaut usia tiga tahun dengannya tersebut. Ia hanya memanggilnya kakak saat ia merajuk atau merasa bersalah kepadanya."Turun," jawab Alessia dingin."Kak udahan dong marahnya ... maafin aku ya.""Turun." Alessia tidak bergeming dengan rajukan Allen tersebut.Wah sepertinya Alessia beneran marah, batin Allen."Kak, Kakak Alessia." Allen tiba-tiba menggenggam tangan kiri Alessia. Ia masih berusaha untuk meluluhkan hati Alessia.Alessia menoleh kepadanya. Ia mengangkat sebelah alisnya kepada Allen."Apaan sih." Alessia memang berkata seperti itu, tapi nyatanya dia tidak menarik tangannya dari genggaman Allen."Makan dulu yuk. Aku masakin deh. Ya? Ya?" Allen mulai menggunakan jurus andalannya. Keahliannya memasak yang diturunkan dari mendiang mamanya hampir selalu bisa membantunya meluluhkan Alessia yang sedang marah.Melihat Alessia yang hanya bergeming akhirnya Allen turun dan segera membuka pintu di samping Alessia, Allen mematikan mobil dan menarik tubuh Alessia dengan lembut. Alessia hanya pasrah dan mengikuti tuntunan Allen.Alessia segera berjalan masuk ke rumah Allen. Allen segera menuju ke dapur sedangkan Alessia menuju ke ruang tengah hendak mengambil kotak PPPK yang disimpan di salah satu rak dekat TV. Alessia hafal betul dengan bagian-bagian di rumah yang hanya berjarak beberapa rumah dari tempat tinggalnya sendiri ini. Ia menghabiskan begitu banyak waktu di sini, bahkan jauh sebelum kepergian Jane, mama Allen beberapa waktu lalu. Alessia dan Allen sudah saling mengenal satu sama lain hampir seumur hidup mereka.Setelah menemukan obat yang ia butuhkan, ia segera menuju ke dapur mencari Allen. Ia membersihkan beberapa luka yang terdapat di wajah Allen, lalu ia mengoleskan obat."Ah pelan-pelan dong." Allen merintih kesakitan."Allen ini sudah ke sekian kali kamu mengusik Anggoro. Kemungkinan terburuk dia tidak akan merasa cukup dengan memukulimu saja." Alessia sejujurnya merasa gelisah Allen akan disakiti lebih jauh. Anggoro memiliki posisi yang cukup tinggi di kantornya dan dia juga punya dukungan dari pihak atas. Ditambah dengan karakternya yang terkenal emosional dan abusif membuat kekhawatirannya semakin bertambah.Alessia yang telah selesai mengobati Allen segera mengembalikan obat yang digunakan ke kotaknya. Ia kembali ke dapur namun hanya duduk di salah satu kursi meja makan. Urusan memasak ia serahkan seutuhnya kepada Allen."Nih," ucap Allen sembari menyodorkan secangkir teh chamomile untuk Alessia. Alessia tersenyum kecil saat melihat cangkir yang digunakan.'Alessia dan Allen Sahabat Selamanya' tertulis di bagian atas cangkir berwarna putih tersebut. Di bawahnya ada foto mereka berdua saat masih kecil. Di foto itu terlihat mereka bergandengan tangan dengan latar wahana di salah satu taman bermain. Mereka berdua tersenyum lebar di foto itu.Alay banget ya, Alessia terkekeh sendiri."Allen besok enggak usah cari perkara lagi ke Anggoro. Nanti aku pikirkan cara lain." Alessia kembali mengungkapkan kegelisahannya pada Allen."Hmmm.""Aku serius. Enggak usah aneh-aneh!" Alessia masih merasa khawatir."Alessia. Kamu mending jangan ikut-ikutan deh. Kamu itu pinter Ale. Kamu itu karyawan berprestasi di sana. Hasil kerja kamu diakui dan kamu akan segera dipromosikan jadi manajer. Kamu ... akan mengorbankan terlalu banyak hal. Beda sama aku."Alessia terdiam mendengarnya. Di satu sisi dia merasa apa yang dikatakan Allen benar. Tetapi dia juga terlanjur merasa marah dengan apa yang dilakukan Anggoro kepadanya. Saat ia melihat Allen yang babak belur dihajar Anggoro dan kroco-kroconya darah Alessia benar-benar mendidih. Dia bersusah payah mengontrol emosinya di hadapan Allen. Tetapi di dalam hatinya Alessia bersumpah akan membuat Anggoro membayar perbuatannya pada Allen.Alessia termenung dengan pikirannya sendiri sampai tidak menyadari bahwa Allen sudah selesai memasak entah apa."Udah jadi. Ambil piring gih." titah Allen pada Alessia. Alessia segera beranjak dan mempersiapkan alat makan mereka.Allen menghampirinya dengan membawa lasagna buatannya. Wanginya menyeruak ke seluruh penjuru ruangan."Udah enggak usah mikir macem-macem. Makan aja." Allen menenangkannya."Hmmm."***"Sial. Sial. Sial. Pakai acara kesiangan lagi." Allen terus memaki kesal.Semalam setelah Alessia pulang, tubuhnya mulai terasa kesakitan dan ia sulit untuk tidur. Tubuhnya terus bergerak kesana kemari untuk mencari posisi yang nyaman. Dia baru bisa memejamkan mata setelah lewat pukul 02.00.Akhirnya ia pun kesiangan. Dia baru terbangun setelah Alessia memborbardir teleponnya."Iya, ini aku sebentar lagi berangkat.""Naik taksi aja. Motormu kan masih di bengkel.""Iya iya. Nanti cari taksi depan." jawab Allen di sela - sela ia memakai sepatunya. Tubuhnya yang masih pegal-pegal tidak dihiraukannya.Dia pun langsung bergegas menuju kantornya. Dia berniat mencari taksi yang biasanya mangkal di pinggir jalan raya dekat gang rumahnya. Dia berlari secepat yang ia bisa tanpa menyadari ada sebuah mobil minibus hitam yang mengikuti dari belakang. Di saat ia berada di sebuah belokan yang sepi, mobil yang awalnya berjalan pelan itu tiba-tiba melaju dengan kencang dan menabrak tubuh Allen dari belakang.Seketika tubuh Allen terlempar beberapa meter. Earbuds yang sedang ia pakai untuk telepon dengan Alessia ikut terlepas.Alessia yang mendengar suara benturan dari Allen segera bertanya kepadanya."Allen, itu suara apa deh?" tanya Alessia penasaran.Hening."Heh, itu suara apa?"Masih hening."Allen?? Jawab dong!" Alessia yang tidak mendapat respon dari Allen kembali bertanya padanya. Masih belum ada respon.Alessia yang hendak mengulang pertanyaannya lagi tiba-tiba mendengar suara. Suara samar yang sepertinya berasal dari seseorang yang membuka mobil lalu menutupnya dengan kasar."Gimana, mati nggak?" ucap suara berat yang terdengar cukup jelas di telinga Alessia."Belum sih. Tapi kalau dibiarin aja nanti juga lama-lama mati. Itu darahnya udah kemana-mana," sahut suara lainnya."Yaudah. Tinggal kabarin si bos aja. Yuk cabut."Alessia terkesiap mendengar percakapan singkat tersebut. Di otaknya sudah tergambar berbagai skenario kemungkinan yang sedang terjadi, hingga skenario terburuk. Alessia segera mengambil tasnya dan berlari dari meja kantornya. Atasannya yang memanggil-manggil tidak digubrisnya. Pikirannya hanya terfokus pada satu hal.Allen."Tolong lindungi Allen ... tolong lindungi Allen." Alessia merapalkan doa itu tiada henti di dalam hatinya."Aku tidak akan bercerai. Titik.""Kita lihat saja nanti." jawab Ronald dengan ekspresi menantang.Ronald bergegas meninggalkan Magdalena yang masih berdiri mematung. Ia melambaikan tangan ke arah Ferdy yang berdiri tidak jauh darinya."Ada apa, Tuan?" tanya Ferdy yang kini telah berada di hadapan Ronald."Aku tidak jadi pergi. Tiba-tiba tubuhku terasa lelah.""Baik, Tuan.""Pastikan Magdalena segera pergi dari sini. Setelah itu kau temui aku di ruang kerja.""Saya mengerti, Tuan."Ronald melangkah dengan sedikit gontai menuju ke lantai dua rumahnya. Ia menuju ke ruang kerja pribadinya yang terletak persis di samping kamar utama.Ia lalu terduduk dengan lemas di kursi andalannya. Perasaannya campur aduk atas apa yang baru saja ia ucapkan pada Magdalena.Mereka akhirnya akan bercerai. Lagi.Ini bukanlah hal baru bagi Ronald, toh sebelumnya ia sudah pernah menceraikan Magdalena. Hanya saja kini sudah tidak ada lagi Jane di dunia ini. Tidak ada lagi harapan baginya untuk bisa meyanding
"Silakan Tuan, ini coklat hangatnya." ucap Dian sembari meletakkan secangkir coklat hangat di hadapan Ronald."Terima kasih, ya!" jawab Ronald dengan senyum simpul. Ia mengambil cangkir hitam tersebut dan mulai menyesap minumannya.Dian tersenyum sembari memperhatikan Ronald. Setelah kepulangan Ronald, Dian bisa merasakan perubahan yang sangat kentara pada Ronald. Sebelumnya, Ronald yang sangat terpukul atas kecelakaan yang merenggut nyawa putranya, Jonathan, menghabiskan banyak waktunya dengan berdiam diri dan termenung.Terlebih semenjak Ronald bertengkar hebat dengan Magdalena, Ronald menjadi semakin murung dan menghabiskan waktunya dengan mengurung diri di kamar. Ia bahkan sering melewatkan jam makannya dan nyaris tidak keluar kamar sama sekali.Tetapi setelah kepergian Ronald selama sepekan, Ronald terlihat jauh lebih baik dan mudah tersenyum. Bahkan Dian beberapa kali mendengar Ronald bersenandung menyanyikan lagu-lagu lawas kesukaannya."Sama-sama, Tuan. Apakah tidak terlalu ma
"Mainan baru, Tan?" tanya Fabio cengengesan."Gitu deh. Kalian ada apa nih ke sini tanpa kabar-kabar dulu? Tumben." tanya Magdalena sembari melakukan peregangan. Beberapa bagian tubuhnya terasa pegal.Melissa menatap datar ke sekeliling Magdalena kemudian berucap, "Kita ngobrol di luar saja."Melissa segera melangkah ke luar kamar dan menuju ke sofa yang tersedia di balkon lantai dua. Fabio mengekorinya dan berdiri di sisi balkon. Dari sana ia memperhatikan sekeliling rumah Magdalena yang terlihat asri dan terawat. Tentu saja para karyawannya yang merawat, bukan Magdalena.Fabio dan Melissa menoleh saat terdengar suara langkah kaki mendekat. Ternyata Sania yang datang dengan membawakan minuman yang mereka minta. Sania meletakkan dengan hati-hati dua cangkir teh hangat dan kopi hitam di atas meja."Ada hal lain yang bisa saya bantu?" tanya Sania dengan sopan."Rapikan kamarku dong, Sania!" perintah Magdalena yang baru saja keluar dari kamar. Ia berjalan menuju ke arah balkon. Ia kini s
Sebuah mobil hitam melaju cepat di jalanan sebuah perumahan. Dilihat dari jejeran rumah di sebelah kiri dan kanannya, bisa jelas diketahui bahwa itu adalah sebuah perumahan kelas atas. Tidak lama kemudian, mobil itu menepi di depan sebuah rumah dengan pagar tinggi berwarna coklat. Petugas keamanan yang berjaga di sisi pagar menelisik sejenak siapa yang datang, sebelum akhirnya mempersilakan mobil itu masuk.Petugas keamanan segera menghampiri mobil yang kini telah berhenti di pekarangan rumah yang luas. Ia bergegas membukakan pintu penumpang dan menunduk dengan hormat."Selamat pagi, Nyonya Melissa. Silakan masuk," ucap petugas keamanan tersebut dengan sopan. Wanita tersebut hanya mengangguk singkat tanpa berbicara.Tidak lama kemudian pintu bagian pengemudi terbuka. Seorang pemuda melangkahkan kakinya keluar dari mobil. Ia mengenakan celana jeans dan kemeja hitam yang membalut sempurna tubuh atletisnya. Menilik kemiripan wajah keduanya, tidak salah lagi bahwa keduanya adalah ibu dan
"Papa, itu punya siapaa?!""Hehehe" Ronald hanya terkekeh dan tidak menjawab."Papa," Allen kembali memanggil Ronald."Selamat sore." ucap seorang pria yang berjalan menghampiri mereka."Yang hitam punya yang ini, yang merah punya yang ini!" sahut Ronald kepada pria tersebut. Ia menunjuk ke arah Allen lalu berganti ke arah Alessia. Mendengar penuturan Ronald, pria tersebut lalu tersenyum sopan dan menyapa keduanya. Dari seragam yang dikenakannya, bisa diketahui bahwa ia adalah seorang pegawai sebuah dealer mobil terkemuka."Dokumen sudah selesai diurus, tetapi kami masih membutuhkan tanda tangan Bapak Allen dan Ibu Alessia. Mohon kesediaannya," ucapnya sembari menyerahkan lembaran dokumen pembelian mobil beserta kelengkapan lainnya.Allen dan Alessia saling bertukar pandang."Maaf, Om. Saya tidak bisa menerimanya," ucap Alessia yang bergegas menghampiri Ronald."Om tidak menerima penolakan, Alessia. Lagi pula sudah terlanjur dibeli. Sekarang kalian tanda tangan saja, kasihan mereka ya
Mobil yang dikendarai oleh Allen dan Alessia perlahan memasuki sebuah perumahan yang tampak masih baru. Beberapa unit yang mereka lewati terlihat masih kosong dan belum berpenghuni. Tidak lama kemudian mereka berhenti di depan sebuah rumah dua lantai dengan nuansa warna putih."Ini kita di mana, Pa?" tanya Allen memperhatikan sekelilingnya."Yang ini rumah Allen, yang ini rumah Alessia." sahut Ronald sembari menunjuk dua rumah di hadapan mereka yang letaknya persis bersebelahan."Ha?" tanya Allen kebingungan."Sudah ayo masuk dulu. Papa sudah suruh orang untuk mempersiapkan semuanya sebelum kedatangan kalian. Ayo, kita lihat dulu!" ujar Ronald. Ia melangkah masuk ke rumah yang tadi ia sebut sebagai rumah Allen.Begitu di dalam, Allen tahu bahwa rumah ini memang sudah siap untuk ditempati. Segala perabotan, peralatan dapur dan berbagai peralatan penunjang keseharian sudah tersedia dengan lengkap. Allen iseng membuka kulkas dan benar saja, di dalamnya sudah terdapat berbagai bahan yang