"Kamu adalah pewaris tunggal perusahaan Papa!" Satu kalimat tersebut berhasil mengubah 180° kehidupan Allen Adiguna dari seorang karyawan muda biasa menjadi calon pewaris perusahaan milik ayah kandungnya, Ronald Adiguna yang ternyata seorang konglomerat. Terdengar menakjubkan bukan? Tapi kenyataan tidaklah semanis itu. Perjalanan Allen untuk mendapatkan apa yang sudah seharusnya menjadi miliknya nyatanya penuh dengan berbagai gejolak dan rintangan. Semua orang di sekelilingnya turut merasa 'memiliki' dengan kekayaan yang tidak akan habis tujuh turunan yang diwariskan kepadanya. Mampukah Allen melalui itu semua? Lalu bagaimanakah dengan kisah cintanya? Apakah akhirnya ia akan berlabuh pada Alessia, sahabat yang sudah ia cintai selama hampir separuh hidupnya? Ataukah takdir akan memilihkan sosok lain untuknya?
Lihat lebih banyakSeorang lelaki berusia lanjut duduk termangu di dekat kolam renang indoor yang ada di rumah mewahnya.
Tatapannya kosong.Pikirannya entah kemana.Lelaki itu sedang berduka. Putra pertamanya baru beberapa hari ini meninggal dunia.Suara langkah mendekat membuyarkan lamunannya. Seorang pria yang mengenakan jas hitam berjalan mendekat ke arahnya. Dia adalah Ferdy, orang kepercayaan lelaki itu.Ferdy kemudian membungkuk di hadapannya."Selamat pagi, Tuan." ucap lelaki itu dengan hormat."Ferdy, saya ada tugas penting untukmu." jawab lelaki itu tanpa berbasa basi."Baik, Tuan.""Dua tugas yang harus kamu lakukan. Pertama, selidiki kecelakaan Jonathan. Temukan apa ini murni kecelakaan atau ada campur tangan seseorang," lelaki itu berhenti sejenak, ia beberapa kali terbatuk. Kesehatannya sudah menurun, kondisinya sudah tidak lagi prima."Dan yang kedua. Segera temukan Allen. Bawa dia ke sini. Kembalikan dia ke tempat yang seharusnya.""Temukan siapa katamu?" teriak seorang wanita yang menyela pembicaraan mereka."Dasar brengsek! Anakku baru saja mati dan kau sudah mau menggantikannya dengan anak sialanmu itu?" ucap wanita itu lagi.Tanpa melihat sosoknya pun lelaki itu sudah tahu suara siapa yang melengking-lengking itu.Magdalena. Istri pertamanya yang juga merupakan ibu kandung Jonathan, putranya.Benar saja, seorang wanita dengan penampilan yang terkesan berlebihan berjalan ke arahnya. Penampilan yang sesungguhnya tidak sesuai dengan usianya yang sudah tidak muda lagi itu. Tidak luput berbagai perhiasan mahal menghiasi tubuhnya."Kau memang brengsek, Ronald! Bahkan tanah di makam Jonathan masih basah!" ucap wanita itu di hadapan Ronald Adiguna, suaminya.Ronald hanya mendesah, dia mengalihkan pandangan ke taman yang berada di sisi kolam renang."Cukup Magdalena. Aku sangat lelah mendengarmu selalu berteriak." jawab lelaki itu dengan suara lirih."Kau pikir hanya kau yang lelah ha? Aku juga lelah denganmu!" Magdalena merasa di atas angin. Ronald selama ini selalu mengalah kepadanya dan Jonathan, mendiang putranya.Alasan Ronald sebenarnya karena ia tidak ingin ribut. Itu saja. Tapi hal tersebut nyatanya membuat Magdalena dan Jonathan semasa hidupnya menjadi bersikap seenaknya. Ronald telah gagal mendidik anak istrinya.Magdalena yang melihat Ronald hanya terdiam terus melanjutkan makiannya. Dia yakin Ronald kali ini pun hanya akan mengalah kepadanya. Toh dia sedang berduka karena kepergian Jonathan."Awas saja kau ya! Awas saja kalau kau berani membawa anak sialanmu itu kemari! Aku akan ...."Suara sebuah teko yang dibanting menghentikan kata-kata wanita tersebut. Teko itu telah terpecah menjadi banyak bagian di atas lantai marmer di hadapannya. Mata Magdalena membulat terkejut saat mendapati Ronald sudah berdiri dan sedang menatapnya dengan nyalang."Satu patah kata lagi dan aku akan merobek mulutmu, Magdalena!" ucap lelaki itu penuh penekanan.Magdalena yang belum pernah melihat Ronald bertingkah seperti ini tidak mampu berkutik, dia merasa ketakutan."Kau dengar ya! Jangan pernah berani-beraninya menyebut Allen dengan panggilan-panggilan murahanmu itu. Dia adalah sah anakku! Dia lahir dari wanita yang aku cintai dan secara sah aku nikahi! Hanya saja cara licikmu dengan mempengaruhi ayahku telah membuatnya menceraikanku dan pergi bersama putraku. Kau dengar ya Magdalena, aku hanya rujuk denganmu karena perintah ayahku. Aku sesungguhnya sudah sangat muak denganmu!" Ronald menumpahkan amarahnya."Kau mengemis kepada ayahku untuk membuatku rujuk denganmu! Padahal kita bercerai karena kaulah yang melakukan kesalahan! Berapa kali kau meniduri selingkuhan-selingkuhanmu di rumahku hah?!"Ronald kembali meluapkan emosinya. Dia sudah tidak sanggup menahan diri lagi. Berpuluh-puluh tahun sudah dia diam dan mengalah, tapi kini dia tidak akan melakukannya lagi."Ron-Ronald ... apa yang kau bicarakan?" Magdalena terbata-bata menjawabnya. Kedua tangannya bergetar."Kau pikir aku tidak tahu ha? Itu adalah salah satu alasanku menceraikanmu. Tentu saja selain karena kau yang memang membuatku muak. Seharusnya aku tidak bercerai dengan Jane. Seharusnya aku tidak berpisah dengannya dan Allen." Ronald tergugu."Ron-Ronald ... Sayang, hentikanlah." Magdalena mengubah tak tik dan berusaha mengambil hati Ronald.Dia menyentuh lembut lengan Ronald."Jangan berani menyentuhku, Magdalena!" Ronald mengibas kasar tangan Magdalena."Ron-Ronald.""Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk menutup mulut hah? Ferdy, segera laksanakan tugas yang aku berikan. Dan kau Magdalena, jika kau berani campur tangan dan menggangguku maupun putraku, aku tidak akan tinggal diam. Camkan itu!"Magdalena masih merasa asing dengan lelaki di hadapannya tersebut. Ronald yang selama ini ia kenal, selalu diam dan mengalah. Tidak pernah membentaknya, tidak pernah berkata kasar kepadanya meskipun wanita tersebut selalu bertingkah dan menyakiti Ronald. Baginya Ronald hanya lelaki kaya raya yang lemah dan bisa dia injak-injak semaunya.Tapi lelaki di hadapannya ini berbeda. Lelaki di hadapannya ini memiliki aura yang sangat menakutkan. Nyalinya seketika menciut."Magdalena, pergi kau dari sini! Aku tidak ingin melihatmu."Magdalena yang masih kebingungan membalikkan tubuhnya dan bersiap pergi. Mereka memang sudah sejak lama tinggal terpisah.Dia melangkah dengan cepat menuju pintu keluar rumah tiga lantai tersebut. Dia masih cukup waras untuk tidak menentang Ronald yang terlihat seperti sedang kesetanan tersebut.Oke aku akan mengalah untuk saat ini, tapi tunggu saja, aku tidak akan tinggal diam Ronald, batinnya.***Setelah kepergian Magdalena dan Ferdy, suasana rumah kembali sepi. Ronald memanggil salah satu asisten di rumahnya untuk membersihkan pecahan teko di hadapannya.Dia melangkah masuk ke dalam kamarnya. Sebuah kamar utama bernuansa putih yang berada di lantai dua rumah tersebut. Dia membatalkan niat awalnya untuk tidur dan berjalan menuju ke balkon kamarnya. Dari situ dia bisa melihat keadaan di sekeliling rumahnya.Pekarangan rumahnya yang luas.Barisan mobil mewah miliknya yang berjejer dengan rapi.Sebuah motor gede hitam yang menjadi kendaraan kesayangannya saat muda.Beberapa pekerjanya yang terlihat lalu lalang.Semua kemewahan ini adalah hal yang diimpikan banyak orang. Kemewahan yang menurut orang-orang akan mendatangkan kebahagiaan.Tapi nyatanya hal itu tidak sepenuhnya benar. Meskipun memiliki segalanya itu, saat ini Ronald merasa hatinya kosong. Dia merasa hampa.Ronald yang merasa sendu meninggalkan balkon dan segera duduk di salah satu sofa di kamarnya. Air matanya tiba-tiba bercucuran. Dia menangis tersedu. Dia merasakan penyesalan yang teramat dalam atas kebodohannya selama ini. Kebodohan karena melepaskan dua orang yang sangat dia cintai.Dia tidak tahu apa yang selama ini telah menutup mata dan hatinya untuk merelakan Jane dan Allen pergi begitu saja. Bahkan dia tidak membantah saat ayahnya dan juga Magdalena melarangnya untuk mencari mereka. Bahkan yang membuatnya lebih menyesal adalah karena dia juga tidak memberi nafkah pada putranya tersebut. Berbanding terbalik dengan kehidupan yang dia berikan pada Jonathan, mendiang putranya. Jonathan hidup bergelimang harta. Memikirkan Jane yang hidup sebatang kara banting tulang menghidupi putranya membuat tangisnya semakin menjadi."Maafkan aku, Jane ... Allen ... sungguh maafkan aku. Ijinkan aku menebus segalanya."***Tiga hari sudah berlalu. Tiga hari sejak Ronald memberikan tugas kepada Ferdy. Tugas untuk mencari tahu tentang kecelakaan yang merenggut nyawa Jonathan, dan tugas untuk menemukan putranya yang telah dua puluh tahun terpisah darinya.Ronald tahu betul kedua tugas itu tidak mudah. Dia tahu akan memakan waktu untuk berhasil melaksanakan keduanya. Tapi hatinya tidak memahami itu. Hatinya tidak bisa diajak berkompromi dan terus membuatnya gelisah. Terlebih kegelisahannya untuk menemukan Allen dan Jane.Puluhan tahun perpisahan belum mampu mengikis semua rasa yang dia miliki untuk Jane. Jane adalah sosok yang hangat dan penuh kasih sayang. Jane mengingatkan Ronald pada mendiang ibunya yang meninggal saat dia masih sekolah dasar. Ayahnya yang keras dan otoriter bukanlah sosok yang bisa mengisi peran ibunya selama ini.Suara ketukan di pintu kamar membuyarkan lamunannya."Siapa?""Ini saya Tuan, Ferdy.""Masuk," titah Ronald pada Ferdy.Lelaki itu memasuki kamarnya dan membungkuk di hadapannya."Ada apa?""Maaf, Tuan. Untuk tugas pertama yang Tuan berikan masih membutuhkan waktu untuk dapat saya selesaikan ... "Ronald mendengus mendengar perkataan Ferdy. Ia mengalihkan pandangan ke arah televisi kamarnya yang sedang menampilkan acara berita siang. Ia merasa kecewa karena bukan itu yang saat ini ingin didengarnya.Melihat reaksi Ronald, Ferdy menjadi sedikit gelagapan."Ta-tapi, Tuan, untuk tugas kedua sudah berhasil saya selesaikan. Orang-orang saya berhasil menemukannya, Tuan."Apa yang dikatakan Ferdy membuat Ronald terkejut. Dia segera mematikan televisi dan fokus kepada lelaki yang telah puluhan tahun bekerja padanya tersebut."Mak-maksudmu?" Ronald bertanya dengan sedikit terbata. Jantungnya berdebar-debar. Matanya berbinar penuh dengan harapan."Kami sudah berhasil menemukan keberadaan Tuan Muda Allen."Mendengar itu Ronald tidak mampu berkata-kata.Sebutir air mata mengalir di pipi kanannya."Aku tidak akan bercerai. Titik.""Kita lihat saja nanti." jawab Ronald dengan ekspresi menantang.Ronald bergegas meninggalkan Magdalena yang masih berdiri mematung. Ia melambaikan tangan ke arah Ferdy yang berdiri tidak jauh darinya."Ada apa, Tuan?" tanya Ferdy yang kini telah berada di hadapan Ronald."Aku tidak jadi pergi. Tiba-tiba tubuhku terasa lelah.""Baik, Tuan.""Pastikan Magdalena segera pergi dari sini. Setelah itu kau temui aku di ruang kerja.""Saya mengerti, Tuan."Ronald melangkah dengan sedikit gontai menuju ke lantai dua rumahnya. Ia menuju ke ruang kerja pribadinya yang terletak persis di samping kamar utama.Ia lalu terduduk dengan lemas di kursi andalannya. Perasaannya campur aduk atas apa yang baru saja ia ucapkan pada Magdalena.Mereka akhirnya akan bercerai. Lagi.Ini bukanlah hal baru bagi Ronald, toh sebelumnya ia sudah pernah menceraikan Magdalena. Hanya saja kini sudah tidak ada lagi Jane di dunia ini. Tidak ada lagi harapan baginya untuk bisa meyanding
"Silakan Tuan, ini coklat hangatnya." ucap Dian sembari meletakkan secangkir coklat hangat di hadapan Ronald."Terima kasih, ya!" jawab Ronald dengan senyum simpul. Ia mengambil cangkir hitam tersebut dan mulai menyesap minumannya.Dian tersenyum sembari memperhatikan Ronald. Setelah kepulangan Ronald, Dian bisa merasakan perubahan yang sangat kentara pada Ronald. Sebelumnya, Ronald yang sangat terpukul atas kecelakaan yang merenggut nyawa putranya, Jonathan, menghabiskan banyak waktunya dengan berdiam diri dan termenung.Terlebih semenjak Ronald bertengkar hebat dengan Magdalena, Ronald menjadi semakin murung dan menghabiskan waktunya dengan mengurung diri di kamar. Ia bahkan sering melewatkan jam makannya dan nyaris tidak keluar kamar sama sekali.Tetapi setelah kepergian Ronald selama sepekan, Ronald terlihat jauh lebih baik dan mudah tersenyum. Bahkan Dian beberapa kali mendengar Ronald bersenandung menyanyikan lagu-lagu lawas kesukaannya."Sama-sama, Tuan. Apakah tidak terlalu ma
"Mainan baru, Tan?" tanya Fabio cengengesan."Gitu deh. Kalian ada apa nih ke sini tanpa kabar-kabar dulu? Tumben." tanya Magdalena sembari melakukan peregangan. Beberapa bagian tubuhnya terasa pegal.Melissa menatap datar ke sekeliling Magdalena kemudian berucap, "Kita ngobrol di luar saja."Melissa segera melangkah ke luar kamar dan menuju ke sofa yang tersedia di balkon lantai dua. Fabio mengekorinya dan berdiri di sisi balkon. Dari sana ia memperhatikan sekeliling rumah Magdalena yang terlihat asri dan terawat. Tentu saja para karyawannya yang merawat, bukan Magdalena.Fabio dan Melissa menoleh saat terdengar suara langkah kaki mendekat. Ternyata Sania yang datang dengan membawakan minuman yang mereka minta. Sania meletakkan dengan hati-hati dua cangkir teh hangat dan kopi hitam di atas meja."Ada hal lain yang bisa saya bantu?" tanya Sania dengan sopan."Rapikan kamarku dong, Sania!" perintah Magdalena yang baru saja keluar dari kamar. Ia berjalan menuju ke arah balkon. Ia kini s
Sebuah mobil hitam melaju cepat di jalanan sebuah perumahan. Dilihat dari jejeran rumah di sebelah kiri dan kanannya, bisa jelas diketahui bahwa itu adalah sebuah perumahan kelas atas. Tidak lama kemudian, mobil itu menepi di depan sebuah rumah dengan pagar tinggi berwarna coklat. Petugas keamanan yang berjaga di sisi pagar menelisik sejenak siapa yang datang, sebelum akhirnya mempersilakan mobil itu masuk.Petugas keamanan segera menghampiri mobil yang kini telah berhenti di pekarangan rumah yang luas. Ia bergegas membukakan pintu penumpang dan menunduk dengan hormat."Selamat pagi, Nyonya Melissa. Silakan masuk," ucap petugas keamanan tersebut dengan sopan. Wanita tersebut hanya mengangguk singkat tanpa berbicara.Tidak lama kemudian pintu bagian pengemudi terbuka. Seorang pemuda melangkahkan kakinya keluar dari mobil. Ia mengenakan celana jeans dan kemeja hitam yang membalut sempurna tubuh atletisnya. Menilik kemiripan wajah keduanya, tidak salah lagi bahwa keduanya adalah ibu dan
"Papa, itu punya siapaa?!""Hehehe" Ronald hanya terkekeh dan tidak menjawab."Papa," Allen kembali memanggil Ronald."Selamat sore." ucap seorang pria yang berjalan menghampiri mereka."Yang hitam punya yang ini, yang merah punya yang ini!" sahut Ronald kepada pria tersebut. Ia menunjuk ke arah Allen lalu berganti ke arah Alessia. Mendengar penuturan Ronald, pria tersebut lalu tersenyum sopan dan menyapa keduanya. Dari seragam yang dikenakannya, bisa diketahui bahwa ia adalah seorang pegawai sebuah dealer mobil terkemuka."Dokumen sudah selesai diurus, tetapi kami masih membutuhkan tanda tangan Bapak Allen dan Ibu Alessia. Mohon kesediaannya," ucapnya sembari menyerahkan lembaran dokumen pembelian mobil beserta kelengkapan lainnya.Allen dan Alessia saling bertukar pandang."Maaf, Om. Saya tidak bisa menerimanya," ucap Alessia yang bergegas menghampiri Ronald."Om tidak menerima penolakan, Alessia. Lagi pula sudah terlanjur dibeli. Sekarang kalian tanda tangan saja, kasihan mereka ya
Mobil yang dikendarai oleh Allen dan Alessia perlahan memasuki sebuah perumahan yang tampak masih baru. Beberapa unit yang mereka lewati terlihat masih kosong dan belum berpenghuni. Tidak lama kemudian mereka berhenti di depan sebuah rumah dua lantai dengan nuansa warna putih."Ini kita di mana, Pa?" tanya Allen memperhatikan sekelilingnya."Yang ini rumah Allen, yang ini rumah Alessia." sahut Ronald sembari menunjuk dua rumah di hadapan mereka yang letaknya persis bersebelahan."Ha?" tanya Allen kebingungan."Sudah ayo masuk dulu. Papa sudah suruh orang untuk mempersiapkan semuanya sebelum kedatangan kalian. Ayo, kita lihat dulu!" ujar Ronald. Ia melangkah masuk ke rumah yang tadi ia sebut sebagai rumah Allen.Begitu di dalam, Allen tahu bahwa rumah ini memang sudah siap untuk ditempati. Segala perabotan, peralatan dapur dan berbagai peralatan penunjang keseharian sudah tersedia dengan lengkap. Allen iseng membuka kulkas dan benar saja, di dalamnya sudah terdapat berbagai bahan yang
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen