"Aku harus apa, jika Dea menginginkan ayahnya." Ressa berujar setelah mereka cukup lama saling diam dengan pikiran masing-masing.
Tian hanya bisa membisu, dia bahkan tidak tahu tindakan apa yang akan dipilihnya nanti jika itu terjadi."Jika kamu pikir aku tidak cemburu dengan Aru, kamu salah. Aku bahkan tahu kamu sangat mencintai Aru waktu itu. Mungkin cintamu untuknya itu melebihi cintamu padaku. Lepaskan aku jika nanti kamu sulit untuk memilih." Ressa tersenyum menepuk pipi Tian di tengah serpihan hatinya yang berantakan."Beri aku waktu memikirkan semuanya Sa, agar apa yang aku putuskan terbaik untuk kita semua. Aku akan bicara dengan Aru dan meminta maaf padanya karena sudah menelantarkan anakku." Tian memeluk Ressa dari belakang, membenamkan wajah di ceruk leher sang istri.Dia sangat takut kehilangan Ressa dan calon anaknya. Tapi jika memaksa mereka bertahan di sisinya itu juga menyakitkan untuk Ressa. Apakah ia harus melepaskan. Sesuatu yang di genggam sangat erat bisa jadi remuk dalam genggaman itu."Apapun keputusanmu aku dukung, Tian. Walau aku harus mengalah demi kakakku itu." Ressa membawa tangannya mengelus lembut kepala sang suami.Tian memejamkan mata, menghela napas panjang. "Tapi aku gak bisa kehilangan kamu, Ressa. Bisakah kamu berjanji untuk tidak meninggalkan aku, apapun yang terjadi nanti. Jangan bunuh hatiku lagi, Sa.""Tian, ada hal di dunia ini yang bisa kita miliki dan tidak. Semua sudah dituliskan, jika kamu ditakdirkan hanya sebentar untukku, kita tidak bisa berbuat apa-apa.""Sudah, jangan lanjutkan, Sayang. Aku ingin menghabiskan hari ini bersamamu. Tidak membahas apapun lagi selain tentang kita."Ressa menangguk menyetujui ide Tian. Dia tidak tahu apakah esok hari masih bisa memeluk suaminya ini.Sepanjang hari sepasang pengantin baru itu tidak beranjak dari kamar. Mereka menghabiskan waktu untuk bercanda dan tertawa bersama, tanpa memikirkan hal yang membuat kebersamaan mereka terganggu."Aku mau kita honeymoon sebelum bertemu Aru." Pinta Tian sebelum mereka memutuskan untuk tidur."Kamu atur aja, aku ngikut." Ujar Ressa menurut sambil memejamkan mata.Setelah memastikan istrinya tertidur, Tian bangun. Ia meminta Denis mengirimkan alamat tempat tinggal Aruna. Sebelum ia dan Ressa bertemu Aruna, dia ingin lebih dulu bicara pada perempuan itu.Ressa membuka mata, mendengar suara mobil Tian keluar dari garasi rumah. Bagaimana ia bisa tetap mempercayai suaminya itu. Sedang ia tidak tahu kemana Tian setiap malam pergi, benarkah ke apartemen.Perempuan itu tersenyum miris mengelus perutnya yang mengandung janin berumur lima minggu. "Aku tidak akan menahanmu, Tian. Jika hadirnya aku menjadi penghalang kebebasanmu, maka aku yang akan mengalah membesarkan anak kita sendirian."Notifikasi pesan mengalihkan perhatian Ressa. Ia membuka pesan yang dikirimkan Aruna. Terlihat foto Tian sedang memeluk Deandra.[Akhirnya Dea bertemu ayahnya.] Tertulis dipesan itu."Andai kamu izin pergi menemui Aru dan Dea aku pasti mengizinkan, Tian." Ressa memutuskan untuk tidur, hatinya lelah memikirkan Tian yang tidak bisa ditebak jalan pikirannya.***[Ayah Dea sekarang sudah berbeda, dia lebih dewasa. Sepertinya akan mudah untuk jatuh cinta padanya.]Ressa menatap Tian yang masih tertidur setelah membaca pesan dari Aruna yang belum dilihatnya tadi malam. Dia tidak tahu jam berapa Tian pulang. Pikirannya mendadak buntu, tidak tahu harus bersikap bagaimana sekarang. Selain ada keponakannya yang butuh ayah, anaknya juga membutuhkan sosok seorang ayah."Morning, Honey. Kenapa menatapku seperti itu." Tian tersenyum mengecup pipi kiri Ressa, perempuan itu memberikan ponselnya pada sang suami. Dia ingin semuanya terang, lebih cepat semuanya beres, lebih baik."Kita gak usah honeymoon dulu, Tian. Selesaikan apa yang ada diantara kalian. Aku akan terima apapun yang kamu putuskan nanti." Ressa meninggalkan kamar, dia menuju pekarangan belakang menghirup udara segar di sana. Otaknya sedang butuh pencerahan, sekarang benar-benar tidak bisa berpikir lagi. Aruna, Dea, Tian, semuanya berputar-putar di kepala.Tian terdiam setelah membaca isi pesan yang Ressa tunjukkan. Hatinya sekarang bimbang, setelah bertemu Aruna tadi malam tidak bisa dipungkiri hatinya berbunga-bunga. Apa dia masih terjebak pada perasaan cinta belasan tahun lalu. Atau hanya terlalu senang bertemu dengan putrinya.Permintaan Deandra tambah membuat Tian tidak bisa berkutik. Gadis itu ingin terus bersamanya."Aku gak bisa tinggalin Dea, Sayang. Dia ingin bersamaku." Tian menyusul Ressa ke belakang.Ressa sudah tau semua ini akan terjadi. Deandra sangat ingin bertemu ayah kandungnya. "Aku paham Tian, tidak apa. Kamu temani Aru bertemu ayah dan ibu." Katanya sambil tersenyum manis.Ya, Ressa tahu, itu yang Aruna inginkan. Setelah bertemu ayah Deandra, dia akan membawanya ke rumah dan mengenalkan pada ayah dan ibu. Entah sebagai apa, mungkin calon suami. Ibu pasti memaafkan Aruna, berbeda ketika dia yang melakukan kesalahan. Tidak akan termaafkan."Kamu gak akan ninggalin aku kan, Sayang?""Di dunia ini tidak semua yang kita mau bisa kita genggam, Tian. Nanti aku urus perceraian kita, please jangan tahan aku lagi. Aku akan jaga anak ini dengan baik. Setelah lahir kamu bisa mengunjunginya kapanpun.""Sayang, jangan begini. Jangan tinggalin aku, bantu aku hadapi semua ini." Mohon Tian, menangkap tangan Ressa yang ingin pergi.Ressa mengusap lembut tangan itu sambil tersenyum, "cinta kamu sama Aru masih ada, Tian. Lain kali aku akan menemui mereka." Ucapnya lalu melepaskan tangan Tian.Tian tidak bisa melakukan apapun. Dia terhimpit keadaan yang membuatnya tidak bisa berpikir jernih."Haid," jawabnya pelan."Oh, ayo Mommy temani ganti di kamarmu."Deandra mengangguk kecil. Aruna paham, putrinya itu baru kedatangan tamu pertama kali tidak memiliki persiapan apapun."Mas, aku temani Dea ke kamar dulu." Ijin Aruna, setelah mengambil stok pembalut di lemarinya.Denis mengangguk, setelah ibu dan anak itu pergi ia menghela napas panjang. Mereka harus memperhatikan Deandra lebih ekstra lagi. Ia takut Azmi tiba-tiba datang menemui Dea lagi dan melakukan hal yang di luar batas."Mommy, perutku sakit." Rengek Dea setelah keluar dari kamar mandi. Ia langsung berbaring di tempat tidur."Mommy ambilkan obat pereda nyeri ya Sayang." Baginya mungkin hal seperti itu sudah biasa setiap tamu bulanan datang. Tapi tidak untuk gadis yang baru menginjak remaja itu."Dea kenapa Ru?" Tanya Tian yang melihat Aruna terburu-buru keluar dari kamar putrinya."Sakit perut Mas karena baru pertama haid," jawab Aruna cepat."Haid?" Tian melongo, putri kecilnya sudah haid. Itu artinya Dea bukan ana
"Mulutnya, gak dikasih saringan!!" Seru Denis geram pada perempuan yang baru brojol itu. Salah-salah itu akan menjadi pemicu perdebatan diantara dengan Tian."Aku bukan kelapa yang harus disaring dulu untuk mendapatkan santannya Denis.""Terserah kau saja, asal kau bahagia." Gumam Denis jengkel."Kenapa jadi sewot sih, cukup ibu hamil yang sensitif. Bapaknya jangan!" Oceh Ressa semakin menjadi-jadi, seperti tidak baru selesai melahirkan."Urus istrimu itu Tian, bikin kesal aja!" Gerutu Denis keluar dari kamar."Hei, aku adik iparmu jangan semena-mena!" Teriak Ressa.Denis mengendikkan bahu tetap pergi dari kamar Tian."Sayang, mulutnya baru dijahit loh, masih bisa nyinyir aja." Tegur Tian dengan kekehan."Maass, kamu gak jelas!""Kalian semua yang gak jelas. Dea jadi pusing!!" Gumam Deandra melerai perdebatan unfaedah itu. Sebenarnya apa yang mereka permasalahkan. Hanya candaan Daddy yang tertukarkan. Kenapa Daddy-nya yang satu itu jadi sewot.***"Kenapa jadi sewot sih, Ressa cuma be
"Daddy, Mommy sakit apa?" Sambut Deandra.Denis baru pulang memeriksa Aruna sesuai saran sang ibu mertua. Pria itu membawa Dea duduk terlebih dahulu sebelum memberitahunya. Ia khawatir anak gadisnya ini merasa terabaikan."Mommy hamil Sayang, Dea gak papa." Ucap Denis pelan menggenggam tangan putrinya."Dea gak papa, malahan senang mau punya adik lagi." Jawab Dea dengan senyuman ceria. Aruna menghela napas lega. Tadi sangat khawatir saat dokter memberitahu kalau dia positif hamil. Ia tidak ingin putrinya itu merasa terasingkan dan dibeda-bedakan kasih sayang saat memiliki anak dari Denis. Mereka sangat menjaga perasaan Deandra."Makasih Sayang, Daddy tetap sayang sama Dea kok." Denis memeluk Dea seraya mengusap punggungnya hangat."I know Daddy," jawabnya dengan senyuman manis. Sekarang ia di kelilingi oleh orang-orang yang sangat menyayanginya. Hal yang hanya di dapatkannya dari sang ibu selama dua belas tahun ini.Suara bel mengalihkan atensi tiga orang itu, Aruna bergegas membuka
"Kita berpelukannya nanti lagi ya Sayang, Mommy yang sedang butuh Dea sekarang." Tian mengusap puncak kepala anak gadisnya."Bye Daddy, jagain Buba dan adek." Ucap Dea sebelum pergi mengikuti sang nenek dan pengawal ayahnya."Of course, Honey." Tian mengacungkan jempolnya dengan senyuman menawan.***"Hei kenapa menangis?" Aruna menepuk pipi putrinya lembut. Setelah sampai rumah tadi ia langsung ketiduran. Bangun-bangun Dea sudah menangis di sampingnya."Mommy kenapa sakit?" Tanya Deandra pelan."Cuma kecapean Sayang, udah jangan nangis ah. Lihat, kamu diketawain Daddy." Tunjuk Aruna pada sang suami yang senyam senyum sendiri."Daddy emang nakal," Dea memanyunkan bibir cemberut seraya menyeka air mata. Nasib punya ayah dua-duanya usil ya begini."Daddy salah terus deh, kan Daddy gak nyubit kamu kenapa jadi dibilang nakal." Denis sangat gemas dengan putri sambungnya ini, mengunyel-unyel di pipi."Nih buktinya Daddy nakal!!""Daddy sayang sama kamu bukan nakal," Denis terkekeh geli. "M
Denis menggiring istrinya ke kamar mandi. Aruna langsung mengeluarkan isi perutnya di sana. Lelaki itu hanya bisa membantu memijat di tengkuk."Bu, aku bawa Aru pulang dulu ya." Ijin Denis sambil menahan tubuh Aruna yang lemas keluar dari kamar mandi."Iya, kalian hati-hati. Istirahat aja di rumah," sahut Rina menatap putrinya yang sudah pucat."Mommy kenapa?" Tanya Dea khawatir. "Mommy cuma gak tahan nyium baut rumah sakit Sayang, Dea temani Daddy jaga Buba ya." Jawab Aruna sangat pelan."Mommy jangan lupa minum obat," Dea mengingatkan."Iya Sayang," sahutnya dengan anggukan kecil. "Kenapa bau obatnya sampai mobil Mas?" Rengek Aruna di dalam mobil sambil memegangi perutnya yang bergejolak lagi."Gak ada bau obat di mobil ini Sayang," Denis memberikan kresek pada Aruna untuk memudahkan saat muntah lagi."Tapi bau banget, aku tambah pusing. Tolong matiin AC-nya." Denis menurut saja mematikan AC dan membuka kaca mobil sudah seperti diangkot sedia kresek dan AC alami."Tahan sebentar S
Sedang di dalam ruang bersalin Tian mengomel pada Ressa. Pasalnya sang istri itu berjalan bolak-balik di hadapannya. "Sayang, aku pusing lihat kamu mondar-mandir." "Ini biar dedek tau jalan keluar Mas," ujar Ressa. Pembukaannya belum lengkap, Jadi masih menunggu waktunya melahirkan."Sini aku aja yang nunjukin jalan keluarnya Sayang, aku lebih hapal." Sahut Tian, membuat perawat yang berjaga di ruangan itu tersenyum geli."Mas ngomong apaan sih, bikin malu aja." Ucap perempuan yang mau melahirkan itu ketus."Marah-marah terus, ayo tiduran aja nanti kakimu capek." Ressa tetap saja mondar-mandir. Karena tidak mempan dengan ucapan. Tian membuat istrinya itu berhenti mondar-mandir dengan memeluknya."Kamu ini bisa bikin dedek lama keluar loh, Mas.""Enggak, dedek pintar sama Daddy. Sayang cepat keluar ya, jangan bikin Mommy kesakitan." Bisik Tian di perut Ressa. Tidak berapa lama setelah itu Ressa mengeluh perutnya sangat sakit.Bayi yang ada dalam perut Ressa itu patuh pada Tian. Kelua