Vanua sedang perjalanan pulang dari Kampung Tujuh. Dia berjalan kaki sejak matahari belum bangun dari tidurnya menuju kampung yang hanya dihuni tujuh kepala keluarga itu.
Ketika Vanua berumur dua puluh tahun, ia meninggalkan kampung kelahirannya di kota Jakarta. Belasan tahun tiada jemu ia menikmati tembok di depan rumah. Kampung sempit dengan jalanan yang hanya bisa dilewati dua orang bertubuh ceking.
Suatu hari, ia terbangun bersama matahari yang meninggi, ”Engkau tak bosan memanaskan tembok depan rumahku, memancarkan sinarmu tanpa peduli kegelapan kamar dan kesunyianku.”
Saat itu awal bulan April. Berangkatlah ia menuju desa pegunungan Kampung Tujuh Yogyakarta. ”Apakah matahari di kampung sempit masih bahagia, jika aku tidak menikmati sinarnya lagi?” Vanua meyakinkan dirinya sendiri.
Setiap pagi ia menatap matahari di pucuk gunung Kampung Tujuh. Jalan berbatu sudah menjadi sarapan paginya.
Ia membangun rumah bambu, tepat tujuh meter di atas lahan kompleks makam desa. Dekat rerimbunan pohon akasia yang daunnya manis menarik lebah.
Sepuluh langkah dari rumah bambu ia memeriksa kotak rumah lebah yang bertengger di pohon akasia. Keringat menetes di keningnya yang licin nan halus. ”Rumah lebahku sudah berlimpah madu, tak perlu kaki panjang dan tangan terulur untuk mengunduhnya”.
”Mbak! Turun! Mau hujan!” teriak Ros, bu lurah Kampung Tujuh, sambil melambaikan tangan kepada Vanua dari bawah. Tak jauh dari kompleks makam Kampung Tujuh.
”Iya, bu…!” teriak Vanua sambil membereskan madu, bunga dan dupa. Ia terburu-buru mendekatkan korek api kepada dupa sepanjang satu meter. Asap tipis mengepul. Harum aroma cendana. Bunga mawar dan melati mengepung dupa yang tertancap tegak di atas tanah.
Vanua menuruni jalan berbatu. Ia harus bergegas turun, sembari melirik senja di balik rerimbunan akasia. Matanya jernih dan bibirnya tiada nampak kemurungan. Ia berjalan dengan mengarahkan telapak kakinya ke dalam. Langkah penari yang terlatih.
”Kamu mengerjakan apa di rumah bambu,” tanya bu Ros.
Vanua menjawab: ”Saya mengambil madu, bu. Nanti saya akan campur dengan jeruk nipis. Buat menambah imun.”
Ros mengangguk tegas. Ia sangat percaya tanah di Kampung Tujuh mampu menumbuhkan tanaman perawat tubuh. Jiwanya sudah pernah melihat dengan rasa sesal kepada tubuhnya sendiri. Ia menginginkan tubuh padat berisi seperti Vanua. Diet tapi gagal.
Empat purnama berlalu, Ros berpikir hendak melarikan diri dari tubuhnya sendiri. Tetapi kegigihan Vanua memanen madu di rumah lebah telah membuatnya lupa akan hasrat diet.
Ia mementingkan tatapan mata enam kepala keluarga di Kampung Tujuh. Tatapan mata mereka seperti neraka bagi Ros karena mereka menanam benih harapan tertinggi kepadanya. Agar panen madu bisa mengenyangkan jiwa dan tubuh semua penghuni kampung.
Rasa cemas berlebihan menyebar pada masing-masing orang di Kampung Tujuh. Rasa cemas itu dirasakan oleh Vanua.
Sepanjang malam angin berdesing cepat dan tanah yang dipijaknya seolah dilapisi permadani dingin yang tebalnya tak lebih dari lima sentimeter. Dalam kesunyian di Desa, tak lama setelah Vanua berjalan ke rumah warga, ia mendengar berita warga meninggal.
Tubuhnya terasa panas-dingin setiap kali mendengar berita orang meninggal. Sakit kepala bertubi-tubi menyerang tanpa ampun pula ketika berita media daring memuat berita tentang ribuan orang meninggal seketika.
Nafsu makan berkurang drastis karena khawatir makanan itu tidak bersih dari virus. Panik melanda jiwanya.
Kecemasan berlebihan itu semakin meluas pada Bu Ros, Lurah Kepala Desa.
“Aku cemas besok diberhentikan sebagai pemerintah Desa”.
“Aku tidak tahu cara bekerja secara daring, yang aku tahu hanya bekerja di balai Desa”.
Belum lagi banyak warga mendadak pulang ke kampung untuk berkumpul dengan keluarga daripada mati sendirian di perantauan. Berulang kali Bu Ros menghibur pemudik yang berteriak sedu-sedan karena tak punya harapan.
Vanua menatap bangunan bisu di pinggir taman. Ia membakar dupa cendana.
Pada saat Vanua merasakan puncak dari rasa ketidaknyamanan, ia merasa perlu bermeditasi. Vanua ingin cepat menyadari suara “ke-Aku-an” yang menyatakan: “Aku cemas”, “Aku bakal sakit”, dan “Aku akan mati terkena virus”. Ketidaknyamanan itu disadari telah menjadi miliknya sendiri. Bukan milik orang lain.
Pikiran telah menciptakan bayangan “si Aku” yang merayap perlahan menggerogoti keadaan fisik dan psikologisnya. Masuk semakin dalam menuju kedalaman.
Tampak hadir kunang-kunang. Kunang-kunang menghampiri “si Aku Vanua” pada kedalaman. Napas tiada lagi terasa.
Vanua mengalami sikap nyaman dalam ketidaknyamanan. Ia berusaha keras mencari sebab-sebab ketidaknyamanan. Ia biarkan suara batinnya menggelora.
“Aku bakal sakit karena tidak cuci tangan dan belum minum madu Kampung Tujuh sebagai penguat imunitas.”
“Aku akan miskin karena selama ini aku malas belajar teknologi digital.”
Ketidakmampuan dirinya beradaptasi, tanpa sadar, dijadikan sebagai penyebab dari seluruh ketidaknyamanan.
“Aku berterima kasih kepadamu, kunang-kunang,” ujar Vanua dalam batin. Kunang-kunang tidak mempertanyakan, “Aku bakal sakit” atau “Aku akan miskin”. Tetapi mereka sekedar merasakan dan menyadari ketidaknyamanan itu.
Tiga jam Vanua bermeditasi. Tarikan napas serasa yang pertama sekaligus yang terakhir. Bermeditasi membuatnya terhenti mencari penyebab segala kecemasan. Inilah cara alam semesta bekerja. Mengajari bersikap pasif-responsif atas ketidaknyamanan melalui batinnya.
Meditasi membuat Vanua seperti genangan air, eksistensinya tumbuh halus, melar dan akhirnya meluber.
Vanua menatap taman dengan keheningan. Diri terasa penuh. Semesta mengalir di dalam aliran darahnya.
Tapi entah mengapa, Vanua merasa dirinya berjalan bolak-balik dari masa lalu yang menyakitkan, melesat ke masa depan yang penuh kecemasan, dan kembali ke masa sekarang sebagaimana apa adanya.
***
Tidak ada kata menyerah bagi Mudra. Bagaimanapun, Mudra harus menagih cicilan utang pada lelaki di Desa yang punya ilmu kebal: Rontek. Senja yang menawan tak berarti lagi baginya. Cahaya keemasan di ujung senja menimbulkan nyeri di ulu hati. Tiga bulan lebih Mudra tidak memegang uang karena perputaran dana bergulir mengalami kemacetan. Satu orang saja dalam kelompok pemanfaat dana bergulir gagal bayar, maka bisa dipastikan kelompok itu harus tanggung renteng membayar atau terhenti kegiatan produksinya. Apalagi di masa pagebluk seperti ini, nasib kelompok usaha di Desa sedang jatuh ke dasar mata air. Berteriak dari kedalaman pun tak ada guna.“Aku mau menagih cicilannya tetapi wajahnya kalau ditagih pasti bermuka masam. Berbeda sekali kalau mengajukan pinjaman, wajahnya secerah matahari, dan memelas seperti kelinci,” keluh Mudra pada Bu Raisa Kepala Desa. “Ketika aku menagihnya, disuguhi air putih di gelas kecil seukuran mainan anak PAUD, itu sudah lumayan. Pernah, aku dibawakan par
Pagi hari ini Mudra terbangun di atas kasur bejana. Tangannya berkata kepada kaki: “kamu percaya hari ini jam 6 sore di permukaan bulan?” Mudra bergegas mengayun kaki ke langit ketujuh. Barang durjana bernama handphone bertalu-talu mengingatkan sang waktu dengan sederet pesan. “Hari ini jadwalku bersua dengan Vanua.” Tangan Mudra beringsut menimbun kata pada besi titanium: “Kita akan bertemu secepatnya, kak Vanua.” Vanua baru kali pertama akan bertemu sosok lelaki yang didengarnya berkemampuan seperti Manusia Semut. Ant-Man. Manusia yang mampu membesar dan mengkerut di dalam kubangan masalah Desa. Semut bertengger di atas kelapa pun konon akan mengikuti derap kaki Mudra bila diperintah dengan senyuman. Laksana pejabat yang tahu cara mengatur tapi alpa dalam mengurus rakyatnya, Mudra mengeja kalimat yang ditulisnya di atas buku agenda. Ratusan pohon telah ditebang menjadi kertas dan didaur ulang menjadi buku agenda kertas buram coklat. Apabila Mudra jujur kepada luka di kakinya, ma
Perempuan berumur tiga puluh lima tahun itu berjalan pelan di depan Balai Desa Gayam. Ia seorang pegiat literasi yang menerima kuasa untuk memegang keris Desa Gayam berjuluk Pasopati.Sejak pagi hingga senja ia menatap benda purbakala itu untuk menemukan kedamaian dalam diri. Tak ada guna mengharap kedamaian di luar dirinya.Dan malam itu ia meninggalkan Balai Desa dengan rasa galau tak berujung. Sambil mengapit buku kumpulan cerita, Sadajiwa. Bibirnya komat-kamit membaca kalimat pada sampul buku tipis berwarna hitam itu: “karena hidup adalah keindahan imajinasi, sedangkan kematian adalah kenyataan yang nestapa.” Anak lelaki semata wayangnya baru kembali dari kota. Anak muda yang kalah dari pertempuran nafkah ojek online. Di rumah kos anaknya sudah ada orang tua yang tetiba sesak napas, mati, terbujur kaku dan akhirnya dikubur dengan protokol kafan plastik.Jarak antara ia dan anaknya hanya satu meter, tanpa pelukan. Terhijab oleh benda laknat bernama plastik isolasi.Jeritan mengge